Selama menyusuri jalan-jalan desa, kelompok Febri beberapa kali bertemu dengan warga. Mereka menyapa seperlunya, sesopan mungkin, dan tidak banyak bertingkah lagi. Tapi jika ada yang mengajak ngobrol mereka akan menanggapinya. Seperti saat ini.
“Mas-mas sama Mbak-mbak ini tugasnya apa?” tanya salah satu wanita paruh baya.
“Bisa ngobatin asam urat Mbah saya, ndak?” timpal seorang pria.
“Tolong ajarin anak saya Matematika. Aduh, susah banget anak saya belajar itu.”
“Bisa masak?”
“Bisa bantu nyangkul, ndak?”
Dan pertanyaan-pertanyaan lainnya. Febri dan teman-teman hanya tersenyum sambil mendengarkan mereka satu per satu. Barulah saat HP Febri berbunyi notifikasi chat masuk, warga yang memberondong pertanyaan itu langsung berhenti.
Kini giliran mereka tampak kepo dengan HP Febri. Febri yang bingung setelah membaca pesan WA-nya yang ternyata dari kepala desa langsung menjelaskan, “Bapak, Ibu, kami di sini bertugas untuk membantu anak-anak di SD Wilangan mulai besok. Dan ikut serta dalam beberapa kegiatan desa bersama perangkat dan para warga nantinya.”
“Berarti bisa kerja bareng kami, ya?”
“Bisa, Pak,” jawab Aneska.
Warga yang berkerumun di tepi jalan bersama kelompok Febri itu langsung gaduh mengobrol antara satu sama lain. Febri dan teman-temannya bersyukur melihat respons positif dari orang-orang itu.
“Maaf, Pak, Bu, sekarang kami permisi dulu. Sudah ditunggu Pak Kades di balai desa,” pamit Febri sembari mengatupkan kedua tangan di depan dada.
“Monggo, monggo,” sahut warga.
Febri memberi isyarat pada teman-temannya untuk segera beranjak. “Beneran Pak Kades nyuruh kita ke sana?” bisik Beni pada Febri.
“Iya, barusan beliau WA,” jawab Febri sambil menunjukkan isi WA pada Beni kemudian pemuda rambut cepol itu manggut-manggut percaya.
“Tetua desa mana lagi yang mau dikenalin ke kita? Bukannya semalem pas acara penyambutan kita udah ada tetua desanya?” tanya Beni. Febri mengedikkan bahu. “Berarti masih ada yang belum, kan?”
Empat teman yang lain saling pandang. “Tetua desa lagi?” tanya Ozza. Febri dan Beni mengangguk bersamaan.
***
Wanita tua berkebaya hitam dengan rambut panjang putih tergerai itu menatap kelompok Febri satu per satu. Ia tak mau menjabat tangan mereka, duduk bersama pun enggan, hanya berdiri sambil melempar tatapan tajam. Sungguh tak ramah. Bahkan tampak seram di mata Febri dan teman-teman.
“Ehm, jadi gini, Mbok Mijah. Adik-adik ini mahasiswa yang mau tinggal dan bersosialisasi dengan kita selama satu bulan ke depan,” terang kepala desa dengan suara pelan di dekat telinga si wanita tua.
“Harmani,” panggil wanita tua bernama Mbok Mijah itu.
“I―iya, Mbok?” sahut kepala desa dengan sedikit gugup.
“Kamu harus bisa jamin mereka berenam ini baik-baik saja perilakunya.” Suara yang berat, serak, dan penuh penekanan.
“Baik, Mbok Mijah. Saya jamin,” tegas kepala desa.
Seketika Febri dan teman-temannya merasakan hembusan udara dingin yang menusuk ke daging saat Mbok Mijah melengos dan pergi begitu saja. Lebih tepatnya perasaan tak nyaman karena seperti tak diinginkan oleh ‘penguasa tempat itu’. Terlihat jelas wanita tua itulah yang berada di kasta tertinggi daripada kepala desa itu sendiri.
“Saya mewakili Mbok Mijah minta maaf sama kalian karena sikap beliau yang membuat nggak nyaman,” ujar kepala desa bernama Harmani itu. “Beliau cuma ingin desa tetap kondusif jadi agak sensitif kalau ada orang luar mau tinggal dalam waktu yang lama. Sekali lagi, mohon maaf ya, Adik-adik.”
Febri segera pasang badan mewakili rekan-rekan. “Tidak apa-apa, Pak. Kami bisa maklum. Kami baik-baik saja.”
“Syukurlah kalau begitu,” Harmani tersenyum lega. “Maaf lho sudah ganggu kalian jalan-jalan.”
“Nggak apa-apa, Pak,” sahut rekan-rekan Febri bersamaan.
“Kalau begitu sekarang silakan lanjutkan jalan-jalan. Pasti masih banyak tempat yang belum kalian datangi, kan?”
“Iya, betul, Pak,” celetuk Dea. “Kalo gitu kami permisi ya, Pak?” pamitnya.
Aneska langsung menyikut Dea. Dea melotot tak terima.
Harmani tertawa. “Silakan, Adik-adik lanjutkan. Pokoknya sehari ini kalian bebas. Setelah capek jalan-jalan bisa langsung kembali ke penginapan.”
“Yes!” ucap Beni. Kia dan Dea mencebik pada Aneska. Aneska mendengus kesal, mencoba menahan amarahnya. Febri dan Ozza kembali geleng kepala melihat kelakuan empat orang yang seperti air dan minyak itu.
Kelompok Febri kembali menyusuri jalan-jalan desa. Kali ini Ozza menyarankan untuk ambil arah kanan setelah keluar dari balai desa, berkebalikan dengan arah yang mereka tuju sebelum dipanggil untuk bertemu dengan tetua seram.
“Nanti kita jangan jauh-jauh, deh. Buruan balik ke penginapan,” pinta Kia.
“Kenapa? Waktu kita kan masih mayan banyak,” tanya Febri.
“Kayaknya gue PMS nih, sakit perut,” jawab Kia.
“Jiaah!” sahut Beni. “Lo ada-ada aja, deh! Nggak seru!”
“Lo jadi gue dulu biar ngerasain PMS, mau?” sengak Kia.
Aneska mengernyit. Sejak pagi ia sudah kesal dengan banyak hal, ditambah lagi dengan masalah sekarang. “Ben, lo jangan sekali-kali ngeremehin cewek PMS. Bisa ditelen mentahan lo!”
Aneska jalan lebih dulu meninggalkan teman-temannya. Febri mendengus lelah, ia ikuti Aneska untuk jalan bersamanya. Kia yang marah karena diejek Beni dan melihat sikap sinis Aneska memutuskan untuk kembali ke penginapan. Dea bingung, ia ingin ikut jelajah desa lagi tapi tak enak membiarkan Kia sendirian.
“Aku temenin Kia balik aja, ya?” pamit Dea. Febri mengangguk memberi izin. Kia dan Dea pun berpisah dari kelompoknya.
“Nes,” panggil Febri.
“Hmm?” jawab Aneska.
“Kamu jangan jutek gitu, please,” pinta Febri. “Kita semua emang nggak sefakultas, tapi justru di saat gini kan mustinya bisa kompak, akrab, saling menyesuaikan diri―”
“Lo mau gue nyesuaiin diri sama cewek-cewek ngeselin juga sama si cowok tengil?” sinis Aneska. “Udahlah, gue nggak seserver sama mereka. Jadi mulai sekarang gue diem aja.” Aneska menghentak kaki meninggalkan Febri yang posisinya kini di tengah sendirian. Sementara Ozza jalan bersama Beni di belakang. Ozza terus memerhatikan dua orang di depannya dengan tenang lalu melirik Beni yang sudah asyik dengan kamera HP-nya lagi.
“Nes, tunggu!” Febri merasa kepalanya berdenyut nyeri. Ia tak habis pikir kenapa harus menjadi ketua dari kelompok yang anggotanya sulit dikendalikan seperti itu. Tapi tak ada gunanya menyesal karena sudah terlanjur.
Saat hendak berlari mendekati Aneska, tiba-tiba ekor mata Febri menangkap kelebat satu bocah gundul dengan wajah penuh bedak. “Lhoh, itu bukannya Adek yang tadi?”
DEG!
Tanpa pikir panjang, Febri mengikuti lari bocah itu yang menurutnya aneh karena sendirian menuju ke jalan setapak yang diapit dua rumpun bambu. Terlebih di sekitar sana tidak tampak ada pemukiman warga. “Si Adek mau ke mana?” gumamnya.
Aneska sudah jalan lebih dulu. Ozza dan Beni fokus dengan HP masing-masing. Ketiga orang itu tidak sadar ketua mereka menghilang.
***
Febri yang seperti tak peduli dengan sekitar terus mengejar bocah gundul itu melalui jalan setapak di area yang dipenuhi dengan rumpun-rumpun bambu. Meski langit cerah karena tak ada satu pun awan melayang, namun area itu tampak suram dan berudara dingin.
“Dek, tunggu! Mau ke mana kamu?” tanya Febri sambil terus berlari.
Anehnya, kaki jenjang Febri yang pasti bisa berlari cepat untuk menangkap si bocah, tapi justru si bocah yang berlari cepat melebihi Febri. Napas Febri mulai tersengal, panas, dan berat. Bocah yang dipanggilnya juga seperti tak dengar. Hingga bocah itu menghilang di persimpangan jalan.
“Adek!” teriak Febri. Seketika sekujur badannya meremang karena panik. Ia berusaha berlari cepat ke persimpangan itu lalu berhenti. Badannya berputar sembari mengedar pandang tapi tak menemukan sosok bocah itu di mana pun.
Beruntung mata Febri yang sehat melihat ujung sandal merah yang tadi dipakai si bocah. Letaknya agak jauh dari posisinya saat ini dan tergeletak di rerumputan tepi jalan yang di sekitarnya terdapat pohon-pohon singkong menjulang tinggi.
Febri termangu menatap tempat itu. “Ada ya pohon singkong setinggi itu?” gumamnya. Mengabaikan segala kemungkinan buruk, Febri langsung beranjak menuju tempat sandal merah itu berada. Tempat yang lebih terang terkena sinar matahari daripada lahan penuh bambu tadi.
“Bener ini sandalnya,” gumam Febri setelah mengambil sandal merah bergambar karakter Upin dan Ipin itu. Ia menoleh ke sana kemari mencari sosok si bocah tapi nihil. Tanpa pikir panjang, ia ambil HP dari saku jasnya dan mengontak nomor Ozza. Tapi baru sedetik Ozza menjawab panggilan, HP Febri keburu mati.
“Shit!” maki Febri di depan HP-nya. “Kenapa musti lowbat sekarang, sih?! Liat aja ntar kalo udah ke kota gue ganti lo sama yang baru!”
“Kok HP-nya dimarahin?” tanya sebuah suara wanita.
“AAARGH!” teriak Febri spontan lalu menoleh ke belakang dan mendapati Mirandani yang tersenyum padanya sambil memeluk bakul berbau terasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Ali B.U
lanjut
2024-03-03
2
Nikmatus Solikha
Tuyuull
2024-01-28
1