Suti melirik beberapa kali pada Mirandani yang jalan di belakangnya. Tampak Mirandani sedang sibuk memerhatikan HP-nya sambil tersenyum dan kadang tertawa-tawa. Tengkuk Suti meremang. Meski Mirandani fokus dengan HP, Suti merasa wanita itu menatap belakang kepalanya dengan tajam. Batin Suti merasa tertekan, napas berat, dadanya sesak. Seolah ada ujung tombak yang tajam berkilat menempel di belakang punggungnya dan siap menembus dada jika ia berbuat sembarangan tiba-tiba.
PUK!
Badan Suti terlonjak kaget mendapat tepukan di pundaknya. Ia menoleh dan mendapati Mirandani menelengkan kepala. “Budhe kenapa?” tanya Mirandani dengan suara rendah dan terkesan dingin.
Dengan cepat Suti menggelengkan kepala. Meski suara detak jantungnya terdengar jelas menumbuk-numbuk gendang telinga, ia berusaha bersikap biasa saja. “Nggak apa-apa kok, Mir? Emang kenapa?” Suti balik bertanya.
Mirandani mesem kemudian menyamakan langkahnya di samping Suti. “Budhe diem aja, sih. Kirain kesambet.”
Suti tercengang, tak habis pikir dengan wanita yang lebih muda 18 tahun darinya itu. Ucapan yang selalu berkebalikan dengan karakter asli, itulah Mirandani. Suti menggeleng lagi. “Aku mikirin perhitungan supaya kamu nggak rugi nanti kalo jadi pengepul hasil bumi warga sini,” dusta Suti.
Mirandani menoleh lalu meringis. “Aku nggak apa-apa rugi.”
Alis Suti mengernyit. “Masalahnya aku nggak yakin semua orang sudi ngepul di kamu, Mir.”
Mirandani melirik tajam. “Itu tugas kamu lho, Budhe.” Mirandani menyeringai. “Budhe harus berhasil bikin mereka bergantung padaku.”
Suti membeku, lidahnya kelu. Orang-orang yang membenci Mirandani? Suti sudah pesimis lebih dulu, ini tidak akan semudah caleg mencari pendukung. Ia tak yakin bisa memengaruhi orang sedesa untuk mengikuti ajakannya melibatkan Mirandani dalam masalah perekonomian mereka. Namun Suti jelas tahu bahwa Mirandani akan menghancurkannya lebih dulu jika ia menolak perintah itu.
“Ngomong-ngomong, akting Budhe di rumah Agus tadi bagus banget, lho! Udah cocok jadi pemain sinetron atau ketoprak humor!” Mirandani mengacungkan jempol.
Suti senyum canggung lalu melengos. “Makasih.”
Mirandani menutup mulutnya dengan tangan kanan untuk menyembunyikan tawa. “Nggak usah malu-malu gitu.”
Suti kesal. Tapi tak dipungkirinya, ia memang berusaha pura-pura di hadapan Agus supaya tidak mengacaukan misi balas dendam Mirandani. “Harus totalitas, biar rencanamu lancar.”
Mirandani nyengir. “Bagus deh kalo Budhe sadar diri.” Ia menebah lengan baju Suti. “Untuk seterusnya Budhe harus tetep jaim di depan semua warga desa. Tipu mereka semua!” Mirandani menatap lurus ke mata Suti.
Suti buru-buru mengalihkan pandangan ke arah lain. Tatapan mata Mirandani seperti akan menarik dan mendorong rohnya ke jurang gelap dan dalam. “Pokoknya kamu jangan khawatir. Percaya sama Budhe.”
Mirandani mengangguk kemayu. Kemudian berjalan cepat meninggalkan Suti hingga berjarak beberapa langkah darinya. Saking kesal, Suti ingin sekali menjambak rambut wanita itu, atau mendorongnya hingga terjungkal di tanah. Tapi ia sepenuhnya tahu itu tidak mudah dilakukan oleh orang awam. Mirandani sulit disentuh. Seperti yang pernah ia saksikan dalam kejadian beberapa tahun lalu.
Kala itu, Suti ingin memiliki rumah peninggalan orang tua Mirandani. Namun gadis itu teguh pendirian tidak menjual rumahnya pada siapa pun termasuk pada Suti. Suti yang mendapat jalan buntu berakhir dengan nekat menyuruh beberapa preman dari kota untuk mengusir Mirandani secara paksa.
Tengah malam, waktu yang diperintahkan Suti pada para preman untuk mengancam Mirandani yang berumur 20 tahun dan hidup sebatang kara. Suti bahkan sengaja menyusul dan bersembunyi di dapur mengintip para pesuruh melancarkan aksinya.
Betapa terkejut Suti saat menyaksikan kejadian malam itu. Mirandani yang dibentak-bentak lima pria berbadan besar dengan raut wajah sangar tampak tak sedikit pun menunjukkan rasa gentar. Gadis itu malah terbahak-bahak dengan suara menggelegar yang terkesan bukan suaranya sendiri.
Dan setelah itu terjadilah hal-hal di luar nalar. Ketika lima pria itu hendak menodai Mirandani secara paksa, justru mereka yang kalah telak hingga dua orang kehilangan nyawa. Badan besar mereka dengan mudahnya terhempas, tergampar, terkoyak, bahkan tertikam katana penghias ruang tamu rumah Mirandani. Dan pelakunya tak lain dan tak bukan adalah gadis itu sendiri.
Suti ketakutan sampai mengompol tatkala Mirandani mencekik leher seorang preman lalu mengangkatnya seperti mengangkat kapas. Mirandani kemudian melirik pada Suti yang bersembunyi sambil menyeringai dengan wajah berlumur darah pria-pria suruhannya.
Setelah melemparkan tubuh gempal si pria yang dicekiknya, Mirandani melesat ke tempat Suti dan mencengkeram puncak kepala wanita gemuk itu dengan tangan kanan. Kesadaran Suti seolah terhisap, badannya mendingin, napas tercekat di tenggorokan, paru-paru kering tak mendapat pasokan oksigen, detak jantungnya bahkan melemah.
“Nggak!” pekik Suti tiba-tiba. Ia menggeleng-gelengkan kepala sembari mendekap erat badannya sendiri. Suti tersadar dirinya tak boleh berpikir atau berniat buruk pada Mirandani. Buktinya, ingatan mengerikan tentang dosa masa lalu akan langsung merasuk ke benaknya, seperti roll film yang dengan sendirinya terputar pada layar lebar bertajuk kenyataan.
“Budhe kenapa, sih?” tanya Mirandani yang menoleh dan menatapnya dengan heran.
Suti gelagapan. “Eng―nggak kok, nggak kenapa-napa,” jawabnya.
Mirandani mengamati sekitar. “Untung daerah sini sepi. Kalo nggak, pasti orang lewat bakal nyangka Budhe edan.” Mirandani menyipitkan mata. “Budhe keinget sesuatu, ya?”
“Hah?” Suti terbelalak. Sangat gawat kalau Mirandani bisa tahu apa yang barusan memenuhi pikirannya.
“Misalnya... mikirin Biantara?”
DEG!
Kali ini Suti melotot nyalang pada Mirandani. “Maksud kamu apa, Mir? Kenapa tiba-tiba kamu nyebut nama itu?”
“Emang nggak boleh? Kan aku kenal sama dia. Budhe juga.”
“Mirandani!” bentak Suti.
“Ups,” ledek Mirandani. “Budhe kok jadi marah, ya?”
Suti meradang. Tangan terkepal, dadanya naik turun, gigi menggertak dengan rahang yang mengeras. Sangat jelas ia sekuat hati menahan amarahnya agar tak meledak. Mirandani justru terkikik geli melihat kondisi Suti.
“Budhe pasti bertanya-tanya kan, dari mana aku tahu kalo Bian yang dulu pernah jadi relawan waktu desa kita kena bencana longsor itu ternyata anak kandung yang Budhe sembunyiin sejak kecil?” oceh Mirandani sambil jalan pelan mengelilingi badan Suti yang mematung. “Anak semata wayang,” tegas Mirandani.
Mirandani memang sudah menyinggung perihal anak satu-satunya itu saat mengunjungi Suti untuk memperlihatkan sandal berambut sebelum ke rumah Agus tadi. Tapi Suti pilih diam tak berkomentar karena Mirandani tak membahasnya lagi. Dan kini wanita itu terang-terangan membicarakannya? Rasanya dunia Suti seketika terbalik 180 derajat.
Suti melepaskan napasnya yang sedari tadi berat dan tertahan. Air mata mengalir di kedua pipinya tanpa bisa ia bendung. Badannya lemas dan limbung. “Mir, Budhe mohon, jangan sentuh Bian,” pintanya seraya berlutut di jalanan.
Mirandani balik marah. “Kamu nggak berhak ngasih aku perintah!” Ia tekan kuat pundak Suti sampai wanita gemuk itu meringis kesakitan namun tak berani teriak pun melawan. “Atau kamu mau numbalin anak-anak angkatmu demi keselamatan Bian?”
“Nggak, Mir! Tolong jangan celakai anak-anak sama suami Budhe!” Suti mengatupkan kedua telapak tangannya di depan wajah. Sorot matanya yang penuh pengharapan dibanjiri tangisan. “Bebasin mereka. Biar Budhe aja yang jadi budakmu.”
“Ck!” Mirandani makin jengkel. Ia tak suka orang merengek minta ampun atau menyuruhnya melakukan hal yang tak disukainya. “Dasar bodoh! Selama bertahun-tahun kutinggal, rupanya level otakmu makin jongkok ya, Budhe. Masih aja kena kibul orang-orang.”
“Maksud kamu apa?”
Mirandani melengos. Sedetik kemudian telapak tangannya melayang di udara dan nyaris mendarat di pipi kiri Suti. Beruntung tiba-tiba ada panggilan masuk di HP-nya sehingga ia urung memukul wanita itu.
“Ingat baik-baik, Budhe Suti, aku megang semua rahasia sama masa lalu busukmu. Jadi buang jauh-jauh niat untuk kabur atau ngelawan aku!” kecam Mirandani dengan sinis yang kemudian menghentak kaki meninggalkan Suti. “Halo? Kamu udah sampe mana?” tanya Mirandani pada peneleponnya.
Seketika Suti tersungkur di jalan. Ia menangis meraung-raung sebab rasa sesal dan ketakutan. Namun dirinya juga lega karena fokus Mirandani teralihkan sehingga tak jadi menyakitinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ali B.U
next
2024-03-04
2
Subber Ngawur
Perkasa banget Mirandani
2024-02-14
1