Ozza keluar dari kamar mandi sambil menghanduki rambutnya yang basah. Ia mendengus saat melihat Beni asyik main game mobile di kursi ruang tamu sambil memeluk gagang sapu. “Udah nyapunya?” tanya Ozza.
“Udah,” jawab Beni sambil mengangguk tanpa melihat Ozza, tetap fokus di layar HP-nya.
“Yaudah mandi, buru! HP mulu,” tegur Ozza sambil membuka pintu kamar tengah. Beni melirik Ozza yang masuk kamar lalu menutup pintu. “HP mulu,” tiru Beni sambil mencebik, “kayak emak-emak aja, lo!” gerutunya. Tapi bukannya bergegas mandi, Beni malah lanjut main.
Ozza menggantung handuknya di belakang pintu kamar. Ia jalan mendekat ke samping ranjang Febri. Diamatinya pemuda yang sedang berbaring mengenakan selimut tebal itu lalu menyentuh keningnya. “Kok belum turun juga?” gumamnya.
Ozza menuju meja di samping pintu dan mengambil kotak obat dari sana. Ia kembali dan duduk di tepian ranjang lalu mengganti cooling patch di kening Febri dengan yang baru. Begitu selesai, Ozza hendak beranjak tapi urung karena mendengar Febri tiba-tiba bergumam, “Mbak Mira...”
Ozza terbelalak. “Feb?” panggilnya. Berharap Febri sadar dari pingsannya. Tapi karena tak mendapat respons, Ozza berpikir bahwa mungkin Febri masih terjebak di alam mimpi.
Ozza menghela napas panjang. Ia tak menyangka akan mengalami banyak hal sejak kedatangan mereka di Desa Wilangan. Hal-hal asing yang belum pernah ia alami sebelumnya. Terutama kejadian-kejadian yang menimpa Febri, sohibnya sejak kecil itu. Sikap Febri cukup berubah sejak sampai di desa.
“Gue harap lo baik-baik aja,” gumam Ozza sambil beranjak mengembalikan kotak obat di meja. Meskipun pembawaannya tenang cenderung dingin, sejatinya Ozza memiliki pemikiran yang dalam.
"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk!"
Mendadak Ozza mendengar suara Beni yang heboh di luar sana. Seperti sedang mengobrol dengan suara wanita. Ozza segera membuka pintu kamar untuk mengecek, barangkali teman-teman perempuannya datang membawa hasil masakan.
“Mbak Mirandani?” panggil Ozza begitu melongokkan kepala. Rupanya janda cantik itu yang datang, bukan teman-temannya.
Mirandani yang semula mengobrol dengan Beni langsung menatap Ozza sambil mengangkat rantang tiga susun yang ia bawa. Bermaksud menunjukkan pada Ozza bahwa ia tidak datang dengan tangan kosong. Ozza termangu, menatap wanita yang suka mengenakan midi dress lengan balon itu.
“Aku bawain menu makan malam. Nggak apa-apa, kan?” tanya Mirandani sambil tersenyum pada Ozza. Membuat pemuda berkacamata itu tampak sedikit tersentak lalu buru-buru mengangguk canggung.
Ozza melangkah bergabung di ruang tamu. Beni menerima rantang yang diserahkan Mirandani padanya lalu menaruhnya di meja ruang tamu dengan wajah semringah.
“Dek Febri... gimana keadaannya sekarang?” tanya Mirandani dengan suara pelan.
“Demamnya masih tinggi,” jawab Ozza. “Aku cuma pasangin cooling patch di keningnya. Dia belum bangun jadi belum bisa makan sama minum obat.”
Raut wajah Mirandani tampak prihatin. Ozza menyikut Beni yang asyik membuka tutup rantang di meja.
Sebelumnya, saat Ozza dan teman-teman mencari Febri, mereka bertemu dengan Mirandani di jalan. Mirandani tampak tergopoh menghampiri mereka berlima kemudian memberitahu bahwa Febri pingsan di depan penginapan. Bahkan ia meminta bantuan beberapa tetangga untuk mengangkat Febri ke dalam. Hal itu sukses membuat Ozza dan teman-temannya shock. Terlebih Febri masih belum siuman hingga sekarang.
“Maafin aku ya, Dek. Kayaknya dia sakit gara-gara habis minum es teh di rumahku,” terang Mirandani.
DEG! Ozza dan Beni saling pandang. “Febri tadi ke rumah Mbak?” tanya Ozza.
“Iya. Dia ngambil barang yang sempet aku bawa,” jawab Mirandani.
“Barang apa?” tanya Beni penasaran. Ozza menginjak jempol kaki Beni bermaksud melarangnya kepo. Beni memekik kesakitan sambil melotot pada Ozza. Ozza tak peduli, ia lebih fokus pada Mirandani. “Mbak Mirandani kalau mau, silakan masuk jenguk Febri,” tawar Ozza, supaya Beni tidak bertanya lebih banyak lagi.
Mirandani memandang Ozza dan Beni secara bergantian. “Boleh?” tanyanya.
Ozza mengangguk. Beni menarik lengan T-shirt Ozza sambil mengernyit. “Ntar dijulidin tetangga,” bisiknya. Tapi Ozza tetap tak peduli.
“Masuk aja, Mbak. Asal pintunya nggak usah ditutup,” ucap Ozza lalu duduk di ruang tamu dengan santai. Mirandani mengangguk, “Oke.”
Beni nyengir melihat Ozza membiarkan wanita cantik itu masuk kamar. Ia segera beranjak hendak mengikuti Mirandani tapi Ozza lebih cepat menarik tangannya. “Ambilin piring sama sendok, dong,” pinta Ozza dengan santainya. Ozza yang merasa ditatap oleh Beni langsung menoleh. “Buruan. Laper, nih.”
Beni nyengir. Tapi setelah melongok melihat isi rantang yang menunya berbau lezat dan gurih, seketika ia tergoda lalu menuju dapur menuruti permintaan Ozza.
***
Begitu sampai di kamar, Mirandani mengedar pandang ke penjuru ruangan. Mulutnya menggumamkan kata-kata yang tak jelas terdengar. Sesekali matanya tertuju pada Febri yang terbujur di ranjang. Kemudian jalan pelan mengitari tempat itu sembari menyentuh benda-benda di sana.
Selesai dengan itu semua, Mirandani mendekat ke samping Febri lalu duduk di tepian ranjang. Ia pegang tangan Febri yang terasa dingin dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya ia letakkan di kening pemuda itu yang terasa panas. Suhu badan Febri jelas tidak normal saat ini.
Mulut Mirandani kembali komat-kamit, sekarang tanpa suara. Tapi mendadak lampu kamar mati, menyisakan kegelapan maksimal padahal waktu belum malam. Mirandani memejamkan mata dan beberapa detik kemudian terbuka sambil menyorot tajam ke atas kepala Febri. “Mulih!” hardik Mirandani dengan suara lirih namun penuh penekanan.
BRAKK!! Seketika jendela kamar itu terbuka dengan sendirinya. Tirai jendela yang berupa kain jarik menari diterpa angin luar. Warna jingga langit sore berpendar menembus remangnya kamar. Bahkan menerpa wajah Febri yang kini tampak sedang tidur tenang. Berbanding terbalik dengan Mirandani yang terengah-engah seperti habis kerja berat. Bahkan bulir keringat membuat basah anak-anak rambut yang jatuh di wajahnya. Dengan perasaan lega, ia menunduk kembali menatap Febri. “Wis, Le. Wis mulih kae,” ucapnya, memberitahu Febri bahwa ‘si pengganggu’ sudah pulang ke tempat asalnya.
“Mbak! Suara apa tadi?”
Ozza dan Beni menyerbu masuk kamar setelah mendengar suara benturan benda keras barusan. Mereka mendekat dengan ekspresi panik. “Kalian baik-baik aja?” tanya Ozza.
Mirandani berdiri dan tersenyum. “Nggak ada apa-apa, kok. Cuma jendela ketiup angin kenceng.” Mirandani menunjuk jendela yang terbuka dengan dagunya.
“Oooh,” sahut Beni.
“Kalo gitu aku pamit, ya. Rantangnya balikin kapan-kapan aja,” ujar Mirandani yang kemudian beranjak hendak keluar.
Ozza memandang wanita itu berjalan sampai di ambang pintu. Wanita itu tiba-tiba berhenti dan terdengar suara ketiga teman perempuannya. “Ngapain Mbak di sini?” tanya Aneska.
“Aku jenguk Febri. Sekalian bawain lauk makan malam buat kalian,” jawab Mirandani sejujurnya.
“Mbak nggak usah repot-repot, deh. Kami bisa masak sendiri, kok,” sahut Aneska.
Ozza segera mendekat dan melihat sikap arogan gadis jutek itu. “Nes, jangan ribut,” tegurnya.
Aneska mendengus kasar. “Siapa yang ribut? Gue cuma mau ingetin Mbak Mirandani, nggak baik main ke rumah laki-laki seorang diri,” sarkasnya. “Apalagi bawa-bawa makanan. Hati-hati aja lah sama pikiran orang.”
Ozza, Beni, Dea, dan Kia seketika tercengang. Mereka heran dengan Aneska yang seperti tak menyukai Mirandani secara terang-terangan. Tapi Mirandani malah tertawa ringan. “Iya, aku ngerti. Makasih ya udah ngingetin,” ujarnya dengan ramah. “Kalo gitu aku musti buru-buru pulang, nih. Biar nggak dijulidin orang,” sindirnya dengan tenang.
Lima orang itu menatap kepergian Mirandani yang slay menanggapi sinisnya Aneska. Dea menepuk punggung Aneska dan bertanya dengan polosnya, “Kamu kenapa kayak benci banget ya sama Mbak Miranda?”
Aneska mengedikkan punggungnya. Ia menatap Dea dengan canggung kemudian menatap tiga teman lainnya bergantian. “Gue cuma...” Aneska menggantung kalimatnya. “Ah, pokoknya feeling gue nggak bagus soal cewek itu,” ucapnya sambil berlalu ke dekat Febri. Ia sentuh kening Febri sebentar. “Syukur, demam Febri udah turun.”
“Hah? Nggak mungkin!” pekik Ozza. Ia bergegas menghampiri dan menyentuh kening Febri untuk memastikan ucapan Aneska barusan. “Beneran...” gumamnya pelan. Seketika pikirannya berkecamuk, mengabaikan ingar-bingar teman-teman yang lega dengan kondisi mendingan Febri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Semoga mba Mirandani gak jahat😌😌
2024-03-19
1
Ali B.U
lanjut
2024-03-04
2
Ali B.U
mungkin Febri tersesat di dimensi gaib
2024-03-04
2