Kedatangan Mirandani

Agus ingin langsung menutup pintu tapi sekujur tubuhnya membatu. Otaknya seperti memberi sinyal bahaya jika ia nekat kabur dari Mirandani. Dengan kaki gemetaran, Agus melangkah keluar. Namun ia berakhir diam karena takut salah bicara.

“Pak Agus kenapa?” tanya Suti memecah kebisuan.

Agus menoleh pada wanita berisi yang sedang tersenyum padanya itu. “Ss―saya―ndak apa-apa. M―mau... ngomongin apa, Budhe?” Agus menanggapi Suti dengan gagap.

Belum sempat Suti menjawab, tiba-tiba Hanum keluar sambil mendekap boneka kecil. “Budhe Suti? Tante Mirandani?” sapanya sambil meringis lebar.

Suti dan Mirandani tersenyum pada Hanum. Suti mengelus puncak kepala Hanum dengan gemas. “Kamu pasti baru bangun tidur?”

Hanum mengangguk mantap. “Bapak bilang―”

“Hanum!” hardik Agus. “Masuk!” titahnya sambil melotot pada anak kecil itu.

Seketika Hanum mewek karena dibentak. Gadis itu masih sensitif setelah beberapa jam lalu terguncang karena perlakuan kasar ayahnya pada Febri dan Dea.

Mirandani mendengus, “Jangan kasar sama anak, Pak, kasihan kan dia jadi ketakutan.” Tangan Mirandani terulur hendak menyeka air mata di pipi Hanum, tapi Agus lebih cepat menarik badan mungil anaknya.  Hanya selang beberapa detik, Hanum sudah berada di dalam rumah dan Agus menutup pintu dari luar.

Air muka Mirandani seketika menegang. Ia merasa tersinggung oleh sikap Agus yang baginya tak sopan. Alhasil Suti panik kemudian menepuk pelan lengan Agus. “Pak Agus kenapa, tho? Dari tadi kok aneh?” tegurnya, berharap pria satu anak itu tidak menyinggung perasaan Mirandani.

Agus yang sempat melupakan keberadaan Suti karena fokus pada Hanum dan Mirandani pun langsung kelabakan. Ia tak ingin Suti sampai berpikir aneh tentangnya.

“Budhe, katanya mau lihat-lihat?” Mirandani memberi kode pada wanita itu untuk pergi. Suti mengangguk, paham jika Mirandani mengusirnya. Meski waswas Mirandani akan menyakiti Agus, nyatanya ia tak bisa berbuat banyak. “Kalo gitu aku mau lihat-lihat salak di kebun depan ya, Pak,” pamit Suti seraya beranjak.

Agus merasa semakin ngeri setelah kepergian Suti. Ia berpikir jika tanpa adanya Suti, mungkin saja Mirandani akan bebas berbuat buruk padanya. Ia pun tersadar harus berusaha sendiri mengambil hati Mirandani. “M―maaf, Mir, aku tadi udah berperilaku ndak sopan.”

“Nah, itu tahu,” sahut Mirandani sambil melipat tangan di dada. Nada bicaranya terkesan dingin namun tajam.

Refleks Agus berlutut dan menunduk dalam. “Ampun, Mir. Ampun!” pintanya pada wanita yang lebih muda 3 tahun darinya itu. Masalah sopan santun dari yang muda terhadap yang tua sudah tidak berlaku bagi Mirandani.

Mirandani berjongkok di depan Agus kemudian berbisik, “Nggak lupa kan, Mas, sama yang kemarin aku bilang?”

Seketika Agus merinding mendengar panggilan itu. Rasanya nostalgia tapi juga membangkitkan kengerian yang telah berlalu. Ia mengangguk cepat demi memberikan jawaban yang tepat.

“Kutegasin sekali lagi, pokoknya jaga sikapmu baik-baik, jangan sampe bikin aku marah. Karena tujuan kepulanganku ke desa ini untuk membereskan kalian semua,” kecam Mirandani seraya berdiri.

Agus langsung memegang kedua kaki Mirandani. Sorot matanya tajam namun menyiratkan keputusasaan. “Tapi Hanum ndak salah apa-apa, jadi aku mohon jangan sentuh dia!”

Mirandani tertawa menanggapi permohonan Agus. “Gimana, ya? Hanum tuh lucu banget, lho, gemesin! Aku kan jadi nggak tahan pengen main lagi sama dia.”

“Mirandani!” teriak Agus. Ia segera bersujud di bawah kaki janda cantik itu. Saking dirayapi rasa takut yang teramat, Agus sampai menangis terisak-isak. “Tolong, jangan sakiti Hanum. Biar aku aja yang gantiin dia. Jangan sentuh dia, Mir, tolooong!”

“Pengecut, kamu!” hardik Mirandani. Ia cengkeram kedua pipi Agus dengan tangan kanan kemudian menariknya. Agus yang merasakan sakit sampai ke gigi, mau tak mau mengikuti gerakan Mirandani untuk berdiri. Mirandani menyentakkan cengkeramannya hingga wajah Agus terhentak ke samping dengan keras. Ada bekas merah jemari bahkan sayatan kuku Mirandani di pipi Agus dan bulir merah mengintip dari kulit yang terbuka.

Perih, Agus hanya sanggup menunduk tanpa bisa mengusap luka di pipinya.

Mirandani menepuk-nepuk bahu Agus. Agus bergidik. Tiba-tiba Mirandani tertawa ringan. “Pak Agus ini, lho, serius amat, sih? Aku kan ke sini niatnya mau negosiasi soal pembelian salak. Ya kan, Budhe Suti?” Mirandani menoleh ke belakang.

“Bener, Pak,” timpal Suti yang rupanya sudah kembali dari kebun salak seberang jalan.

Agus panik, ia tak ingin Suti melihat kondisinya yang ketakutan terhadap Mirandani. Tapi tampaknya Mirandani sudah berganti ekspresi. Dari yang semula marah sekarang menjadi ramah. “Beneran mau beli semua salak di kebunku?” tanya Agus ragu-ragu.

Suti mengangguk. “Aku mau bantuin usaha Mirandani jadi penyalur hasil bumi warga desa ini buat dijualin ke kota,” terangnya. “Selama ini kan orang-orang pergi langsung naik truk, nyampe sana belum tentu laku semua, nah sekarang udah ada Mirandani yang mau bantu jadi agen biar kalian nggak perlu repot-repot lagi.”

Agus manggut-manggut. Mendengar penjelasan Suti yang dipercayai banyak orang, membuat ketegangan dan rasa takut Agus berangsur mereda. Selama beberapa saat Agus dan Suti bernegosiasi di kursi bambu teras rumahnya, sesekali Agus melirik Mirandani yang sibuk dengan HP-nya.

“Kalau gitu kita sepakat ya, Pak Agus?” tandas Suti mengakhiri obrolan mereka dan berujung dengan kesepakatan yang menguntungkan kedua pihak. Suti menjabat tangan Agus dan disambut baik oleh pria 30 tahun itu.

“Berhubung tujuan kami di sini udah selesai, sekarang kami pamit ya, Pak,” ujar Suti sambil mencolek lengan Mirandani bermaksud mengajaknya pergi. Mirandani tersenyum manis pada Agus. Agus langsung menunduk dan menyahut, “Monggo, monggo.” Ia sangat berharap dua orang itu cepat pergi saja.

Tapi tiba-tiba Mirandani mendekat pada Agus. Agus tidak berani mengangkat kepala. Mirandani berujar dengan suara pelan, “Kalo udah panen nanti, langsung anter ke rumahku aja ya, Pak Agus.” Mirandani melangkah lebih dekat lagi kemudian berbisik. “Bukan minta tolong, tapi perintah.”

DEG! Agus mengernyit, sekujur badannya merinding dan langsung gemetaran. Karena rumah Mirandani membangkitkan trauma berat dalam dirinya.

“Oya, satu lagi,” ucap Mirandani. Ia serahkan kantong kresek hitam yang sedari tadi ditentengnya ke tangan Agus. “Ini hadiah.”

“A—apa ini, Mir?” tanya Agus dengan terbata.

“Rahasia,” jawab Mirandani singkat yang kemudian diikuti kikik tawa. “Bukanya nanti aja, ya.”

Agus yang berfirasat buruk hanya bisa mengangguk sambil terus menunduk. Ia tak mampu mendongak menatap Mirandani. Hanya kaki mulus wanita itu yang ia lihat hingga benar-benar menjauh pergi.

Seketika badan Agus lemas dan langsung terjerembab di lantai teras. Rasanya seluruh tenaganya menguar hingga tak menyisakan sedikit pun daya. Mendadak pintu terbuka dan Hanum berjingkat keluar sambil berwajah panik campur marah. “Kenapa pintunya Bapak kunci?” protes Hanum.

Agus menatap heran ke arah putrinya. “Bapak ndak ngunci kok, Num.”

“Trus kenapa nggak bisa kubuka dari tadi? Aku kan pengen ketemu sama Tante Mirandani.”

Agus langsung tersadar. Ia curiga mungkin saja itu ulah Mirandani yang secara magis mengunci pintu rumahnya. Seperti yang belakangan dikoar-koarkan para warga bahwasanya Mirandani punya ilmu sihir sekembalinya dari kota.

Agus langsung memeluk Hanum dan mencium kepalanya. “Maafin Bapak ya, Num.” Ia sangat bersyukur Hanum tidak kenapa-napa. “Ayo, masuk. Bapak bikinin nasi goreng kesukaan kamu.”

Hanum mengangguk sambil merengut. Ia kemudian naik ke gendongan ayahnya dan masuk rumah diakhiri dengan pintu yang tertutup rapat-rapat.

Agus teringat kembali di saat hari kelahiran Hanum, tepat di hari ulang tahun Mirandani yang ke-18. Mulanya masa kecil Hanum sempat sangat akrab dengan Mirandani yang dipanggilnya tante. Hanum senang sekali punya tanggal ulang tahun yang sama dengan gadis cantik seperti Mirandani.

Hingga suatu ketika, Agus yang tanpa sengaja mengetahui bahwa Mirandani punya dendam pada warga desa pun segera memisahkan Hanum darinya. Mirandani tersinggung hingga mengamuk dan nyaris melenyapkan nyawa istri Agus yang saat itu berniat buruk di rumahnya. Beruntung Mbok Mijah datang menghentikan amukan Mirandani.

Namun, meski sudah melihat dengan mata kepala sendiri hal mengerikan yang dilakukan Mirandani saat menikam punggung istrinya, Agus tetap bersimpati pada Mirandani yang sebatang kara dan setiap hari dirundung warga. Ia pun nekat mencegat Mirandani di jalan dan meminta maaf saat pertama kali gadis itu hendak berangkat ke kota. Itulah momen terakhir pertemuan mereka dan kini ia terlibat dengan wanita itu lagi.

“Gusti...” gumam Agus di depan kompor yang baru dimatikannya. Beberapa kali Agus menghela napas panjang karena menyesali banyak hal dan juga merasa sangat ketakutan, sekaligus khawatir dengan apa yang akan terjadi mulai dari sekarang. Ia lirik Hanum yang sedang konsentrasi mengerjakan PR di meja makan. Sengaja disuruhnya bocah mungil itu belajar di sana supaya ia bisa terus memantaunya.

Tanpa sengaja ekor mata Agus menangkap kantong kresek hitam yang tadi ia taruh tak jauh dari tempat Hanum duduk. Dalam pikiran Agus bertanya-tanya, apa benda yang ada di dalamnya? Yang jelas pemberian Mirandani membuatnya tak bisa berpikir positif.

“Pak, kapan Ibu nyampe rumah?” celetuk Hanum.

Agus terbelalak. Ia baru sadar telah melupakan hal paling penting, yaitu kepulangan istrinya dari luar negeri setelah masa kontraknya sebagai TKW usai. “Ibu...” Agus menjawab dengan ragu-ragu. Ia beranjak ke meja makan dan meletakkan dua piring nasi goreng di sana. “Tadi Ibu WA Bapak, katanya mampir dulu di tempat lain. Nyampe rumahnya mungkin besok pagi atau siang.”

Hanum mengangguk sambil berwajah memelas. “Akhirnya Ibu pulang.” Bocah manis itu mengemasi bukunya ke dalam tas kemudian mulai menyendok nasi goreng dengan gerak tangan yang lemas.

Agus mengerti dengan rasa cemas putrinya. Ia usap puncak kepala gadis 9 tahun itu. "Tenang aja, Ibu pasti udah ndak galak lagi sekarang," ujarnya menenangkan.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Ngeri mba Mira😬😬

2024-03-19

1

Ali B.U

Ali B.U

penuh teka teki

2024-03-04

2

lihat semua
Episodes
1 Hari Pertama
2 Pertemuan Pertama
3 Interaksi Pertama
4 Berpisah
5 Ketemu!
6 Janda
7 Pengakuan
8 Mengajar
9 Rumah Mirandani
10 "Tersesat"
11 Menjenguk
12 Bangun
13 Dilabrak
14 Sandal untuk Hanum
15 Interupsi
16 Di Balik Sandal
17 Sepakat
18 Kedatangan Mirandani
19 Sutrikah
20 Senja Itu
21 Langkah Awal
22 Kepulangan
23 Teror di kelas Tiga
24 Rapat
25 Mendebat
26 Cendera Mata
27 Yang Terlihat
28 Mengejar
29 Gelagat
30 Paham
31 Pembuktian
32 Merebut
33 Mencari Hanum
34 Halaman Belakang
35 Menyaksikan
36 Kematian
37 Penemuan
38 Penyusup
39 Ozza dan Aneska
40 Bertengkar
41 Berpencar
42 Lost Contact
43 Terdesak
44 Pilihan
45 Tempat Teraman
46 Hari Baru
47 Pertunjukan
48 Kembali
49 Kejelasan
50 Menjelang Magrib
51 Dia Lagi
52 Dengan Mata Kepala Sendiri
53 Disatroni
54 Penuntasan
55 Antek-antek Mirandani
56 Berangkat
57 Mengikuti
58 Goyah
59 Diam-diam
60 Mengamuk
61 Kematian Kedua
62 Akhirnya Tahu
63 Tertuduh
64 Ditangkap
65 Satu-satunya Cara
66 Sebuah Pesan
67 Menculik
68 Penglihatan
69 Nyaris
70 Bergerak Cepat
71 Masuk Sarang
72 Dikepung
73 Selamat
74 Semua Tahu
75 Pertemuan Tengah Malam
76 Tugas Masing-masing
77 Warsih
78 Titik Terang
79 Berkumpul
80 Bertikai
81 Kemunculan Tak Terduga
82 Sengit
83 Awal Mula
84 Tragedi yang Terlupakan
85 Tantrum
86 Kebenaran
87 Deep Talk
88 Make Sense
89 Kembali ke Sekolah
90 Kilasan
91 Basecamp
92 Mimpi Febri
93 Kesurupan
94 Kedatangan Orang-orang Kota
95 Restu
96 Persiapan
97 Malam 1 Suro
98 Pertarungan
99 Momen Kritis
100 Pembantaian
101 Sasmitha
102 Usai
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Hari Pertama
2
Pertemuan Pertama
3
Interaksi Pertama
4
Berpisah
5
Ketemu!
6
Janda
7
Pengakuan
8
Mengajar
9
Rumah Mirandani
10
"Tersesat"
11
Menjenguk
12
Bangun
13
Dilabrak
14
Sandal untuk Hanum
15
Interupsi
16
Di Balik Sandal
17
Sepakat
18
Kedatangan Mirandani
19
Sutrikah
20
Senja Itu
21
Langkah Awal
22
Kepulangan
23
Teror di kelas Tiga
24
Rapat
25
Mendebat
26
Cendera Mata
27
Yang Terlihat
28
Mengejar
29
Gelagat
30
Paham
31
Pembuktian
32
Merebut
33
Mencari Hanum
34
Halaman Belakang
35
Menyaksikan
36
Kematian
37
Penemuan
38
Penyusup
39
Ozza dan Aneska
40
Bertengkar
41
Berpencar
42
Lost Contact
43
Terdesak
44
Pilihan
45
Tempat Teraman
46
Hari Baru
47
Pertunjukan
48
Kembali
49
Kejelasan
50
Menjelang Magrib
51
Dia Lagi
52
Dengan Mata Kepala Sendiri
53
Disatroni
54
Penuntasan
55
Antek-antek Mirandani
56
Berangkat
57
Mengikuti
58
Goyah
59
Diam-diam
60
Mengamuk
61
Kematian Kedua
62
Akhirnya Tahu
63
Tertuduh
64
Ditangkap
65
Satu-satunya Cara
66
Sebuah Pesan
67
Menculik
68
Penglihatan
69
Nyaris
70
Bergerak Cepat
71
Masuk Sarang
72
Dikepung
73
Selamat
74
Semua Tahu
75
Pertemuan Tengah Malam
76
Tugas Masing-masing
77
Warsih
78
Titik Terang
79
Berkumpul
80
Bertikai
81
Kemunculan Tak Terduga
82
Sengit
83
Awal Mula
84
Tragedi yang Terlupakan
85
Tantrum
86
Kebenaran
87
Deep Talk
88
Make Sense
89
Kembali ke Sekolah
90
Kilasan
91
Basecamp
92
Mimpi Febri
93
Kesurupan
94
Kedatangan Orang-orang Kota
95
Restu
96
Persiapan
97
Malam 1 Suro
98
Pertarungan
99
Momen Kritis
100
Pembantaian
101
Sasmitha
102
Usai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!