Bangun

Febri merasakan sentuhan jemari lentik yang hangat dan halus mengusap permukaan wajahnya. Meraba kening, alis, kelopak mata, hidungnya yang mancung, pipi halus tanpa bekas apa pun, bahkan brewok tipis dan juga bibirnya yang kasar.

Febri tak tahu siapa pemilik telapak tangan itu. Tapi entah kenapa ia merasa seperti bisa membayangkan pemiliknya adalah janda muda yang ia sukai. Mirandani.

Febri ingin segera membuka matanya. Ingin melihat wajah cantik wanita itu pertama kali. Betapa bahagianya ia jika keinginan itu tercapai. Bibirnya bahkan mengulas senyuman, senang, dadanya terasa geli.

Pelan kelopak mata Febri terbuka. Dan senyum di bibirnya seketika sirna. Karena di atasnya saat ini ada Ozza, Beni, Aneska, Dea, dan Kia yang sedang melongok menatapnya dengan cermat sekaligus terheran-heran.

“Lo mimpi apaan sampe senyum-senyum kek orang mesum?” bisik Beni.

Mata Febri sontak membelalak. Bola matanya bergerak menatap wajah teman-teman secara bergantian. “Mbak Mira mana?” tanyanya dengan gamblang. Seketika teman-temannya nyengir bersamaan. “Huu!!”

“Bubar, bubar!” sengak Kia sambil beranjak keluar kamar diikuti empat temannya.

Febri bangun dengan posisi duduk. Ia terbengong melihat mereka pergi tanpa mau menjawab pertanyaannya tentang keberadaan Mirandani. “Guys!” panggilnya. Kemudian ia celingukan mencari Mirandani yang jelas tidak ada di kamar itu. “Perasaan tadi―” Febri menggaruk tengkuknya yang gatal.

Febri tiba-tiba tersadar dengan kasur yang ditempatinya. Kasur kapuk yang sudah tidak terasa empuk. Samar-samar ingatannya seolah meyakinkan bahwa tadi ia tidur di spring bed yang hangat dan nyaman. Tapi ia segera menggelengkan kepala, menepis rasa familiar yang tidak nyata. Ia hanya berpikir telah mimpi panjang, meski lupa bagaimana kisahnya.

Tanpa berlama-lama, Febri putuskan untuk turun dan bergabung dengan teman-temannya. Tapi baru melewati lemari, tiba-tiba ia berhenti dan kembali untuk bercermin di lemari tersebut. “Apaan, nih?” gumamnya sambil meraba cooling patch di kening. “Pasti anak-anak ngerjain!” gerutunya sambil melepas benda itu kemudian ia buang di tempat sampah yang ada di bawah meja.

“Kok lo bangun?” tanya Beni ketika melihat Febri berdiri di ambang pintu kamar. Yang lain pun beralih menatap Febri secara bersamaan.

Febri menguap lebar kemudian celingukan. Ia tersadar telah tidur sampai malam. “Gue laper, mau makan,” jawabnya.

Ozza dan Beni saling pandang. Padahal dua pemuda itu bermaksud mengambilkan makanan lalu membawanya ke dalam kamar untuk disantap Febri. Tapi ternyata Febri keluar sendiri. “Yaudah, sini, buru!” titah Ozza. Ia letakkan piring yang sudah terisi gundukan nasi hangat di meja. Dan Febri pun duduk di depannya. “Thanks,” ucapnya.

Febri tampak celingukan mengamati beberapa menu yang tersaji di meja ruang tamu itu. Ia tergugah pada semur ayam dan oseng kangkung. Sambil menjilati bibir karena perutnya keroncongan, Febri mengambil lauk-lauk yang ada di rantang dan melahapnya.

“Hem! Enak!” pekik Febri dengan mata membelalak. “Siapa nih yang masak?” Ia edarkan padangan kepada tiga teman perempuannya. Mustahil kalau Beni dan Ozza.

Kia mengedikkan bahu. Dea menggeleng sambil pipinya menggembung penuh makanan. Giliran menatap Aneska, gadis itu justru melengos. Febri jadi heran. “Nggak usah malu. Kalian jujur aja deh, ini siapa yang masakin seenak ini. Gue nggak maksud ngejek kok, suer! Justru gue langsung dapet ide mau ngajak bisnis kuliner kalo kita udah balik ke kota nanti,” cerocosnya dengan mulut penuh.

Aneska mendengus kasar. Ozza yang paham gadis itu sedang kesal langsung buka suara, “Ini kiriman Mbak Mirandani, Feb.”

Kunyahan Febri seketika terhenti. Ia menatap Ozza dengan intens seolah memastikan kebenaran ucapannya. Ozza pun mengangguk. “Serius. Tadi dia ke sini bentar, nganter ini sama jenguk lo sekalian.”

Bahu Febri menurun, bibirnya manyun. “Kok kalian nggak bangunin gue, sih!” sesalnya. “Lagian jenguk apaan deh, orang gue nggak sakit.”

Ozza dan empat temannya saling pandang. Sikap Febri benar-benar membuat mereka terheran-heran. Bahkan sejak pemuda itu membuka mata dan keluar dari kamar, kondisinya tampak bugar, penuh semangat, dan semringah. Seperti orang yang tidak habis mengalami demam tinggi yang sampai kejang beberapa kali.

“Oh, jadi lo nggak ngerasain sakit kan sekarang?” tanya Beni, nadanya menyiratkan keraguan.

Febri merespons dengan anggukan mantap. “I’m okay, I’m fine. Gwaenchana,” sahutnya, menirukan sound viral.

Tapi teman-teman Febri bukannya tertawa justru malah bengong. Mereka merasa ada yang aneh pada diri Febri. Meski begitu, Ozza segera mengalihkan perhatian. “Syukur deh, Feb. Kalo gitu lanjut makan aja.”

Teman-teman menyahut ucapan Ozza dengan lega juga. Mereka berusaha bersikap biasa saja menyesuaikan keadaan. Tapi Febri juga jadi penasaran dengan sikap teman-temannya itu. Ia amati ekspresi mereka satu per satu. “Emang sebenernya ada apaan, sih? Kok sikap kalian aneh gini? Gue sakit beneran, ya?”

“Nggak,” sahut Dea. “Makan, gieh!” ucapnya sambil menaruh sayap ayam goreng di atas nasi Febri.

Febri manggut-manggut. Ia tak mau banyak berpikir. Yang penting perutnya segera terisi dengan makanan lezat dari Mirandani. Begitu pula teman-temannya, mereka kembali melahap makan malam di piring masing-masing.

Tiba-tiba Aneska mendorong mangkok sop ke depan Febri. “Cicipin juga nih hasil gotong royong gue, Dea, sama Kia,” ucapnya. “Emang nggak jamin seenak masakan Mirandani, sih. Kami aja bikinnya sambil nonton resep di Tiktok. Tapi seenggaknya lo hargain lah usaha kami nyediain makan malam buat kita semua,” ocehnya.

Febri mengangguk setuju, “Oke.” Ia menyendokkan sayur sop ke piringnya. “Thanks,” ucapnya sambil tersenyum lebar. Dan hal itu justru membuat Aneska semakin kesal. Entah kenapa sikap santai Febri membuat dirinya merasa diremehkan.

Aneska melahap makanannya buru-buru hingga tersedak dan terbatuk-batuk. Dea segera menuangkan air di gelas dan menyerahkan pada Aneska. “Pelan-pelan makannya, Nes,” pesan Dea sambil mengusap punggung Aneska saat gadis itu menenggak minumannya.

Selesai minum, Aneska meletakkan gelasnya di meja dengan kasar. Dadanya tampak naik turun. Ozza hanya mendengus melihatnya.

“Gue balik ke depan,” ujar Aneska sambil berdiri dan berlalu menuju dapur untuk mencuci piring. Begitu keluar dari dapur, ia langsung pergi tanpa menoleh pada teman-temannya lagi. Kia nyengir. Dea, Beni, dan Ozza geleng kepala. Sedangkan Febri fokus dengan makan malamnya.

***

Febri masuk ke kamar begitu selesai mencuci alat makannya tadi. Ozza duduk bersandar dengan bantal di ranjangnya. Pemuda berkacamata bingkai hitam itu tampak sedang fokus mengetik di laptopnya. Febri mencharge HP-nya di meja kemudian menuju ranjang untuk rebahan. Mager, Febri merasa malas meskipun badannya bugar. Mungkin efek kekenyangan.

Febri memiringkan badannya. “Za,” panggilnya.

“Hemm?” sahut Ozza sambil tetap fokus dengan layar laptopnya. “What?”

“Kapan-kapan kalo lo yang ketemu Mbak Mira lebih dulu daripada gue, please lo mintain nomer WA dia, ya?”

Gerak jemari Ozza yang mengetik cepat di keyboard langsung terhenti. Ia menoleh pelan menatap Febri. “Lo serius mau ngajak dia bisnis kuliner?” tanyanya, pura-pura, karena ia tahu bahwa tujuan utama Febri pasti bukan itu.

Febri bangun kemudian duduk bersila. “Itu sih ntar kalo KKN kita udah kelar.” Ia raih guling di atas bantal lalu memeluknya. “Gue pengen waprian aja sama dia,” jujurnya.

Ozza segera menyimpan hasil ketikan, mematikan laptop, kemudian menaruhnya di samping badan. Bukannya menyahut ucapan Febri, ia justru menatap lurus dan kosong ke ujung kakinya yang selonjoran. Masih merasa aneh dengan kejadian yang menimpa Febri. Terlebih kedatangan Mirandani yang seperti membawa keajaiban pada sahabatnya itu.

“Lo suka sama dia?” celetuk Ozza. Ia menoleh dan melihat Febri sedang tersenyum lebar. Mata berkilat penuh semangat, jelas terlihat pemuda itu sedang kasmaran. Hari-hari kemarin memang gelagatnya masih samar, tapi makin ke sini Febri makin terang-terangan.

Tanpa Febri menjawab ‘iya’ pun, Ozza sudah paham. Ia bahkan seperti kehilangan kata-kata, antara mendukung, membiarkan, atau melarang Febri menggebet si janda kembang yang dibenci wanita sedesa.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Aneska cemburu sama mba Mirandani kayak nya😏😏

2024-03-19

1

Ali B.U

Ali B.U

lanjut.

2024-03-04

2

lihat semua
Episodes
1 Hari Pertama
2 Pertemuan Pertama
3 Interaksi Pertama
4 Berpisah
5 Ketemu!
6 Janda
7 Pengakuan
8 Mengajar
9 Rumah Mirandani
10 "Tersesat"
11 Menjenguk
12 Bangun
13 Dilabrak
14 Sandal untuk Hanum
15 Interupsi
16 Di Balik Sandal
17 Sepakat
18 Kedatangan Mirandani
19 Sutrikah
20 Senja Itu
21 Langkah Awal
22 Kepulangan
23 Teror di kelas Tiga
24 Rapat
25 Mendebat
26 Cendera Mata
27 Yang Terlihat
28 Mengejar
29 Gelagat
30 Paham
31 Pembuktian
32 Merebut
33 Mencari Hanum
34 Halaman Belakang
35 Menyaksikan
36 Kematian
37 Penemuan
38 Penyusup
39 Ozza dan Aneska
40 Bertengkar
41 Berpencar
42 Lost Contact
43 Terdesak
44 Pilihan
45 Tempat Teraman
46 Hari Baru
47 Pertunjukan
48 Kembali
49 Kejelasan
50 Menjelang Magrib
51 Dia Lagi
52 Dengan Mata Kepala Sendiri
53 Disatroni
54 Penuntasan
55 Antek-antek Mirandani
56 Berangkat
57 Mengikuti
58 Goyah
59 Diam-diam
60 Mengamuk
61 Kematian Kedua
62 Akhirnya Tahu
63 Tertuduh
64 Ditangkap
65 Satu-satunya Cara
66 Sebuah Pesan
67 Menculik
68 Penglihatan
69 Nyaris
70 Bergerak Cepat
71 Masuk Sarang
72 Dikepung
73 Selamat
74 Semua Tahu
75 Pertemuan Tengah Malam
76 Tugas Masing-masing
77 Warsih
78 Titik Terang
79 Berkumpul
80 Bertikai
81 Kemunculan Tak Terduga
82 Sengit
83 Awal Mula
84 Tragedi yang Terlupakan
85 Tantrum
86 Kebenaran
87 Deep Talk
88 Make Sense
89 Kembali ke Sekolah
90 Kilasan
91 Basecamp
92 Mimpi Febri
93 Kesurupan
94 Kedatangan Orang-orang Kota
95 Restu
96 Persiapan
97 Malam 1 Suro
98 Pertarungan
99 Momen Kritis
100 Pembantaian
101 Sasmitha
102 Usai
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Hari Pertama
2
Pertemuan Pertama
3
Interaksi Pertama
4
Berpisah
5
Ketemu!
6
Janda
7
Pengakuan
8
Mengajar
9
Rumah Mirandani
10
"Tersesat"
11
Menjenguk
12
Bangun
13
Dilabrak
14
Sandal untuk Hanum
15
Interupsi
16
Di Balik Sandal
17
Sepakat
18
Kedatangan Mirandani
19
Sutrikah
20
Senja Itu
21
Langkah Awal
22
Kepulangan
23
Teror di kelas Tiga
24
Rapat
25
Mendebat
26
Cendera Mata
27
Yang Terlihat
28
Mengejar
29
Gelagat
30
Paham
31
Pembuktian
32
Merebut
33
Mencari Hanum
34
Halaman Belakang
35
Menyaksikan
36
Kematian
37
Penemuan
38
Penyusup
39
Ozza dan Aneska
40
Bertengkar
41
Berpencar
42
Lost Contact
43
Terdesak
44
Pilihan
45
Tempat Teraman
46
Hari Baru
47
Pertunjukan
48
Kembali
49
Kejelasan
50
Menjelang Magrib
51
Dia Lagi
52
Dengan Mata Kepala Sendiri
53
Disatroni
54
Penuntasan
55
Antek-antek Mirandani
56
Berangkat
57
Mengikuti
58
Goyah
59
Diam-diam
60
Mengamuk
61
Kematian Kedua
62
Akhirnya Tahu
63
Tertuduh
64
Ditangkap
65
Satu-satunya Cara
66
Sebuah Pesan
67
Menculik
68
Penglihatan
69
Nyaris
70
Bergerak Cepat
71
Masuk Sarang
72
Dikepung
73
Selamat
74
Semua Tahu
75
Pertemuan Tengah Malam
76
Tugas Masing-masing
77
Warsih
78
Titik Terang
79
Berkumpul
80
Bertikai
81
Kemunculan Tak Terduga
82
Sengit
83
Awal Mula
84
Tragedi yang Terlupakan
85
Tantrum
86
Kebenaran
87
Deep Talk
88
Make Sense
89
Kembali ke Sekolah
90
Kilasan
91
Basecamp
92
Mimpi Febri
93
Kesurupan
94
Kedatangan Orang-orang Kota
95
Restu
96
Persiapan
97
Malam 1 Suro
98
Pertarungan
99
Momen Kritis
100
Pembantaian
101
Sasmitha
102
Usai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!