Sudah 30 menit berlalu semenjak Febri, Ozza, dan Aneska mengais-ngais sampah dedaunan dan ranting kering di tepi jalan jauh dari pemukiman yang menjadi tempat pembuangan sandal. Matahari sudah menyipit, menyisakan seruak cahaya jingga keemasan di cakrawala. Peluh pun membanjiri badan ketiga orang itu, bahkan beberapa kali meliuk-liukkan pinggang akibat kaku dan ngilu.
“Kita kayak lagi mengais rejeki nih, Guys,” celetuk Ozza.
“Mulung kali!” timpal Aneska. Ia berhenti lalu mengedar pandang. Sejauh mata memandang, di sekitar mereka hanya berupa tegalan. “Kalian tadi beneran di tempat ini?” tanyanya sambil melirik Febri.
“Iya, lah. Gue yakin,” sahut Febri. Meski begitu, otaknya kontradiksi. “Eh, apa iya? Jangan-jangan gue lupa?” batinnya.
Ozza yang terus berjongkok sudah tak kuat lagi. Tiba-tiba ia ngelesot di tanah lalu melemparkan kayu kering yang dipakainya untuk mengais. Ozza menghela napas panjang. “Coba lo telepon Dea.”
Febri mengangguk cepat sambil merogoh saku celana pendeknya. “Gue video call aja.” Tak butuh waktu lama hingga wajah Dea muncul di layar HP Febri. Ia pun menaikkan volume panggilannya. “De!”
“Oy!” sahut Dea. “Gimana? Ketemu?” tanyanya.
Febri menggeleng. “Aneh banget sandalnya raib.”
“Hah?” pekik Dea. “Kamu nggak salah tempat, kan?”
“Makanya ini gue video call mau tanya kamu, bener ini kan tempat kita berhenti ninggalin sandal tadi?” Febri mengarahkan kamera HP-nya memindai tempat itu.
Dea tampak mengernyit kemudian mengangguk. “Iya, bener kok, Feb. Seingetku itu di depan ada pertigaan, kan? Nah, yang belok kiri ntar nuju toko pak botak, tuh.”
“Tuh, apa gue bilang,” ucap Febri sambil menatap Ozza dan Aneska secara bergantian. Ozza mengangguk-angguk, Aneska mengalihkan tatapan matanya ke sekitar. “Tapi aneh banget kan, masa cepet nggak ada sih sandalnya? Apalagi nggak mencolok, jadi kalo ada orang lewat nggak jamin lihat,” ucap Febri keheranan.
Mendadak hening. Mereka bertiga saling pandang. Dea di layar HP juga diam tampak berpikir. “Tetep aja... ada yang ngambil,” tandasnya.
Febri termenung menatap dua pohon anak pisang berdekatan dengan jalan dan dikelilingi tanaman putri malu yang diingatnya menjadi tempat terdekat sandal itu tergeletak. Bahkan ia ingat posisi sandalnya miring. Febri segera menggeleng saat mendadak teringat gumpalan rambut, kupasan kulit, dan darah kering. “Guys, kita pindah ke tempat lain aja, gimana?”
Ozza dan Aneska berpandangan kemudian mengangguk bersamaan. “Oke!” sahut mereka serempak. Aneska menarik tangan Ozza untuk membantunya berdiri. Ozza meringis, “Pelan-pelan, bokong gue kesemutan.”
Aneska mendengus tawa. “Siapa suruh lesehan.”
Febri menatap Dea yang tampak termenung. “Kalo gitu kami cari ke tempat lain dulu ya, De. Mumpung belum magrib, nih,” pamitnya.
“Sorry ya, Feb. Gara-gara kamu prioritasin aku, ilang deh barang buktinya,” tukas Dea, mengurungkan ujung jempol Febri menyentuh tombol merah di layar HP-nya.
Febri menghela napas. “Udah lah, De, jangan nyalahin diri gitu.” Febri coba menenangkan sepupu yang lebih muda satu tahun darinya itu. “Lagian ya, kalo kamu bener-bener ada niatan ikut terlibat, please, kamu jangan melemah, jangan menye-menye, biar nggak jadi beban buat yang lain.”
Dea memajukan bibir bawahnya. Ia tak tersinggung pada teguran Febri karena merasa ucapan pemuda itu memang benar. Terlebih, sebelumnya ia sudah berkoar tentang backingan. Jadi harus mantap bertekad untuk ikut terlibat.
“Nggak cuma kamu, pokoknya kita semua, kudu semangat dan putar otak,” tegas Febri. “Pasti ada cara lain kita ngedapetin info atau bukti-bukti.”
Dea mengangguk. Air mukanya berubah penuh antusias. “Oke! Aku janji nggak akan jadi beban,” ujarnya percaya diri.
“Nah, gitu,” sahut Febri. “Gue matiin, ya. Bye.” Febri mematikan panggilannya lalu berjalan pelan diikuti Ozza dan Aneska. Mereka berpencar sambil terus mengais di tepi-tepi jalan.
“Sore-sore kok kerja bakti?” Suara Mirandani.
“Huwaaah!!” teriak Aneska. Ia sangat terkejut karena keberadaan wanita itu seperti tiba-tiba muncul tanpa sebelumnya terdengar suara langkah kaki. Napas Aneska sampai tersengal dan sosok wanita cantik yang selalu tersenyum itu membuatnya bergidik ngeri.
Febri dan Ozza juga sama kagetnya. Pasalnya, mereka sempat baru berhenti saat ada dua pria lewat membawa cangkul kemudian kembali fokus mengais ketika orang-orang itu menjauh pergi. Dan hanya selang beberapa detik kemudian Mirandani datang, padahal mereka yakin tak ada siapa pun yang akan muncul di belakang dua orang tadi.
“M―mbak Mira?” sapa Febri dengan terbata. Ia sembunyikan tongkat kayunya di belakang badan. “Kami―” Febri ragu untuk bicara, apalagi Aneska meliriknya dengan tajam.
Aneska kesal, karena kaget dan terganggu oleh Mirandani. “Nggak kelar-kelar nih kita nanti,” gerutunya sambil berbisik pada Ozza. “Yaelah, sabar,” tegur si kacamata.
Mirandani menatap tiga muda-mudi yang tampak canggung itu. Mereka bertiga memang tidak bisa bilang kalau sedang mencari barang bukti. Beruntung Mirandani tidak terlalu kepo dan buru-buru pergi. “Kalo gitu aku permisi, ya,” pamitnya. “Kalian juga mending buruan pulang. Nggak lama lagi tempat ini pasti horor deh suasananya,” canda Mirandani.
Febri tersenyum. Ozza mengangguk. Aneska melengos. “Minta maaf kek, udah bikin orang kaget,” gumam Aneska lalu mendengus kasar. Mirandani pergi sambil mesem dengan pura-pura tak dengar.
“Guys, kalian pulang aja sekarang,” suruh Febri dengan suara pelan.
“Lah, elo?” tanya Ozza.
Febri melirik Mirandani yang sudah beranjak menjauh dari mereka bertiga. “Gue ada urusan dikit. Ntar gue pulang sendiri.”
Aneska berdecak. “Ntar lo kesesat lagi?” ejeknya.
“Nggak,” janji Febri.
“Inget ya, Feb. Jangan percaya sama warga desa, sekali pun itu Mirandani yang baru pindah dari kota.” Aneska lalu menghentak kaki sambil melipat tangan di dada. “Pulang yok, Za!” titahnya pada Ozza.
Ozza menepuk bahu Febri. “Baterai HP?” tanyanya. Febri mengangguk seraya mengacungkan jempol tangan kanan. “Oke. Call,” tandas Ozza yang kemudian beranjak mengikuti Aneska.
Meski ucapan Ozza singkat, Febri bisa memahaminya. Ia diam sejenak melihat kedua temannya sampai menghilang di tikungan. Barulah ia berjingkat mengejar Mirandani yang juga sudah tak terlihat.
“Cepet amat jalannya?” gumam Febri sambil celingukan. Ia mengira mungkin saja Mirandani masuk gang atau kebun. Tapi sampai sejauh itu, ia tak menemukannya juga. Hingga sampailah ia di pertigaan. Anehnya, di dua arah jalan pun wanita itu tak nampak. Febri mulai kebingungan.
“Gue harus ketemu sekarang. Nggak bisa besok-besok lagi,” gerutu Febri.
“Ketemu siapa?” tanya Mirandani tiba-tiba.
“Hah?!” Febri terlonjak kaget saat Mirandani melongokkan kepala dari belakang di samping badannya.
“Mbak Mira?” tanya Febri sambil mengelus dada. Ia tatap wanita cantik itu lekat-lekat. Pantulan jingga senja terkelir di wajah mulus tanpa cacat itu, menciptakan kesan estetika yang membuat Febri tak mampu berkata-kata hingga isi dadanya riuh karena degup jantung yang menggila. Hingga mengesampingkan rasa penasaran akan fakta Mirandani muncul dari mana. “A―aku...” gagapnya. Ia tarik napas panjang kemudian menghembuskan pelan. Setelah tenang, ia berujar, “Aku nyari kamu, Mbak.”
Mirandani mengerjap. “Oya? Emang ada perlu apa? Kenapa tadi nggak ngomong waktu ketemu di sana?” tuntutnya.
Febri garuk kepala. “Aku boleh minta nomer WA Mbak Mira?” tanyanya to the point.
Mirandani mangap lalu tertawa. “Ya boleh, lah!” jawabnya sambil menganggukkan kepala. Tanpa menuntut alasan, ia ulurkan tangan meminta HP Febri. “Sini, aku simpenin langsung di HP kamu.”
Febri semringah. Buru-buru ia keluarkan HP dari saku celana lalu menyerahkannya. Ia gugup sampai tak sadar menggerak-gerakkan kaki menunggu proses save nomor Mirandani. Mirandani melirik kemudian tergelak. “Kamu lucu banget sih, Dek Feb!”
Sontak wajah dan tengkuk Febri memanas. Pasti semerah kepiting rebus tampilannya saat ini. Ia terima sodoran HP dari Mirandani sambil sekuat tenaga menyembunyikan gemetaran tangannya. “Makasih ya, Mbak Mira.” Bibir merona Febri yang tak pernah terjamah rokok itu mengulas senyum malu. Meski sudah berusaha ia sembunyikan, tetap saja tampak jelas perasaannya sedang berbunga-bunga, seperti anak kecil mendapat mainan yang ia suka.
“Iya, santai aja.” Mirandani mengangguk mantap sambil tertawa geli melihat sikap manis Febri. Seperti remaja puber, begitu pikir Mirandani.
“Dek Feb, tadi ngapain di sana? Kayak lagi nyari duit ilang?” tanya Mirandani, tiba-tiba mengalihkan topik.
Seketika senyum Febri sirna. Ia tercenung, bingung harus menjawab apa pada wanita yang disukainya itu karena Aneska sudah mewanti-wanti untuk tak percaya pada siapa saja. “Tadi...”
Mirandani diam, matanya mengerjap beberapa kali lalu menatap lurus pada Febri, menunggu jawaban meluncur dari mulut pemuda yang hanya berjarak sejengkal di depannya itu.
Saat melihat wajah penasaran Mirandani, ingin rasanya Febri menjawab jujur saja. Siapa tahu Mirandani bisa membantu misi pengusutan kelompoknya mengingat wanita itu didengki para wanita desa.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ali B.U
next.
2024-03-04
2
Subber Ngawur
mana lanjutannya nih?
2024-02-14
1