Ekor mata Aneska menangkap sosok wanita yang disebalinya saat ia menyeberang jalan dari penginapan Febri. Ia sontak berhenti dan mundur selangkah. “Mirandani?” gumamnya. Wanita itu terlihat sedang berdiri bersama lima ibu-ibu di tengah jalan pavingan. Suara ibu-ibu itu terdengar tidak ramah di telinga Aneska. Jelas sekali mereka sedang merundung Mirandani.
Aneska mengendap-endap ke balik semak yang menjadi pagar rumah orang. Ia keluarkan HP-nya dari saku celana kemudian mulai memotret bahkan merekam video mereka.
Mirandani tampak tenang mendengarkan ocehan para ibu itu. Sesekali ia tersenyum kecil sambil menatap mereka satu per satu. Tak sedikit pun terlihat sorot mata takut atau menunjukkan dirinya tertekan. Aneska yang melihat sikap tegar Mirandani itu malah tercenung kemudian mematikan tombol record di layar HP-nya.
“Jawab jujur, kamu pake guna-guna, kan?” sengak seorang ibu.
“Pake ajian jaran goyang, semar mesem, atau apa?” timpal ibu lainnya.
“Daripada kamu main pelet buat bikin warga desa kepincut sama kamu, mending kamu balik sana ke kota!”
“Iya, cari suami baru orang kota aja, sana!”
Mirandani masih diam. Padahal Aneska sudah panas hatinya mendengarkan ucapan kasar ibu-ibu itu.
“Kamu pasti pake susuk juga, kan?” sarkas seorang ibu yang mengenakan kaos partai. “Coba, kamu taruh di mana?” desaknya sambil menarik dan mendorong badan Mirandani yang lebih tinggi darinya.
Aneska memang sebal dengan Mirandani, tapi perlakuan ibu-ibu itu membuat Aneska ingin melempar batu besar ke arah mereka. Entah kenapa ia lebih kesal pada ibu-ibu itu ketimbang dengan Mirandani. Ia bahkan sudah membungkuk dan meraba-raba bawah kaki berharap menemukan kerikil atau batu bata.
“Demi Allah saya nggak pakai susuk apalagi guna-guna,” ujar Mirandani dengan suara tegas.
“Halah! Dasar pembohong, kamu!” sahut seorang ibu sambil mengacungkan jari telunjuknya ke depan wajah Mirandani.
“Demi Allah, Bu,” bantah Mirandani dengan nada halus.
“Ndak usah bawa-bawa nama Allah!” hardik ibu-ibu itu dengan gaduhnya. Sampai beberapa orang di sekitar situ turut berkerumun tapi malah menonton saja.
Aneska menggenggam erat-erat batu kecil yang berhasil ditemukannya. Ia urung melemparkan batu itu karena tidak mau terseret dalam pertikaian, meski ia sangat ingin membubarkan kumpulan ibu-ibu julid itu.
“Tolong dengarkan saya dulu,” pinta Mirandani dengan sopan. Ibu-ibu itu langsung terdiam tapi dada mereka naik turun karena napas yang memburu akibat dikuasai amarah. “Saya emang lagi butuh banget tenaga orang buat ngurus kebun belakang. Sekalian saya pengen kasih lapangan pekerjaan,” terang Mirandani.
Ibu-ibu saling pandang sambil berbisik-bisik dengan ekspresi sebal.
“Para pria di desa ini kan mayoritas kerjanya di ladang. Saya butuh ketrampilan seperti itu untuk ngurus kebun,” lanjut Mirandani. “Hitung-hitung bisa ngasih penghasilan tambahan selain mereka ngurus ladang. Ya, kan?”
“Enak aja, kamu!” bentak si ibu kaos partai. “Kamu ngeremehin kerjaan ladang pria-pria desa ini?”
“Jangan kamu kira kami melarat, kekurangan uang, gara-gara cuma kerja di ladang!”
Seketika semua orang yang ada di sana ribut. Tak satu pun dari mereka yang membela Mirandani. Bahkan wanita itu tak punya kesempatan untuk membela diri. Aneska merasa frustrasi. Ia ingin mengamuk tapi tak berhak.
“Saya nggak ada maksud ngeremehin kerjaan di ladang. Justru saya butuh ketrampilan itu, kan tadi udah saya bilang,” bantah Mirandani.
Keributan tiba-tiba berangsur mereda. Mungkin mereka berpikir omongan Mirandani ada benarnya.
“Yaudah, kalau Ibu-ibu ngelarang para pria kerja di kebun saya, yang perempuan juga nggak apa-apa,” ujar Mirandani sambil tersenyum teduh.
“Cuih!” umpat si ibu kaos partai. “Amit-amit kalo sampe kami kerja sama kamu apalagi makan uang kamu!”
Aneska terbelalak mendengar makian ibu itu. Rasanya amarahnya sudah sampai di ubun-ubun. Tapi yang dia heran, Mirandani masih saja bersikap tenang dan justru terkesan sopan.
“Yaudah, kalo nggak boleh dan nggak mau. Apa boleh buat. Saya nggak akan cari pekerja kebun di desa ini lagi.”
“Terserah!” bentak orang-orang.
“Kalau gitu saya pamit,” ucap Mirandani sambil tersenyum kemudian beranjak.
Aneska langsung keluar dari tempat persembunyian begitu melihat Mirandani pergi ke arah lain. Aneska mendengus panjang, lega tapi masih kesal. “Mulut mereka nggak disekolahin kali, ya?” gumamnya. Ia putuskan untuk kembali ke penginapan. Sambil berjalan, ia mengecek hasil foto dan video kejadian barusan di HP-nya, lalu dihapusnya tanpa menonton ulang.
***
Mirandani langsung menuju kebun belakang begitu sampai di kediaman. Kakinya menghentak, seperti melampiaskan amarah yang terpendam. Ia menggayung air di gentong dekat pagar lalu mengguyurkan ke depan. Seketika dua sosok yang menjadi biang kerok kejadian Febri langsung berlutut dan memohon ampun setelah terkena guyuran air itu.
“Maafin Budhe, Mir, maaf!” rintih Budhe Suti. Sosoknya saat ini berupa roh, sedangkan badannya tergeletak pingsan di rumah.
Mirandani melotot tajam pada wanita berusia 45 tahun itu. Kemudian melotot pada sosok di sebelah Budhe yaitu pria bungkuk berbaju hitam. Mirandani hendak menggayungkan air lagi tapi dua sosok di depannya buru-buru memohon.
“Ampun, Ndoro! Jangan siram kami lagi!” pinta si pria.
Air dalam gentong itu bukan air biasa. Mirandani sengaja menyiapkannya untuk menjadi senjata mengusir makhluk-makhluk halus. Jadi kondisi Suti yang berupa roh sedang menahan sakit saat ini. Begitu pun dengan si pria seram di sebelahnya.
Mirandani melempar gayungnya sembarangan dengan kasar. Ia melipat tangan di dada, menarik napas panjang, kemudian membungkuk di depan Suti. “Budhe di sini terus aja, ya, jangan ke mana-mana,” titahnya dengan nada yang tenang.
Suti langsung bersujud di kaki Mirandani. “Jangan, Mir! Pulangkan Budhe! Budhe mohon, Mir!”
“Kalo gitu Budhe janji, dong. Lain kali kalo aku mau ketemu tuh Budhe jangan kabur.”
“Iya, Budhe paham,” ujar Suti sambil mengangguk mantap. “Meski lagi di kecamatan, di kota, atau di mana, kalo kamu butuh ketemu, Budhe bakal langsung pulang. Budhe janji.”
Mirandani memang sangat marah karena sejak ia tiba di desa begitu sulit untuknya bertemu dengan wanita itu. Hubungan keduanya cukup rumit, tapi yang jelas Suti tidak berani melawan Mirandani.
“Ki Suryo,” panggil Mirandani sambil menghadap pada pria bungkuk di sebelah Suti.
“Dalem, Ndoro?” sahut Suryo dengan nada bergetar. Jika dibandingkan dengan rasa takut Suti, Suryo jauh lebih segan pada Mirandani.
Mirandani meletakkan tangannya di pundak Suryo lalu meremasnya hingga keluar asap. “Ndoro, ampun!” teriak Suryo kesakitan. Ia tersungkur di tanah kebun tepat di kaki Mirandani.
“Siapa suruh kamu ganggu pemuda itu?!” Suara Mirandani berat karena dipenuhi amarah. Suryo tidak mampu menjawab, ia menyadari kesalahannya karena terlalu gegabah mencoba menyakiti Febri meski tak dapat izin dari Mirandani. “Ampun, Ndoro, ampun!” Hanya itu yang bisa Suryo ucapkan berkali-kali.
Mirandani merasa badannya tiba-tiba lemas. Semua hal yang ia lakukan seharian itu membuat energinya terkuras. Ia mundur selangkah, tangannya memetik satu bunga kantil di dekatnya berdiri kemudian mengunyahnya sambil memejamkan mata seolah menikmati rasa yang dikecapnya.
“Budhe Suti silakan pulang,” titah Mirandani setelah menelan kunyahan.
Suti yang terus bersujud saat tadi Mirandani memarahi Suryo pun langsung mendongak dan tersenyum senang. “Maturnuwun, Mir!” Sedetik kemudian sosoknya menghilang.
“Ki Suryo?” panggil Mirandani. “Dalem, Ndoro,” jawab Suryo.
“Jangan pernah keluar lagi dari kebun ini. Dan jangan pernah sedikit pun ikut campur urusanku,” titah Mirandani pada pria bungkuk itu. “Tugas Ki Suryo cuma jaga kebun kantil ini. Aku nggak akan cuma hukum njenengan kalo lain kali nyentuh ‘orang-orangku’ lagi, tapi aku akan ngusir njenengan dari dunia ini sekalian!” kecamnya.
Suryo langsung bersujud dengan gestur tangan memohon di atas kepala. “Ampun, Ndoro. Saya janji ndak buat masalah lagi.”
Mirandani melengos kemudian beranjak keluar dari kebun tanpa memedulikan permohonan maupun penyesalan Suryo. Ia merasa akan benar-benar melenyapkan Suryo jika tak segera pergi karena teramat marah atas perbuatan makhluk halus itu yang berusaha mencelakai Febri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Penuh misteri mba Mira nie🤔
2024-03-19
1
Ali B.U
hem jadi gitu
2024-03-04
2
Nikmatus Solikha
mentang mentang mau pemilu
2024-02-06
1