LAPORAN F.E.P. I: HARIAN; LEMPENGAN KOLAPS

Aku tidak bisa melihat apa-apa. Tempat ini begitu gelap. Tubuh renta ini penuh memar dan luka. Isi kepalaku bergejolak seakan digilas oleh ban. Aku ingin mengamuk kesal.

Aku tahu ini risikonya, tetapi aku mengabaikan hasil hitungan Fatality Event Prevention. Aku mengabaikannya karena tanggung jawabku ke putriku.

Karena keputus-asaan ku untuk membangunkan dia dari tidur cantiknya. Karena keputus-asaan ku, aku membungkam Erdiwan agar tidak mengucapkan kekhawatirannya.

Kami pun berkelahi. Dan aku tahu itu salahku. Tetapi, aku perlu meluapkan emosiku. Aku tidak akan minta maaf.

Sekarang, kami berdua berlari dari sesuatu. Aku tidak tahu apa yang dilihat oleh Erdiwan, tetapi aku tahu makhluk itu bisa melontarkan batu sekisar 100 Kg dengan mudah.

"Kamu mau membawa aku kemana Erdiwan! Pintu goa ini ada di atas sana!"

"Ikut saya saja Pak! Ada sesuatu di dalam kegelapan itu! Akan lebih baik kita mengamankan diri dulu!"

Pelarian kami terhenti seketika oleh sebuah lubang. Aku ingin merintih sakit, tetapi Erdiwan membungkam mulutku. Matanya memandang penuh ketakutan ke langit-langit goa.

Saat aku menyusul pandangannya, aku pun merasakan hal itu. Setengah tubuhku menjadi dingin, seakan maut membelahnya seiring aku memandang garis debu makhluk yang kami lihat.

Makhluk itu seperti ular, namun bentuknya tak karuan. Sejumlah kaki-kakinya terlihat seperti duri. Tetapi, ada salah satu kakinya yang mengganggu pikiranku. Aku tidak ingin mempercayainya, hanya saja aku melihatnya dengan nyata, cahaya pada debu mengukirkan bentuk kaki monster itu seperti tangan manusia.

Tangan itu kemudian memanjang tepat di antara aku dan Erdiwan. Walau kami tidak bisa melihat dengan jelas, kami bisa merasakan aura dingin yang memancar dari lengan itu.

Kami berdua pun bergegas untuk berpisah, memeluk dinding. Punggung kami beradu dengan bebatuan, merangkak pada punggung dan berusaha untuk mempertahankan kesunyian.

Ketegangan ini tidak baik bagiku. Jantungku mulai berdebar lebih kuat, melebihi batas BPM [2] yang ditetapkan oleh dokterku.

Perlahan tangan itu meraba tepat di antara kedua kakiku. Perlahan merangkak hingga di antara kedua lututku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang.

Kemudian, tangan itu mengangkat tapaknya dari permukaan batu dan terus melayang hingga ke atas, melalui tubuhku. Lengan lalu itu berhenti di depan wajahku.

Aku pun merasakan tulang punggungku seakan ditusuk oleh seribu duri es. Aku ingin bergerak, tetapi bayanganku akan apa yang mungkin terjadi padaku mengunciku tetap berdiri. Aku tidak kuat membayangkan jika hidupku berakhir di sini sebelum aku bisa melihat putriku bangun.

Garis debu yang membentuk tangan itu seketika berkedut. Aku pun memikirkan yang terburuk, “Tangan itu akan mengambil wajahku.”

Dan benar!

Tangan itu melaju, menyerang wajahku. Bersiap untuk menarikku kepada tubuh ular gelap itu.

Tetapi, aku merunduk. Tangan itu hanya menghantam permukaan batu.

Makhluk itu perlahan mengangkat lengannya dan meninggalkan kami. Dia pun melata ke tempat baru. Pergerakannya sunyi, tetapi kesunyian itu begitu bising hingga menggetarkan jiwaku.

Tubuhnya yang tidak karuan begitu panjang. Aku dan Erdiwan menunggu hingga lima menit berlalu. Saat menit kelima tiba, kami telah melihat buntut makhluk itu meninggalkan kami.

Aku kemudian melepaskan semua nafasku. Rasanya seperti semua bola-bola berduri ketakutan, tegang, ku tumpahkan ke dalam lubang sempit ini.

"Kau baik-baik saja Nak?" ucapku tegas.

Dia tidak menjawabku. Aku tidak bisa melihat wajahnya, namun hembusan nafasnya yang tidak beraturan menyampaikan pesan dengan jelas, "Aku takut. Aku tidak ingin mati sekarang."

Aku pun kembali menyahut dengan bisikan keras, "Erdiwan, kamu masih di situ?!"

"M-masih Pak."

"Baiklah. Kamu baik-baik saja? Ada luka atau apa?

"Celanamu basah?"

"Tidak, tidak," balasnya terkekeh. Tetapi, tawa itu tidak menyembunyikan rasa takut pada tempo nafasnya.

Dia kemudian mencoba mengalihkan perhatian dengan memikirkan sebuah solusi. "Apakah Bapak sudah siap keluar?"

"Kamu ada ide?"

"Kaki dan lengan saya cukup panjang, saya bisa menopang Bapak di bahu saya.

"Bapak bisa menarik saya ke atas kemudian. Mumpung Bapak lebih kuat dari saya."

"Hhhaah…, baiklah."

"Saya akan jongkok sekarang. Bapak bisa injak saya langsung di pundak."

Dan aku pun berjalan, meraba-raba dalam kegelapan mencari tubuhnya.

Lalu, bruk! Aku tersandung oleh punggungnya. Wajahku menghantam bebatuan kasar.

"Bapak baik-baik saja?!" tanggapnya khawatir.

"Sudah! Jangan khawatirkan aku. Angkat aku sekarang!" tegasku kembali.

Dengan sekuat tenaga dia mencoba berdiri untuk mengangkat ku. Dari rintihannya, jelas sekali dia mencoba melebihi tenaganya.

"Sia-sia kau tinggi tapi tenagamu nol Nak!

"Saat kita keluar nanti, aku akan bawa kamu ke gym. Paham?!" ucapku padanya.

"B-b-baik Pak! Eeergh!!!" balasnya.

Satu.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Enam.

Tujuh.

Delapan.

Delapan detik berlalu hingga aku bisa tiba di atas permukaan. Aku mendarat pada perutku lalu berputar menghadap dia.

"Mana tanganmu!"

Dia menjulurkan tanggannya pada kedua tanganku yang tergantung membuka.

Aku pun menarik dia dengan seluruh tenaga dalam tubuh renta ini. "Satu!"

Dia pun terhempas mengudara. Tubuh 183 cm Erdiwan melayang satu centi dari permukaan dadaku.

Saat dia mendarat, dia mengerang kesakitan, "Arrgh!"

"Kenapa?! Sakit? Tangguhkan Nak. Aku perlu kamu tangguh di sini."

"Ya-ya Pak!"

Aku bisa mendengar dia bergesekan dengan permukaan tanah, berusaha keras untuk bisa kembali berdiri.

“Pak Harian, aku menemukan sesuatu!” serunya padaku kemudian. “Dari bentuknya, sepertinya ini adalah headlights.”

“Coba nyalakan!”

Suara cetikan tombol terdengar jelas. Cahaya pun akhirnya mengisi ruangan goa ini. Basah. Gelap. Muram.

Di ujung cahaya itu, suatu yang merusak mental seseorang terlihat. Seorang manusia. Seorang penambang tersandar lemas pada dinding goa. Tetapi, cara dia bersandar pun sangat mengganggu pikiran. Punggungnya terlihat seperti dilengketkan oleh getah merah yang belum kering hingga sekarang. Dan yang sangat menggetarkan lututku adalah kenyataan bahwa tubuh itu terbelah secara diagonal, dari pinggang kanan hingga kepada paha kirinya dirobek dengan paksa.

Baju yang dia gunakan pun sangat aku kenal. Seragam yang dikeluarkan oleh PT. Energi Etam Semesta lima tahun lalu. Orang ini, aku mengenalnya.

Tiba-tiba, aku bisa merasakan takutku meremas jiwaku. Namun, tubuhku tetap merah dibakar amarah. Amarah akan kebodohanku mengiyakan rencana laknat itu. Amarah akan kebodohanku anakku terbaring lemah tak kunjung sadar.

Aku muntah. Kerongkonganku panas, membuang lahar amarah ke permukaan tanah.

“Hhah…, hhah…,” hembusku lega. Aku kemudian mengangkat kepala. “Kau tidak apa-apa Erdiwan?”

Sunyi.

“Erdi?”

Anak muda itu terdiam, membeku takut menghadap pada wajah mayat itu. Tubuhnya yang cokelat berubah menjadi abu-abu seiring darahnya berat akan teror.

“Erdiwan! Kamu tidak apa-apa Nak?”

“Ah…, iya. S-saya tidak apa-apa Pak. S-s-saya hanya terkejut saja melihat tubuh itu. Banyak yang bisa terjadi kalau orang tertimbun bukan?”

Walau aku keras pada dia, aku khawatir untuk anak muda itu. Mungkin ini juga yang membuatku sedikit kesal setiap kali dia berbicara. Dia selalu mencari sisi positif dari suatu tragedi. Padahal, semua tahu itu hanya cara dia menolak kenyataan. Terutama kenyataan kita saat ini. Kenyataan bahwa, kita di ambang maut seperti karyawan itu.

“Bapak mencium itu?”

“Ya, metana.”

“M-mungkin yang tadi kita lihat tadi cuma halusinasi dari konsentrasi metana. O-orang itu hanya korban dari pergerakan lempeng.

“Ya kan?”

......CATATAN......

2. BPM\, Beats per Minute\, ukuran kecepatan jantung seseorang

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!