Febri dan teman-teman sampai di dekat sekolah. Bersamaan dengan kedatangan Hanum yang dibonceng seorang pria dengan sepeda ontel. Dea berbisik pada Febri, “Itu Ayahnya, kan?”
Febri yang terpaku menatap Hanum langsung menoleh pada Dea kemudian mengedikkan bahunya. “Kayaknya, sih.”
Kelompok Febri sampai di depan gerbang sekolah saat Hanum turun dari sepeda lalu mencium tangan pemboncengnya. Mereka berenam menyapa si pria sambil menganggukkan kepala dengan sopan. Tapi respons pria itu dingin, ia hanya mengangguk tanpa bicara, juga tak tersenyum sama sekali. Febri dan teman-teman merasa heran tapi tidak ambil pusing.
“Selamat pagi, Hanum,” sapa Dea sambil mengajak high five gadis berwajah kecil dengan rambut kuncir itu. Febri tak mau ketinggalan, ia tos juga dengan Hanum kemudian mendorong pelan pundaknya untuk jalan bersama masuk halaman sekolah.
Ozza menoleh sebentar ke belakang. Ia melihat pria yang mengantar anak murid Febri itu tengah menatap datar ke arah kelompoknya. Ozza merasa aneh, tapi enggan berpikir macam-macam. Paling hanya sikap protektif terhadap anak gadisnya yang diajar oleh muda-mudi dari kota.
Febri pamit mengantar Hanum ke kelas sedangkan lima temannya menuju ruang guru. Sesampainya di depan kelas, Febri membuka tas punggungnya dan mengeluarkan kantong kresek warna hitam dari sana. “Hanum,” panggil Febri dengan suara lirih.
“Iya, Pak Febri?” jawab Hanum dengan suaranya yang kecil pula.
Febri berjongkok di depan gadis mungil itu lalu menyodorkan kantong kresek yang baru dikeluarkannya tadi. “Bapak nemuin sandal ini sewaktu di ladang.” Febri membuka kresek dan mengeluarkan sandal merah dengan lumpur kering yang menempel di bawahnya.
Hanum langsung terbelalak melihat sandal yang ditunjukkan Febri. Teman-temannya yang sudah di kelas maupun yang baru datang langsung berkerumun di tempat Hanum dan Febri. “Bener itu sandalmu, Num!” celetuk anak laki-laki dengan lantang.
Di srampat sandal ada ikatan tali warna kuning yang tipis dan kuat. Tanda khas sandal maupun sepatu milik Hanum yang dipasangkan ayahnya. “Iya, Pak, ini sandal saya,” ucap Hanum sambil tersenyum. Setelah itu senyumannya meredup. Ia termenung menatap sandal itu kemudian menyerahkannya pada Febri lagi.
“Kenapa, Hanum?” tanya Febri penasaran.
Hanum menggeleng. “Tolong Pak Febri buangkan. Yang jauh sekalian.”
Dea yang baru masuk kelas langsung bergabung dengan kerumunan itu. “Sandalnya ketemu?” bisiknya pada Febri. Febri mengangguk. Dea menatap sandal merah yang kotor tersebut. “Siapa yang nemuin? Ketemu di mana?”
Febri terpaksa mengaku, “Gue yang nemu, waktu kesesat di ladang.”
Dea mangap, “Kamu kesesat di ladang? Kapan?”
“Ntar aja ceritainnya,” sahut Febri. Dea mengangguk pelan. “Trus sekarang minta dibuangin?” bisik Dea dan Febri menjawabnya dengan anggukan.
Dea berjongkok lalu memegang tangan Hanum. “Yaudah, kalo Adek nggak mau sandalnya, wajar aja. Kan tinggal sebelah, buat apa. Ya, kan?” Dea coba menghibur gadis yang paling mungil di kelas itu. Hanum mengangguk sambil merengut. Teman-temannya coba menghibur juga dan mengajak ke bangku bersama-sama.
Dea berdiri diikuti Febri. “Yaudah yuk, Feb, ke ruang guru. Mau ada briefing dikit kata Bu Manik,” ajak Dea. Ia beranjak, Febri pun mengekorinya.
***
Sepulang sekolah, Febri dan Dea pamit pada teman-temannya mau ke toko kelontong dengan alasan membeli keperluan untuk mengajar esok. Beruntung teman-teman tak menaruh curiga jadi mereka pun berpisah di jalan depan sekolah karena mengambil jalan yang berlawanan arah.
“Cuma ini, Pak?” tanya Dea pada pemilik toko.
Pemilik toko berkepala botak hanya mengangguk sambil terus mengibaskan kipas anyaman bambu ke lehernya. “Iya, saya cuma jual sandal-sandal itu. Kenapa?”
“Warnanya merah semua,” gumam Febri di dekat Dea.
Febri dan Dea bermaksud membelikan sandal baru untuk Hanum. Tapi begitu sampai di toko, semua sandal anak-anak di toko itu hanya berwarna merah meski beda-beda model. Keduanya sampai saling sikut karena heran. “Kita coba ke toko lain, yuk!” ajak Dea dengan berbisik di belakang punggung Febri.
“Percuma,” sahut pemilik toko yang ternyata dengar bisikan Dea. “Mau kalian cari di toko-toko lain di desa ini juga bakal nemunya sandal anak-anak warna merah semua.”
“Kok gitu?” tanya Dea, heran sekaligus penasaran.
“Karena anak-anak suka,” jawab pria botak itu sambil berdiri mendekat ke rak sandal. “Gimana? Jadi beli, ndak? Atau mau coba buktiin ke toko lain? Tapi letaknya jauh-jauh. Nanti kalian capek, lho.”
Febri mencolek lengan Dea kemudian mengangguk kecil saat gadis itu menoleh padanya. Ia teringat dengan ucapan Mirandani waktu di ladang tentang anak-anak Desa Wilangan yang suka dengan sandal merah sehingga semua toko kelontong menjual warna yang sama.
“Yaudah, kami jadi beli, Pak,” ucap Dea sambil kembali memilih model sandal.
“Pilihin yang paling bagus, De. Gue yang bayar,” ujar Febri sembari mengambil dompet dari tas punggungnya.
Tak butuh waktu lama bagi Dea menentukan pilihan dan Febri menyerahkan uang pada si penjual. Mereka pun pergi dengan penuh semangat menuju rumah Hanum. Keduanya memang sempat bertanya pada Hanum tentang arah rumahnya saat di kelas tadi. Hanum memberitahu dengan detail sampai membuatkan gambar rute, juga gambar model rumahnya jika dilihat dari depan.
Ternyata rumah Hanum tak begitu jauh dari toko yang dikunjungi Dea dan Febri. Hanya perlu berbelok dua kali kemudian sampai. Rumah Hanum tidak terletak di pinggir jalan besar, harus masuk gang dan melewati beberapa rumah tetangganya.
Febri mengecek secarik kertas HVS untuk melihat gambar rumah yang dicoretkan Hanum. Persis. Rupanya gadis mungil itu punya bakat seni rupa. “Bener ini, kan?” tanyanya pada Dea. Dea mengangguk, “Aku yakin. Gambarnya sama.”
Rumah limasan itu lebih besar dan panjang daripada penginapan kelompok KKN Febri. Halaman luas dengan tanah halus warna cokelat kekuningan yang pasti panas saat siang jika diinjak dengan kaki telanjang. Semak-semak bunga dan beberapa pohon mangga mengelilingi kediaman. Bangunan kamar mandi dengan sumur timba berada di sisi kiri pekarangan beserta jemuran berupa galah bambu yang panjang.
Rumah Hanum tampak asri dan rindang, tapi terkesan seram. Karena letak rumah-rumah di gang itu agak berjauhan dengan sekat kebun-kebun sayur dan buah-buahan. Febri yang mengedarkan pandang ke sekeliling tiba-tiba termangu menatap pohon-pohon salak. Ia merasa familier, seperti pernah melihatnya di suatu tempat. Tapi di mana? Dan kapan?
“Feb,” panggil Dea, membuyarkan lamunan Febri yang menatap kosong ke kebun salak di depan rumah Hanum. Febri agak tersentak lalu segera bereaksi, “Oh, iya?”
“Tuh, Hanum,” tunjuk Dea dengan dagunya.
Hanum tampak tersenyum lebar dengan menggemaskan di teras rumahnya. “Pak Febri, Bu Dea,” sapa Hanum.
Febri dan Dea segera menghampiri. Febri buru-buru menyodorkan kresek hitam yang dipegangnya pada Hanum. “Ini kami beliin buat kamu.”
“Apa ini, Pak?” Hanum menerima kresek Febri dan membukanya. Matanya terbelalak takjub. “Sandal baru? Buat saya?”
Febri dan Dea mengangguk bersamaan. “Biar kamu bisa keluar main sama temen-temenmu.”
“Asyiiik!” pekik Hanum dengan girang.
“Ayo, cobain!” ucap Dea sambil melepaskan sandal dari plastik pembungkusnya. Ia letakkan sandal itu di depan kaki Hanum. “Tadi kami cari ukuran yang sama kayak sandal kamu sebelumnya.”
Dan benar, sandal baru pembelian Febri dan Dea sangat pas di kaki Hanum. Gadis itu memakainya jalan ke halaman bahkan melompat-lompat penuh semangat. Dea tak membuang kesempatan, ia segera mengambil HP dari saku jas kemudian memotret bahkan memvideo tingkah lucu Hanum yang sangat bahagia dengan sandal barunya.
“Terimakasih, Pak Febri! Terimakasih, Bu Dea!”
Febri dan Dea meringis senang. Mereka melambai dari teras dan membiarkan Hanum berlarian di halaman.
“Opo iki?!” teriak suara seorang pria dengan nada sangar.
Hanum sontak berhenti lari. Febri dan Dea juga kaget dan menoleh bersamaan ke arah suara tadi. Seorang pria menuntun sepeda ontelnya menuju halaman.
“Bapak, lihat! Aku dibeliin sandal baru sama Bapak Ibu Guru,” ucap Hanum dengan polosnya.
Pria yang dipanggil bapak oleh Hanum itu melotot nyalang. Kakinya menghentak mendekati Hanum dan segera berjongkok. Ia angkat badan mungil gadis itu, melepas sandal dari kakinya, lalu melempar sandal itu jauh-jauh hingga menghilang di semak bunga.
Febri dan Dea terbelalak. Sikap kasar pria itu membuat mereka kehilangan kata-kata. Hanum yang juga kaget langsung menangis. “Bapak! Kenapa sandalku dibuang?” rengeknya sambil terisak.
Pria yang memakai caping itu segera menggendong Hanum dan berusaha menenangkan dengan mengusap-usap punggung kecil yang bergetar akibat tangisan. “Itu bukan sandalmu, Num!” bisiknya dengan penuh penekanan. Ia menurunkan Hanum di teras. “Wis, kamu masuk rumah, sana!” titahnya. Tapi Hanum menggeleng, tak mau menurut. Pria itu mendengus kasar kemudian menoleh pada Febri dan Dea. “Kalian!” tudingnya dengan mengacungkan telunjuk tangan.
Melihat pria yang sedang dikuasai amarah itu menuju ke tempat mereka, Febri segera menarik Dea untuk ia sembunyikan di balik punggungnya. Febri berdiri tegap dan menatap tegas pada ayah Hanum yang seperti siap memukulnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kenapa Hanum gak boleh pakai sandal baru🤔🤔
2024-03-19
1
Ali B.U
ada apakah sebenarnya Hanujm di belikan sendal gak boleh?
lanjut
2024-03-04
2