Mirandani namanya.
Kini keenam mahasiswa KKN itu tahu nama si wanita cantik yang membuat riuh balai desa. Edi yang merupakan bayan desa bahkan mengajak Mirandani menghampiri muda-mudi itu untuk berkenalan. Dengan alasan karena sama-sama datang dari kota. Meski Mirandani merasa tak perlu tapi lebih baik untuk menurutinya.
“Saya Mirandani,” ucap wanita cantik itu sembari mengulurkan tangannya.
Beni yang lebih dulu menyambar uluran tangan Mirandani. Dia jabat tangan wanita itu dengan penuh antusiasme. “Saya Beni Saputra. Panggil Beni aja,” terangnya sambil cengengesan. Beni sampai beberapa kali menelan ludah karena menjabat telapak tangan halus milik wanita cantik itu membuat jantungnya berdebar tak karuan.
Tiba-tiba Kia mencubit punggung tangan Beni yang masih berjabatan sampai pemuda itu meringis kesakitan. “Apa, sih?” Beni buru-buru melepas tangan lalu mengusap-usapnya. “Sakit, tau!”
Kia melotot pada Beni. “Dibilang malu-maluin!” desisnya dengan geram. Sejurus kemudian Kia menjabat tangan Mirandani dan memperkenalkan diri, “Zaskia—nggak Gotik.”
Teman-temannya terdengar menahan tawa. Begitu pun dengan Mirandani yang tersenyum lebar menanggapi candaan Kia.
Ozza yang masih anteng di tempat duduknya hanya mengangkat dua tangan yang ia katupkan sembari mangangguk sopan. “Ozza.” Diikuti Aneska yang juga melakukan hal serupa. “Aneska.”
Mirandani tersenyum ramah menanggapi keduanya.
Febri yang duduk di samping Ozza pun berdiri. Ia merasa sebagai ketua harus menunjukkan adab yang lebih baik dari rekan-rekannya. Meski alasan lain adalah karena tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan berinteraksi dengan si wanita cantik. Tapi belum sampai mengulurkan tangan, Dea lebih dulu menyerobotnya.
“Halo, Kak Miranda! Kenalin nama aku Dea. Lengkapnya Dea Lutfi Farhani. Tapi kalo mau panggil Lutfi, Lulu, atau Hani juga bisa, nggak apa-apa. Terserah manggil aku gimana, pokoknya nggak keluar jalur dari nama lengkap aku aja. Daripada pake jalur mandiri, jalur langit, apalagi jalur hukum, kan rempong, hahahaha!” cerocos Dea yang langsung ditarik oleh Kia.
Mirandani tertawa kecil karena merasa terhibur dengan gadis mungil itu. “Yaudah, aku panggil Dea aja kayak perkenalan kamu yang pertama.”
Febri menggosok telapak tangan kanannya ke celana lalu mengulurkan pada Mirandani. “Saya Febri, ketua kelompok KKN ini. Mohon maaf kalau sikap temen-temen saya bikin Mbak Mirandani kurang berkenan.”
Mirandani meraih tangan Febri dan menjabatnya dengan dua tangan. “Nggak apa-apa, santai aja. Salam kenal, ya.”
Febri membeku. Dua tangan putih dan halus itu terasa hangat membungkus tangan kanannya. Jantungnya berdetak kencang. Buru-buru ia lepas genggaman tangan Mirandani lalu menunduk menyembunyikan wajahnya yang memanas. “Salam kenal juga, Mbak Mira.”
Teman-teman Febri merasa cringe. Apalagi Mirandani kan belum menyebutkan nama panggilannya, tapi Febri sudah memutuskan untuk memanggilnya Mira saja. Meski begitu bukan berarti mereka membenci wanita cantik itu. Hanya Aneska yang terang-terangan menampakkan ketidaksukaan.
“Kalo gitu aku permisi ke kantor dulu, ya. Mau ngurus surat pindahan,” pamit Mirandani sambil membenahi tali tas selempangnya. “Semoga KKN kalian di desa ini lancar dan sukses sampai selesai.”
“Aamiin!” sahut Febri dan teman-teman.
Mirandani pergi ke kantor meninggalkan kelompok Febri yang masih stay di bale. Enam orang kecuali Aneska tampak memerhatikan kepergian Mirandani masuk kantor dengan seksama.
“Woy!” celetuk Aneska. “Kita jadi jalan-jalan nggak, nih?”
Dea mengangkat jempolnya. “Let’s go!” Ia dekap lengan kiri Aneska dan ditariknya ke halaman. Yang lain pun tak punya pilihan dan ikut setelah membereskan gelas teh atau kopi masing-masing. Sebelumnya Edi memang meminta mereka untuk menaruh saja gelas-gelas itu di nampan tanpa perlu dibersihkan.
Febri jalan lebih dulu bersama Ozza. Dea dan Kia sengaja ditaruh di tengah, sedangkan Aneska bersama Beni di belakang. Mereka memutuskan untuk pergi berenam saja setelah sempat menolak tawaran kepala desa yang mau memanggilkan pemandu jalan.
Selain karena tidak ingin merepotkan, mereka sengaja supaya bisa puas mengabadikan momen dan pemandangan dengan HP masing-masing tanpa harus diawasi orang.
“Guys!” sapa Beni di live Tiktok-nya. “Ini hari pertama kami KKN di Desa Wilangan. Tempatnya adeeem banget! Kami mau jalan-jalan dulu nih, sekalian kenalan sama warga, liat-liat pemandangan, sama hapalin jalan biar kapan-kapan nggak bakal nyasar.”
Aneska melongok ke layar HP Beni. Ia baca komentar netizen yang beberapa heran karena hari pertama KKN mereka malah jalan-jalan santai. “Nggak bakal kami lakuin kalo nggak ada yang nyuruh!” ketusnya di depan kamera.
Beni nyengir lalu cengengesan. “Sorry, Guys. Ini temen gue, namanya Aneska. Bener kok yang dia bilang, kami ngelakuin ini karena Pak Kades sendiri yang nyuruh. Asyik, kan?”
Aneska mendengus kesal. “Matiin aja, deh!”
Beni menoleh. “Iya,” sahutnya. Setelah pamit, ia pun mematikan live-nya. “Lo kenapa sih dari tadi kayak sensian gitu?” celetuk Beni sambil beralih ke video kamera biasa.
“Lo pikir aja, udah tahu netizen tuh maha julid, malah pake live segala!” tegur Aneska.
Febri dan Ozza yang memimpin jalan hanya bisa geleng kepala. Mereka tahu betul tidak ada kedamaian jika menyatukan Beni dengan Aneska.
“AAARGH!!”
Teriakan Beni membuat kelima rekannya terkejut. “Kenapa lo, Ben?” tanya Kia.
“Sini deh, Guys!” Beni melambai ke temannya, matanya fokus pada layar HP. “Ada tuyul!” pekiknya.
Lima orang itu langsung berkerumun di dekat Beni lalu memeriksa HP si rambut cepol itu. “Hiii, tuyul!” seru Dea.
“Hush, jangan ngawur!” tegur Febri. “Mana ada penampakan setan pagi-pagi?” Sejujurnya Febri berusaha meyakinkan diri.
“Halah, itu bocah,” tunjuk Aneska ke satu arah di belakang mereka. Teman-temannya pun menoleh ke sana.
Tampak dua bocah gundul dengan wajah penuh bedak putih sedang bermain bersama di semak bunga. Seorang wanita yang membawa piring muncul dari belakang mereka. “Ayo, Nduk, cepet makannya.”
Seketika Febri dan rekan-rekannya menghela napas lega. Mereka lalu melotot pada Beni yang malah terkikik karena berhasil membuat prank untuk teman-temannya.
“Lo nge-prank kita?” tanya Kia.
“Iya!” jawab Beni dengan watadosnya.
Kia langsung menimpuk kepala Beni karena sebal. Dea melerai. Dua bocah yang disangka tuyul tiba-tiba berlarian ke arah mereka. Febri seperti merasakan udara dingin yang aneh menyergap badannya. Dea dan Kia berlari menangkap bocah-bocah itu. Sedangkan Beni merekam videonya sambil tertawa.
“Adek cubangeeet!” Dea gemas sekali. Dia cubiti pipi gembul bocah perempuan yang pakai rok balet.
“Siapa namamu?” tanya Kia pada bocah satunya. Ia tampak menahan tawa melihat bedak putih yang tidak merata di wajah si bocah.
“Dika,” jawab si bocah laki-laki plontos yang terlihat masih berumur tiga tahunan itu.
Dea dan Kia mengajak dua bocah itu selfie lalu memberi permen empuk rasa buah yang biasa Dea bawa di tasnya.
“Daaah!” Dea melambaikan tangan ke bocah-bocah yang berlari kembali ke wanita tadi.
Wanita itu tampak canggung. Tanpa kata, Febri menangkupkan kedua tangannya sebagai permohonan maaf. Wanita itu pun tersenyum kemudian menggeret anak-anaknya pergi ke balik semak yang menjadi pagar rumah-rumah di sana.
Aneska menyikut Ozza. Ozza menatap Aneska kemudian menghela napas. “Guys, lain kali kita musti lebih sopan lagi sama warga sini.”
“Emang kita tadi nggak sopan di mananya, sih?” tanya Kia dengan sorot matanya yang risi.
“Tuyul, nyubit pipi, ngajak selfie, kasih permen, trus ngetawain bedaknya,” tutur Aneska. “Dan itu semua tanpa kita nyapa atau minta izin dulu sama ibunya. Sopan kah begitu? Masa aku harus jabarin satu-satu?”
Lima orang hanya terdiam mendengar Aneska bicara. “Asdos yang kalian benci bukan tanpa alasan nyinyirin kita untuk selalu waspada selama di sini. Aku yakin asdos itu pengen kita baik-baik aja ngeliat sifat kalian yang kayak gitu. Jadi hati-hati bawa diri ya kalian semua.”
Aneska pergi begitu selesai dengan kalimatnya. Febri mempersilakan Beni, Dea, dan Kia yang tampak manyun dan saling sikut untuk jalan lebih dulu sedangkan giliran dirinya dan Ozza yang berjaga di belakang.
“Padahal dia sendiri mukanya ditekuk mulu dari tadi. Sopan kah begitu?” bisik Kia pada Dea dan Beni. Aneska yang bisa dengar langsung berdecak dan menghentak kaki.
Ozza melirik Febri. “Lo kenapa gemeteran gitu dari tadi?”
“Hah?” Febri tersentak. Dia ulurkan tangannya untuk mengecek. “Iya, ya? Kok gue nggak nyadar?”
“Sejak lo diem liatin darah di kaki wanita tadi?”
DEG!
Febri terkejut mendengar gumaman Ozza. “Lo... liat juga?”
Ozza mengangguk. “Tapi yang lain enggak deh kayaknya. Jadi mending kita diem aja.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Na kayak nya sudah mulai muncul nie😁😁
2024-03-18
1
Ali B.U
penasaran lanjut
2024-03-03
2
Nikmatus Solikha
anak jurik kemasan sachet
2024-01-26
1