LAPORAN F.E.P. III: ERDIWAN; BERJUDI DENGAN NASIB

Trek ekskavator berderu keras, menggiling permukaan batuan dan melontarkannya ke titik kami berdua berdiri.

Sejumlah batu menghantam wajah kami, tetapi kami tidak menghiraukan. Tubuh kami sudah mati rasa karena gejolak adrenalin dan rasa takut akan ancaman tergiling oleh trek PC4000 [3] itu.

“Pak Harian!” seruku kepada beliau. “Kita harus naik ke dalam kokpit ekskavator. Rangkanya bisa melindungi kita dari runtuhan batuan.”

“Dan menurutmu kita akan naik ke atas bagaimana?! Bilah trek alat itu akan menggiling kita lebih dulu sebelum kita bisa memanjat alat berat terkutuk itu!”

“Kita lakukan seperti tadi! Bapa –”

Bruff!

Getaran dari gemuruh mesin alat raksasa itu menggoyahkan tanah tempat kami berdiri, kami pun terpeleset jatuh.

Sejumlah seling [4] setebal 4cm yang ada pada alat itu pun mengayun dengan begitu garang. Salah satu mata seling itu menghantam Pak Harian di dada.

Setelah dua seling, dua buah batu pun terjatuh padaku. Satu batu menghantamku pada Hard-Hat yang aku gunakan. Satu batu menghantam pada tulang kerah. “AAARRRGHH!” teriakku merasakan tulangku retak.

“ERDIWAN!” seru beliau mencariku. “Jangan kamu mati di sini!

“Sampai kamu mati, aku yang akan memastikan nyawamu tidak akan masuk surga atau neraka Nak!”

“A-ak-aku tidak apa-apa Pak Harian!” balasku sambil berkeras mempertahankan kuda-kudaku dan menahan bahuku yang terluka.

Tetapi, waktu singkat. Aku pun berseru, “P-Pak, kita ulangi seperti di lubang tadi. Anda melempar saya kepada seling ini dan saya menarik Bapak!”

“Dengan apa bocah bodoh! Kamu dengan dua lengan saja sudah tidak kuat mengangkat aku! Sekarang tanganmu hanya satu!”

“Aku bi –!”

“Diam!” seru beliau kesal seiring menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal. Dia kemudian bergegas kepadaku dan menarikku pada kerah seiring melanjutkan, “Sebaiknya kamu benar Nak! Nasibmu ada di tanganku.”

Badan dari ekskavator itu terperosok, mendekat dengan laju kepada kami. Sejumlah batuan terlontar ke arah kami. Kami melindungi diri dengan lengan, namun kami tahu itu sia-sia.

“Arrhgg!” erang kami berdua menahan sakit dan memar.

Kami pun melihat seling yang bergantung semakin dekat.

Pak Harian pun bergegas menarik massa tubuhnya dengan satu lengan. Satu lengan beliau menopangku pada kerah baju.

Tepat saat tapak kaki kami terangkat dari permukaan tanah yang rapuh, tubuh ekskavator itu semakin menembus bawah tanah. Gemuruh dan getaran meruntuhkan lantai tempat kami berdiri.

Ekskavator itu seketika melaju ke bawah tanah. “Bertahan Nak, ini akan meny –”

Bruggh!!! Bunyi tubuh kami menghantam tubuh ekskavator yang melaju ke dalam perut bumi.

Kami berdua terpisah, tetapi tubuh kami menempel erat pada permukaan alat berat karena tekanan udara.

Aku terbaring pada wajah ekskavator dengan kepalaku begitu dekat dengan trek yang melaju secepat 40KPH.

Aku tidak bisa melihat posisi Pak Harian, tetapi aku bisa mendengar raungan kesal beliau.

Seiring kami melaju, aku merasakan lengan bajuku dihantam secara bertubi-tubi oleh mata dari trek alat raksasa ini yang masih berputar.

“Pak Harian!” seruku panik. “Bantu aku berdiri Pak! Bajuku sudah mulai tersangkut trek alat ini!”

Aku tidak mendengar tanggapan dari beliau. Namun, aku perlahan merasakan punggungku bergeser semakin dekat pada titik tengah alat raksasa ini.

“Ada ide lain lagi bocah sebelum kita bertemu ajal kita!” balasnya kesal padaku. “Karena aku tidak mau mati di sini. Aku tidak mau mati sebelum aku membayar hutangku ke keluargaku!”

“Ada Pak!” balasku kepadanya. “Kita harus merangkak ke belakang unit ini sebelum dia menyentuh tanah keras, meratakan kita dengan bumi!”

Kami berdua pun bergegas merangkak pada wajah ekskavator yang melaju secepat 50KPH ke dalam kerak Bumi ke arah platform kokpit mesin raksasa ini. Kami tidak memiliki menit, hanya detik. Tidak hanya itu kesengsaraan kami, ribuan batuan menghajar kami hingga tubuh ini penuh memar dan luka. Tanganku pun mulai lemah.

Dengan bahu yang cacat, aku berhasil bergegas merapat kepada Pak Harian. Aku berseru padanya, “KITA HARUS SEGERA KE PLATFORM KOKPIT SEBELUM ALAT RAKSASA INI ME –”

Kami tiba-tiba terhempas seketika, seiring ekskavator ini menghantam permukaan tanah yang lebih padat.

Lenganku refleks untuk menggenggam railing [5] yang berada setengah detik di depan mata. “ERDI!!!” seru Pak Harian yang bergegas meraih pada kakiku.

“YYYAAAAARRRGGHHHH!!!!” teriakku yang bertahan pada ekskavator. Kami aman untuk sementara. Tetapi, keamananku dibayar oleh sendi bahuku yang terlepas.

“BERTAHAN NAK!” seru Bapak Tua itu. “Aku akan menarikmu ke atas!” lanjutnya sambil merangkak pada tubuhku dan terus kepada platform kokpit.

Dengan penuh jerih payah, Pak Harian yang pertama memijakkan kaki pada platform. “GIGIT SESUATU NAK, KARENA INI AKAN SANGAT SAKIT!”

Aku tidak menjawab beliau karena mulai bergegas mencari buku sakuku. Aku kemudian menariknya dari kantong baju dan menggigitnya sekuat tenaga.

Aku pun menatap mata beliau dan mengangguk. Dia sudah dapat menarikku.

“HRMPH!!!” rintihku perih seiring tubuhku ditarik oleh Pak Harian. Beberapa kali tubuh dini terhantam oleh besi-besi yang bergetar.

Akhirnya, aku terbaring di atas platform kokpit.

Aku berharap aku bisa menghadap kepada langit untuk menarik nafas.

Tetapi, kenyataan tidak sebaik itu.

Wajahku terhantam pada permukaan besi keras, Pak Harian pun terbaring paksa pada punggungnya, seiring ekskavator PC4000 berhenti melaju tiba-tiba. “BAAAJJIINGGAAAN!!! KAKIKU!!!” teriak beliau merintih perih.

Wajahku berlumur darah dari luka di kening dan mimisan. Semua yang aku lihat berwarna merah. Aku melihat beliau menarik kakinya yang memar kepada dada beliau karena menghantam rivet pada permukaan platform pada dadanya.

“P-pa-k H-Harian tidak apa-apa? Uuhhuk!” rintihku kepada beliau seiring aku mendorong tubuh untuk berdiri. “ARGGHH!!!” teriakku, aku diingatkan oleh rasa sakit bahwa bahuku terlepas dari tempatnya.

“Jangan banyak bergerak bocah! Aku tahu kamu payah menahan sakit! Baring sana!”

“Diam Bapak Tua!” seruku kesal. “Bisakah Bapak berbicara baik sekali saja!”

“Buat apa?! Akankah dunia berhias pelangi? Akankah perang di Timur Tengah berhenti?! Akankah p –!”

Mulut Bapak Tua berhenti tiba-tiba.

Aku tidak bisa melihat wajah beliau dengan jelas. Tetapi, kesunyian dia begitu menusuk telinga. Kesunyian dia adalah rasa penyesalan.

Aku pun menyadari diriku telah keterlaluan. “M-m-maafkan saya Pak. Aku –”

“Sudah! Kamu tidak usah bicara. Aku tahu aku salah.”

Kemudian, aku melihat siluet merah beliau membesar. Ia merangkak mendekat kepadaku. “Kamu bisa membentangkan tangan kananmu? Bahumu terlepas dari soketnya kan?”

“Y-ya Pak.”

“Mana buku sakumu? Gigit lagi!”

Aku pun mengikuti perintah beliau.

Aku bersusah-payah membentangkan lengan kananku sembari menahan sakit luar biasa. Aku kemudian merasakan tapak sepatu safety beliau di atas rusukku dan kaki kanannya yang patah bertumpu pada perutku. “HRMPH!!!” rintihnya menahan teriakan sakit.

“Bertahanlah Nak, ini akan sangat sakit.

“Mau ku hitung?”

Aku mengangguk mengiyakan.

“Di tiga?”

Aku kembali mengangguk mengiyakan.

“Satu –”

“PBBRAAAHHH!!! HHA! HHA! HAA…!” teriakku seiring meludahkan buku sakuku dari mulut.

Pak Harian kemudian menarik tubuhnya, menggeser kakinya dari atas tubuhku. “Coba gerakkan, apakah sudah nyaman?”

“Masih sakit. Tapi, lebih baik.”

“Sekarang, bantu aku berdiri bocah! Aku harus membersihkan wajahmu dari darah.”

“Pakai apa Pak?”

“Sudah, berdiri saja kamu dan jangan banyak tanya.”

Walaupun berat, aku tetap berdiri. Kakiku tergopoh membentuk kuda-kuda.

“Mari, lengan bapak.”

Dia merangkulku dengan kuat. Kami berdiri bersama.

“Tuntun aku ke kokpit Nak!”

“Ya Pak!”

Aku mendengar suara gagang pintu kokpit, tetapi aku tidak mendengar udara kokpit ekskavator keluar.

“Ada apa Pak?”

“Pintunya terlas pada kokpit.”

“Hah? Bagaimana?”

“Tidak perlu kamu pikirkan. Yang sekarang harus kau lakukan hanya topang badan orang tua ini.”

“Baik Pak.”

Aku kemudian mendengar suara ikat pinggang dibuka. Suara itu disusul oleh suara kulit yang sedang digulung.

Terakhir, aku mendengar kaca pecah. Serpihannya tumpah ke atas permukaan besi bagai hujan.

“Di mana lagi anak itu menaruh P3K-nya,” ucapnya seiring merogoh-rogoh isi kokpit.

Dia kemudian menghela nafas, membuang rasa kesalnya. Aku mendengar beliau menarik sebuah tas kain sambil menggumam, “Aku sudah bilang sama anak itu untuk menaruh P3K ini di ‘tempat yang terlihat.’ Akan ku urus nanti.”

Suara resleting membuka, “Aku akan membasuh matamu pakai Swab Alkohol,” seiring mencari ke dalam tas.

“Baik Pak!”

Aku kemudian merasakan sebuah tekanan pada pelupuk mataku.

“Nak, aku akan mengatakan sesuatu dan aku ingin kamu melaksanakannya. Mengerti?!”

“Mengerti Pak.”

“Saat kamu membuka mata, kamu tidak boleh berteriak, kamu tidak boleh melompat kaget, atau segala tindakan banci sejenis.”

“Maksud Bapak?”

“Ini bukan permohonan Nak! Ini perintah! Hanya ‘iya’ dan ‘tidak’!

“Jadi yang mana?”

“Iya Pak, mengerti!”

Mataku terbuka dan nafasku meninggalkan paru-paru.

“B-b-bagaimana bisa Pak?”

CATATAN

3. Ekskavator PC4000\, alat berat yang memiliki tinggi 10m. Umumnya digunakan oleh kegiatan tambang;

4. Seling\, Bahasa Indonesia serapan dari kata sling atau kabel besi;

5. Railing\, Bahasa Inggris dari "Pagar Besi". Umumnya terpasang pada alat berat tambang dengan ketinggian 10m lebih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!