NovelToon NovelToon

Rondho Kanthil

Hari Pertama

Sudah cukup jauh ia berlari meninggalkan pondok angker di tengah hutan yang disinggahinya bersama teman-teman. Derap lari kakinya kini mulai memelan. Lelah, payah, napas terasa panas dan berat. Peluh dingin membanjiri wajah dan badannya, membuat kuyup kemeja kremnya. Susah payah ia menelah ludah, demi bisa menstabilkan segala rasa tak nyaman di dirinya.

“Please, sinyal, please!!”

Sesekali ia goyangkan HP-nya di udara untuk mencari sinyal provider. Harus lapor Polisi, Damkar, tim SAR, ustaz, atau siapapun yang bisa menyelamatkan dirinya dan rekan-rekan. Itulah yang menjadi prioritasnya saat ini, setelah beberapa orang tak dikenal dan sesosok makhluk tak kasat mata berusaha melenyapkan kelompok KKN yang diketuainya.

“Feb... Febri...”

Sebuah suara serak tiba-tiba terdengar memanggil namanya. Suara si mungil Dea.

“Febri!”

Kali ini suara teriakan Beni yang terdengar seolah membelah senyapnya malam.

“Tolong, Feb! Tolooong!!”

Suara Kia terdengar menyayat hati.

“Febri, lari!!”

Perintah dari suara Aneska.

“Apapun yang terjadi, lo jangan balik ke sini lagi!”

Permohonan Ozza penuh dengan penekanan.

Suara-suara itu seperti sengaja mengikutinya. Menyertainya melarikan diri menyusuri jalan setapak di tengah hutan yang sama sekali tak ia kenal. Ia menggeleng cepat untuk menyingkirkan rasa pilu yang merayapi batin dan pikirannya. Air matanya luruh bercampur dengan peluh.

“Aw!” Larinya terhenti setelah menyandung benda keras sampai jemari kaki kanannya terasa seperti dipukul palu. Beruntung ia tak sampai jatuh. Meski badannya limbung, tapi ia bisa mempertahankan keseimbangan. Tanpa buang waktu, ia kembali berlari meski harus bertumpu dengan satu kaki.

“Itu tadi apaan, sih?” gerutunya sambil bergidik ngeri. Setahunya, flash HP yang ia sorotkan ke arah depan sama sekali tidak menyinari bebatuan alam. Memang salahnya yang tidak memerhatikan kondisi jalan, tapi benda keras tadi dirasa berbentuk kotak simetris oleh indra perasa ujung kakinya.

Ia kembali menggeleng cepat, mengusir pikiran-pikiran negatif tentang benda kotak yang kemungkinan merupakan makam. Tapi rasa penasaran lebih mendominasinya. Ia berhenti berlari. Dengan gemetaran, ia sorotkan flash HP ke sekeliling dengan posisi agak ke bawah.

“HUWAAARGH!”

Dugaannya seratus persen benar! Ia melewati area pemakaman. Batu-batu nisan lusuh dan rusak sana-sini yang berjajar sembarangan. Bahkan ada jenazah-jenazah berkafan kumal yang menyembul keluar dari tanah makam.

“Huweeek!”

Seketika ia muntahkan isi perutnya yang hanya berupa cairan panas dan asin karena seharian tak minum, juga tak makan. Badan gemetar hebat disertai sekujur tubuhnya yang meremang. Kepala mulai berdenyut nyeri bahkan pandangannya berputar-putar.

“Nggak, nggak...” gumamnya, berusaha menahan kesadaran. “Jangan pingsan sekarang.”

Di momen kritis itu, telinganya menangkap suara langkah kaki yang diseret diiringi kikik tawa bercampur tangisan laki-laki dan perempuan. Jantungnya berdegup makin kencang tak karuan. Mata yang mulai kabur karena nyaris hilang kesadaran itu melirik ke arah sumber suara. Bukan hanya di kiri, tapi di kanan, bahkan depan dan belakang.

Semua sosok hantu yang pernah ia lihat di media cetak maupun elektronik sedang menuju ke arahnya. Mendekat dan berkerumun, bahkan memegangi kakinya untuk tidak kabur. Dengan sisa tenaga dan kesadarannya, ia hanya bisa berteriak, “JANGAAAN!”

PLAKK!

Tamparan keras mendarat di kening Febri. Menciptakan rasa nyeri dan menjalarkan panas di seluruh wajahnya. “Jangaaan!” teriaknya lagi.

“Woy!” hardik suara laki-laki.

Napas memburu. Mata terbuka pelan, air bening menggenang dipelupuknya. Sambil sesenggukan ia mengerjap.

“Jiah! Ngapain lo nangis?” ejek sebuah suara.

Mata yang buram karena dipenuhi cairan membuatnya tak jelas melihat sekitar. Ia kucek kedua matanya beberapa kali hingga dirasa kering. Barulah ia bisa melihat dua rekannya, Ozza si sipit berkacamata, dan Beni si rambut cepol, sedang mengernyit heran padanya.

“Ozza... Beni?” gumam Febri. Linglung, ia langsung merangkul Ozza dan Beni bersama-sama.

Keduanya risi lalu menyentak badan Febri. “Lo kenapa, sih? Mimpi buruk?” tanya Beni.

Febri seolah kehilangan kata-kata karena masih belum memercayai kesadarannya. Ia pandangi Ozza dan Beni secara bergantian lalu segera meraih HP-nya di atas meja kayu sebelah ranjang. “Ini kenyataan,” pikirnya. Karena getar HP dari satu panggilan terasa nyata di telapak tangannya.

“Mama lo telepon dari tadi tuh, Feb!” bentak Beni.

“Serius?” tanya Febri ragu-ragu.

Ozza berdecak. Ia benahi kacamatanya kemudian beranjak. “Lagian lo tidur kayak orang mati,” makinya dengan suara pelan.

Febri masih terdiam. Beni yang duduk di tepi ranjang langsung merebut HP Febri dan menekan tombol accept. “Halo, Tante!” sapanya dengan suara nyaring. “Febri baru bangun nih, Tan. Makanya lambat angkat telepon.”

Febri meminta HP-nya kembali lalu berbicara dengan mamanya. “Ma?” Febri terdiam mendengarkan celotehan mamanya di seberang sana. “Iya, aku janji habis salat subuh nggak tidur lagi. Iya. Nggak bakal skip sarapan, kok. Janji, Ma, janji. Iya. Mama nggak usah khawatir, ya!”

Beni geleng kepala melihat Febri yang kembali ke kondisi awal yaitu anak mama yang penurut setelah tadi sempat berteriak, menangis, bahkan memeluk Ozza dan dirinya. Sebenarnya Beni sangat kepo, ingin tahu mimpi buruk apa yang dialami sohibnya itu, tapi ia urungkan saja karena sudah tak banyak waktu.

“Buruan lo siap-siap, Feb. Kami tungguin di depan,” ucap Beni sambil menepuk pundak Febri. “Hari pertama KKN kudu prima, dong!” tegasnya.

Febri menghela napas setelah sepenuhnya ingat bahwa sekarang adalah hari pertama ia dan kelompoknya menjalankan tugas KKN di Desa Wilangan. Desa kecil di kaki gunung yang berjarak puluhan kilometer dari kampus mereka. “Oke,” sahutnya dengan suara pelan.

***

Febri sudah mengenakan kemeja biru bergaris putih vertikal, celana kain berwarna hitam, dan jas almamater biru tuanya. Ia keluar ke pekarangan rumah limasan yang disinggahinya bersama dua rekan prianya. Dilihatnya Ozza, Beni, Zaskia, Dea, dan Aneska tengah berlatih speaking untuk mereka lakukan di tempat KKN nanti. Sesekali Beni menjahili Dea dan Kia. Mereka terlihat ceria dan bersemangat. Febri merasa sangat lega melihat mereka baik-baik saja.

“Guys!” panggil Febri sembari melangkah menghampiri lima temannya yang menunggu di tepi jalan paving.

Lima orang itu menoleh. Sontak Dea terbelalak melihat Febri. “Hiii! Apaan, tuh?” tunjuk Dea, gadis mungil berwajah imut dengan kesan ceria ke arah kepala Febri.

DEG!

Febri membeku. Tengkuknya langsung merinding. Ia menoleh ke belakang untuk memastikan. Tapi di belakangnya tak ada siapa pun. “Apa sih, De?” tanyanya penasaran.

“Bercyandyaaa,” ledek Dea. Seketika ia mendapat acungan jempol dari Beni dan gelak tawa Kia.

“Jangan gitu, De. Febri kan habis mimpi buruk dikejar setan jadi kamu jangan ngompor-ngomporin, lah,” celetuk Ozza dengan asal menduga. “Udah yuk, berangkat. Kita kudu ikut apel pagi di balai desa, nih!”

Febri berdecak, bete. Empat temannya jalan lebih dulu. Aneska jalan di sisinya. “Di kepala, bukan di belakang,” gumamnya.

Febri menoleh pada gadis yang berpembawaan tenang itu kemudian menyentuh kepalanya. “Kepala gue? Kenapa? Ada apaan emang?” tanyanya sangat penasaran.

Aneska merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan cermin kecil dari sana. Ia berikan cermin itu pada Febri dan sontak pemuda 22 tahun itu membelalakkan mata melihat ada tanda merah seperti gurat-gurat berbentuk jari di keningnya.

“Ck! Beni! Awas lo!” teriak Febri sambil berlari mengejar Beni yang menampar keningnya hingga terbangun dari mimpi buruk tadi.

Pertemuan Pertama

“Selamat pagi, Pak,” sapa Dea pada seorang pria paruh baya yang memanggul cangkul dan menenteng sabit saat berpapasan di jalan. Antara pemukiman yang disinggahi kelompok KKN itu menuju balai desa memang ada jalan yang dikelilingi oleh pepohonan jati tinggi dan beberapa rumpun bambu yang membuat bulu kuduk berdiri. Ialah jalan yang mereka lalui saat ini.

Pria itu mengangguk sambil tersenyum lebar pada Dea dan rekan-rekan. Febri dan Aneska yang jalan berdua agak jauh di belakang sama-sama waspada kalau-kalau gadis mungil rekan mereka itu bersikap atau berujar yang tidak menyenangkan.

“Za!” panggil Aneska. Ozza yang jalan sendirian di tengah barisan langsung menoleh padanya. Aneska mengedikkan dagu ke depan, Ozza mengangguk seolah mengerti diberi kode untuk mengatur tiga biang kerok di depannya.

“Agak cepet jalannya, Guys,” bisik Ozza pada Beni, Dea, dan Kia. Ketiganya berdecak tapi tak punya pilihan karena sebelumnya memang sudah diwanti-wanti oleh kepala desa untuk menjaga tata krama, terutama tidak telat saat apel pertama di balai desa.

Tapi Febri selaku ketua bukannya ikut bergegas malah terpaku saat melihat pria paruh baya tadi berbelok ke sebuah jalan kecil di depannya. Entah dorongan apa yang membuatnya berjalan cepat mengikuti pria itu. Aneska mengernyit heran melihat sikap Febri. “Feb! Mau ke mana?!”

Tak mendapat sahutan, Aneska putuskan untuk mengejar. Begitu pun Ozza yang melihat keanehan pada diri Febri sejak di rumah inap tadi langsung berjingkat mengikuti Aneska. Dan diikuti tiga orang yang lainnya. “Febri kenapa ikut si Bapak tadi?” tanya Dea tapi tak mendapat jawaban dari rekan-rekannya.

Sementara itu Febri masih berjalan di belakang si pria kemudian menangkap lengannya saat sudah dekat. “Pak, tunggu!”

Si pria menoleh dan membelalak kaget melihat Febri yang tak ia sangka ternyata mengikutinya. “Lho, Mas, kok di sini? Mau ke mana?” tanyanya. “Kok ikut saya? Apa jangan-jangan nyasar, ya?”

“Justru saya yang ingin tanya, Bapak ini mau ke mana, kok masuk hutan?” Febri tercekat. Ia edarkan pandangan ke penjuru tempat yang dikelilingi pepohonan jati itu. Terutama jalan setapak yang saat ini ia pijak. Sontak sekujur badan Febri meremang. Seolah rasa ngeri dalam mimpi menguasai kesadarannya lagi. Sampai sebuah tepukan di punggung mengusir rasa merinding di badannya.

“Lo apaan sih ngikutin Bapak ini?” hardik Ozza. Raut wajahnya jengkel.

Febri tersentak dan segera melepaskan genggamannya di lengan si pria. “Maaf, Pak. Maafkan saya,” ucapnya sambil membungkuk beberapa kali.

Si pria tertawa kecil. “Saya ini mau ke ladang, Mas. Kerja. Mas mau ikut, apa gimana?”

Febri menggeleng cepat. Teman-temannya saling pandang dengan tatapan heran. Aneska menarik lengan jas Febri. “Maaf ya, Pak, teman saya ini nggak tahu kalau Bapak mau kerja.”

“Yowis, ndak apa-apa,” sahut si pria dengan ramah.

“Kalau begitu kami permisi. Bapak silakan lanjutkan perjalanan,” ujar Ozza.

“Selamat bekerja, Bapak,” timpal Dea sambil melambaikan tangan dan mendapat anggukan senang dari si pria.

Aneska dan Ozza menghela napas panjang. Kali ini posisi jalan mereka mengapit Febri. Berjaga supaya pemuda itu tidak bertindak aneh lagi. Ketiganya berjalan dalam hening, ribut dengan pikiran masing-masing. Sementara ketiga teman yang ceria sudah jalan lebih dulu.

“Uwaaah!” pekik Beni sambil mangap mulutnya. Kia langsung menimpuk wajah Beni dengan totebagnya. “Apaan sih lo, malu-maluin aja!” hardiknya. Sedangkan Dea terkikik melihat tingkah kocak dua temannya itu.

Aneska, Febri, dan Ozza kaget melihat ketiga temannya itu heboh sendiri. “Kali ini apa lagi?” desis Aneska.

Pertanyaan Aneska terjawab oleh sebuah mobil bak terbuka yang lewat dari arah depan. Beni yang berhenti jalan lalu memutar badan seolah mengikuti laju mobil itu. Spontan Aneska, Febri, dan Ozza mengikuti arah mata Beni karena penasaran kenapa pemuda itu bertampang takjub begitu.

Dan kemudian...

Hembusan angin dingin desa kaki gunung seolah berhenti menerpa badan. Suara gesekan dedaunan, kicauan burung, ceriwisan teman, seperti tak terdengar di telinga Febri. Waktu terhenti, begitulah yang ia rasa saat ini. Penyebabnya adalah seorang wanita cantik yang sedang duduk di bak mobil yang melaju. Fitur wajah memesona dengan garis rahang yang tegas, tulang hidung mancung, alis rapi, kulit mulus, dan bibir mungil tebal yang semerah buah ceri.

DEG!

Helaian rambut panjang kecokelatan yang tergerai melambai lembut terembus angin. Sesekali wanita itu merapikan dengan jemarinya yang putih dan lentik. Mata yang terus terpejam tiba-tiba terbuka. Memampangkan bola mata belo namun teduh.

DEG! DEG!

Dada Febri ramai sekali. Geli seperti digelitiki. Ini bukan mimpi. Tapi bagaimana bisa bertemu bidadari di tempat aneh begini?

“Cantik, ya?” bisik Ozza, membuyarkan euforia di pikiran Febri. Febri tersentak lalu nyengir, agak kesal karena Ozza seperti sedang menggodanya.

“Napak, nggak?” ledek Aneska sambil mendengus sarkas. Febri memutar bola mata.

Keenam orang itu pun melanjutkan perjalanan setelah mobil bak yang ditumpangi si wanita cantik menghilang di tikungan. Beni dan dua gadis di depan ramai membicarakan wanita tadi. Sedangkan tiga orang di belakang kembali saling diam.

Sampai langkah mereka berhenti tepat di depan gerbang balai desa. Gedung yang sederhana tapi tampak sejuk itu yang semalam menyambut kedatangan pertama mereka. Bahkan kepala desa membuat acara selamatan dan makan bersama untuk mengenalkan mereka pada beberapa warga, juga tetua desa.

“Kalian sudah datang?” tanya kepala desa dengan senyum ramah terlukis di wajahnya. Pria berusia 50 tahun itu tergopoh menghampiri kelompok KKN Febri. “Mari, mari, kita akan apel pagi lima menit lagi.” Tangannya mempersilakan muda-mudi itu ke halaman, berkumpul bersama para perangkat desa.

“Syukurlah kita nggak telat,” dengus Aneska.

***

Apel pagi tadi diisi dengan celotehan kepala desa yang kembali memperkenalkan kelompok KKN Febri, memberitahukan tugas mereka di desa itu, serta peraturan yang harus diketahui. Setelah apel usai, kelompok Febri masih diberi waktu untuk bersantai. Kepala desa bahkan menyarankan mereka untuk menjadikan satu hari pertama itu sebagai healing, alias jalan-jalan saja dulu, menyapa warga sekalian melihat pemandangan yang pastinya tak bisa mereka temui di kota.

“Syukur deh, Pak Kades seru orangnya,” ujar Kia sambil menyeruput teh hangat yang disiapkan di bale.

“Tapi bukan berarti kita bisa santai-santai. Tetep harus jaga sopan santun,” kata Aneska.

“Iya, ngerti. Tapi seenggaknya kita nggak tertekan banget gitu selama di sini,” timpal Beni.

Dea tergelak. “Tertekan kayak ketemu asdos yang suka selfie!”

“Hih, amit-amit! Jangan ngingetin, deh! Aku ilfeel banget sama tuh orang!” sahut Kia, dengan muka juteknya.

Febri yang baru kembali dari kamar mandi hanya tersenyum kecil mendengar gibahan teman-temannya itu. Meski ada rasa tak nyaman yang menyelimuti hatinya, ia mencoba berpikir positif bahwa mereka akan baik-baik saja hingga tugas KKN selesai. “Sejauh ini aman,” gumamnya.

Ozza menyodorkan segelas kopi panas pada Febri. “Enak banget kopinya!”

Tentu Febri menerimanya. “Thanks, Bro.” Melihat Ozza yang biasanya jaim memuji minuman itu, Febri pun percaya dan segera menyesapnya. “Uhuk!” Tapi seketika Febri tersedak. Ia terkejut melihat wanita di mobil bak tadi kini muncul di hadapan mereka lagi.

Wanita itu berjalan anggun mengenakan dress motif bunga warna pastel menuju bale. Beberapa perangkat yang masih ada di luar kantor sambil berdiskusi langsung menghampirinya. “Mirandani?” sapa seorang pria. “Kamu ke sini lagi?” timpal yang lainnya.

Wanita itu tersenyum lebar merespons ingar-bingar perangkat desa yang mengerumuninya. “Iya, Bapak-bapak. Saya akan tinggal di desa ini agak lama,” jawabnya. Ia melirik pada kelompok Febri kemudian menganggukkan kepala untuk memberi salam.

Interaksi Pertama

Mirandani namanya.

Kini keenam mahasiswa KKN itu tahu nama si wanita cantik yang membuat riuh balai desa. Edi yang merupakan bayan desa bahkan mengajak Mirandani menghampiri muda-mudi itu untuk berkenalan. Dengan alasan karena sama-sama datang dari kota. Meski Mirandani merasa tak perlu tapi lebih baik untuk menurutinya.

“Saya Mirandani,” ucap wanita cantik itu sembari mengulurkan tangannya.

Beni yang lebih dulu menyambar uluran tangan Mirandani. Dia jabat tangan wanita itu dengan penuh antusiasme. “Saya Beni Saputra. Panggil Beni aja,” terangnya sambil cengengesan. Beni sampai beberapa kali menelan ludah karena menjabat telapak tangan halus milik wanita cantik itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.

Tiba-tiba Kia mencubit punggung tangan Beni yang masih berjabatan sampai pemuda itu meringis kesakitan. “Apa, sih?” Beni buru-buru melepas tangan lalu mengusap-usapnya. “Sakit, tau!”

Kia melotot pada Beni. “Dibilang malu-maluin!” desisnya dengan geram. Sejurus kemudian Kia menjabat tangan Mirandani dan memperkenalkan diri, “Zaskia—nggak Gotik.”

Teman-temannya terdengar menahan tawa. Begitu pun dengan Mirandani yang tersenyum lebar menanggapi candaan Kia.

Ozza yang masih anteng di tempat duduknya hanya mengangkat dua tangan yang ia katupkan sembari mangangguk sopan. “Ozza.” Diikuti Aneska yang juga melakukan hal serupa. “Aneska.”

Mirandani tersenyum ramah menanggapi keduanya.

Febri yang duduk di samping Ozza pun berdiri. Ia merasa sebagai ketua harus menunjukkan adab yang lebih baik dari rekan-rekannya. Meski alasan lain adalah karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berinteraksi dengan si wanita cantik. Tapi belum sampai mengulurkan tangan, Dea lebih dulu menyerobotnya.

“Halo, Kak Miranda! Kenalin nama aku Dea. Lengkapnya Dea Lutfi Farhani. Tapi kalo mau panggil Lutfi, Lulu, atau Hani juga bisa, nggak apa-apa. Terserah manggil aku gimana, pokoknya nggak keluar jalur dari nama lengkap aku aja. Daripada pake jalur mandiri, jalur langit, apalagi jalur hukum, kan rempong, hahahaha!” cerocos Dea yang langsung ditarik oleh Kia.

Mirandani tertawa kecil karena merasa terhibur dengan gadis mungil itu. “Yaudah, aku panggil Dea aja kayak perkenalan kamu yang pertama.”

Febri menggosok telapak tangan kanannya ke celana lalu mengulurkan pada Mirandani. “Saya Febri, ketua kelompok KKN ini. Mohon maaf kalau sikap temen-temen saya bikin Mbak Mirandani kurang berkenan.”

Mirandani meraih tangan Febri dan menjabatnya dengan dua tangan. “Nggak apa-apa, santai aja. Salam kenal, ya.”

Febri membeku. Dua tangan putih dan halus itu terasa hangat membungkus tangan kanannya. Jantungnya berdetak kencang. Buru-buru ia lepas genggaman tangan Mirandani lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. “Salam kenal juga, Mbak Mira.”

Teman-teman Febri merasa cringe. Apalagi Mirandani kan belum menyebutkan nama panggilannya, tapi Febri sudah memutuskan untuk memanggilnya Mira saja. Meski begitu bukan berarti mereka membenci wanita cantik itu. Hanya Aneska yang terang-terangan menampakkan ketidaksukaan.

“Kalo gitu aku permisi ke kantor dulu, ya. Mau ngurus surat pindahan,” pamit Mirandani sambil membenahi tali tas selempangnya. “Semoga KKN kalian di desa ini lancar dan sukses sampai selesai.”

“Aamiin!” sahut Febri dan teman-teman.

Mirandani pergi ke kantor meninggalkan kelompok Febri yang masih stay di bale. Enam orang kecuali Aneska tampak memerhatikan kepergian Mirandani masuk kantor dengan seksama.

“Woy!” celetuk Aneska. “Kita jadi jalan-jalan nggak, nih?”

Dea mengangkat jempolnya. “Let’s go!” Ia dekap lengan kiri Aneska dan ditariknya ke halaman. Yang lain pun tak punya pilihan dan ikut setelah membereskan gelas teh atau kopi masing-masing. Sebelumnya Edi memang meminta mereka untuk menaruh saja gelas-gelas itu di nampan tanpa perlu dibersihkan.

Febri jalan lebih dulu bersama Ozza. Dea dan Kia sengaja ditaruh di tengah, sedangkan Aneska bersama Beni di belakang. Mereka memutuskan untuk pergi berenam saja setelah sempat menolak tawaran kepala desa yang mau memanggilkan pemandu jalan.

Selain karena tidak ingin merepotkan, mereka sengaja supaya bisa puas mengabadikan momen dan pemandangan dengan HP masing-masing tanpa harus diawasi orang.

“Guys!” sapa Beni di live Tiktok-nya. “Ini hari pertama kami KKN di Desa Wilangan. Tempatnya adeeem banget! Kami mau jalan-jalan dulu nih, sekalian kenalan sama warga, liat-liat pemandangan, sama hapalin jalan biar kapan-kapan nggak bakal nyasar.”

Aneska melongok ke layar HP Beni. Ia baca komentar netizen yang beberapa heran karena hari pertama KKN mereka malah jalan-jalan santai. “Nggak bakal kami lakuin kalo nggak ada yang nyuruh!” ketusnya di depan kamera.

Beni nyengir lalu cengengesan. “Sorry, Guys. Ini temen gue, namanya Aneska. Bener kok yang dia bilang, kami ngelakuin ini karena Pak Kades sendiri yang nyuruh. Asyik, kan?”

Aneska mendengus kesal. “Matiin aja, deh!”

Beni menoleh. “Iya,” sahutnya. Setelah pamit, ia pun mematikan live-nya. “Lo kenapa sih dari tadi kayak sensian gitu?” celetuk Beni sambil beralih ke video kamera biasa.

“Lo pikir aja, udah tahu netizen tuh maha julid, malah pake live segala!” tegur Aneska.

Febri dan Ozza yang memimpin jalan hanya bisa geleng kepala. Mereka tahu betul tidak ada kedamaian jika menyatukan Beni dengan Aneska.

“AAARGH!!”

Teriakan Beni membuat kelima rekannya terkejut. “Kenapa lo, Ben?” tanya Kia.

“Sini deh, Guys!” Beni melambai ke temannya, matanya fokus pada layar HP. “Ada tuyul!” pekiknya.

Lima orang itu langsung berkerumun di dekat Beni lalu memeriksa HP si rambut cepol itu. “Hiii, tuyul!” seru Dea.

“Hush, jangan ngawur!” tegur Febri. “Mana ada penampakan setan pagi-pagi?” Sejujurnya Febri berusaha meyakinkan diri.

“Halah, itu bocah,” tunjuk Aneska ke satu arah di belakang mereka. Teman-temannya pun menoleh ke sana.

Tampak dua bocah gundul dengan wajah penuh bedak putih sedang bermain bersama di semak bunga. Seorang wanita yang membawa piring muncul dari belakang mereka. “Ayo, Nduk, cepet makannya.”

Seketika Febri dan rekan-rekannya menghela napas lega. Mereka lalu melotot pada Beni yang malah terkikik karena berhasil membuat prank untuk teman-temannya.

“Lo nge-prank kita?” tanya Kia.

“Iya!” jawab Beni dengan watadosnya.

Kia langsung menimpuk kepala Beni karena sebal. Dea melerai. Dua bocah yang disangka tuyul tiba-tiba berlarian ke arah mereka. Febri seperti merasakan udara dingin yang aneh menyergap badannya. Dea dan Kia berlari menangkap bocah-bocah itu. Sedangkan Beni merekam videonya sambil tertawa.

“Adek cubangeeet!” Dea gemas sekali. Dia cubiti pipi gembul bocah perempuan yang pakai rok balet.

“Siapa namamu?” tanya Kia pada bocah satunya. Ia tampak menahan tawa melihat bedak putih yang tidak merata di wajah si bocah.

“Dika,” jawab si bocah laki-laki plontos yang terlihat masih berumur tiga tahunan itu.

Dea dan Kia mengajak dua bocah itu selfie lalu memberi permen empuk rasa buah yang biasa Dea bawa di tasnya.

“Daaah!” Dea melambaikan tangan ke bocah-bocah yang berlari kembali ke wanita tadi.

Wanita itu tampak canggung. Tanpa kata, Febri menangkupkan kedua tangannya sebagai permohonan maaf. Wanita itu pun tersenyum kemudian menggeret anak-anaknya pergi ke balik semak yang menjadi pagar rumah-rumah di sana.

Aneska menyikut Ozza. Ozza menatap Aneska kemudian menghela napas. “Guys, lain kali kita musti lebih sopan lagi sama warga sini.”

“Emang kita tadi nggak sopan di mananya, sih?” tanya Kia dengan sorot matanya yang risi.

“Tuyul, nyubit pipi, ngajak selfie, kasih permen, trus ngetawain bedaknya,” tutur Aneska. “Dan itu semua tanpa kita nyapa atau minta izin dulu sama ibunya. Sopan kah begitu? Masa aku harus jabarin satu-satu?”

Lima orang hanya terdiam mendengar Aneska bicara. “Asdos yang kalian benci bukan tanpa alasan nyinyirin kita untuk selalu waspada selama di sini. Aku yakin asdos itu pengen kita baik-baik aja ngeliat sifat kalian yang kayak gitu. Jadi hati-hati bawa diri ya kalian semua.”

Aneska pergi begitu selesai dengan kalimatnya. Febri mempersilakan Beni, Dea, dan Kia yang tampak manyun dan saling sikut untuk jalan lebih dulu sedangkan giliran dirinya dan Ozza yang berjaga di belakang.

“Padahal dia sendiri mukanya ditekuk mulu dari tadi. Sopan kah begitu?” bisik Kia pada Dea dan Beni. Aneska yang bisa dengar langsung berdecak dan menghentak kaki.

Ozza melirik Febri. “Lo kenapa gemeteran gitu dari tadi?”

“Hah?” Febri tersentak. Dia ulurkan tangannya untuk mengecek. “Iya, ya? Kok gue nggak nyadar?”

“Sejak lo diem liatin darah di kaki wanita tadi?”

DEG!

Febri terkejut mendengar gumaman Ozza. “Lo... liat juga?”

Ozza mengangguk. “Tapi yang lain enggak deh kayaknya. Jadi mending kita diem aja.”

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!