“Hei, bocah! Kembalikan roti kering itu!” teriak seorang pedagang roti yang mengejar seorang anak berusia tujuh tahun di tengah jalan kota.
“Enak saja! Aku susah-susah mencurinya, malah disuruh mengembalikan. Kalau mau, ambil sendiri sini!” balas bocah pencuri roti itu dengan lantang.
"Awas kau, bocah! Kalau sampai tertangkap, habislah kau di tanganku!" balas pedagang roti dengan nada geram.
"Sialan bocah tengik itu. Kalau saja aku tak dilarang menggunakan tenaga dalam, sudah habis kau!" Pedagang roti itu terus berpikir, mencari cara untuk menangkap si pencuri.
Tiba-tiba, "Agh!" benturan keras terjadi antara si bocah dan seorang pria tua yang terlihat berusia sekitar 60-70 tahun.
“Hahaha, akhirnya dapat juga kau!” Pedagang roti itu tersenyum puas sambil menarik lengan bocah pencuri.
“Cih! Hari ini benar-benar sial bagiku,” pikir si bocah sambil meringis menahan sakit akibat benturan tadi.
“Lepaskan dia,” terdengar suara dingin dari balik tudung seorang pria misterius.
“Hei, kau! Apa kau kakek si bocah ini, Pak Tua?” bentak pedagang roti.
Tatapan tajam pria bertudung itu tampak dari balik kain penutup wajahnya, dan aura gelap berwarna hitam pekat menguar dari tubuhnya. Dia mengeluarkan sebuah koin perak dari sakunya dan tersenyum tipis.
“Ambil ini, lalu pergilah,” ucap si kakek dingin, berhenti tepat di samping bocah pencuri.
"Gubrak!" Pedagang roti terjatuh dengan mulut menganga, ketakutan. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, dia segera melarikan diri.
"....." Si bocah pencuri terdiam, masih bingung kenapa dirinya diselamatkan.
“Ikut aku, nak,” ujar si kakek sambil berjalan pergi.
“Apa untungnya buatku kalau aku mengikutimu?” tanya si bocah, meski tetap melangkah mengikuti kakek itu dari belakang.
“Aku sudah menyelamatkanmu, jadi kau berutang padaku,” jawab si kakek, disertai tawa kecil penuh kemenangan.
"Kakek tua sialan," gerutu si bocah dalam hati.
Keheningan menyelimuti mereka berdua, hanya suara langkah kaki yang terdengar. Tanpa berbicara, mereka terus berjalan menyusuri jalanan kota, hingga akhirnya keluar dari gerbang kota dan sampai di hutan belantara yang lebat. Di tengah hutan, berdiri sebuah gubuk kecil.
Si kakek membuka pintu gubuk itu. Meski sederhana, gubuk tersebut memiliki dua kamar, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi.
"Tak mungkin si tua bangka ini hidup sendirian di sini, tanpa penghuni lain di sekitar," pikir si bocah sambil memperhatikan sekitar.
“Cepat ke sini, bocah! Jangan diam saja. Hutan ini penuh monster dengan tingkat kultivasi tinggi,” ujar si kakek, mencoba menakut-nakuti.
“Ya...yaaa,” sahut si bocah kaget, tersadar dari lamunannya.
Meski berada di tengah hutan, gubuk itu terlihat sangat rapi dan terawat, seolah jauh dari kesan menyeramkan.
"Duduklah di sana," ucap si kakek sambil berjalan menuju dapur.
“Tempat ini sangat rapi dan bersih, tapi... kenapa kakek memilih tinggal di sini? Bukankah hutan ini terkenal dengan monster-monster kuat?” pikir si bocah, penuh pertanyaan.
"Heii, bocah! Nanti akan kujelaskan. Sekarang, siapa namamu?" tanya si kakek, berjalan dari dapur ke ruang tamu sambil membawa segelas air.
"Tunggu, apa kakek bisa mendengar pikiranku?" tanya si bocah dengan antusias.
“Bisa, tapi ada syaratnya,” jawab si kakek, tersenyum khas.
“Tolong ajari aku menjadi kultivator, kakek! Aku ingin menyingkirkan semua yang jahat,” ucap si bocah penuh semangat, lalu membungkuk hormat.
"Bangun, bocah! Sebut namamu dulu, baru akan kupertimbangkan," ujar si kakek dengan tatapan tajam dan aura pembunuh yang kuat.
"Saya tidak punya nama," jawab si bocah sambil berdiri tegak.
"Kalau begitu, ceritakan asal usulmu," pinta si kakek sambil duduk di kursi.
"Saya anak yatim piatu. Dari usia satu sampai lima tahun, saya tinggal di panti asuhan. Namun, ketika saya berumur lima, panti asuhan kami hancur akibat perang. Anak-anak lain melarikan diri, dan saya juga kabur. Sejak itu, saya hidup dengan mencuri untuk bertahan,” jelas si bocah.
“Apakah kau tak pernah tertangkap?” tanya si kakek dengan kening berkerut.
“Sering tertangkap, dan akibatnya banyak luka di tubuhku. Lihat saja,” bocah itu membuka bajunya yang berlubang, menunjukkan bekas luka-luka di tubuhnya.
“Anak ini telah menjalani hidup yang keras. Pantas saja dia tak takut dengan auraku. Mungkin suatu saat dia akan menjadi pendekar hebat,” pikir si kakek sambil tersenyum.
“Sujudlah tiga kali jika kau ingin menjadi muridku, tapi ingat, ada tiga syarat yang harus kau patuhi,” ujar si kakek serius.
Tanpa pikir panjang, si bocah langsung bersujud tiga kali di hadapan si kakek.
“Baiklah. Syarat pertama, gunakan ilmu ini hanya untuk hal yang kau yakini benar. Syarat kedua, ikuti kata hatimu. Syarat ketiga, capailah puncak kultivasi,” jelas si kakek dengan senyum di balik jenggotnya yang tebal.
"Baik, Guru! Saya akan lakukan yang terbaik," jawab si bocah penuh kegembiraan.
"Namamu sekarang adalah Luo Chen. Luo adalah marga milikku,” ujar si kakek masih dengan senyuman.
“Terima kasih atas nama yang telah diberikan, Guru,” ucap Luo Chen, penuh rasa syukur.
"Panggil aku Guru Wu. Mulai besok, kau akan menjalani pelatihan keras. Sekarang, makan roti itu dan minum airnya," perintah Guru Wu, lalu beranjak pergi.
"Baik, Guru Wu. Saya akan mempersiapkan diri untuk besok," jawab Luo Chen dengan semangat.
"Jangan lupa, karena sudah sore, cepat tidur di kamar kosong itu. Ada banyak buku di rak, bacalah jika mau," ujar Guru Wu, suaranya masih terdengar meskipun dia sudah pergi.
Luo Chen berjalan menuju kamar dan terkejut melihat banyak buku di rak.
“Wow, banyak sekali buku di sini! Mungkin ada tentang bahasa lain juga,” gumamnya sambil memeriksa koleksi buku di rak.
Luo Chen akhirnya terhanyut dalam informasi yang ia baca tentang dunia kultivasi. Semangatnya berkobar untuk memulai pelatihan, meskipun dia sedikit kecewa dengan cacat dalam kultivasinya sendiri.
Luo Chen terus menelusuri deretan buku di rak, matanya berbinar-binar dengan rasa ingin tahu yang semakin memuncak. Setiap buku di sana seolah memanggilnya, menawarkan petualangan baru dan pengetahuan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Ini dia, buku tentang tingkatan monster! Mungkin aku bisa memahami lebih baik dunia yang akan segera kuhadapi,” gumam Luo Chen dengan semangat yang masih membara.
Dia duduk di lantai dan membuka salah satu buku yang terlihat paling tebal. Di dalamnya, ada gambar-gambar makhluk buas dengan deskripsi lengkap tentang kekuatan dan kelemahan mereka. Beberapa nama monster tampak asing, tetapi setiap kata tertulis dengan jelas, membuat Luo Chen semakin tertarik.
“Besok, aku harus siap. Aku tak akan pernah menjadi bocah pencuri lagi. Aku akan menjadi seorang kultivator yang kuat!” tekadnya bulat, tatapan matanya semakin tajam, penuh keyakinan.
Tak terasa, malam semakin larut. Angin dingin dari luar gubuk berhembus lembut melalui celah-celah jendela. Luo Chen akhirnya menutup buku tersebut, meregangkan tubuhnya yang lelah, lalu berjalan ke tempat tidur. Pikirannya masih penuh dengan apa yang akan terjadi esok hari.
"Aku siap untuk apapun yang terjadi," bisiknya pelan sebelum akhirnya tertidur pulas di bawah cahaya rembulan yang lembut, menyelimuti malam itu dengan kedamaian.
"Heii bocahh tengik, sudah ku bilang untuk istirahat bukan? Taruh buku itu, besok akan aku jelaskan," ujar Guru Wu yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Iya, iya, Guru Wu," sahut Luo Chen sambil menaruh buku di genggamannya dan segera naik ke tempat tidur.
"Dasar anak ini, terlalu bersemangat. Mungkin mulai besok aku akan ajarkan dia latihan dasar," pikir si kakek tua sambil berdiri di depan pintu kamar.
Waktu terus berjalan, hanya angin malam yang berhembus, membuat suasana sedikit mencekam. Perlahan, malam berganti pagi, dan matahari mulai muncul dari balik cakrawala, mengakhiri ketenangan malam.
"Chen'er, bangun sekarang," ucap Guru Wu sambil membalik tempat tidur Luo Chen dengan kasar.
"Ahhh, iya Guru," sahut Luo Chen, menggosok matanya yang masih mengantuk sebelum keluar dari kamar.
"Ini masih pukul lima pagi. Kalau mau mandi, isi dulu tong air di belakang rumah dengan air sungai."
"Embernya di mana, Guru? Dan sungainya ke arah mana?" tanya Luo Chen, langsung tanpa basa-basi.
"Embernya ada di samping tong, dan ikuti saja jalan setapak di samping rumah untuk sampai ke sungai," jawab Guru Wu dengan senyum sinis, seolah menantang Luo Chen.
Tanpa menunggu lebih lama, Luo Chen segera mengambil ember dan bergegas mengikuti jalan setapak yang dibuat Guru Wu menuju sungai.
"Semoga bocah itu bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik," pikir Guru Wu, mengingat masa lalu dan murid-murid yang pernah ia ajar.
Di sisi lain, Luo Chen terus berjalan di tengah hutan, hanya ditemani suara langkah kakinya yang menggema. Jalanan tampak sepi, membuat suasana hutan menjadi agak menakutkan.
"Tiba-tiba, 'Boommmm,' sebuah ledakan keras terdengar dari sisi kiri Luo Chen. Seekor Gaurguin, monster seperti kerbau berbulu tebal, muncul dari dalam semak belukar dan langsung menyerang!"
Namun, Gaurguin itu terhantam sesuatu yang tak kasat mata dan terpental ke belakang, berusaha menyerang kembali tapi terhenti lagi oleh penghalang tak terlihat.
"Apa yang baru saja terjadi?" Luo Chen mendekati penghalang tersebut, mengulurkan tangan untuk menyentuhnya. "Apakah ini semacam penghalang energi?"
"Bocah, kenapa kau berhenti di situ?" suara Guru Wu tiba-tiba terdengar dari kejauhan, membuat Luo Chen terlonjak kaget.
"Aku hanya ingin memastikan ini, Guru. Apakah ini semacam Array pelindung?"
"Pandanganmu lumayan tajam juga. Memang benar, ini adalah Array pelindung yang aku buat agar kau aman selama menjalani latihan. Bahkan monster tingkat Legendary sekalipun akan kesulitan menembusnya," jawab Guru Wu tanpa memperdulikan Gaurguin yang mencoba merusak Array tersebut.
"Tingkat Legendary? Bagaimana caranya kita mengetahui tingkat monster, Guru?" tanya Luo Chen dengan rasa penasaran.
"Melalui aura yang mereka keluarkan. Coba tebak, Gaurguin ini berada di tingkat mana?"
"Mungkin di tingkat Unique, sekitar level 36?" tebak Luo Chen ragu.
"Salah! Gaurguin ini hanya berada di tingkat Ultra Rare, level 29. Kau bisa mengetahuinya dari energi yang mengelilingi tubuhnya," jawab Guru Wu dengan yakin.
"Menarik," gumam Luo Chen, mencoba mencerna semua penjelasan itu.
Guru Wu lalu mengambil ranting kayu dari tanah dan mengayunkannya ke arah Gaurguin sambil bergumam, "Jurus Rasi Bintang Aquila."
Dari belakang Guru Wu, cahaya putih membentuk sosok elang raksasa yang terbang dengan kecepatan tinggi, menabrak Gaurguin dan memotongnya menjadi tiga bagian.
Sebuah mutiara merah muncul dari tubuh monster itu, bersinar terang dengan aura gelap yang mengerikan.
"Chen'er, coba lihat mutiara ini. Apa kau merasa nyaman berada di dekatnya?" tanya Guru Wu, memperlihatkan mutiara tersebut kepada Luo Chen.
"Jujur, aku merasa tidak nyaman, Guru. Seperti ada sesuatu yang menolak kehadirannya," jawab Luo Chen dengan jujur.
"Itulah energi negatif yang terkandung dalam Qi-nya. Mutiara ini bisa digunakan untuk meningkatkan kultivasi, tapi harus dimurnikan terlebih dahulu," jelas Guru Wu.
Luo Chen mendengarkan dengan seksama, semakin penasaran dengan dunia kultivasi yang sedang ia pelajari.
"Segala sesuatu di tubuh monster ini bisa berguna, mulai dari tulang hingga dagingnya. Bahkan, daging yang dimasak dengan benar bisa memberikan esensi energi bagi siapa pun yang memakannya," lanjut Guru Wu.
"Wow, begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari monster. Kenapa Guru tidak menjualnya saja untuk mendapatkan keuntungan besar?" tanya Luo Chen.
Guru Wu tersenyum lebar, "Apa aku terlihat seperti orang yang butuh uang, bocah? Sekarang cepat selesaikan tugasmu dan pergi makan di dapur."
"Baik, Guru!" sahut Luo Chen, lalu bergegas menuju sungai tanpa membuang waktu lagi.
Beruntung, perjalanan untuk mengambil air berjalan lancar. Setelah enam kali bolak-balik membawa air, akhirnya tong di belakang rumah penuh.
Setelah beberapa jam berlalu, Luo Chen masih berjuang dengan batu-batu besar di halaman. Otot-ototnya terasa tegang dan lelah, tapi ia tetap gigih.
Setiap tarikan napas terasa berat, namun tekad di dalam dirinya semakin kuat. Ia tahu bahwa jalan menuju kekuatan bukanlah hal yang mudah, dan ini baru permulaan.
Guru Wu, yang sejak tadi berdiri di bawah pohon besar, memperhatikan setiap gerakan Luo Chen dengan mata tajam. Meskipun ia tampak acuh, sesungguhnya ia sangat memperhatikan perkembangan muridnya.
Setiap langkah Luo Chen, setiap keringat yang jatuh, semuanya merupakan cerminan dari semangat dan kerja keras. Guru Wu mengenal tipe orang seperti Luo Chen — anak yang tak pernah menyerah meski menghadapi kesulitan terbesar sekalipun.
Setelah beberapa batu berhasil diangkat dan dipindahkan, Luo Chen jatuh terduduk di tanah, napasnya terengah-engah. Kakinya gemetar, tubuhnya terasa lelah, namun senyum kecil tersungging di wajahnya.
"Aku... aku berhasil memindahkan semuanya, Guru," katanya dengan suara terbata-bata, menunjukkan kebanggaan dalam dirinya.
Guru Wu melangkah mendekati Luo Chen, menatapnya tanpa ekspresi sejenak, lalu tersenyum tipis. "Kau melakukan pekerjaan yang bagus hari ini, Chen'er. Tapi ingat, ini baru permulaan. Pelatihan fisik hanyalah satu bagian dari perjalanan panjangmu. Di masa depan, kau akan menghadapi tantangan yang jauh lebih berat. Jadi jangan cepat puas."
Luo Chen mengangguk, menyadari bahwa perjalanan kultivasinya baru saja dimulai. Ia menatap tangan dan kakinya yang terasa pegal, namun di dalam hatinya, ia merasa puas.
"Guru, kapan aku bisa mulai belajar menggunakan Qi seperti yang kau lakukan?" tanyanya dengan penuh antusiasme.
Guru Wu tertawa kecil. "Semua ada waktunya, bocah tengik. Qi adalah sesuatu yang tidak boleh dianggap enteng. Kau harus memahami dasar-dasarnya terlebih dahulu sebelum bisa menggunakannya dengan benar.
Untuk sekarang, fokuslah pada kekuatan fisikmu. Qi tanpa dasar yang kuat hanya akan menjadi pedang bermata dua — bisa melukai musuh, tapi juga bisa menghancurkan dirimu sendiri."
Luo Chen termenung, merenungkan kata-kata itu. Ia mulai memahami bahwa jalan menuju kekuatan bukanlah sesuatu yang bisa dipercepat. Setiap langkah, sekecil apapun, adalah bagian penting dari proses yang harus ia jalani.
"Baik, Guru. Aku akan terus berlatih dan mengasah kekuatanku," jawab Luo Chen dengan tekad yang semakin membara. Ia tahu bahwa di balik setiap pelajaran yang diberikan Guru Wu, tersimpan kebijaksanaan yang akan membantunya di masa depan.
Hari itu, meskipun tubuhnya lelah dan otot-ototnya terasa kaku, Luo Chen merasa bahwa ia telah mengambil langkah pertama dalam perjalanan yang panjang dan penuh tantangan.
Dengan bimbingan Guru Wu, ia yakin suatu hari nanti akan mencapai kekuatan yang luar biasa, dan mungkin, suatu saat, ia akan mampu membalas segala kebaikan gurunya.
Matahari semakin tinggi di langit, menandakan awal dari hari yang baru, penuh dengan harapan dan tantangan. Luo Chen bangkit dari tanah, membersihkan debu dari pakaiannya, dan dengan semangat baru, ia melanjutkan latihannya, bersiap untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Waktu menunjukkan pukul 06.00 pagi. Sinar matahari yang semakin terang membangunkan hewan-hewan yang segera bergerak mencari makan, memenuhi perut mereka yang kosong.
"Chen’er, cepat ke sini," perintah Guru Wu, melihat Luo Chen yang baru saja menyelesaikan tugas dan mandi di belakang rumah.
"Baik, Guru," jawab Luo Chen sambil duduk di meja makan, tanpa menunggu perintah lebih lanjut.
Guru Wu sedang duduk santai, menikmati arak dari guci yang dipegangnya. Ia tampak tak menghiraukan kehadiran Luo Chen. Beberapa menit berlalu dalam keheningan, sampai akhirnya Guru Wu berhenti minum dan berbicara.
"Habiskan semua makanan di situ, jangan ada yang tersisa," tegas Guru Wu, sebelum berdiri dan berjalan keluar ruangan tanpa menunggu tanggapan.
Luo Chen menatap punggung gurunya yang pergi dengan kebingungan. "Tunggu, Guru tidak makan?" tanyanya sambil berdiri dari kursi.
Guru Wu berhenti sejenak dan menjawab, "Orang yang berkultivasi seperti aku tidak perlu makan. Kami hanya butuh energi Qi—semacam tenaga dalam—untuk menggantikan kebutuhan makan. Semua makanan itu khusus untukmu."
Perasaan hangat meresap di hati Luo Chen. Ia berpikir dalam hati, "Apa ini yang disebut kasih sayang? Mengapa air mata mengalir di pipiku?" Namun, kebingungannya tentang perasaan itu membuatnya terdiam.
"Selesaikan makananmu segera, lalu temui aku di depan rumah. Aku sudah menyiapkan latihan fisik yang berat untukmu," kata Guru Wu sambil melangkah pergi.
"Baik, Guru," jawab Luo Chen dengan kepala tertunduk, air matanya jatuh tanpa suara.
Di depan rumah, Guru Wu berdiri dengan pedang perak di tangannya, gagang pedang berbentuk elang. Dengan tenang, ia mengayunkan pedang itu. Setiap gerakannya halus, tapi memancarkan aura mematikan.
"Aghh, racun ini semakin menyebar. Seandainya aku bisa menemukan teknik legendaris itu, mungkin hidupku akan lebih lama," gerutu Guru Wu sambil menahan rasa sakit.
Ternyata, Guru Wu menyimpan rahasia besar—racun yang bersemayam dalam tubuhnya selama bertahun-tahun. Racun itu bisa merenggut nyawanya kapan saja. Hanya Qi yang digunakannya yang mampu menahan penyebarannya, memberi Guru Wu waktu yang terbatas untuk menyelesaikan misinya.
"Penderitaan, pengkhianatan, serigala berbulu domba... Meski bukan aku yang akan menghancurkanmu, muridku kelak pasti akan membalaskan dendam ini," gumam Guru Wu dengan amarah membara di hatinya. Ia mengumpulkan energi Qi dalam pedangnya dan melepaskannya dalam satu tebasan.
"BLARRRR!" Tebasan itu mengeluarkan cahaya terang, disertai percikan petir yang menghancurkan tanah di depannya. Sebuah jurang terbentuk dengan kedalaman 100 meter dan panjang 10 kilometer.
Luo Chen berlari keluar rumah saat mendengar gemuruh keras itu. "Guru, apa yang terjadi barusan?" tanya Luo Chen sambil menggoyangkan tubuh gurunya.
Guru Wu menatap jurang yang baru saja ia ciptakan. "Tampaknya aku terlalu berlebihan," katanya sambil tertawa kecil.
Luo Chen hanya bisa menggelengkan kepala melihat dampak serangan gurunya yang luar biasa. "Guru, seharusnya kau lebih berhati-hati," komentarnya setengah bercanda.
"Sudahlah, itu hanya insiden kecil," jawab Guru Wu sambil mengalihkan pembicaraan. "Apakah kau sudah menyelesaikan makanmu?"
Luo Chen mengangguk. "Sudah, tapi karena mendengar suara gemuruh tadi, aku belum sempat beres-beres."
"Biarkan saja, aku yang akan membereskannya nanti," kata Guru Wu.
"Tidak, Guru. Biar aku saja yang bereskan," kata Luo Chen bersikeras.
"TOK!" Guru Wu mengetukkan jarinya ke kepala Luo Chen. "Jangan keras kepala, bocah. Dengarkan baik-baik, sebentar lagi kau akan mulai menjalani pelatihan yang akan berlangsung selama lima tahun."
Mendengar itu, Luo Chen terdiam sejenak, tapi wajahnya menyiratkan kegembiraan. "Baik, Guru. Aku siap," jawabnya sambil tersenyum.
Guru Wu melanjutkan, "Coba lihat jurang itu lagi. Aku akan memperbaikinya sekarang." Guru Wu meletakkan telapak tangannya ke tanah dan mengucapkan, "Jurus Penyatuan Tanah, Tingkat Pertama!"
Tanah yang tadinya terbelah mulai bergetar, bergerak dengan sendirinya, lalu menyatu kembali. Dalam hitungan detik, jurang itu tertutup rapat, seolah tidak pernah ada.
Sambil berdiri, Guru Wu berkata, "Ada 15 elemen di dunia ini. Tujuh elemen umum, lima elemen langka, dan tiga elemen legendaris. Aku sendiri baru menemui dua belas dari lima belas elemen itu."
Luo Chen tercengang. "Setahuku, hanya ada empat elemen—api, air, angin, dan tanah. Bagaimana bisa ada lima belas?" tanyanya penasaran.
Guru Wu tersenyum tipis. "Itu hanya elemen dasar. Dengarkan, elemen umum meliputi api, air, angin, tanah, kayu, petir, dan racun. Elemen langka adalah es, magma, logam, kegelapan, dan cahaya."
Luo Chen mencoba mengulang-ulang penjelasan itu di dalam benaknya. "Guru, bolehkah aku membaca buku-buku tentang elemen-elemen itu sekarang?" tanyanya sambil melangkah ke dalam rumah.
Namun, Guru Wu cepat-cepat menghentikannya. "Jangan terburu-buru, bocah. Dengarkan dulu sampai selesai," ujar Guru Wu dengan nada datar.
Luo Chen segera berbalik, menundukkan kepalanya. "Maaf, Guru. Murid terlalu bersemangat."
Guru Wu hanya menghela napas panjang. "Mulai besok, kau akan menjalani pelatihan fisik dan mental. Bangun pagi, ambil air di sungai, dan latih tubuhmu. Ini akan menjadi perjalanan panjang. Siapkah kau?"
Luo Chen tersenyum, kali ini lebih mantap dari sebelumnya. "Aku siap, Guru."
“Bagus,” balas Guru Wu dengan senyuman. “Setiap hari adalah kesempatan untuk memperbaiki diri. Jangan pernah meremehkan kekuatan latihan dan dedikasi. Jika kau serius, kau akan melihat hasilnya dalam waktu singkat.”
Luo Chen mengangguk dengan penuh semangat, merasakan dorongan kuat untuk membuktikan kemampuannya. "Aku akan berusaha sekuat tenaga, Guru!" tekadnya menggebu-gebu.
"Baiklah, ingatlah untuk selalu menjaga konsentrasi dan disiplin. Setiap usaha yang kau lakukan adalah investasi untuk masa depanmu," ucap Guru Wu sambil menatap lurus ke depan, seolah melihat masa depan cerah yang menanti Luo Chen.
Dengan tekad yang baru ditemukan, Luo Chen berlari menuju sungai, siap menghadapi semua tantangan yang ada di depan.
Hari baru telah tiba, dan pelatihannya akan dimulai dengan penuh semangat. Dia tahu, setiap tetes keringat akan menjadi langkah menuju impiannya untuk menjadi seorang pejuang yang hebat.
Saat Luo Chen berlari menuju sungai, pikirannya dipenuhi bayangan masa depan yang penuh tantangan. Ia tahu, perjalanan yang akan ia tempuh bukanlah hal yang mudah.
Setiap langkah yang diambil hari ini akan menentukan kekuatannya di masa depan. Pelatihan yang diberikan oleh Guru Wu bukanlah sekadar latihan fisik, tetapi juga pelatihan mental dan spiritual yang akan membentuk jati dirinya.
Ketika ia sampai di tepi sungai, Luo Chen berhenti sejenak untuk merasakan angin sejuk yang berhembus, menenangkan pikirannya. "Ini hanya permulaan," pikirnya. Dengan batu berat di tangan, ia mulai melangkah masuk ke sungai yang dingin, air menyapu kakinya.
Dengan tekad bulat dan hati yang bersemangat, Luo Chen mengangkat batu itu, membasahinya dengan air sungai sesuai perintah gurunya. Setiap kali ia membasahi batu itu, tubuhnya mulai merasakan beban yang semakin berat. Namun, tekadnya tak pernah goyah.
"Ini adalah jalanku menuju kekuatan. Aku tidak akan menyerah," gumamnya sambil terus melanjutkan latihan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!