JURNAL III: KAMIL; KITA BERTEMU LAGI

Saya diantar pulang oleh Pihak Klinik Cahaya Iman. Seorang karyawan Rescue ditugaskan untuk mendampingi saya, memastikan kondisi saya stabil.

Tiba di rumah, istri saya  menunggu di meja makan. Dia tidak menyambut saya di depan pintu. Dia pun tidak menyambut saya dengan sepatah kata apapun.

Dia hanya menatap sedih kepada hidangan yang telah disiapkannya di atas meja. Makanan yang disukai oleh anak kami.

Rafli.

Almarhum, Rafli.

Suara nyanyian sendok, garpu, dan piring mengisi ruang makan yang sepi ini. Istri saya menemani, namun tidak satu patah kata pun keluar dari wajah cantiknya.

Saya sudah mencoba untuk mengajak dia kembali bicara selama dua tahun. Tetapi, tidak ada satu patah kata pun yang ditanggapi olehnya.

Tidak satu senyum terlukis di wajahnya.

Saya juga bisa melihat di wajahnya, istriku menyalahkanku akan kematian putra kami.

Saya ingin menjelaskan padanya bahwa saya sudah berupaya untuk melindungi anak kita. Saya sudah berupaya agar anak kita bisa bekerja dengan aman.

Kenyataannya, bekerja di tambang ada risikonya. Salah satu risiko itu adalah maut.

Saya sudah berupaya semampu saya. Hanya, ada juga mereka yang tidak mendengarkan saya.

Tetapi, isteri saya tidak memberikan kesempatan bagi saya untuk menjelaskan semua itu.

Saya akhirnya menyerah.

Ketika sendok dan garpu telah berbaring di atas piring, saya membuka suara. “Ibu, hari ini saya akan bertemu dia. Apakah ibu mau ikut?”

Bibir dan matanya bergetar. Dia kemudian menarik nafas, menahan air mata yang terbendung di balik pelupuk mata.

Dia membalas saya dengan gelengan kepala. “Aku…, masih belum kuat,” gumamnya.

Dia kemudian meninggalkanku sendiri seiring membawa piring kami ke dapur.

***

Saya keluar rumah dengan jas hitam seragam. Kunci mobil saya genggam di dalam tapak tangan.

Saya tahu bahwa saya dilarang untuk berkegiatan berat oleh Karyawan Rescue, E2S. Tetapi, hari ini saya harus membangkang. Saya harus melakukan ini.

Saya harus menghadiri kubur anak saya. Hari ini, tanggal 16 Mei 2010, hari dia ulang tahun.

Hari yang sama dia berpulang juga.

Saya berangkat menggunakan mobil Camry, 2003. Saya membawanya untuk menghibur anak saya. Dia sudah lama bermimpi akan membawa mobil ini bersama keluarganya nanti.

Tetapi, mimpi itu tidak akan tercapai. Dia tidak bisa bermimpi untuk berkeluarga lagi. Dia tidak bisa memeluk saya lagi.

Tiba-tiba saya mendengar suara retakan jendela. Di saat yang sama, semua warna yang saya lihat berubah menjadi hitam dan putih.

Sebuah suara terdengar berkata, “Jangan berbohong!”

Saya mencari asal suara itu dan mendapati sebuah paras duduk di kursi penumpang. Paras itu berupa api hitam yang membakar keseluruhan kursi. Di dalamnya, ada jejak transparan yang membentuk tubuh manusia.

“Ini salahmu!” tegurnya dengan suara yang menggetarkan hati.

“Siapa kamu!” balas saya. “Tahu apa kamu?! Jangan kamu berkata lancang, menuduh saya sembarangan!”

“Ini salahmu! Kamu berbohong!”

“Bohong apa! Bohong tentang apa?! Kamu tidak mengenal aku!”

Terakhir, paras itu berkata, “Aku mengenalmu! Kamu berbohong! Ini, SALAHMU!!!” Dia mengucapkannya seiring menerjang wajahku.

Saya terbangun mendengar suara klakson mobil. Wajah saya terbaring di atas setir.

Warna sudah kembali kepada mata saya. Saya menyaksikan mobil Camry yang saya bawakan untuk almarhum anak telah menabrak pohon yang menjadi gerbang  Taman Peristirahatan Bumi Rinda.

Saya bergegas keluar dari mobil dan memeriksa wajahnya.

Air mata mengalir saat saya melihat bempernya yang penyok dan catnya terluka. Saya merasa malu kepada anak saya. Saya telah mengecewakan Rafli.

Saya tidak berani menghadap nisannya.

Namun, saya tetap harus menghadap dia. Saya tidak mau mengecewakan dia lebih lagi.

Saya berjalan kepada nisannya.

Saya kemudian berhenti di hadapan batu marmer yang bertuliskan “Rafli Hikmah. 16 Mei 1986 - 16 Mei 2010.”

Saya membuka suara dengan menyambut dia, “Selamat sore Rafli. Kabar ayah baik-baik saja. Ayah harap kamu juga baik-baik saja juga di sana.

“Ayah ingat ini hari ulang tahunmu. Jadi, ayah membawakan mobil Camry yang kamu suka itu. Akhirnya, ayah berhasil memperbaiki mobilmu Nak.

“Jadi…, selamat ulang tahun –”

Kesedihan mencekik pita suara saya hingga air mata keluar. Lutut saya bergetar. Saya dengan segera menopang tubuh saya pada batu nisan Rafli.

Tiba-tiba hal itu terjadi kembali. Warna menghilang dari pandangan saya. Marmer, tanah merah, rumput hijau, dan warna batuan beragam berubah menjadi hitam dan putih.

Sekarang, saya merasa seperti diawasi oleh sesuatu yang jahat. Tatapannya seperti bilah es yang menusuk di tulang punggung.

Saya berkata kepada diri sendiri bahwa saya bisa mengendalikan hal ini. Saya seorang Manajer Tambang di site yang penuh dengan beragam bahaya dan bencana. Saya bisa menghadapinya.

Pernyataan itu hanya kebohongan yang saya katakan untuk memberanikan diri. Saya bergegas untuk mencari asal rasa jahat itu.

Saya berjalan ke segala arah, mencari dari balik bangunan, batuan, hingga pepohonan. Tetapi, saya tidak menemukan apa-apa.

Saya kemudian kembali menghadap ke arah batu nisan Rafli.

Saya melihatnya lagi. Pasak es yang menusuk di punggung terasa semakin dalam, menebarkan dinginnya hingga ke leher.

Api hitam itu berdiri di atas makam anak saya. Siluet transparan tubuh manusia itu tidak memiliki mata. Tetapi saya merasa makhluk menatapku.

“Apa yang kamu inginkan dari saya?!

“Saya tidak pernah bertindak salah padamu. Saya pun tidak mengenalmu!

“Pergi! Dengan iman saya, saya perintahkan kamu pergi!”

“Kamu…, kenal…, aku…” balas makhluk itu.

“Kamu ber-BOHONG!!!”

Refleks menggerakan kedua tangan untuk menutup telinga saya. Teriakannya begitu keras, menggetarkan tubuh dan membelah gendang.

Wajahnya seketika berada di hadapanku. Saya tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas, hanya gigi berlumuran tar hitam dan darah mengalir dari kawah mata.

Kemudian, makhluk itu berdiri di sebelahku.

Semuanya terjadi begitu cepat, bagai cuplikan presentasi. Saya tidak bisa meresapi apa yang saya lihat.

Saya mengayunkan kepalan tangan kepada makhluk itu. Dia menghindar dengan mudah.

“Pergi!” seru saya padanya. “Saya tidak mengenalmu! Saya tidak pernah bersalah terhadapmu!”

“Kamu BOHONG!!!” teriaknya kembali merobek gendang telinga saya. “Kamu yang MEMBUNUH AKU!!!”

Saya kembali mengayun kepada makhluk itu. Sekarang, lenganku mengenainya dan dia terdiam. Seiring tanganku di dalam pelukan api hitam, sebuah cuplikan kenangan mengalir di dalam kepalaku.

Wajah Rafli tersenyum akan pekerjaan pertamanya.

Sebuah ledakan di dalam Pit Cornell.

Sejumlah orang mengais tanah.

Sebuah ruangan gelap berisikan lilin dan sejumlah orang yang aku kenal.

Sebuah perjanjian.

Sebuah tangan muncul dari tanah.

“Itu bukan salah saya! Itu bukan salah-saku!!!

“Aku terpaksa! Aku harus mendukung keluarga kita!

“Itu salah dia! Salah Harian yang gagal melindungimu! Gagal mempertanggung-jawabkan keamanamu!” balas saya seiring berlari meninggalkan tanah pemakaman itu.

Saya bergegas ke mobil dan melaju ke arah rumah.

“Ini bukan salah saya,” ucap saya dengan yakin. “Dia yang bertanggung-jawab. Dia yang bersalah.

“Saya sudah melakukan yang terbaik!”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!