Perjalanan Alam Fana
“Hei, bocah! Kembalikan roti kering itu!” teriak seorang pedagang roti yang mengejar seorang anak berusia tujuh tahun di tengah jalan kota.
“Enak saja! Aku susah-susah mencurinya, malah disuruh mengembalikan. Kalau mau, ambil sendiri sini!” balas bocah pencuri roti itu dengan lantang.
"Awas kau, bocah! Kalau sampai tertangkap, habislah kau di tanganku!" balas pedagang roti dengan nada geram.
"Sialan bocah tengik itu. Kalau saja aku tak dilarang menggunakan tenaga dalam, sudah habis kau!" Pedagang roti itu terus berpikir, mencari cara untuk menangkap si pencuri.
Tiba-tiba, "Agh!" benturan keras terjadi antara si bocah dan seorang pria tua yang terlihat berusia sekitar 60-70 tahun.
“Hahaha, akhirnya dapat juga kau!” Pedagang roti itu tersenyum puas sambil menarik lengan bocah pencuri.
“Cih! Hari ini benar-benar sial bagiku,” pikir si bocah sambil meringis menahan sakit akibat benturan tadi.
“Lepaskan dia,” terdengar suara dingin dari balik tudung seorang pria misterius.
“Hei, kau! Apa kau kakek si bocah ini, Pak Tua?” bentak pedagang roti.
Tatapan tajam pria bertudung itu tampak dari balik kain penutup wajahnya, dan aura gelap berwarna hitam pekat menguar dari tubuhnya. Dia mengeluarkan sebuah koin perak dari sakunya dan tersenyum tipis.
“Ambil ini, lalu pergilah,” ucap si kakek dingin, berhenti tepat di samping bocah pencuri.
"Gubrak!" Pedagang roti terjatuh dengan mulut menganga, ketakutan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia segera melarikan diri.
"....." Si bocah pencuri terdiam, masih bingung kenapa dirinya diselamatkan.
“Ikut aku, nak,” ujar si kakek sambil berjalan pergi.
“Apa untungnya buatku kalau aku mengikutimu?” tanya si bocah, meski tetap melangkah mengikuti kakek itu dari belakang.
“Aku sudah menyelamatkanmu, jadi kau berutang padaku,” jawab si kakek, disertai tawa kecil penuh kemenangan.
"Kakek tua sialan," gerutu si bocah dalam hati.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya suara langkah kaki yang terdengar. Tanpa berbicara, mereka terus berjalan menyusuri jalanan kota, hingga akhirnya keluar dari gerbang kota dan sampai di hutan belantara yang lebat. Di tengah hutan, berdiri sebuah gubuk kecil.
Si kakek membuka pintu gubuk itu. Meski sederhana, gubuk tersebut memiliki dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi.
"Tak mungkin si tua bangka ini hidup sendirian di sini, tanpa penghuni lain di sekitar," pikir si bocah sambil memperhatikan sekitar.
“Cepat ke sini, bocah! Jangan diam saja. Hutan ini penuh monster dengan tingkat kultivasi tinggi,” ujar si kakek, mencoba menakut-nakuti.
“Ya...yaaa,” sahut si bocah kaget, tersadar dari lamunannya.
Meski berada di tengah hutan, gubuk itu terlihat sangat rapi dan terawat, seolah jauh dari kesan menyeramkan.
"Duduklah di sana," ucap si kakek sambil berjalan menuju dapur.
“Tempat ini sangat rapi dan bersih, tapi... kenapa kakek memilih tinggal di sini? Bukankah hutan ini terkenal dengan monster-monster kuat?” pikir si bocah, penuh pertanyaan.
"Heii, bocah! Nanti akan kujelaskan. Sekarang, siapa namamu?" tanya si kakek, berjalan dari dapur ke ruang tamu sambil membawa segelas air.
"Tunggu, apa kakek bisa mendengar pikiranku?" tanya si bocah dengan antusias.
“Bisa, tapi ada syaratnya,” jawab si kakek, tersenyum khas.
“Tolong ajari aku menjadi kultivator, kakek! Aku ingin menyingkirkan semua yang jahat,” ucap si bocah penuh semangat, lalu membungkuk hormat.
"Bangun, bocah! Sebut namamu dulu, baru akan kupertimbangkan," ujar si kakek dengan tatapan tajam dan aura pembunuh yang kuat.
"Saya tidak punya nama," jawab si bocah sambil berdiri tegak.
"Kalau begitu, ceritakan asal usulmu," pinta si kakek sambil duduk di kursi.
"Saya anak yatim piatu. Dari usia satu sampai lima tahun, saya tinggal di panti asuhan. Namun, ketika saya berumur lima, panti asuhan kami hancur akibat perang. Anak-anak lain melarikan diri, dan saya juga kabur. Sejak itu, saya hidup dengan mencuri untuk bertahan,” jelas si bocah.
“Apakah kau tak pernah tertangkap?” tanya si kakek dengan kening berkerut.
“Sering tertangkap, dan akibatnya banyak luka di tubuhku. Lihat saja,” bocah itu membuka bajunya yang berlubang, menunjukkan bekas luka-luka di tubuhnya.
“Anak ini telah menjalani hidup yang keras. Pantas saja dia tak takut dengan auraku. Mungkin suatu saat dia akan menjadi pendekar hebat,” pikir si kakek sambil tersenyum.
“Sujudlah tiga kali jika kau ingin menjadi muridku, tapi ingat, ada tiga syarat yang harus kau patuhi,” ujar si kakek serius.
Tanpa pikir panjang, si bocah langsung bersujud tiga kali di hadapan si kakek.
“Baiklah. Syarat pertama, gunakan ilmu ini hanya untuk hal yang kau yakini benar. Syarat kedua, ikuti kata hatimu. Syarat ketiga, capailah puncak kultivasi,” jelas si kakek dengan senyum di balik jenggotnya yang tebal.
"Baik, Guru! Saya akan lakukan yang terbaik," jawab si bocah penuh kegembiraan.
"Namamu sekarang adalah Luo Chen. Luo adalah marga milikku,” ujar si kakek masih dengan senyuman.
“Terima kasih atas nama yang telah diberikan, Guru,” ucap Luo Chen, penuh rasa syukur.
"Panggil aku Guru Wu. Mulai besok, kau akan menjalani pelatihan keras. Sekarang, makan roti itu dan minum airnya," perintah Guru Wu, lalu beranjak pergi.
"Baik, Guru Wu. Saya akan mempersiapkan diri untuk besok," jawab Luo Chen dengan semangat.
"Jangan lupa, karena sudah sore, cepat tidur di kamar kosong itu. Ada banyak buku di rak, bacalah jika mau," ujar Guru Wu, suaranya masih terdengar meskipun dia sudah pergi.
Luo Chen berjalan menuju kamar dan terkejut melihat banyak buku di rak.
“Wow, banyak sekali buku di sini! Mungkin ada tentang bahasa lain juga,” gumamnya sambil memeriksa koleksi buku di rak.
Luo Chen akhirnya terhanyut dalam informasi yang ia baca tentang dunia kultivasi. Semangatnya berkobar untuk memulai pelatihan, meskipun dia sedikit kecewa dengan cacat dalam kultivasinya sendiri.
Luo Chen terus menelusuri deretan buku di rak, matanya berbinar-binar dengan rasa ingin tahu yang semakin memuncak. Setiap buku di sana seolah memanggilnya, menawarkan petualangan baru dan pengetahuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ini dia, buku tentang tingkatan monster! Mungkin aku bisa memahami lebih baik dunia yang akan segera kuhadapi,” gumam Luo Chen dengan semangat yang masih membara.
Dia duduk di lantai dan membuka salah satu buku yang terlihat paling tebal. Di dalamnya, ada gambar-gambar makhluk buas dengan deskripsi lengkap tentang kekuatan dan kelemahan mereka. Beberapa nama monster tampak asing, tetapi setiap kata tertulis dengan jelas, membuat Luo Chen semakin tertarik.
“Besok, aku harus siap. Aku tak akan pernah menjadi bocah pencuri lagi. Aku akan menjadi seorang kultivator yang kuat!” tekadnya bulat, tatapan matanya semakin tajam, penuh keyakinan.
Tak terasa, malam semakin larut. Angin dingin dari luar gubuk berhembus lembut melalui celah-celah jendela. Luo Chen akhirnya menutup buku tersebut, meregangkan tubuhnya yang lelah, lalu berjalan ke tempat tidur. Pikirannya masih penuh dengan apa yang akan terjadi esok hari.
"Aku siap untuk apapun yang terjadi," bisiknya pelan sebelum akhirnya tertidur pulas di bawah cahaya rembulan yang lembut, menyelimuti malam itu dengan kedamaian.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Jamal Amir
test dulu,, semoga gak mengecewakan
2024-10-21
2
Maz Tama
ok pantau dulu
2024-10-18
1
Saga¥
keren semangat Thor
2024-06-03
2