“Selamat pagi, Pak,” sapa Dea pada seorang pria paruh baya yang memanggul cangkul dan menenteng sabit saat berpapasan di jalan. Antara pemukiman yang disinggahi kelompok KKN itu menuju balai desa memang ada jalan yang dikelilingi oleh pepohonan jati tinggi dan beberapa rumpun bambu yang membuat bulu kuduk berdiri. Ialah jalan yang mereka lalui saat ini.
Pria itu mengangguk sambil tersenyum lebar pada Dea dan rekan-rekan. Febri dan Aneska yang jalan berdua agak jauh di belakang sama-sama waspada kalau-kalau gadis mungil rekan mereka itu bersikap atau berujar yang tidak menyenangkan.
“Za!” panggil Aneska. Ozza yang jalan sendirian di tengah barisan langsung menoleh padanya. Aneska mengedikkan dagu ke depan, Ozza mengangguk seolah mengerti diberi kode untuk mengatur tiga biang kerok di depannya.
“Agak cepet jalannya, Guys,” bisik Ozza pada Beni, Dea, dan Kia. Ketiganya berdecak tapi tak punya pilihan karena sebelumnya memang sudah diwanti-wanti oleh kepala desa untuk menjaga tata krama, terutama tidak telat saat apel pertama di balai desa.
Tapi Febri selaku ketua bukannya ikut bergegas malah terpaku saat melihat pria paruh baya tadi berbelok ke sebuah jalan kecil di depannya. Entah dorongan apa yang membuatnya berjalan cepat mengikuti pria itu. Aneska mengernyit heran melihat sikap Febri. “Feb! Mau ke mana?!”
Tak mendapat sahutan, Aneska putuskan untuk mengejar. Begitu pun Ozza yang melihat keanehan pada diri Febri sejak di rumah inap tadi langsung berjingkat mengikuti Aneska. Dan diikuti tiga orang yang lainnya. “Febri kenapa ikut si Bapak tadi?” tanya Dea tapi tak mendapat jawaban dari rekan-rekannya.
Sementara itu Febri masih berjalan di belakang si pria kemudian menangkap lengannya saat sudah dekat. “Pak, tunggu!”
Si pria menoleh dan membelalak kaget melihat Febri yang tak ia sangka ternyata mengikutinya. “Lho, Mas, kok di sini? Mau ke mana?” tanyanya. “Kok ikut saya? Apa jangan-jangan nyasar, ya?”
“Justru saya yang ingin tanya, Bapak ini mau ke mana, kok masuk hutan?” Febri tercekat. Ia edarkan pandangan ke penjuru tempat yang dikelilingi pepohonan jati itu. Terutama jalan setapak yang saat ini ia pijak. Sontak sekujur badan Febri meremang. Seolah rasa ngeri dalam mimpi menguasai kesadarannya lagi. Sampai sebuah tepukan di punggung mengusir rasa merinding di badannya.
“Lo apaan sih ngikutin Bapak ini?” hardik Ozza. Raut wajahnya jengkel.
Febri tersentak dan segera melepaskan genggamannya di lengan si pria. “Maaf, Pak. Maafkan saya,” ucapnya sambil membungkuk beberapa kali.
Si pria tertawa kecil. “Saya ini mau ke ladang, Mas. Kerja. Mas mau ikut, apa gimana?”
Febri menggeleng cepat. Teman-temannya saling pandang dengan tatapan heran. Aneska menarik lengan jas Febri. “Maaf ya, Pak, teman saya ini nggak tahu kalau Bapak mau kerja.”
“Yowis, ndak apa-apa,” sahut si pria dengan ramah.
“Kalau begitu kami permisi. Bapak silakan lanjutkan perjalanan,” ujar Ozza.
“Selamat bekerja, Bapak,” timpal Dea sambil melambaikan tangan dan mendapat anggukan senang dari si pria.
Aneska dan Ozza menghela napas panjang. Kali ini posisi jalan mereka mengapit Febri. Berjaga supaya pemuda itu tidak bertindak aneh lagi. Ketiganya berjalan dalam hening, ribut dengan pikiran masing-masing. Sementara ketiga teman yang ceria sudah jalan lebih dulu.
“Uwaaah!” pekik Beni sambil mangap mulutnya. Kia langsung menimpuk wajah Beni dengan totebagnya. “Apaan sih lo, malu-maluin aja!” hardiknya. Sedangkan Dea terkikik melihat tingkah kocak dua temannya itu.
Aneska, Febri, dan Ozza kaget melihat ketiga temannya itu heboh sendiri. “Kali ini apa lagi?” desis Aneska.
Pertanyaan Aneska terjawab oleh sebuah mobil bak terbuka yang lewat dari arah depan. Beni yang berhenti jalan lalu memutar badan seolah mengikuti laju mobil itu. Spontan Aneska, Febri, dan Ozza mengikuti arah mata Beni karena penasaran kenapa pemuda itu bertampang takjub begitu.
Dan kemudian...
Hembusan angin dingin desa kaki gunung seolah berhenti menerpa badan. Suara gesekan dedaunan, kicauan burung, ceriwisan teman, seperti tak terdengar di telinga Febri. Waktu terhenti, begitulah yang ia rasa saat ini. Penyebabnya adalah seorang wanita cantik yang sedang duduk di bak mobil yang melaju. Fitur wajah memesona dengan garis rahang yang tegas, tulang hidung mancung, alis rapi, kulit mulus, dan bibir mungil tebal yang semerah buah ceri.
DEG!
Helaian rambut panjang kecokelatan yang tergerai melambai lembut terembus angin. Sesekali wanita itu merapikan dengan jemarinya yang putih dan lentik. Mata yang terus terpejam tiba-tiba terbuka. Memampangkan bola mata belo namun teduh.
DEG! DEG!
Dada Febri ramai sekali. Geli seperti digelitiki. Ini bukan mimpi. Tapi bagaimana bisa bertemu bidadari di tempat aneh begini?
“Cantik, ya?” bisik Ozza, membuyarkan euforia di pikiran Febri. Febri tersentak lalu nyengir, agak kesal karena Ozza seperti sedang menggodanya.
“Napak, nggak?” ledek Aneska sambil mendengus sarkas. Febri memutar bola mata.
Keenam orang itu pun melanjutkan perjalanan setelah mobil bak yang ditumpangi si wanita cantik menghilang di tikungan. Beni dan dua gadis di depan ramai membicarakan wanita tadi. Sedangkan tiga orang di belakang kembali saling diam.
Sampai langkah mereka berhenti tepat di depan gerbang balai desa. Gedung yang sederhana tapi tampak sejuk itu yang semalam menyambut kedatangan pertama mereka. Bahkan kepala desa membuat acara selamatan dan makan bersama untuk mengenalkan mereka pada beberapa warga, juga tetua desa.
“Kalian sudah datang?” tanya kepala desa dengan senyum ramah terlukis di wajahnya. Pria berusia 50 tahun itu tergopoh menghampiri kelompok KKN Febri. “Mari, mari, kita akan apel pagi lima menit lagi.” Tangannya mempersilakan muda-mudi itu ke halaman, berkumpul bersama para perangkat desa.
“Syukurlah kita nggak telat,” dengus Aneska.
***
Apel pagi tadi diisi dengan celotehan kepala desa yang kembali memperkenalkan kelompok KKN Febri, memberitahukan tugas mereka di desa itu, serta peraturan yang harus diketahui. Setelah apel usai, kelompok Febri masih diberi waktu untuk bersantai. Kepala desa bahkan menyarankan mereka untuk menjadikan satu hari pertama itu sebagai healing, alias jalan-jalan saja dulu, menyapa warga sekalian melihat pemandangan yang pastinya tak bisa mereka temui di kota.
“Syukur deh, Pak Kades seru orangnya,” ujar Kia sambil menyeruput teh hangat yang disiapkan di bale.
“Tapi bukan berarti kita bisa santai-santai. Tetep harus jaga sopan santun,” kata Aneska.
“Iya, ngerti. Tapi seenggaknya kita nggak tertekan banget gitu selama di sini,” timpal Beni.
Dea tergelak. “Tertekan kayak ketemu asdos yang suka selfie!”
“Hih, amit-amit! Jangan ngingetin, deh! Aku ilfeel banget sama tuh orang!” sahut Kia, dengan muka juteknya.
Febri yang baru kembali dari kamar mandi hanya tersenyum kecil mendengar gibahan teman-temannya itu. Meski ada rasa tak nyaman yang menyelimuti hatinya, ia mencoba berpikir positif bahwa mereka akan baik-baik saja hingga tugas KKN selesai. “Sejauh ini aman,” gumamnya.
Ozza menyodorkan segelas kopi panas pada Febri. “Enak banget kopinya!”
Tentu Febri menerimanya. “Thanks, Bro.” Melihat Ozza yang biasanya jaim memuji minuman itu, Febri pun percaya dan segera menyesapnya. “Uhuk!” Tapi seketika Febri tersedak. Ia terkejut melihat wanita di mobil bak tadi kini muncul di hadapan mereka lagi.
Wanita itu berjalan anggun mengenakan dress motif bunga warna pastel menuju bale. Beberapa perangkat yang masih ada di luar kantor sambil berdiskusi langsung menghampirinya. “Mirandani?” sapa seorang pria. “Kamu ke sini lagi?” timpal yang lainnya.
Wanita itu tersenyum lebar merespons ingar-bingar perangkat desa yang mengerumuninya. “Iya, Bapak-bapak. Saya akan tinggal di desa ini agak lama,” jawabnya. Ia melirik pada kelompok Febri kemudian menganggukkan kepala untuk memberi salam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Nia Gemoy
waha
2024-04-17
1
Maz Andy'ne Yulixah
Masih penasaran..
2024-03-18
1
Ali B.U
masih nyimak
2024-03-03
2