“Deal!”
Beni dan Ozza mengambil posisi di ujung kanan dan kiri pelataran rumah setelah mengayun jabatan tangan mereka.
Beni menatap lurus ke arah Ozza. Begitu pun Ozza balik menatap Beni dan sudah siap dengan kuda-kuda. Di tangan kanan masing-masing tergenggam raket badminton, sedangkan shuttlecock ada di tangan kiri Beni. Ozza sengaja mengalah dan mempersilakan pemuda rambut cepol itu yang menyervis lebih dulu.
Kia yang tadi datang ke penginapan laki-laki untuk mengambil mangkuk sop pun berhenti dan duduk di teras menonton Beni dan Ozza. “Three. Two. One. Go!” instruksi Kia yang diminta untuk menjadi wasit mereka.
Permainan pun dimulai. Selama beberapa saat cukup alot tanpa ada yang bisa menjatuhkan shuttlecock. Kia bahkan tepuk tangan beberapa kali. “Daebak!” ucapnya sambil menyemangati mereka.
Hingga kemudian Ozza berhasil mengirim beberapa pukulan smash pada Beni. Begitu pula Beni yang balas mengirim smash hingga mengenai perut dan dagu Ozza. Kia cukup takjub karena rupanya dua pemuda itu berbakat juga.
“Kayak punya dendam kesumat aja tuh mereka,” celetuk Aneska yang jalan ke teras kemudian duduk di sebelah Kia.
Kia merasa aneh, kemudian memerhatikan ekspresi Ozza maupun Beni. “Iya juga, ya?” Kedua pemuda itu tampak saling serang dengan tidak santai. “Sengit amat.”
“Lagian kenapa tiba-tiba main badminton, sih? Kurang kerjaan aja panas-panas gini,” gerutu Aneska sambil mengarahkan kamera HP ke halaman, merekam pertandingan.
“Itu, katanya gara-gara si Beni. Hari ini tugas dia bersihin kamar mandi tapi nggak mau, pilih nyapu. Ozza bete tuh, kebetulan dia lihat ada alatnya di atas lemari kamar, gas lah nantang Beni tanding,” terang Kia.
Aneska manggut-manggut. “Ozza mau ngalahin Beni biar tuh cowok mau bersihin kamar mandi?”
“Gitu, deh.”
Aneska geleng kepala tapi tetap merekam permainan keduanya.
“Guys!” teriak Febri tiba-tiba. Kelima temannya langsung menoleh ke arah Febri yang berjalan sambil memegangi lengan Dea. Kondisi Dea sudah lebih baik dari sebelumnya, tapi kakinya masih sedikit gemetaran, jadi Febri tak punya pilihan selain terus membantunya berjalan sampai di penginapan.
Kia berjingkat ke jalan tempat Febri dan Dea berhenti. Aneska, Ozza, dan Beni pun mengikuti. “Dea kenapa?” tanya Kia dengan paniknya.
“Ceritanya panjang. Yang jelas Dea lagi nggak enak badan, jadi kita masuk dulu deh sekarang,” ajak Febri. “Ke rumah kalian aja, kan?”
“Iya, lah,” sahut Aneska. Dengan sigap ia mengajak Kia beralih memapah Dea menuju penginapan mereka.
Ozza mengedikkan dagu ke arah Febri, meminta jawaban atas rasa penasaran. Tapi Febri malah menghela napas panjang. Beni yang bingung memahami keadaan hanya bengong sambil menerima raket yang Ozza serahkan.
“Lo bawa pulang dulu, nih. Jangan lupa kunci pintu sebelum ke sini,” titah Ozza yang kemudian pergi ke penginapan perempuan bersama Febri.
“Ck, gue ditinggal?” gerutu Beni sambil beranjak menuruti perkataan Ozza.
Di penginapan perempuan, Dea sudah berbaring di kursi ruang tamu. Kia keluar dari kamar membawa selimut kemudian membentangkannya di atas badan Dea. Sedangkan Aneska melangkah dari dapur sambil memegang secangkir teh yang mengepulkan asap kemudian ia letakkan di meja.
“Dea kenapa sih, Guys?” celetuk Beni yang baru datang dan masih berdiri di ambang pintu. “Bukannya tadi lo sama dia ke toko ya, Feb?”
Febri mengangguk lemah. “Lo masuk aja sini. Tutup pintunya. Gue mau ngomongin hal penting.”
Teman-teman merasa heran melihat ketegangan di wajah Febri. Mereka sangat ingin tahu mengenai hal apa yang telah terjadi. Beni yang dikuasai rasa penasaran pun langsung menurut. Pintu ia tutup, lalu ikut duduk di sebelah Ozza.
Setelah mengatur napas, Febri pun memulai kisahnya. Mulai dari dirinya yang mengejar bocah gundul sampai tersesat di ladang, menemukan sandal, bertemu Mirandani, anak murid bernama Hanum yang punya masalah dengan ayahnya dan berkaitan dengan sandal merah yang ia temukan, hingga yang baru saja terjadi yaitu gumpalan rambut lengket dengan darah kering di sandal tersebut.
Ozza, Beni, Kia, dan Aneska saling pandang. Mereka sampai kehilangan kata-kata karena sulit percaya.
"Merinding gue, jirr," ucap Beni sambil mengusap-usap kedua lengan dan tengkuknya.
“Yakin kalian nggak salah lihat atau salah ngira benda itu?” tanya Ozza ragu-ragu.
“Kali aja sabut kelapa kena oli?” timpal Beni.
Dea berusaha bangun dengan posisi duduk, Kia sigap membantunya. “Sumpah, aku juga lihat. Makanya sekarang aku kayak gini.”
Mendengar penuturan Dea membuat empat orang itu mau tak mau mencoba untuk percaya. Selama beberapa saat mereka semua tampak diam berpikir. Beberapa kali mereka menghela napas, antara tak sanggup berkata-kata dan masih sulit percaya tapi harus menerima kisah itu sebagai fakta.
“Oke! Gue ikut!” ujar Ozza tiba-tiba. Teman-teman langsung menatapnya. “Kenapa pada ngeliatin gue, sih?” tanyanya heran.
“Jangan tinggalin gue mulu, Bro!” Beni menepuk pundak Febri.
Aneska berdecak. “Kalo gitu semuanya kudu terlibat, dong. Kita kan satu kelompok.”
Kia mengangguk mantap. “Siap!”
“Kalo gitu kita deal, ya?” tanya Febri memastikan keikutsertaan teman-teman dalam misi penyelidikan. “DEAL!” teriak empat temannya bersamaan.
Dea dan Febri saling pandang dan melempar senyuman. “Tapi kalo bener ada masalah besar di desa ini, berarti kita nggak main-main, nih,” ucap Febri sambil menatap teman-temannya secara bergantian.
“Lo jangan ngeremehin gue, Feb,” sengak Aneska.
“Oke, peace,” sahut Febri seraya mengangkat kedua telapak tangannya. Ia menyerah dengan sikap keras Aneska.
“Gue merasa tertantang,” celetuk Beni sambil cengengesan dan langsung kicep saat Ozza menatapnya tajam. “Sorry...” gumam Beni.
Tiba-tiba Febri beranjak dari tempat duduknya menuju pintu. Ia membuka pintu dan mengedarkan pandang mengamati keadaan luar. Setelah dirasa tidak ada yang aneh, ia pun kembali ke kursinya. “Mending kita ngomongnya pelan-pelan aja daripada ntar dikira lagi kumpul kebo kalo nutup pintu.” Rekan-rekannya mengangguk setuju.
Dengan merendahkan volume suara, muda-mudi itu pun membahas siasat dan segala kemungkinan yang terjadi. Tiba-tiba Aneska berujar, “Kita jangan percaya sama orang-orang desa ini. Termasuk Mirandani.”
DEG! Febri tersentak mendengarnya. Ia merasa tak terima dengan pernyataan Aneska, namun tak mau membantah dan memilih untuk diam saja.
“Bentar. Kalo gitu kalian berdua ninggalin sandal itu, kan?” tanya Ozza.
Febri garuk kepala. “Lah, iya.”
Ozza dan Aneska kompak mendengus lelah. “Kenapa barang bukti sejelas itu malah dibuang sembarangan?” ketus Aneska.
“Sorry,” ucap Febri dan Dea bersamaan.
“Yaudah, sih. Dea aja sampe shock gitu gimana mau bawa pulang tuh sandal?” bela Kia sambil mengusap-usap punggung Dea.
Meski kesal, Aneska maklumi saja. “Gue paham. Kalian pasti nggak bisa mikir jernih tadi.”
“Tinggal kita balik ke sana aja ngambil, apa susahnya,” saran Ozza.
Beni langsung mengacungi jempol. “Right! Let’s go!” ajak Beni tapi langsung ditarik Ozza saat ia berdiri dari kursinya. “Apaan, sih?” Beni langsung terduduk kembali.
Giliran Ozza berdiri sambil memberi kode pada Febri. “Beni di sini aja temenin Kia sama Dea. Biar gue, Febri, sama Aneska yang ke sana.”
“Gas!” Aneska segera beranjak ke kamar kemudian keluar sambil mengenakan sweater rajut. Febri dan Ozza sudah lebih dulu menunggu di luar.
Beni nyengir. “Gue ditinggal?”
“Udah, nurut aja,” saran Kia.
***
Matahari semakin condong ke barat. Sinar jingga mengintip di sela-sela pepohonan membentuk bayangan abstrak di dinding bambu rumah Hanum. Rumah limasan yang cukup besar itu hening semenjak kepergian Dea dan Febri. Hingga tibalah Suti di sana lalu mengetuk pintunya beberapa kali. “Pak Agus? Aku Suti, Pak!”
Tak segera mendapat jawaban, Suti celingukan mengamati sekitar. Kondisi rumah itu cukup lengang. Tak ada satu pun pakaian di galah jemuran, pelataran kamar mandi kering tanpa bekas tersiram, juga tak tampak seorang pun yang lalu lalang. Suti penasaran, tapi tidak bisa menuju ke halaman belakang karena terhalang pagar dari samping depan.
“Pak Agus! Njenengan di dalam? Aku Suti!” teriak wanita itu lagi.
Beruntung tak lama kemudian pintu dibuka dari dalam. Agus melongokkan kepalanya sedikit dan bernapas lega saat melihat Suti tersenyum padanya. “Budhe Suti? Ada perlu apa sore-sore ke sini?”
“Ada perlu sedikit sama njenengan, Pak Agus,” jawab Suti sambil senyum bisnis. “Bisa kita bicara sebentar?”
Agus mengangguk pelan. Tanpa rasa curiga sedikit pun karena ia mengenal Suti sebagai wanita terpercaya di desa, Agus pun membuka pintu lebar-lebar. “Monggo, sila―” Suara Agus tercekat di tenggorokan, matanya membelalak lebar, dilihatnya Mirandani berdiri di samping Suti sambil menenteng kantong kresek hitam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kayak nya pak Agus ada yang dilihat mba Mira melakukan sesuatu deh kok sampai takut ketemu mba Mira😐😚
2024-03-19
1
Ali B.U
next
2024-03-04
2