Janda

“Ngemil sini, Feb!” panggil Beni saat melihat Febri keluar dari kamar mandi menuju ruang tamu.

Rumah limasan itu berbentuk sederhana. Setelah masuk ke dalam rumah, ada ruang tamu luas dengan meja kayu panjang dan kursi-kursi anyaman bambu. Tiga kamar tidur berjajar di belakang ruang tamu dan di sisi kiri terdapat dapur yang berhadapan dengan kamar mandi.

Mereka memang sengaja minta dicarikan rumah yang kamar mandinya ada di dalam meski sempit. Beruntung kelompok Febri mendapatkannya dengan mudah meski harus hemat air supaya bisa dipakai mandi tiga orang pagi dan sore sekaligus mencuci. Fasilitas lain seperti listrik, closet, kompor gas, dan kulkas juga tersedia.

Awalnya mereka berpikir tidak akan hidup nyaman di desa yang mayoritas rumahnya kuno itu, namun ternyata begitu sampai, ekspektasi mereka keliru. Meski bentuk-bentuk rumah di desa kecil itu masih kuno tapi fasilitasnya memadai dan tidak ada kerusakan sana-sini. Justru tampak dinamis dengan perpaduan adat dan modern.

“Siapa yang beli jajanan itu?” tunjuk Febri dengan dagu sambil menghanduki rambutnya yang basah sehabis keramas. Ia heran lima temannya tiba-tiba berkumpul dan makan bareng jajanan pasar yang tersaji di meja ruang tamu. Untung saja ia sudah pakai T-shirt dan celana selutut, bukan boxer dan telanjang dada seperti kebiasaannya di rumah tiap habis mandi.

“Barusan ada tetangga yang nganter ke sini. Siapa tadi namanya?” Beni coba mengingat.

“Budhe Suti,” sahut Ozza.

“Nah, itu! Budhe Suti. Orangnya gemoy dan baik banget,” imbuh Dea.

Tanpa banyak berpikir, Febri bergabung dengan lima temannya. Wajah Febri tampak pucat, padahal Kia yang sejak awal mengeluh sakit karena PMS malah kini segar bugar. Aneska menaruh sepotong getuk lindri, pisang goreng, dan kue lapis di piring lalu menyodorkannya pada Febri. “Makan, gieh. Kalo kurang, nambah sendiri.”

Febri menerima piring dari Aneska dan mulai memakan getuk lindrinya. Ia mengedar pandang ke lima teman yang lahap sambil bercanda. “Guys, hari ini udah banyak hal yang terjadi. Gue harap ke depannya kita semua bisa akur, please.”

Teman-teman Febri seketika terdiam, mereka berhenti makan dan tampak merenung.

“Akan gue usahain,” ujar Aneska buka suara lebih dulu. Febri tersenyum lega kemudian menatap yang lainnya. Mereka juga tersenyum dan mengangguk antusias.

“Thanks,” ucap Febri kemudian melahap jajanan di piringnya hingga tandas. “Gue mau istirahat di kamar,” pamitnya sambil berdiri. Tanpa menunggu jawaban teman-teman, ia pun beranjak ke kamarnya yang ada di bagian tengah.

Febri menyampirkan handuk basahnya di sandaran kursi kayu sebelah ranjang lalu berbaring. Ia coba menutup mata tapi pikirannya melayang. Terbayang kembali pertemuannya dengan Mirandani di ladang singkong tadi. Febri mendengus lalu bangun dengan posisi duduk.

“Gue yakin tadi itu beneran Mirandani. Bukan hantu, bukan halu, bukan―” Febri tercekat. Ia tidak ingin mendiagnosis dirinya kena penyakit mental. Ia buka telapak tangan kanannya yang tadi menyentuh tangan Mirandani. “Jelas-jelas anget.” Kemudian tangannya mengepal. “Kakinya juga napak,” imbuhnya.

Febri mengurut keningnya yang sakit. Ia kembali berbaring dengan mata terbuka. Pikirannya ribut, menerka-nerka segala kemungkinan yang menurutnya tetap saja janggal.

“Mungkin aja dia lari pas aku noleh ke temen-temen?”

“Tapi lari ke mana? Kalo ke kebun singkong pasti tetep keliatan badannya. Tapi tadi sama sekali nggak ada.”

“Mustahil dia bisa terbang atau teleportasi. Ini dunia nyata, bukan fantasi.”

Febri terus bergumam sendiri sampai tiba-tiba Ozza masuk ke kamarnya. “Gue kirain lo tidur?” celetuk Ozza. Febri menoleh pada temannya yang selalu bersikap tenang itu lalu menggeleng.

Febri memang sekamar dengan Ozza di bagian tengah yang ruangannya paling besar yang terisi dua ranjang kecil, satu meja rias, dan satu lemari dua pintu. Sedangkan Beni tidur di kamar sebelah, di bagian kiri jajaran kamar. Kamar paling kanan merupakan tempat salat dan menyimpan barang-barang.

“Kenapa? Katanya nggak enak badan?” Ozza membuka lemari untuk mengambil baju ganti.

“Gue masih kepikiran yang tadi,” jawab Febri.

Ozza menutup kembali lemari lalu mendekat ke samping Febri. “Yang lo bilang ketemu Mirandani?”

“Iya...” Tatapan mata Febri tampak menerawang menatap langit-langit kamar. “Gue yakin itu bukan hantu yang nyamar jadi dia. Soalnya kami ngobrol banyak, sampe gue liat makanan enak yang dia bawa,” terangnya.

Ozza membenahi kacamatanya. “Gue percaya,” ujarnya sambil berlalu keluar kamar.

Seketika Febri bangkit lagi dan terbengong melihat Ozza menutup pintu. “Udah? Gitu doang?” gumamnya.

Meski respons Ozza terhadap ceritanya terlalu singkat dan padat, nyatanya Febri merasa sedikit tenang sekarang. “Oke! Kalo gitu lain kali pas ketemu Mirandani lagi gue musti pastiin kalo yang di ladang tadi beneran dia,” gumamnya penuh keyakinan.

Febri kembali berbaring, menarik selimut hingga dada, lalu memejamkan mata karena sakit kepalanya makin terasa. Tapi beberapa saat kemudian ia mendengar suara ribut di luar. Suara wanita yang sedang marah-marah. Febri mendesis dan menendang selimutnya. “Anjir lah, mau merem aja susah!”

Dengan malas Febri turun dari ranjang lalu keluar. Ia lihat Beni, Dea, Kia, dan Aneska sedang berdiri setengah membungkuk di dekat pintu depan. Rupanya mereka sedang menguping sebuah pertengkaran. “Guys!” panggil Febri. Beni menempelkan jari telunjuk di bibir, “Sst!” menyuruh Febri diam.

“Ada apaan?” tanya Febri dengan berbisik tapi teman-temannya hanya mengedikkan bahu.

“Pokoknya aku ndak sudi kalo kamu kerja jadi tukang kebun di rumah janda gatel itu, Pak!” teriak wanita di jalan depan rumah inap Febri. “Lagian ngapain tho dia balik lagi ke desa ini? Bikin resah aja!”

“Buk, mbo ya sing sabar kamu, nih. Dia janda tapi janda bener, bukan janda gatel,” ujar pria yang merupakan suami wanita yang sedang marah-marah itu. “Lagian dia punya hak balik ke sini lhawong emang kampung halamannya.”

“Aku ndak mau tahu. Pokoknya aku ndak rela, aku ndak sudi, Pak!”

Terlihat dua ibu-ibu bergabung dengan pasutri yang sedang bertengkar itu. “Bener itu, Sri! Jangan biarin suamimu kerja di sana, nanti kena pelet jaran goyang si Mirandani!”

DEG! Febri dan teman-temannya kompak terbelalak kemudian saling pandang sambil berbisik-bisik, “Mirandani?”

“Udah bagus nikah sama orang kota, kita bisa ayem tentrem dia pergi dari sini, eh malah balik lagi,” timpal ibu satunya.

Aneska geleng kepala. Ia kembali duduk di ruang tamu memakan sisa jajanan di piringnya daripada mendengar ibu-ibu mengompori pertengkaran orang lain. Tapi mendadak pikirannya melayang, ia tidak menyangka bahwa wanita secantik Mirandani ternyata seorang janda.

Aneska melirik Febri yang tampak serius mendengarkan obrolan di luar sana. Ia paham pemuda itu tertarik pada Mirandani sejak pertama melihatnya. Tapi setelah tahu bahwa wanita itu adalah janda, apakah Febri masih tetap menyukainya?

Aneska tersentak saat tangan Ozza yang dingin menepuk pundaknya. Ia langsung menoleh sambil melotot. “Apa sih, ngagetin aja!” sengaknya.

“Ada ribut-ribut apa tuh di luar?” tanya Ozza yang ikut duduk di ruang tamu lalu menyomot satu kue cucur hijau.

“Itu Ibu-ibu lagi ngeributin Mirandani yang ternyata seorang jan―da,” jawab Aneska yang kemudian menaikkan sudut bibir kirinya.

“Mirandani janda?” tanya Ozza memastikan.

Aneska mengangguk. “Yang gue tangkep dari omongan Ibu-ibu sih gitu.”

Mata Ozza menyipit melihat Aneska terkesan mencibir Mirandani. Kemudian tercengang melihat Febri melangkah keluar menuju jalan yang menjadi tempat keributan. “Itu Febri mau ngapain, sih?” desisnya. Ia lemparkan sisa kue cucur yang sudah digigitnya sembarangan lalu menghentak mengejar Febri.

“Tuh cowok selalu aja impulsif!” dengus Aneska yang juga beranjak keluar dan diikuti tiga teman lainnya.

Lima orang itu terdiam membatu di teras rumah saat melihat Febri sudah memegang tangan Mirandani yang berdiri bersama orang-orang ribut tadi.

“Sejak kapan Mirandani ada di situ?” bisik Kia.

“Febri mau ngapain, sih?!” gerutu Aneska.

Sementara itu Febri dan Mirandani saling pandang dengan isi pikiran yang berbeda. Tiga wanita paruh baya yang tadi ribut sekarang melotot pada mereka.

“Dek Feb?” panggil Mirandani.

“Kebetulan ketemu di sini, Mbak. Ada yang mau aku omongin, penting.” Febri menggeret tangan Mirandani menuju rumahnya meninggalkan tiga wanita yang berkasak-kusuk di jalan. Aneska tepuk jidat, Ozza menghela napas panjang, sedangkan tiga teman lain saling pandang kebingungan.

Terpopuler

Comments

Maz Andy'ne Yulixah

Maz Andy'ne Yulixah

Biasa emak2 kalau ada yang bening atau lebih cantik jendes atau gadis pasti gak tenang,takut suami nya kecantol😏😅

2024-03-19

1

Ali B.U

Ali B.U

lanjut

2024-03-03

2

Nikmatus Solikha

Nikmatus Solikha

beneran kayak Qian Zhao 😆😆😆

2024-01-29

1

lihat semua
Episodes
1 Hari Pertama
2 Pertemuan Pertama
3 Interaksi Pertama
4 Berpisah
5 Ketemu!
6 Janda
7 Pengakuan
8 Mengajar
9 Rumah Mirandani
10 "Tersesat"
11 Menjenguk
12 Bangun
13 Dilabrak
14 Sandal untuk Hanum
15 Interupsi
16 Di Balik Sandal
17 Sepakat
18 Kedatangan Mirandani
19 Sutrikah
20 Senja Itu
21 Langkah Awal
22 Kepulangan
23 Teror di kelas Tiga
24 Rapat
25 Mendebat
26 Cendera Mata
27 Yang Terlihat
28 Mengejar
29 Gelagat
30 Paham
31 Pembuktian
32 Merebut
33 Mencari Hanum
34 Halaman Belakang
35 Menyaksikan
36 Kematian
37 Penemuan
38 Penyusup
39 Ozza dan Aneska
40 Bertengkar
41 Berpencar
42 Lost Contact
43 Terdesak
44 Pilihan
45 Tempat Teraman
46 Hari Baru
47 Pertunjukan
48 Kembali
49 Kejelasan
50 Menjelang Magrib
51 Dia Lagi
52 Dengan Mata Kepala Sendiri
53 Disatroni
54 Penuntasan
55 Antek-antek Mirandani
56 Berangkat
57 Mengikuti
58 Goyah
59 Diam-diam
60 Mengamuk
61 Kematian Kedua
62 Akhirnya Tahu
63 Tertuduh
64 Ditangkap
65 Satu-satunya Cara
66 Sebuah Pesan
67 Menculik
68 Penglihatan
69 Nyaris
70 Bergerak Cepat
71 Masuk Sarang
72 Dikepung
73 Selamat
74 Semua Tahu
75 Pertemuan Tengah Malam
76 Tugas Masing-masing
77 Warsih
78 Titik Terang
79 Berkumpul
80 Bertikai
81 Kemunculan Tak Terduga
82 Sengit
83 Awal Mula
84 Tragedi yang Terlupakan
85 Tantrum
86 Kebenaran
87 Deep Talk
88 Make Sense
89 Kembali ke Sekolah
90 Kilasan
91 Basecamp
92 Mimpi Febri
93 Kesurupan
94 Kedatangan Orang-orang Kota
95 Restu
96 Persiapan
97 Malam 1 Suro
98 Pertarungan
99 Momen Kritis
100 Pembantaian
101 Sasmitha
102 Usai
Episodes

Updated 102 Episodes

1
Hari Pertama
2
Pertemuan Pertama
3
Interaksi Pertama
4
Berpisah
5
Ketemu!
6
Janda
7
Pengakuan
8
Mengajar
9
Rumah Mirandani
10
"Tersesat"
11
Menjenguk
12
Bangun
13
Dilabrak
14
Sandal untuk Hanum
15
Interupsi
16
Di Balik Sandal
17
Sepakat
18
Kedatangan Mirandani
19
Sutrikah
20
Senja Itu
21
Langkah Awal
22
Kepulangan
23
Teror di kelas Tiga
24
Rapat
25
Mendebat
26
Cendera Mata
27
Yang Terlihat
28
Mengejar
29
Gelagat
30
Paham
31
Pembuktian
32
Merebut
33
Mencari Hanum
34
Halaman Belakang
35
Menyaksikan
36
Kematian
37
Penemuan
38
Penyusup
39
Ozza dan Aneska
40
Bertengkar
41
Berpencar
42
Lost Contact
43
Terdesak
44
Pilihan
45
Tempat Teraman
46
Hari Baru
47
Pertunjukan
48
Kembali
49
Kejelasan
50
Menjelang Magrib
51
Dia Lagi
52
Dengan Mata Kepala Sendiri
53
Disatroni
54
Penuntasan
55
Antek-antek Mirandani
56
Berangkat
57
Mengikuti
58
Goyah
59
Diam-diam
60
Mengamuk
61
Kematian Kedua
62
Akhirnya Tahu
63
Tertuduh
64
Ditangkap
65
Satu-satunya Cara
66
Sebuah Pesan
67
Menculik
68
Penglihatan
69
Nyaris
70
Bergerak Cepat
71
Masuk Sarang
72
Dikepung
73
Selamat
74
Semua Tahu
75
Pertemuan Tengah Malam
76
Tugas Masing-masing
77
Warsih
78
Titik Terang
79
Berkumpul
80
Bertikai
81
Kemunculan Tak Terduga
82
Sengit
83
Awal Mula
84
Tragedi yang Terlupakan
85
Tantrum
86
Kebenaran
87
Deep Talk
88
Make Sense
89
Kembali ke Sekolah
90
Kilasan
91
Basecamp
92
Mimpi Febri
93
Kesurupan
94
Kedatangan Orang-orang Kota
95
Restu
96
Persiapan
97
Malam 1 Suro
98
Pertarungan
99
Momen Kritis
100
Pembantaian
101
Sasmitha
102
Usai

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!