Febri kaget melihat teman-teman menatapnya. Ia merasa canggung pada mereka karena tiba-tiba menghampiri Mirandani dan menarik wanita itu ke rumah. Dilepasnya tangan Mirandani lalu menoleh pada wanita itu. Mirandani menatapnya dengan ekspresi bingung. “Kamu mau ngomong penting apa?” tanyanya dengan ramah.
Febri membatu. Ia sangat ingin bertanya tentang pertemuan mereka di ladang singkong tadi, tapi lidahnya kelu. Febri kebingungan bagaimana harus bertanya karena takut mendapat jawaban yang tak sesuai harapannya. Terlebih saat ini ada lima teman yang sedang memerhatikan, Febri jadi makin ragu untuk bertanya.
“Dek Feb?” Mirandani menelengkan kepala.
Febri menggeleng. “Aku mau nunjukin tempat nginap kami," dustanya. "Mari masuk. Ada jajanan banyak di dalam.”
Mirandani tersenyum. “Kamu mau menjamu aku?” tanyanya. Febri mengangguk sambil cengengesan canggung membuat lima temannya yang berdiri di teras makin bingung.
Tapi Beni segera improvisasi. “Mbak Mirandani, ayo buruan masuk!” Gestur tangan Beni mempersilakan ke dalam rumah. “Kami nginep di hotel ini, nih,” candanya.
Dea juga coba mengubah suasana dengan turun dari teras menghampiri Mirandani dan menarik tangan wanita cantik itu. “Ayo, Mbak Miranda. Nanti abis ini gantian main ke hotel aku nginep, ya!” Dea menyontek candaan Beni.
Mirandani menurut saja masuk rumah bersama Dea. “Kamu tinggal di rumah yang mana?”
“Itu di depan,” tunjuk Dea dengan dagunya.
“Oh, oke,” sahut Mirandani sambil mengangguk antusias.
Semuanya duduk bersama di ruang tamu. Dea sudah mengambilkan jajanan di piring untuk Mirandani tapi Febri dan lima temannya tidak makan, Mirandani jadi tak enak untuk makan sendiri. “Kalian nggak makan?”
Beni buru-buru mencomot pisang goreng lalu melahapnya. “Kalian kalo udah kenyang biar aku sendiri yang habisin,” ujarnya pada rekan-rekan.
“Yee! Enak aja!” hardik Kia yang kemudian mengambil kue cucur. “Iyuh! Bekas gigitan siapa, nih? Jorok!”
Ozza langsung menyambar kue cucur hijau bekas gigitannya yang diciwit Kia. “Sorry,” ucapnya.
Aneska menyandarkan punggungnya lalu melipat tangan di depan dada. “By the way, Mbak Mirandani kok bisa kebetulan gitu tiba-tiba ada di jalan depan? Emang rumahnya di mana? Terus mau ke mana?” Pertanyaan Aneska terkesan menginterogasi Mirandani. Meski begitu, teman-temannya memang penasaran juga. Dengan tak enak hati mereka menatap Mirandani penuh harap untuk dijawab.
Mirandani tersenyum saja. “Rumahku deket dari sini. Bisa dibilang rumah paling gede di ujung gang. Kalian main ya kapan-kapan.”
“Yang ada bonsai-bonsai bugenvilnya itu?” tanya Kia.
Mirandani mengangguk membenarkan. “Trus aku mau ke rumah Budhe Suti.”
“Lhoh, Mbak Mirandani kenal Budhe Suti?” tanya Beni.
“Kenal dong, dia kan kerabatku,” jawab Mirandani. “Dan siapapun yang baru masuk desa ini untuk tinggal atau bertamu emang dijamu sama dia. Jajanan pasar ini buktinya.”
Febri dan teman-temannya saling pandang. “Maksudnya?” tanya Febri ragu-ragu.
“Sebagai ucapan selamat datang,” sahut Mirandani. Ia tatap keenam orang itu secara bergantian. Sebelum mereka merasa aneh, Mirandani buru-buru menjelaskan, “Budhe Suti kerjanya bikin dan jualan jajanan pasar di kecamatan. Dan karena desa ini kecil jadi orang-orang baru atau orang asing langsung diajak kenalan sama dia melalui jajanan yang dikasih kayak gini. Ya, sekalian promosi gitu.”
“OOOH...” sahut Febri dan teman-temannya bersamaan sambil manggut-manggut.
“Selama ini usahanya promosi gini emang berhasil, sih. Banyak orang asing yang ngontak Budhe Suti buat order jajanan pasar begitu mereka pulang ke tempat tinggal masing-masing.”
Beni mengacungkan jempol. “Mantep! Udah cantik, baik, pinter juga promosiin dagangannya. S3 marketing, cuy! Patut ditiru!”
Mirandani menutup mulutnya saat tertawa.
Aneska yang tidak melepas pandangannya dari Mirandani langsung memutar bola mata. “Tadi Ibu-ibu di jalan itu pada ngeributin soal suami mereka yang mau kerja di rumah kamu, Mbak,” celetuknya tiba-tiba.
Febri dan empat teman kaget mendengar itu. Bahkan Kia langsung batuk karena tersedak camilannya. Ozza yang duduk di samping Aneska menyikut gadis jutek itu. Aneska melirik Ozza lalu mengangkat satu sudut bibirnya. “Pake ngomongin jaran goyang segala.”
“Aneska!” tegur Febri dengan suara lirih tapi penuh penekanan.
Mirandani menelan kunyahan kue lapisnya lalu angkat bicara, “Aku ngerti kok maksud kalian. Mereka pasti ribut gara-gara aku nyari tukang kebun buat kerja di rumahku dan para wanita ngelarang suaminya karena takut nanti kepincut sama aku."
"Mbak?" Kia coba menghentikan penjelasan Mirandani karena merasa tak enak hati.
Tapi Mirandani menggeleng kecil sambil tersenyum. "Bener, aku emang janda. Lima bulan lalu cerai sama mantan suamiku yang orang kota. Trus aku mutusin buat pulang kampung aja,” lanjutnya.
Enam mahasiswa itu diam mendengarkan Mirandani. Febri menatap kecewa pada Aneska. Alih-alih menyesal, Aneska justru mengalihkan wajahnya ke arah lain.
Mirandani menghela napas panjang. "Rumah yang aku tinggali sekarang juga merupakan warisan turun temurun. Sejak aku lahir aku udah di situ sampai di umur 15 tahun aku jadi yatim piatu.”
Udara dingin dan berat tiba-tiba menyelimuti ruang tamu. Febri dan teman-temannya termangu. Tidak tahu harus merespons bagaimana pada kisah Mirandani. Meski wanita itu tersenyum ramah tapi mereka merasa tak enak padanya.
Mirandani merasakan kecanggungan di antara muda-mudi itu. “Ah, maaf kalo ucapanku bikin suasana jadi nggak nyaman. Aku nggak bermaksud buat ngebohongin kalian karena aku ingin akrab sama kalian.”
Febri dan teman-temannya tak masalah dan tidak merasa dibohongi. Tapi ketika mendengarkan pengakuan jujur Mirandani, mereka jadi merasa sedikit lebih dekat mengenal wanita cantik itu. Khususnya Febri, ia jadi ingin tahu lebih banyak mengenai diri Mirandani.
“Aku tuh sulit buat bergaul lagi sama warga sini soalnya sejak beberapa tahun lalu aku sering jadi target julid mereka. Nggak tahu kenapa, tapi kayak yang benci gitu sama aku,” terang Mirandani. Ia menunduk sayu tapi senyum simpulnya tidak pudar.
“Iya, kayak tadi,” celetuk Beni. “Untung tadi Febri nolongin Mbak Mirandani biar nggak diajak ribut sama Ibu-ibu lambe turah itu.”
"Oya?" Mirandani tertawa. “Makasih lho, Dek Feb,” ucapnya sambil melirik Febri. Febri langsung menatap lantai tapi mengangguk sambil tersenyum malu.
“Jujur aku ngerasa lebih enjoy berinteraksi sama kalian. Karena sama-sama datang dari kota kali, ya? Dan meski umurku lebih tua mungkin sekitar 5 tahunan dari kalian, aku harap kita bisa berhubungan baik.”
Tiba-tiba Febri mengulurkan tangan pada Mirandani. “Mohon bantuan Mbak Mira untuk ke depannya.”
Mirandani yang sempat bingung pun menjabat tangan Febri. Beni tak mau kalah. Ia minta berjabat tangan pada Mirandani juga. “Bener kata Febri. Siapa tahu Mbak Mirandani bisa jadi pembimbing kami.”
“Apalagi kayaknya kita emang lebih cocok sama Mbak Miranda yang dari kota,” timpal Dea.
Mereka berenam pun bergantian menjabat tangan Mirandani. Saat Aneska yang berjabatan terakhir, ia seperti mendengar Mirandani berkata, “Semoga kita bisa rukun, ya.” Tapi yang Aneska lihat bibir Mirandani tertutup rapat menyimpulkan senyuman, sama sekali tidak tampak habis bicara. Bulu kuduk Aneska seketika merinding dibuatnya.
“Ada apa?” tanya Mirandani pada Aneska.
Aneska buru-buru melepaskan jabatan tangannya lalu berdiri. “Guys, gue balik ke depan, ya!” pamitnya. “Kia, Dea, kalian ikut balik, nggak?”
Dea dan Kia saling pandang. Tapi kemudian Dea mengangguk dan berdiri. “Aku juga balik, deh!” sahutnya. Kia pun ikut saja. Ia melambai pada Mirandani dan tiga teman lelakinya lalu bergegas menyusul Dea dan Aneska yang sudah sampai halaman.
Mirandani juga berdiri. “Kalo gitu aku pamit, ya.”
“Mbak Mira mau pergi juga?” tanya Febri.
“Budhe Suti pasti udah nungguin aku nih dari tadi.” Setelah mendapat anggukan kepala dari tiga pemuda itu, Mirandani melambaikan tangan sambil beranjak keluar.
Sampai di jalan, di sudut pagar rambatan bunga mawar, Mirandani berhenti lalu menoleh ke arah rumah yang diinapi gadis-gadis tadi. Matanya menangkap siluet wanita di balik jendela gelap seperti sedang memerhatikannya. Merasa juga diperhatikan oleh Mirandani, wanita itu buru-buru menutup tirai jendelanya. Mirandani terkekeh kecil kemudian melanjutkan jalan.
“Adik-adik yang lucu,” ucap Mirandani sembari membenahi rambutnya yang tergerai kemudian ia gelung di atas.
“Budhe Suti, aku datang...” gumam Mirandani dengan sorot mata tajam dan tangan mengepal.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Ih ada apa dengan Mirandani🤔
2024-03-19
1
Ali B.U
lanjut.
2024-03-04
2