Rondho Kanthil

Rondho Kanthil

Hari Pertama

Sudah cukup jauh ia berlari meninggalkan pondok angker di tengah hutan yang disinggahinya bersama teman-teman. Derap lari kakinya kini mulai memelan. Lelah, payah, napas terasa panas dan berat. Peluh dingin membanjiri wajah dan badannya, membuat kuyup kemeja kremnya. Susah payah ia menelah ludah, demi bisa menstabilkan segala rasa tak nyaman di dirinya.

“Please, sinyal, please!!”

Sesekali ia goyangkan HP-nya di udara untuk mencari sinyal provider. Harus lapor Polisi, Damkar, tim SAR, ustaz, atau siapapun yang bisa menyelamatkan dirinya dan rekan-rekan. Itulah yang menjadi prioritasnya saat ini, setelah beberapa orang tak dikenal dan sesosok makhluk tak kasat mata berusaha melenyapkan kelompok KKN yang diketuainya.

“Feb... Febri...”

Sebuah suara serak tiba-tiba terdengar memanggil namanya. Suara si mungil Dea.

“Febri!”

Kali ini suara teriakan Beni yang terdengar seolah membelah senyapnya malam.

“Tolong, Feb! Tolooong!!”

Suara Kia terdengar menyayat hati.

“Febri, lari!!”

Perintah dari suara Aneska.

“Apapun yang terjadi, lo jangan balik ke sini lagi!”

Permohonan Ozza penuh dengan penekanan.

Suara-suara itu seperti sengaja mengikutinya. Menyertainya melarikan diri menyusuri jalan setapak di tengah hutan yang sama sekali tak ia kenal. Ia menggeleng cepat untuk menyingkirkan rasa pilu yang merayapi batin dan pikirannya. Air matanya luruh bercampur dengan peluh.

“Aw!” Larinya terhenti setelah menyandung benda keras sampai jemari kaki kanannya terasa seperti dipukul palu. Beruntung ia tak sampai jatuh. Meski badannya limbung, tapi ia bisa mempertahankan keseimbangan. Tanpa buang waktu, ia kembali berlari meski harus bertumpu dengan satu kaki.

“Itu tadi apaan, sih?” gerutunya sambil bergidik ngeri. Setahunya, flash HP yang ia sorotkan ke arah depan sama sekali tidak menyinari bebatuan alam. Memang salahnya yang tidak memerhatikan kondisi jalan, tapi benda keras tadi dirasa berbentuk kotak simetris oleh indra perasa ujung kakinya.

Ia kembali menggeleng cepat, mengusir pikiran-pikiran negatif tentang benda kotak yang kemungkinan merupakan makam. Tapi rasa penasaran lebih mendominasinya. Ia berhenti berlari. Dengan gemetaran, ia sorotkan flash HP ke sekeliling dengan posisi agak ke bawah.

“HUWAAARGH!”

Dugaannya seratus persen benar! Ia melewati area pemakaman. Batu-batu nisan lusuh dan rusak sana-sini yang berjajar sembarangan. Bahkan ada jenazah-jenazah berkafan kumal yang menyembul keluar dari tanah makam.

“Huweeek!”

Seketika ia muntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan panas dan asin karena seharian tak minum, juga tak makan. Badan gemetar hebat disertai sekujur tubuhnya yang meremang. Kepala mulai berdenyut nyeri bahkan pandangannya berputar-putar.

“Nggak, nggak...” gumamnya, berusaha menahan kesadaran. “Jangan pingsan sekarang.”

Di momen kritis itu, telinganya menangkap suara langkah kaki yang diseret diiringi kikik tawa bercampur tangisan laki-laki dan perempuan. Jantungnya berdegup makin kencang tak karuan. Mata yang mulai kabur karena nyaris hilang kesadaran itu melirik ke arah sumber suara. Bukan hanya di kiri, tapi di kanan, bahkan depan dan belakang.

Semua sosok hantu yang pernah ia lihat di media cetak maupun elektronik sedang menuju ke arahnya. Mendekat dan berkerumun, bahkan memegangi kakinya untuk tidak kabur. Dengan sisa tenaga dan kesadarannya, ia hanya bisa berteriak, “JANGAAAN!”

PLAKK!

Tamparan keras mendarat di kening Febri. Menciptakan rasa nyeri dan menjalarkan panas di seluruh wajahnya. “Jangaaan!” teriaknya lagi.

“Woy!” hardik suara laki-laki.

Napas memburu. Mata terbuka pelan, air bening menggenang dipelupuknya. Sambil sesenggukan ia mengerjap.

“Jiah! Ngapain lo nangis?” ejek sebuah suara.

Mata yang buram karena dipenuhi cairan membuatnya tak jelas melihat sekitar. Ia kucek kedua matanya beberapa kali hingga dirasa kering. Barulah ia bisa melihat dua rekannya, Ozza si sipit berkacamata, dan Beni si rambut cepol, sedang mengernyit heran padanya.

“Ozza... Beni?” gumam Febri. Linglung, ia langsung merangkul Ozza dan Beni bersama-sama.

Keduanya risi lalu menyentak badan Febri. “Lo kenapa, sih? Mimpi buruk?” tanya Beni.

Febri seolah kehilangan kata-kata karena masih belum memercayai kesadarannya. Ia pandangi Ozza dan Beni secara bergantian lalu segera meraih HP-nya di atas meja kayu sebelah ranjang. “Ini kenyataan,” pikirnya. Karena getar HP dari satu panggilan terasa nyata di telapak tangannya.

“Mama lo telepon dari tadi tuh, Feb!” bentak Beni.

“Serius?” tanya Febri ragu-ragu.

Ozza berdecak. Ia benahi kacamatanya kemudian beranjak. “Lagian lo tidur kayak orang mati,” makinya dengan suara pelan.

Febri masih terdiam. Beni yang duduk di tepi ranjang langsung merebut HP Febri dan menekan tombol accept. “Halo, Tante!” sapanya dengan suara nyaring. “Febri baru bangun nih, Tan. Makanya lambat angkat telepon.”

Febri meminta HP-nya kembali lalu berbicara dengan mamanya. “Ma?” Febri terdiam mendengarkan celotehan mamanya di seberang sana. “Iya, aku janji habis salat subuh nggak tidur lagi. Iya. Nggak bakal skip sarapan, kok. Janji, Ma, janji. Iya. Mama nggak usah khawatir, ya!”

Beni geleng kepala melihat Febri yang kembali ke kondisi awal yaitu anak mama yang penurut setelah tadi sempat berteriak, menangis, bahkan memeluk Ozza dan dirinya. Sebenarnya Beni sangat kepo, ingin tahu mimpi buruk apa yang dialami sohibnya itu, tapi ia urungkan saja karena sudah tak banyak waktu.

“Buruan lo siap-siap, Feb. Kami tungguin di depan,” ucap Beni sambil menepuk pundak Febri. “Hari pertama KKN kudu prima, dong!” tegasnya.

Febri menghela napas setelah sepenuhnya ingat bahwa sekarang adalah hari pertama ia dan kelompoknya menjalankan tugas KKN di Desa Wilangan. Desa kecil di kaki gunung yang berjarak puluhan kilometer dari kampus mereka. “Oke,” sahutnya dengan suara pelan.

***

Febri sudah mengenakan kemeja biru bergaris putih vertikal, celana kain berwarna hitam, dan jas almamater biru tuanya. Ia keluar ke pekarangan rumah limasan yang disinggahinya bersama dua rekan prianya. Dilihatnya Ozza, Beni, Zaskia, Dea, dan Aneska tengah berlatih speaking untuk mereka lakukan di tempat KKN nanti. Sesekali Beni menjahili Dea dan Kia. Mereka terlihat ceria dan bersemangat. Febri merasa sangat lega melihat mereka baik-baik saja.

“Guys!” panggil Febri sembari melangkah menghampiri lima temannya yang menunggu di tepi jalan paving.

Lima orang itu menoleh. Sontak Dea terbelalak melihat Febri. “Hiii! Apaan, tuh?” tunjuk Dea, gadis mungil berwajah imut dengan kesan ceria ke arah kepala Febri.

DEG!

Febri membeku. Tengkuknya langsung merinding. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan. Tapi di belakangnya tak ada siapa pun. “Apa sih, De?” tanyanya penasaran.

“Bercyandyaaa,” ledek Dea. Seketika ia mendapat acungan jempol dari Beni dan gelak tawa Kia.

“Jangan gitu, De. Febri kan habis mimpi buruk dikejar setan jadi kamu jangan ngompor-ngomporin, lah,” celetuk Ozza dengan asal menduga. “Udah yuk, berangkat. Kita kudu ikut apel pagi di balai desa, nih!”

Febri berdecak, bete. Empat temannya jalan lebih dulu. Aneska jalan di sisinya. “Di kepala, bukan di belakang,” gumamnya.

Febri menoleh pada gadis yang berpembawaan tenang itu kemudian menyentuh kepalanya. “Kepala gue? Kenapa? Ada apaan emang?” tanyanya sangat penasaran.

Aneska merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan cermin kecil dari sana. Ia berikan cermin itu pada Febri dan sontak pemuda 22 tahun itu membelalakkan mata melihat ada tanda merah seperti gurat-gurat berbentuk jari di keningnya.

“Ck! Beni! Awas lo!” teriak Febri sambil berlari mengejar Beni yang menampar keningnya hingga terbangun dari mimpi buruk tadi.

Terpopuler

Comments

Abi Zar

Abi Zar

wah seru nich kak ceritanya ..lanjutkan kak..
oh ya mampir juga di novelku ya kak,maklum baru pemula

2024-04-23

1

Nia Gemoy

Nia Gemoy

wah

2024-04-17

1

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Hai kak salam kenal,mampir ya😊

2024-03-18

1

lihat semua
Episodes
1 Hari Pertama
2 Pertemuan Pertama
3 Interaksi Pertama
4 Berpisah
5 Ketemu!
6 Janda
7 Pengakuan
8 Mengajar
9 Rumah Mirandani
10 "Tersesat"
11 Menjenguk
12 Bangun
13 Dilabrak
14 Sandal untuk Hanum
15 Interupsi
16 Di Balik Sandal
17 Sepakat
18 Kedatangan Mirandani
19 Sutrikah
20 Senja Itu
21 Langkah Awal
22 Kepulangan
23 Teror di kelas Tiga
24 Rapat
25 Mendebat
26 Cendera Mata
27 Yang Terlihat
28 Mengejar
29 Gelagat
30 Paham
31 Pembuktian
32 Merebut
33 Mencari Hanum
34 Halaman Belakang
35 Menyaksikan
36 Kematian
37 Penemuan
38 Penyusup
39 Ozza dan Aneska
40 Bertengkar
41 Berpencar
42 Lost Contact
43 Terdesak
44 Pilihan
45 Tempat Teraman
46 Hari Baru
47 Pertunjukan
48 Kembali
49 Kejelasan
50 Menjelang Magrib
51 Dia Lagi
52 Dengan Mata Kepala Sendiri
53 Disatroni
54 Penuntasan
55 Antek-antek Mirandani
56 Berangkat
57 Mengikuti
58 Goyah
59 Diam-diam
60 Mengamuk
61 Kematian Kedua
62 Akhirnya Tahu
63 Tertuduh
64 Ditangkap
65 Satu-satunya Cara
66 Sebuah Pesan
67 Menculik
68 Penglihatan
69 Nyaris
70 Bergerak Cepat
71 Masuk Sarang
72 Dikepung
73 Selamat
74 Semua Tahu
75 Pertemuan Tengah Malam
76 Tugas Masing-masing
77 Warsih
78 Titik Terang
79 Berkumpul
80 Bertikai
81 Kemunculan Tak Terduga
82 Sengit
83 Awal Mula
84 Tragedi yang Terlupakan
85 Tantrum
86 Kebenaran
87 Deep Talk
88 Make Sense
89 Kembali ke Sekolah
90 Kilasan
91 Basecamp
92 Mimpi Febri
93 Kesurupan
94 Kedatangan Orang-orang Kota
95 Restu
96 Persiapan
97 Malam 1 Suro
98 Pertarungan
99 Momen Kritis
100 Pembantaian
101 Sasmitha
102 Usai
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Hari Pertama
2
Pertemuan Pertama
3
Interaksi Pertama
4
Berpisah
5
Ketemu!
6
Janda
7
Pengakuan
8
Mengajar
9
Rumah Mirandani
10
"Tersesat"
11
Menjenguk
12
Bangun
13
Dilabrak
14
Sandal untuk Hanum
15
Interupsi
16
Di Balik Sandal
17
Sepakat
18
Kedatangan Mirandani
19
Sutrikah
20
Senja Itu
21
Langkah Awal
22
Kepulangan
23
Teror di kelas Tiga
24
Rapat
25
Mendebat
26
Cendera Mata
27
Yang Terlihat
28
Mengejar
29
Gelagat
30
Paham
31
Pembuktian
32
Merebut
33
Mencari Hanum
34
Halaman Belakang
35
Menyaksikan
36
Kematian
37
Penemuan
38
Penyusup
39
Ozza dan Aneska
40
Bertengkar
41
Berpencar
42
Lost Contact
43
Terdesak
44
Pilihan
45
Tempat Teraman
46
Hari Baru
47
Pertunjukan
48
Kembali
49
Kejelasan
50
Menjelang Magrib
51
Dia Lagi
52
Dengan Mata Kepala Sendiri
53
Disatroni
54
Penuntasan
55
Antek-antek Mirandani
56
Berangkat
57
Mengikuti
58
Goyah
59
Diam-diam
60
Mengamuk
61
Kematian Kedua
62
Akhirnya Tahu
63
Tertuduh
64
Ditangkap
65
Satu-satunya Cara
66
Sebuah Pesan
67
Menculik
68
Penglihatan
69
Nyaris
70
Bergerak Cepat
71
Masuk Sarang
72
Dikepung
73
Selamat
74
Semua Tahu
75
Pertemuan Tengah Malam
76
Tugas Masing-masing
77
Warsih
78
Titik Terang
79
Berkumpul
80
Bertikai
81
Kemunculan Tak Terduga
82
Sengit
83
Awal Mula
84
Tragedi yang Terlupakan
85
Tantrum
86
Kebenaran
87
Deep Talk
88
Make Sense
89
Kembali ke Sekolah
90
Kilasan
91
Basecamp
92
Mimpi Febri
93
Kesurupan
94
Kedatangan Orang-orang Kota
95
Restu
96
Persiapan
97
Malam 1 Suro
98
Pertarungan
99
Momen Kritis
100
Pembantaian
101
Sasmitha
102
Usai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!