CATATAN SAKSI HSE, 15 JULI 2010

Aku tahu kami berada di dalam situasi yang berat. Tetapi, aku percaya pasti ada jalan keluar. Selama aku bersikap positif, optimis, pasti ada jalan keluar.

Sekarang, aku harus menggiring Pak Harian di dalam goa ini. Beliau sudah cukup tua. Aku yakin hempasan yang kita berdua alami terasa lebih berat pada beliau.

“Pak, mari saya topang!” seruku seiring aku berlari kepada tubuhnya yang terbaring di permukaan tanah.

“Engga perlu!” serunya kesal, menghempaskan aku menjauh darinya. “Aku bisa – AHH!”

“Pak! Bapak perlu bantuan!” balasku memaksa menarik lengan kirinya ke atas bahuku. “Saya tahu Bapak tidak senang dengan saya, tapi kondisi Bapak tidak terlihat baik.”

“Tenang nak,” balasnya dengan nada kesal. “Aku tidak terlalu suka dengan siapapun. Jangan khawatir, kamu ga sendirian kok.”

“Bisa aja Bapak,” tawaku kecil. Kalimat dia begitu menusuk dihatiku. Tetapi, aku berusaha memahami beliau. Mungkin ini caranya untuk memproses sebuah krisis.

Kami berdua berjalan tergopoh-gopoh. Rasa perih dan sakit dari memar semu mulai terasa di permukaan tubuh kami.

Seiring kami berjalan, Pak Harian pun mengerang, “Kamu mau bawa kita ke mana? Kita ada di mana sekarang? Kenapa semuanya gelap? Bu Devi, Tim Geologi?”

Mendengar itu, aku enggan mengatakan kenyataan kepadanya. Aku tidak tahu apa yang beliau akan lakukan. Tubuhnya kecil, tetapi masa ototnya cukup kuat untuk menghempaskan aku ke seberang ruangan. 

“A… –”

“Tunggu sebentar. Bau metana. Udara lembab,” badan dia mengeras. Wajahnya pun mulai merah padam, menyembunyikan rasa paniknya di balik amarah. Dia pun melakukan apa yang aku takutkan.

Aku dihempasnya, menghantam ke permukaan kasar bebatuan goa. Sejumlah titik tajam batu menyayat halus kulitku bagai kertas amplas. Seiring beliau berlari, beliau bergumam, “Aku harus keluar! Aku harus keluar! Aku harus keluar!”

Aku pun merintih kesakitan. Mataku kupejamkan seakan itu membantuku untuk menahan perih.

Dari balik pelupuk mata, aku bisa melihat beliau mengais tanah seakan-akan ajalnya telah mendekat. Tanah, demi tanah terhempas ke udara.

Begitu kuatnya galian beliau, aku melihat salah satu kukunya terhempas bersama tanah itu. Kuku itu berdarah dan beliau tetap menggali.

Menyadari itu, aku pun langsung bergegas untuk menghambatnya, menarik dia dari spiral yang sedang dia alami. Kedua lenganku mengikat kedua lengan beliau dari ketiak hingga ke leher. Gumaman beliau terdengar begitu panas, penuh amarah, “Aku harus keluar! Aku harus keluar!” Tetapi, ada suara lain di balik amarah itu. Suara yang terdengar lembab, suara sedih, penyesalan.

Aku kemudian sekuat tenaga menarik beliau kepada kenyataan, “PAK! SUDAH PAK! SUDAH!”

Tarik ulur yang kami lalui berakhir menjadi bencana lebih. Tenaga Pak Harian memaksaku untuk menarik tubuhnya yang kecil. Akhirnya, kami berdua pun terhempas ke permukaan tanah. 

Namun, kami tidak menyadari bahwa, kami berada lapisan tipis. Tanah tempat kami terhempas kolaps, membuka kepada sistem terowongan goa baru.

Aku tidak tahu seberapa dalam sistem ini. Tetapi, perjalanan kami tidak terlupakan. Kami terguling cukup lama. Semakin laju kami berputar, semakin sering kami terhempas karena pergesekan antara baju dinas, kulit, dan bebatuan tajam.

Aku bisa dengan jelas menghitung berapa kali aku terhempas. Lima kali. Lima hempasan yang tak terlupakan.

“Eeearrghh…,” erangku menahan sakit. Luka-luka baru mulai terasa ditubuhku diringi memar-memar lainnya yang mulai menyebar.

Seketika, aku teringat oleh Pak Harian. Dia sudah cukup tua. Aku harap beliau baik-baik saja.

“Pak Harian!” seruku bergegas ke arah yang ku sangka siluetnya.

Seketika, BLAM! Sebuah tenaga amat kuat menghantamku di rahang. “Ini salahmu bocah sialan!” serunya kesal. Tubuhku pun kembali disambut oleh tanah batuan.

“Harusnya kamu biarkan aku menggali lubang keluar. Karena tindak bodohmu, aku sekarang semakin jauh dari jalan keluar!”

Dalam kekesalannya, dia terus menganiayaku dengan pukulan dan tendangan. “Kamu tidak tahu apa yang telah kamu lakukan! Kamu telah mengambil semuanya dariku!”

Tiba-tiba, aku tidak tahu apa yang telah mengambil alih diriku. Aku mengambil kaki beliau dan memutarnya sehingga beliau tumbang ke tanah. Dentumannya menggaung dari permukaan dinding goa.

Walaupun beliau terjatuh, dia masih melawan. Dia kembali menghantamku di wajah sambil berteriak, “Gara-gara kamu, aku tidak bisa hadir untuknya!”

Kesabaranku pun patah. Setulus hati aku tidak ingin melakukan ini, tetapi instingku telah mengambil alih. Kepalan tanganku melaju, menghantam beliau tepat di tulang pipi. “BISAKAH BAPAK TENANG DAN JELASKAN BAIK-BAIK!” ucapku patah sabar.

Beliau pun terpukul mundur. Tapak tangannya meraba kepada rasa sakit di wajahnya. Darah menetes lambat dari hidung beliau dan dia pun menyentuhnya untuk melihat tetesan itu.

Usai dia melihat darah itu, dia berbalik kanan meninggalkanku. Aku menyahut kepadanya, penuh rasa bersalah, “Mohon maaf Pak! Saya, saya tidak tahu apa yang baru saja merasuki saya.”

Dia tidak menanggapi.

Sunyi mengisi udara lembab goa ini selama sepuluh detik.

Kemudian, beliau membuka suara. “Maafkan aku nak. Aku kelewatan. Aku seharusnya tidak melampiaskannya kepadamu.

“A – Aku harus mencari jalan keluar. Dia menungguku.”

“Siapa yang menunggu Bapak? Mengapa Bapak begitu berkeras untuk menggali keluar dengan kedua tangan Bapak?”

Dia kembali diam. Bahunya pun mulai renggang, melepaskan tensi di dalam hatinya. “Kamu punya anak Erdi?” tanya dia seiring mencari batuan-batuan keras untuk ia panjat. “Aku ada. Seorang putri. Dia memerlukanku.

“Kalau kamu ingin menetap di sini untuk mati. Silahkan. Aku tidak mau.

“Aku…” Kalimat beliau terhenti. Nada yang keluar dari pita suara beliau dibuka dengan suara mayor namun perlahan menjadi suara melankoli minor. Kesedihan beliau begitu terasa, berbaur dengan kegelapan dan kelembaban goa ini. “Aku punya hutang pada putriku.”

Mendengar itu, hatiku terasa diremas bagai spons basah. Air-air semangatku larut, kering dengan rasa bersalah. “Maafkan saya Pak. Saya tidak bermaksud untuk menjauhkan Bapak dari anak Bapak.”

“Tidak apa-apa.”

Goa tempat kami berada cukup gelap. Aku tidak bisa melihat apa-apa kecuali pantulan cahaya debu yang membentuk  garis tubuh Pak Harian dan lingkungan kami. Tetapi, ada sesuatu yang janggal. Aku tidak hanya melihat beliau. Sesuatu bergerak di dalam debu ini.

Perlahan aku melihat titik pada debu. Titik itu membesar dengan kecepatan tinggi, mengarah kepada Pak Harian.

Aku pun bergegas menarik beliau yang sudah memanjat dinding goa, 80 centimeter lebih dari permukaan tanah. “Pak!” seruku seiring menarik beliau menghindari benda itu.

Saat kami mendarat kembali di permukaan tanah, aku mendengar jelas sebuah dentuman keras. Boom!

“Apa lagi! Aku sudah meminta maaf dan kamu belum puas Erdiwan?! Kamu mau kita berkelahi lagi?! Sini aku layani!”

“Merunduk Pak!”

Batu kedua melesat di atas kepala kami. Emosi Pak Harian pun teralihkan. Aku mengambil lengan beliau dan berlari sekuat tenaga, “Kita harus mengamankan diri Pak!”

“Apa itu yang baru saja lewat?!”

“Saya tidak mengerti Pak. Tetapi, yang saya tahu sesuatu atau seseorang sedang mengawasi kita di dalam sana.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!