LAPORAN F.E.P. V: HARIAN; MONITOR

“Bangsat!” seruku mengerang sakit. Kakiku yang baru saja patah menghantam sebuah railing tangga seiring kami menuruni unit terkutuk ini.

“Bapak tidak apa-apa?” tanggap anak muda itu.

“Menurutmu! Kakiku baru saja patah, diikat oleh bilah besi dan kain, dan berpotensi infeksi karena muntahmu!”

Aku kemudian menarik nafas, menghentikan rantai emosiku.

“Nak!” erangku kesal. “Aku tidak berharap ini terjadi. Aku pun tidak ingin kakiku patah. Tetapi, kita sekarang di sini.

“Kita sekarang berada di dalam neraka dunia. Banyak hal yang dapat menyakiti kita, banyak hal yang akan memisahkan aku dari kasur putriku.

“Satu-satunya tempat amanku adalah mengetahui aku bisa bergantung padamu dan kamu padaku.

“Aku bisa bergantung, aku tidak akan merasakan rasa sakit lebih dari yang ku alami sekarang.

“Paham Erdiwan?”

“Paham Pak,” balasnya dengan suara lemah lembut.

“Baguslah. Sekarang, satu kali lagi, kita sudah bisa menyentuh tanah.”

Erdiwan mengulangi kembali tindakan kita saat menuruni alat berat. Sebilah besi kami gunakan sebagai jangkar dan kami tanamkan kepada platform PC4000 yang telah terlipat. Kemudian, tali yang terbuat dari baju dan celana almarhum rekan kerja kami diuraikan ke permukaan tanah.

“Mari Pak,” undang Erdiwan membentuk kuda-kuda, bersiap untuk menggendongku. 

Aku berjalan tertatih kepadanya. Kemudian, aku melilitkan kedua lenganku kepada bahunya.

Anak muda itu kemudian menuruni tali kain ini secara perlahan. Kain ini sangat jelas terasa tangguh, baju dan celana yang dibuat dari bahan-bahan tahan pergesekan. Namun, aku dapat mendengar sejumlah seratnya telah tersobek karena panas dan beban kami yang melebihi dua kuintal [6].

Kemudian, aku mendengar Erdiwan memberitakan, “Pak, kita masih ada 3 meter dari permukaan tanah!”

Hatiku menghisap ke dalam perut setelah aku mendengar itu dari Erdiwan. “Tidakkah kamu bisa terus turun lebih dekat lagi ke tanah?”

“Akan saya coba Pak.”

Dia kemudian terus menuruni tali hingga kedua kakinya bergantung di udara. Tangannya menjulur panjang di atas kepala, bertahan pada tali.

“Masih belum sampai Pak. Ada satu meter lagi.”

“Ya sudah, aku akan berputar ke hadapanmu. Nanti, akan ku perintahkan kapan kamu bisa lepas peganganmu.”

“Baik Pak.”

“Pegang erat-erat,” perintahku seiring aku bergerak memindahkan tubuh ini ke hadapannya.

Kemudian, suara kain mulai merobek terdengar.

“Apa itu Erdiwan?”

“Kainnya Pak! Kainnya mulai merobek”

Aku mengumpat di dalam hati. Jika aku salah bergerak, kita semua bisa jatuh.

Aku kemudian mengarahkan Erdiwan, “Dalam hitungan ketiga, ka –”

Kalimatku terputus bersama kain yang digenggam oleh Erdiwan.

“AAAAARGKHH!!!

“AAARGHA, GHA, GHAAA!!!” seruku kesakitan karena kakiku menghantam tanah dengan paksa.

“HRUMPH!!!” seru anak muda itu karena tulang panggulku mendarat di panggulnya.

Tenagaku terkuras, tetapi aku memaksakan untuk bisa berdiri dengan satu kaki. Walau tertatih, punggungku tidak menyentuh tanah lagi.

“Kamu bisa berdiri Nak?”

“B-hrmph-bh-isa Pak,” rintih anak muda itu seiring dia berguling, mendorong tubuhnya untuk berdiri.

Aku pun merasa keseimbanganku hilang secara perlahan. Aku bergegas mencari sesuatu yang bisa menopang tubuh ini sebelum tumbang.

Ketiakku bertumpu pada suatu kayu. Bentuknya seperti huruf L yang terbalik. Aku kemudian memperhatikan papan yang ada di bawahnya, bertuliskan, ‘CR III: Cornell’.

“CR III?” gumamku.

Kemudian, perhatianku kembali ditarik oleh Erdiwan. “Pak!” serunya. “Sepertinya ada jalan keluar. Angin berhembus kencang dari sana!”

“Baiklah. Kita saling tumpu ya, kita jalan bersama ke sana,” balasku seiring menyesuaikan tongkat kayu yang aku temukan di ketiak.

“Baik Pak,” balasnya sambil menumpukan lenganku pada bahunya.

***

Kami berjalan tanpa berbincang selama sepuluh menit. Aku berusaha menyimpan tenaga dengan tidak berbasa-basi.

Kemudian, Erdiwan memecahkan kesunyian. “Aku…, aku akan menikah dalam waktu dekat ini Pak.

“Tunanganku bekerja juga sebagai Safety Officer. Tetapi, dia di perkebunan.

“Sekarang, dia di sini. Dia mengorbankan karirnya, karena dia percaya aku dapat membahagiakan dia.

“Aku…, sedikit takut kalau aku keluar dari kawah ini. Aku yakin dia akan memberikanku ‘ceramah’ yang melepuhkan telinga. Hehe.”

Aku sunyi sementara.

“Bagus Nak. Artinya dia memperdulikanmu.

“Aku pun memiliki hal yang sama. Mulutnya begitu pedas bagai alkohol di atas luka. Tetapi, aku tahu itu karena dia peduli.

“Walaupun aku mabuk buta, dia pasti akan mengangkat selimut bagiku. Dia selalu ada untukku.

“Sekarang…, sekarang aku tidak bisa mendengar suara dia lagi. Dia terbaring koma, karena aku.”

Aku tahu anak muda itu melihatnya. Dia melihat air mata mengalir dari mataku, tetapi dia tidak berkata apa-apa.

“Kesalahanku adalah tidak menceritakan alasan aku minum hingga aku buta diri. Aku hanya ingin meredam rasa bersalahku.

“Sebelumnya, ada muridku, sebelum kamu Erdiwan.”

“Rafli?” tanyanya lembut. 

Aku terkejut. “Bagaimana kamu tahu?!”

“Anak-anak kantor sering membahasnya di belakang Bapak. Beberapa berkata Bapak mengeksploitasi dia. Beberapa berkata anda bertingkah lebih seperti seorang ayah baginya daripada Pak Kamil.”

“Ya…, dia anak yang baik. Aku –

“Kamu dengar itu Erdiwan?”

“Ya…, radio. Suaranya kecil, tetapi aku bisa mendengar. Radionya berbunyi, ‘Mayday. Mayday. Monitor?’ Pak!”

“Suara itu? Tidak mungkin. Dia sudah menghilang dua tahun. Dia tidak mungkin masih hidup.

“Ayo bergegas Erdiwan! Sedikit lagi, kita dapat menggunakan radio itu untuk menghubungi Tim SAR!”

“Baik Pak! Hati-hati kaki Bapak!”

Selama berjalan, aku tidak bisa menahan pikiranku. Semua kenangan terbaik kerjaku dengan Rafli mengalir. Kami tertawa, saling marah, bermain antara atasan dan karyawan mengalir semua.

Tetapi, kenangan itu patah saat aku melihat radionya.

Radio itu digenggam oleh sebuah tangan. Tangan itu menjalar dari dalam tumpukan daging yang terbentuk dari ikatan mayat-mayat.

Aku melangkah mundur.

“Pak?” ucap Erdiwan dengan suara yang mulai bergetar. “Apa yang sedang kita lihat?”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku melihat beragam tubuh membusuk yang telah menyatu. Mereka membentuk mulut melingkar seperti ulat raksasa.

“Aku tidak tahu apa yang kita lihat Nak, walaupun makhluk itu ada di depan mata. 

“Yang aku tahu itu adalah teman-teman kita yang menghilang dan tidak pernah kembali dari insiden E2S sebelumnya.

“Dan, yang aku tahu, makhluk itu bernafas.”

“Jadi, kita harus bagaimana Pak?”

“Aku sudah melihat banyak film horror karena anakku. Aku tahu yang aku sarankan ini bodoh, tetapi kita memerlukan salah satu radio itu.”

“Jadi merisikokan kita mati di sini. Tetapi, jika tidak, kita akan pasti mati di sini.

“Baiklah, aku akan percaya pada Bapak.”

“Topang aku baik-baik nak. Aku akan menggunakan tongkat ini untuk meraih radio itu.”

“Baik Pak, akan saya genggam tangan Bapak!”

Aku menjulurkan tongkatku pada tangan itu. Jarak antara lengan kayu dan radio itu hanya setipis kertas.

Tiba-tiba, aku melaju ke depan. Aku mendengar sepatu Erdiwan bergesekan pada tanah, sebelum dihentikan oleh sebuah pasak kayu.

“Jaga kuda-kudamu Erdiwan!” tegurku.

Dia tidak membalas. Seluruh tenaga dan konsentrasinya dia habiskan menahan kuda-kudanya sekarang dan lenganku.

Aku kemudian berhasil menarik tangan itu ke dekat wajahku. Radio yang ada pada genggamanya aku ambil.

Seketika, tangan-tangan lain bermunculan. Mereka menggenggam beragam variasi radio. Semuanya berkata, “Mayday. Mayday. Monitor?”

“Erdiwan, cepat tarik aku!” tegasku padanya.

Dia pun sekuat tenaga menarik aku.

Tetapi, kami sial. Kayu yang menahan kuda-kuda Erdiwan kolaps. Getarannya menjalar hingga menjatuhkan batuan di atas monster di hadapan kita.

Radio-radio yang bermunculan di dalam mulutnya mulai mengeluarkan sinyal statik. Sinyal tersebut semakin nyaring, merobek gendang telinga.

“Tahi.”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!