―Pertigaan jalan balai desa ambil yang depan, lurus aja sampe ada pertigaan belok kanan lagi, lurus terus ntar rumah Budhe Suti dikelilingin kebun belimbing, di terasnya ada banner Omah JaPar―
Febri menggumam-gumamkan isi WA Ozza yang baru masuk ke HP-nya. “Thanks,” ucap Febri di depan layar HP. Memang pilihan tepat meminta Ozza memberitahunya arah rumah karena pemuda itu pernah nyambi jadi kurir paket yang terbiasa mendapat petunjuk alamat dari customernya.
“Dek Feb?”
Febri tersentak. WA dari Ozza seperti membuatnya lupa bahwa ia sudah menghentikan Mirandani dari tadi. Melihat Mirandani tersenyum teduh sambil menatapnya dengan heran, Febri hanya mengerjapkan mata karena seolah lupa apa tujuan awalnya mengejar wanita cantik itu.
“Kok diem?” tanya Mirandani lagi. “Kamu kenapa manggil aku? Kamu nggak tersesat lagi, kan?” Justru Mirandani yang memberondong Febri dengan pertanyaan. Wanita itu tampak celingukan mencari teman-teman Febri.
Febri buru-buru mengantongi HP-nya kembali. “Ee― jadi gini, Mbak Mira...”
“Ya?” Mirandani terlihat sabar menunggu pemuda yang butuh waktu untuk bicara itu.
Jantung Febri berdetak kencang. Ia gelisah, ingin menyinggung perihal sandal merah tapi takut kalau-kalau tidak mendapatkan jawaban sesuai yang diharapkannya. Takut kalau ternyata Mirandani tidak merasa bertemu dengannya di ladang singkong kemarin siang.
“Atau Dek Febri mau mampir ke rumahku aja? Daripada berdiri di jalan gini, nggak enak dilihat orang,” tawar Mirandani.
Febri langsung tersadar dari kegelisahannya. Ia menoleh memerhatikan sekitar dan mendapati rumah besar dengan halaman berhiaskan pot-pot bonsai bugenvil seperti deskripsi Kia kemarin tepat di belakang Mirandani. Alisnya mengerut, ia tak sadar sudah sampai di depan kediaman wanita cantik itu.
“Rumah Mbak Mira?” tanya Febri sambil menunjuk tempatnya.
Mirandani mengangguk. “Iya, itu rumahku.”
Febri yakin sebelumnya masih mengejar dan memanggil Mirandani sampai wanita itu berhenti di sekitar kebun kecil yang dipenuhi tanaman salak. Tapi Febri tak mau berlama-lama, ia menggeleng lalu memantapkan hatinya.
“Aku mau tanya soal sandal merah yang kukasihin ke Mbak Mira kemarin. Mbak yang bawa, kan?”
Beberapa saat hening karena Mirandani tidak segera menjawab pertanyaannya. Bahkan dada Febri berdesir ngilu saat melihat wanita itu mengernyit. Ia benar-benar tidak ingin mendapat jawaban yang menyeramkan.
“Oh, sandal merah Upin Ipin?” tanya Mirandani memastikan.
Seketika Febri menghela napas panjang karena sangat lega atas respons Mirandani yang sesuai ekspektasi. “Iya, Mbak. Sandal yang ada lumpur keringnya.”
“Ada kok, aku nggak sadar kubawa sampe ke rumah.”
Betapa Febri bersyukur karena yang ditemuinya kemarin benar-benar Mirandani, bukan setan. Meski kini ia jadi penasaran bagaimana wanita itu bisa begitu cepat menghilang.
“Emang kenapa? Mau kamu minta?”
Febri mengangguk. “Iya, Mbak. Ada anak SD yang kehilangan sandal itu. Aku cuma mau mastiin ke dia kalo sandal itu benar miliknya atau bukan.”
Mirandani manggut-manggut. “Kalo gitu ayo ke rumahku. Ambil sandal sekalian main, gitu?”
Febri langsung setuju. Ia mengangguk sambil tersenyum malu. Mirandani jalan lebih dulu diikuti Febri. Tiba-tiba Febri tak sengaja melihat seorang pria bungkuk berdiri di balik pagar bambu pembatas samping rumah Mirandani yang sedang menatapnya dengan tajam. Seketika tengkuk Febri meremang.
“Ayo, masuk!” ajak Mirandani.
Febri tersentak. Pandangannya teralih cepat pada Mirandani. “Oh, nggak, Mbak. Aku tungguin di sini aja,” tolaknya. Pelan ia melirik ke tempat pria berbaju hitam tadi, tapi orang itu sudah tak ada.
“Aku bikinin es teh, deh,” desak Mirandani.
Febri berpikir sejenak. Tapi ia putuskan untuk tetap menunggu di luar. “Es tehnya Mbak bawain ke teras aja.” Selain karena tuntutan menjaga adab di rumah seorang wanita, Febri juga ingin berjaga di luar dan memastikan Mirandani tidak dikunjungi pria aneh tadi.
Mirandani tertawa renyah. “Kirain es tehnya juga mau kamu tolak,” candanya sembari membuka kunci pintu.
“Nggak, dong.”
“Oke, aku bikinin dulu, ya,” pamit Mirandani sambil beranjak masuk rumah.
Febri duduk di kursi rotan. Ia mengedarkan pandang ke sekeliling mengamati kediaman Mirandani yang asri tapi lengang. Bangunan rumah besar bertembok yang beda dari rumah-rumah di sekitarnya. Hamparan rumput hijau rapi yang dihiasi banyak pot bunga. Pohon-pohon jeruk bali berjajar di sekelilingnya. Bahkan ia tadi sempat melihat di belakang rumah itu ada beberapa pohon besar dan tinggi dan remang hingga terkesan seram.
“Mbak Mira tinggal sendirian?” gumam Febri sambil fokus melihat pepohonan jeruk yang bergerak pelan ditiup angin.
“Iya,” jawab Mirandani yang muncul membawa segelas besar es teh.
Lagi-lagi Febri kaget. Ia sedikit terlonjak dari duduknya. Tak disangka Mirandani akan kembali secepat itu, bahkan menjawab gumamannya.
“Sorry, aku ngagetin kamu, ya?” Mirandani menyerahkan gelas es tehnya.
Febri menerima gelas itu dan buru-buru menenggak isinya sampai tersisa setengah. Ia seka bekas air di sekitar bibirnya lalu bertanya, “Sandalnya?” Ia ingin cepat pulang saja.
Mirandani menunjuk ke meja rotan sebelah Febri. “Itu.”
Febri menoleh, pandangannya mengikuti arah tunjuk Mirandani. Tampak sandal merah yang ia cari tergeletak di palang bawah meja rotan. Segera ia ambil lalu memeriksa lumpur kering di bagian bawahnya dan benar.
“Dari tadi di situ, Dek Feb. Masa kamu nggak lihat?” Bibir Mirandani tersenyum, tapi alisnya mengerut.
Febri termangu beberapa saat. Ia merasa rasionalitasnya seperti tertutup oleh hal yang tidak bisa diungkapkan. Sampai-sampai keberadaan sandal merah itu tak bisa ia yakini apakah memang sudah berada di dekatnya sejak tadi.
“Kalo gitu aku pamit ya, Mbak,” ucap Febri sambil memberikan gelas pada Mirandani.
Mirandani menerima gelasnya kemudian mengusap pipi Febri dengan sebelah tangannya. “Kamu pucat.”
Febri terkejut dengan sentuhan tangan Mirandani yang sedingin gelas es teh itu. Ia mundur selangkah dan tersenyum canggung. “A―aku pulang, ya?” pamit Febri lagi.
Mirandani mendengus pelan. “Iya, hati-hati di jalan.”
Febri bergegas pergi bahkan sengaja agak berlari. Mirandani menatap pemuda yang seperti akan oleng jika didorong pelan itu. “Kejar, nggak, ya?” gumam Mirandani dengan sorot mata yang tenang. Ia letakkan gelasnya di meja rotan, menutup pintu rumah, lalu jalan mengikuti Febri dengan langkah santai.
***
Ozza dan keempat temannya tidak bisa ikut masuk ke dalam rumah Budhe Suti. Sejak tiba, lima orang itu hanya berdiri di halaman yang teduh karena bayangan pohon belimbing menutupi dari panas matahari. Mereka heran, hanya karena satu orang yang jatuh pingsan, hampir semua warga desa datang mengunjunginya. Sudah seperti melayat kematian saja.
“Gimana, nih? Udah nyampe sini ternyata kita nggak bisa ketemu Budhe?” gerutu Kia.
Aneska berdecak. “Yaudah kamu masuk aja, sana.”
“Ogah!” sahut Kia. Ia bete karena sikap sinis Aneska. Padahal kemarin sudah berjanji untuk akur, tapi nyatanya nol besar! Aneska tetap jutek pada siapapun kecuali Febri dan Ozza.
Semua orang yang berkumpul bersama mereka tiba-tiba gaduh saat seorang pria tua mengenakan blangkon keluar dari dalam rumah. Ozza dan teman-temannya tahu bahwa pria itu merupakan salah satu tetua desa yang sempat dikenalkan pada mereka saat malam penyambutan.
“Gimana, Mbah?” tanya seseorang.
Pria tua itu menggeleng kemudian menjawab dengan suara yang sangat pelan. “Belum siuman. Tapi ada yang bilang sempat lihat Suti bicara sama Mirandani sebelum dia pingsan.”
Sontak kerumunan warga yang memenuhi kediaman Budhe Suti heboh.
“Mirandani pasti penyebabnya.”
"Dasar janda pembawa sial!"
Mereka berkasak-kusuk menyalahkan bahkan menghina dina wanita itu. Ozza yang merasa tak sanggup mendengarkan pun mengajak teman-temannya pergi saja. “Balik aja, lah!” Teman-temannya menurut.
Di jalan, lima orang itu juga membicarakan Mirandani. Mereka memang tak tahu ada masalah apa antara Mirandani dengan Budhe Suti. Tapi seingat mereka, kemarin Mirandani berkata bahwa Budhe Suti adalah kerabatnya dan bahkan bercerita tentang wanita pebisnis itu dengan penuh antusiasme.
“Dari cerita Mirandani kemarin, aku yakin mereka berdua akrab banget,” celetuk Kia.
“Aku juga mikirnya gitu. Mbak Miranda pas cerita tuh kesannya kayak sayang gitu sama Budhe Suti. Jadi nggak mungkin penyebab pingsannya itu dia,” cerocos Dea mengutarakan teorinya.
Aneska lagi-lagi terlihat muak. “Budhe Suti pingsan karena sakit, kali?”
“Iya, mungkin aja karena sakit trus pingsan pas Mirandani udah pulang,” Beni menimpali.
“Makanya, Guys, kita jangan ikutan ngehujat atau nyalahin Mirandani kalo nggak ada bukti. Jatuhnya fitnah,” ujar Ozza. Beni, Dea, dan Kia mengangguk setuju.
“Tapi bentar, deh.” Aneska celingukan dengan ekspresi kebingungan. “Kok Febri nggak ada sama kita?”
DEG!
“Iya, ya?” sahut Beni, Dea, dan Kia secara bersamaan. “Kok gue baru sadar,” ucap Beni. “Sejak kapan dia udah nggak sama kita?” tanya Dea.
Ozza yang tahu kepergian Febri bahkan kini mengerutkan alisnya. Ia sendiri heran karena Febri tak kunjung datang menyusul mereka. “Febri tadi pergi pas kita mau ikut orang-orang ke sini. Tapi gue nggak tahu perginya ke mana.”
“Astaga!” pekik Aneska. Raut wajahnya tampak jengkel karena Ozza baru memberitahu. “Ayo, cari!” titahnya sambil mengeluarkan HP dari saku jasnya kemudian men-dial kontak WA Febri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Mba Mirandani kyak nya tertarik sama Febri😁
2024-03-19
1
Ali B.U
kira2 Febri nyasar kemana ya?
2024-03-04
2
Ali B.U
y begitulah di kampung
2024-03-04
2