Interupsi

Ayah Hanum melayangkan tinjunya ke arah Febri, namun Febri dengan gesit bisa menghindari. Febri juga menangkis pukulan-pukulan berikutnya dengan teknik pencak silat yang dulu ia kuasai. Ia tak balas memukul sama sekali karena meski tersinggung dengan perlakuan kasar pria itu, Febri tetap berusaha menjaga sopan santun, juga demi menjaga perasaan Hanum.

“Pak, mohon bicarakan baik-baik,” pinta Febri di tengah perkelahian sepihak itu. Namun pria yang sedang mengamuknya tak menggubris. Tampak napasnya memburu karena menghujani serangan beruntun yang penuh tenaga tapi tidak teratur.

Dea yang sedari tadi disembunyikan di balik punggung Febri coba buka suara juga, “Kami nggak punya maksud buruk terhadap Hanum. Tolong percaya, Pak!”

Hanum menangis jejeritan di teras melihat ayahnya menyerang Febri. Dea yang teramat panik ingin menenangkan Hanum juga karena tangisan gadis kecil itu membuatnya tak tega. Tanpa pikir panjang, Dea berlari menuju Hanum. Ayah Hanum melotot, ia beralih perhatian pada Dea. Dikejarnya gadis 22 tahun itu dan menjambak rambut belakangnya.

“AARGH!” Dea menjerit kesakitan. Badannya limbung ke belakang lalu terjerembab di tanah menyebabkan debu-debu halusnya beterbangan. Rambut Dea bahkan rontok beberapa helai.

Febri yang terkejut langsung mencengkeram kedua lengan si pria. Beruntung tadi pria itu segera melepas jambakannya setelah Dea terjatuh. Kini Febri memegangi pria itu dari belakang. Tenaganya lumayan terkuras karena target kunciannya begitu kuat meronta. Febri bahkan merasa pinggang, ketiak, dan betisnya mulai terasa sakit.

“Pak, tolong jangan seperti ini!” bentak Febri. Ia merasa mulai hilang kesabaran.

Di tengah kegentingan itu tiba-tiba Mirandani lewat di jalan depan rumah Hanum kemudian menyapa, “Selamat siang, semua.”

Seketika rontaan ayah Hanum berhenti. Ia dan Febri beradu napas yang memburu. Dengan gerak badan lambat karena ragu-ragu, ayah Hanum menoleh ke arah Mirandani. Dilihatnya wanita cantik itu tersenyum tapi sorot matanya menunjukkan keheranan.

“Kalian lagi ngapain?” tanya Mirandani yang dipenuhi rasa penasaran.

Ayah Hanum menyentakkan tangan Febri. “Lepas!” bisiknya dengan kasar.

Febri yang mulai letih pun melepaskan tangannya pelan-pelan, khawatir kalau ayah Hanum tiba-tiba kembali menyerangnya atau pun Dea. Namun ternyata pria itu hanya diam mematung menatap Mirandani yang tersenyum ramah pada mereka semua.

“Mbak Mira?” sapa Febri dengan napas ngos-ngosan. Beberapa kali ia menelan ludah untuk mengatur napas dan detak jantungnya supaya kembali normal.

“Halo, Dek Feb. Halo, Dea. Halo, Hanum,” sapa Mirandani sambil berjalan mendekat ke halaman.

Ayah Hanum buru-buru menundukkan kepala. Sikapnya berubah dari saat mengamuk pada Febri dan Dea sekarang tiba-tiba tenang ketika Mirandani datang.

“Permisi, Pak Agus. Kebetulan nih, aku mau minta ijin buat beli semua salak Pak Agus kalo udah panen nanti,” ujar Mirandani. Agus terdiam dan hanya menganggukkan kepala. Mirandani mengedar pandang, menatap Febri dan Dea. “Aduh, jadi nggak enak nih, kayaknya aku udah ganggu, ya?”

Agus segera menggeleng kemudian menunduk lagi. Sikapnya tampak aneh seperti segan terhadap Mirandani.

“Maaf kalo nggak sopan ya, Pak Agus. Aku bilang langsung di sini aja, soalnya dari kemarin aku ke sini njenengan nggak ada.”

“I―iya, ndak apa-apa,” jawab Agus dengan gagap dan bersuara pelan. Kemudian mereka melanjutkan perbincangan. Mirandani juga sempat menanyakan kabar.

Febri segera mendekat pada Dea dan mengecek kepalanya. “Sakit banget, De?” bisiknya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa melindungi temannya itu dengan baik. “Sorry ya, De, gara-gara gue―”

“Nggak. Aku yang goblok karena tiba-tiba lari padahal udah kamu sembunyiin,” tukas Dea sambil menggeleng mantap. “I’m fine. Okay?”

“Serius?” tanya Febri memastikan, meski ia yakin Dea pasti masih kesakitan bahkan kena mental. Dea mengangguk beberapa kali sambil tersenyum meyakinkan.

Hanum yang terisak-isak di teras langsung turun dan memeluk perut Dea. “Maaf, Bu Dea.” Hanum kemudian melirik Febri. “Maaf, Pak Febri.”

Dea dan Febri menggeleng bersamaan sambil tersenyum. “Nggak apa-apa.”

Febri melirik Agus yang masih berbincang sopan dengan Mirandani. Beberapa kali Dea dan Febri mendengar kata salak. Meski obrolan keduanya tidak jelas terdengar, tapi terkesan wanita itu ingin berbisnis dengan Agus.

“Kalo gitu aku pamit ya, Pak Agus. Jangan lupa yang aku bilang tadi,” tandas Mirandani sambil menepuk bahu kiri Agus. Pria itu hanya terdiam sambil membungkuk hormat.

“Dah, Hanum. Dek Feb, Dek Dea, aku duluan, ya!” pamit Mirandani sambil melambai sebentar kemudian berlalu.

Febri dan Dea yang sempat bernapas lega kini kembali menegang karena Agus melirik mereka dengan tajam. “Pak, mari kita bicara baik-baik,” pinta Febri seraya pasang badan di depan Dea dan Hanum.

Agus mendengus kasar. “Saya ndak akan nerima sandal pemberian kalian!” ujarnya dengan tegas.

Alis Dea mengernyit, ia muncul dari belakang Febri sambil terus mendekap Hanum yang ketakutan. “Kami membelinya atas dasar inisiatif sendiri dengan uang kami sendiri. Bapak jangan khawatir, kami nggak akan minta ganti.”

“Bukan masalah itu!”

“Lalu apa?” debat Dea. Ia kesal bukan kepalang. “Kenapa Hanum nggak boleh punya sandal baru?” Dea melotot, bulir bening menggenang di pelupuk matanya karena perasaan tak terima. “Emang Hanum mau dikurung terus, nggak boleh main di luar sama temen-temennya?” Sekuat hati Dea menstabilkan emosi.

Agus juga melotot karena jengkel dibantah terus oleh Dea. “Kalian ndak tahu apa-apa, jadi jangan ikut campur!” sengaknya. “Saya mau beliin sandal Hanum sendiri kalo udah ada kesempatan pergi ke kecamatan. Dan yang jelas warnanya bukan merah!”

Dea dan Febri saling pandang. “Emang ada masalah apa sama sandal merah?” tanya Febri penasaran.

“Itu bukan urusan kalian,” jawab Agus dengan frontal. “Saran saya, kelompok kalian jangan pernah ikut campur masalah orang-orang desa ini.” Agus mengulurkan tangannya pada Hanum yang didekap Dea sedari tadi. Hanum pun menurut, ia melepas tangan Dea lalu beranjak ke tempat ayahnya.

“Tolong Pak Agus jelaskan tentang masalah itu supaya kami paham,” desak Febri.

“Wis lah, Mas! Kalo saya udah kasih saran tuh sampeyan jangan ngeyel!” Agus kembali melotot. “Dan terakhir, ini demi kebaikan kalian, tolong kalian segera pergi aja dari sini.”

“Tapi masalah kita belum selesai―”

“Wis, anggep aja kita ndak ada masalah. Jadi cepet kalian pergi sekarang sebelum Ibunya Hanum pulang!” hardik Agus memotong ucapan Febri.

Febri dan Dea kembali terheran. Tapi reaksi Hanum jauh lebih kaget daripada mereka berdua. “Ibu pulang?” tanyanya dengan raut wajah ketakutan. Agus mengangguk, raut wajahnya sendu. “Lagi di perjalanan.”

Napas Hanum tertahan. Segera ia mendekat pada Dea dan Febri lalu meyakinkan, “Pak Febri sama Bu Dea tolong pergi aja sekarang.”

“Kenapa, Hanum?” tanya Dea, mencoba mendapat jawaban atas semua pernyataan yang membuatnya bingung sekaligus heran.

“Ibu saya tuh jauh lebih galak ketimbang Bapak,” jawab Hanum dengan panik. “Ibu bisa tega ngelempar celurit ke orang yang nggak nurut.”

“What?” pekik Dea. Meski merasa cringe tapi menurutnya ngeri juga. Febri dan Dea kaget melihat Hanum tiba-tiba menangis. “Saya nggak pengen Pak Febri sama Bu Dea kenapa-napa,” ucap Hanum di sela isakannya.

Febri pun menatap Dea kemudian mengangguk untuk meyakinkannya bahwa yang diucapkan Hanum dan Agus menyiratkan tanda bahaya. Dea setuju dengan menganggukkan kepala juga sebagai respons. “Yaudah, kami pergi sekarang,” ujar Dea sambil mengusap lembut puncak kepala Hanum.

Dengan berat hati, Dea dan Febri pergi meninggalkan Hanum yang kemudian digendong ayahnya masuk ke rumah. Dada mereka terasa sesak seolah terganjal beban yang besar. Rasa tak tega dan penasaran bercampur heran memenuhi pikiran.

“Kalo udah gini kita jadi nggak bisa diem aja kan, De?” tanya Febri dengan penuh penekanan.

“Bener, Feb. Ada yang nggak beres di desa ini.”

Febri menghela napas panjang. “Tapi kita nggak boleh gegabah. Kita butuh atur siasat dan persiapan matang kalo mau masuk ke pusaran masalah.”

“Oke!” sahut Dea dengan keyakinan tinggi.

“Yakin kamu siap keseret?” tanya Febri, meragukan kepercayaan diri Dea sekaligus tak tega.

Dea merengut. “Kecil-kecil gini aku punya backingan super, tauk!”

“Iya, iya,” sahut Febri sambil nyengir pada Dea si anak sultan. Mereka pun melangkah bersama menyusuri jalan menuju penginapan.

Sementara itu di rumah Hanum, Agus bergegas mengunci semua pintu dan jendela, sengaja mengurung diri dan anaknya. Badan Agus merosot ke lantai setelah mengunci pintu belakang. Napasnya tersengal dan merinding sekujur badan. “Mirandani?” gumamnya kemudian langsung membekap mulut. “Nama itu jangan disebut.”

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Makin penasaran sama mba Mira😁

2024-03-19

1

Ali B.U

Ali B.U

aku punya segudang pertanyaan tapi aku skip mending lanjut baca

2024-03-04

2

Nikmatus Solikha

Nikmatus Solikha

bisa bisanya dia nyapa santuy

2024-02-08

1

lihat semua
Episodes
1 Hari Pertama
2 Pertemuan Pertama
3 Interaksi Pertama
4 Berpisah
5 Ketemu!
6 Janda
7 Pengakuan
8 Mengajar
9 Rumah Mirandani
10 "Tersesat"
11 Menjenguk
12 Bangun
13 Dilabrak
14 Sandal untuk Hanum
15 Interupsi
16 Di Balik Sandal
17 Sepakat
18 Kedatangan Mirandani
19 Sutrikah
20 Senja Itu
21 Langkah Awal
22 Kepulangan
23 Teror di kelas Tiga
24 Rapat
25 Mendebat
26 Cendera Mata
27 Yang Terlihat
28 Mengejar
29 Gelagat
30 Paham
31 Pembuktian
32 Merebut
33 Mencari Hanum
34 Halaman Belakang
35 Menyaksikan
36 Kematian
37 Penemuan
38 Penyusup
39 Ozza dan Aneska
40 Bertengkar
41 Berpencar
42 Lost Contact
43 Terdesak
44 Pilihan
45 Tempat Teraman
46 Hari Baru
47 Pertunjukan
48 Kembali
49 Kejelasan
50 Menjelang Magrib
51 Dia Lagi
52 Dengan Mata Kepala Sendiri
53 Disatroni
54 Penuntasan
55 Antek-antek Mirandani
56 Berangkat
57 Mengikuti
58 Goyah
59 Diam-diam
60 Mengamuk
61 Kematian Kedua
62 Akhirnya Tahu
63 Tertuduh
64 Ditangkap
65 Satu-satunya Cara
66 Sebuah Pesan
67 Menculik
68 Penglihatan
69 Nyaris
70 Bergerak Cepat
71 Masuk Sarang
72 Dikepung
73 Selamat
74 Semua Tahu
75 Pertemuan Tengah Malam
76 Tugas Masing-masing
77 Warsih
78 Titik Terang
79 Berkumpul
80 Bertikai
81 Kemunculan Tak Terduga
82 Sengit
83 Awal Mula
84 Tragedi yang Terlupakan
85 Tantrum
86 Kebenaran
87 Deep Talk
88 Make Sense
89 Kembali ke Sekolah
90 Kilasan
91 Basecamp
92 Mimpi Febri
93 Kesurupan
94 Kedatangan Orang-orang Kota
95 Restu
96 Persiapan
97 Malam 1 Suro
98 Pertarungan
99 Momen Kritis
100 Pembantaian
101 Sasmitha
102 Usai
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Hari Pertama
2
Pertemuan Pertama
3
Interaksi Pertama
4
Berpisah
5
Ketemu!
6
Janda
7
Pengakuan
8
Mengajar
9
Rumah Mirandani
10
"Tersesat"
11
Menjenguk
12
Bangun
13
Dilabrak
14
Sandal untuk Hanum
15
Interupsi
16
Di Balik Sandal
17
Sepakat
18
Kedatangan Mirandani
19
Sutrikah
20
Senja Itu
21
Langkah Awal
22
Kepulangan
23
Teror di kelas Tiga
24
Rapat
25
Mendebat
26
Cendera Mata
27
Yang Terlihat
28
Mengejar
29
Gelagat
30
Paham
31
Pembuktian
32
Merebut
33
Mencari Hanum
34
Halaman Belakang
35
Menyaksikan
36
Kematian
37
Penemuan
38
Penyusup
39
Ozza dan Aneska
40
Bertengkar
41
Berpencar
42
Lost Contact
43
Terdesak
44
Pilihan
45
Tempat Teraman
46
Hari Baru
47
Pertunjukan
48
Kembali
49
Kejelasan
50
Menjelang Magrib
51
Dia Lagi
52
Dengan Mata Kepala Sendiri
53
Disatroni
54
Penuntasan
55
Antek-antek Mirandani
56
Berangkat
57
Mengikuti
58
Goyah
59
Diam-diam
60
Mengamuk
61
Kematian Kedua
62
Akhirnya Tahu
63
Tertuduh
64
Ditangkap
65
Satu-satunya Cara
66
Sebuah Pesan
67
Menculik
68
Penglihatan
69
Nyaris
70
Bergerak Cepat
71
Masuk Sarang
72
Dikepung
73
Selamat
74
Semua Tahu
75
Pertemuan Tengah Malam
76
Tugas Masing-masing
77
Warsih
78
Titik Terang
79
Berkumpul
80
Bertikai
81
Kemunculan Tak Terduga
82
Sengit
83
Awal Mula
84
Tragedi yang Terlupakan
85
Tantrum
86
Kebenaran
87
Deep Talk
88
Make Sense
89
Kembali ke Sekolah
90
Kilasan
91
Basecamp
92
Mimpi Febri
93
Kesurupan
94
Kedatangan Orang-orang Kota
95
Restu
96
Persiapan
97
Malam 1 Suro
98
Pertarungan
99
Momen Kritis
100
Pembantaian
101
Sasmitha
102
Usai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!