Hutan yang lebat dan menyeramkan kini bersih tanpa kehidupan, terlihat seorang anak kecil berjalan melewati tanah yang gersang tanpa pepohonan atau hewan sama sekali.
"Menurut peta yang aku pelajari ini, bukankah arahnya ke utara untuk menuju kota? Semoga saja benar," Luo Chen berkata sambil melanjutkan langkahnya menyusuri tanah lapang.
Meski sudah beberapa jam berlalu, semangatnya tak surut. Untuk memulai perjalanan barunya, ia sangat yakin bahwa pelatihan dari kakek Wu sudah cukup untuk melindungi dirinya.
Matahari sudah berada di tengah, menunjukkan waktu di siang hari. Panas yang semakin menyengat membuat Luo Chen seolah akan menyerah, namun mulai terlihat sebuah jalan terbuka yang tertutup pepohonan.
"Akhirnya ketemu! Semoga tanduk ini bisa aku jual nanti," teriak Luo Chen sambil berlari menuju jalanan terbuka di hutan.
"Heii bocah, berhenti di situ!" sebuah teriakan terdengar saat Luo Chen baru memasuki jalanan di hutan.
"Siapa di sana?" ujar Luo Chen, seraya mencabut pedang dari selongsongnya. Terlihat sebuah pedang dengan warna hitam kebiruan, memberikan tekanan pada area sekitar lima meter.
"Pedang milikmu bagus juga. Beri pada paman, maka akan aku antar kamu ke orang tuamu," terlihat lima orang keluar dari dalam hutan, sambil memperlihatkan kapak dan golok yang bersimbah darah.
"Jika aku tidak mau?" tanya Luo Chen, tanpa merasa takut sedikit pun meski melihat senjata yang berlumuran darah.
"Jangan memaksa kami melakukan kekerasan, bocah. Cepat berikan!" perintah seorang yang terlihat lebih tua dari yang lain.
"Ambil jika kalian mampu," tantang Luo Chen, sambil menghunuskan pedangnya dan bersiap melakukan sebuah teknik.
"Kalian berempat, cepat lumpuhkan anak itu, dan ambil semua benda berharga miliknya!" bentak si pemimpin, terprovokasi oleh omongan Luo Chen.
Terlihat empat orang dengan senjata yang berbeda mengelilingi Luo Chen, sambil tersenyum seolah menemukan mainan baru. Salah satu dari mereka masih menawar.
"Nak, lebih baik berikan saja pada kami. Kami tidak akan melukai dirimu," ucap salah satu dari mereka yang terlihat lebih muda dari yang lain.
"Maaf, paman, aku tidak bisa memberikannya. Jika kalian ingin, silakan ambil sendiri," balas Luo Chen dengan senyuman ramah.
"Banyak omong kalian berdua," sebuah tebasan dari orang yang membawa golok datang dari samping Luo Chen. Namun, Luo Chen menghindar sambil membalas serangan ke arah tangan yang memegang golok.
"Kretak!" suara renyah terdengar saat Luo Chen membalas dengan menendang lengan si pembawa golok.
"Ahggg, tanganku!" Si pembawa golok terbaring, terus berbolak-balik karena rasa sakit yang ia terima.
"Maaf, itu salah paman sendiri karena tidak berhati-hati," ujar Luo Chen seraya berdiri tegak kembali dengan pedang di tangan kanan.
"Bajingan, iki duduk, bocah cilik, cah wi monster!" teriak si pemimpin, melihat tendangan luar nalar Luo Chen.
"Tunggu! Apa yang dia ucapkan itu?" gumam Luo Chen mendengar perkataan si pemimpin.
"Pateni ae monster iki!" bentak si pemimpin sambil mengeluarkan kapak dari punggungnya.
Pertarungan satu lawan empat tak terhindarkan, di mana Luo Chen lebih banyak menghindar dengan sesekali menyerang. Meski terlihat terpojok, tidak terlihat sedikit pun Luo Chen terkena serangan.
Namun, berbeda dengan keempat lawannya; mereka mengalami banyak goresan di tubuh. Stamina mereka juga terus berkurang setelah bertarung beberapa puluh menit dengan Luo Chen.
"Matane, musuh awak dewe iki bocah? Opo wong tuo seng dadi bocah? Gak mungkin siluman?" ujar salah satu dari mereka yang membawa golok ganda.
"Astagfirullahal'azim, aku juga tidak mengerti. Sepertinya kita salah langkah," sahut si paman yang paling muda.
Mereka semua diam sesaat, Luo Chen sendiri bingung dengan obrolan yang mereka lakukan. Ia merasa seperti orang tuli di hadapan mereka.
"Woyyy, apa yang kalian bicarakan sihhh!" bentak Luo Chen merasa kesal saat mereka ngobrol dengan lancar.
"Ben aku seng ngomong karo wong iki, ben awak dewe diampuni," ucap si paman paling muda sambil berjalan menuju depan Luo Chen tanpa ragu.
"Maafkan kami, pendekar. Kami tidak bermaksud untuk menyerang Anda, hanya saja kami waspada dengan kawasan ini."
"Kenapa kalian waspada? Lalu kenapa kalian ingin merampok diriku?" tanya Luo Chen seraya memandang dengan sorot mata tajam.
"Sebenarnya, kami waspada terhadap siluman yang kabur dari kawasan hutan terlarang, di mana tempat itu sudah rata dengan tanah. Kami merampok Anda untuk mencukupi kebutuhan keluarga kami."
"Mohon maafkan kelakuan kami ini, pendekar muda. Jika nyawaku bisa menyelamatkan keempat keluargaku, silakan ambil saja," tutup penjelasan si paman paling muda.
"Woyyy, apa maksudmu ngomong gitu? Aku seng salah ndek kene, kudune aku seng dihukum!" teriak seorang paman yang paling tua.
Luo Chen berpikir tentang omongan kakek Wu, "Benar kata kakek, setiap kejahatan pasti memiliki alasan sendiri. Mungkin aku harus memaafkan mereka kali ini." Sambil mengangkat pedang miliknya, Luo Chen hendak menebas pundak paman paling muda.
Terlihat paman paling muda sudah menutup mata, sambil tersenyum melihat kejujuran di mata Luo Chen. Dia merasa pilihannya sudah sangat benar.
"Wushhhh!" Tebasan kuat terasa begitu cepat, namun terhenti tepat lima senti sebelum mengenai pundak paman paling muda.
Sebuah tangan menahan pedang tersebut. Darah yang menetes membuat Luo Chen tersenyum. Suara terdengar dari si penahan pedang, "Sialan! Kamu jangan gegabah, aku yang paling tua, hargai aku sebagai mas tirimu, anjing."
Paman paling muda kaget mendengar suara kakak tertuanya dan darah yang menetes. Sambil membuka mata, ia berucap, "Mas? Nyampo mbok ndekno? Iki demi awak dewe kabeh."
Luo Chen kagum akan keberanian mereka saat di hadapan musuh sekalipun. Meski kematian terlihat, demi keluarganya mereka berani melakukan apapun.
"Jarannn! Kamu punya keluarga, aku ini bujangan. Mati ya tidak masalah! Apa kamu tidak memikirkan anak dan istrimu, cok!" bentak si paman paling tua.
"Aku mikir, tapi aku percayakan pada kamu, Mas," ujar paman paling muda.
"Sudahhh, hentikan debat kalian. Aku ampuni kalian kali ini, tapi dengan syarat," sahut Luo Chen, karena tidak betah akan obrolan yang ia sendiri tak mengerti.
"Alhamdulillah! Apa saja syarat itu, tuan muda?" ucap paman paling muda sambil tersenyum lega.
"Syarat pertama, kalian antar aku ke rumah kalian. Syarat kedua, beri tahu aku bahasa apa yang kalian gunakan. Syarat ketiga, antar aku ke kota jika aku ingin," tutup penjelasan Luo Chen.
"Baik, tuan muda! Kami bersedia!" teriak mereka berempat sambil menundukkan kepala.
"Baiklah, bawa salah satu dari kalian itu pulang sekarang, dan antar aku ke rumah kalian juga," perintah Luo Chen seraya tersenyum ramah.
"Biar aku yang bawa adik ini. Cepat kalian antar tuan muda ke rumah!" perintah paman paling tua sambil menggendong salah satu dari mereka yang pingsan.
"Silakan ikuti saya, tuan muda," ujar paman si paling muda, sambil berjalan duluan untuk memberi tahu jalan yang harus dilalui.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
swek lord
bagi orang lain mungkin ini cerita bagus,,bagi saya sampai BAB 9 kurang menarik ,,Sorry thorr
2024-11-14
2
Deni Siska
Koq jd aneh ceritanya...dr cerita tiongkok campur pula bhs inggris sma jawa 👋🏻👋🏻👋🏻
2024-11-03
2
spooky836
cina dtng ke jawa atau jawa pergi cina. otak kosong patut xde lanjut njvel sampah
2024-12-15
0