“M—mbak... Mira?” ucap Febri terbata. Ia tercengang melihat wanita cantik itu berdiri di belakang sambil tersenyum manis padanya. Menurutnya ini terlalu tiba-tiba, apalagi di tempat seram seperti itu, seolah mustahil bisa bertemu. Seketika Febri teringat ucapan Aneska saat mereka pertama kali melihat Mirandani di bak mobil yang melaju. “Napak, nggak?”
Febri langsung menunduk dan memejamkan mata. Dengan degup jantung menggebu dan napas tertahan, Febri membuka mata perlahan tepat di arah bawah untuk memeriksa kaki Mirandani.
Mirandani mengikuti arah pandangan Febri ke bawah kakinya. Dan seketika tergelak. “Dek Feb!” Mirandani membekap mulutnya dengan sebelah tangan untuk menutupi tawanya. “Aku bukan hantu, kok.” Mirandani paham dengan sikap gugup Febri, terlebih wajah pemuda itu pucat pasi, jadi isi pikirannya seolah terbaca jelas oleh Mirandani.
“A—aku nggak—” Febri panik. Ia merasa tak enak karena bersikap tidak sopan pada Mirandani.
“Nih, kalo kamu nggak percaya, pegang aja tanganku,” ujar Mirandani sembari mengulurkan tangannya di depan Febri.
Febri terkesiap melihat tangan berkulit mulus itu. Tapi ia buru-buru menggelengkan kepala lalu menyentuh tangan Mirandani yang terasa hangat. “Maaf, Mbak,” ucapnya kemudian. Secara tak langsung Febri mengakui jika dirinya sempat mengira sosok Mirandani itu adalah setan.
Mirandani menyudahi tawanya. “Iya wis, nggak apa-apa.” Mirandani mengedar pandang ke sekitar. “Kamu sendirian? Kok teman-temenmu nggak keliatan?”
Febri menggaruk tengkuknya dengan sungkan. “Aku kepisah dari mereka.”
“Kamu tersesat?”
Febri mengangguk. Ia tunjukkan sandal kecil warna merah pada Mirandani. “Ini. Gara-gara aku ngejar bocah yang pakai sandal ini.”
Mirandani mengernyit. Ia meminta sandal merah itu dari Febri kemudian memeriksanya. “Kayaknya ini nggak baru dipake, deh.”
“Maksud Mbak Mira?” tanya Febri penasaran.
Mirandani membalik sandal itu memperlihatkan sisi bawahnya. “Ketempel lumpur yang tebel dan udah kering. Sedangkan jalanan di sini kering semua, sama sekali nggak ada becek atau lumpurnya.”
“Berarti...” Febri tampak berpikir. “Mungkin dipakai kemarin atau kapan hari pas di sini hujan, ya?”
Mirandani mengangguk. Ia tatap Febri dengan wajah serius. “Kamu yakin ngejar bocah yang pakai sandal ini?”
DEG!
Pertanyaan Mirandani barusan entah kenapa membuat Febri kembali merinding. Tapi ia coba menepis segala pikiran negatif.
Febri pun mengangguk mantap penuh dengan keyakinan. “Tadi pagi aku sempet ketemu dia di jalan pas disuapi makan Ibunya. Aku yakin banget waktu itu dia pakai sandal merah begini, Mbak.”
Mirandani tersenyum. “Di desa ini emang banyak anak-anak yang pakai sandal merah, kok. Karena toko-toko kelontong di sini suka jualan sandal merah karakter begini. Mungkin waktu ke grosiran cuma belinya warna dan model yang sama karena anak-anak banyak yang suka.”
“Eh? Serius, Mbak?” Alis Febri mengerut. Raut wajahnya menampakkan kebingungan dan rasa tak nyaman.
Mirandani menepuk pelan bahu Febri. “Kamu tenang aja, jangan mikir yang aneh-aneh, ya. Anak-anak sini emang suka keluyuran di area ladang.” Mirandani membenahi bakul bambu yang sedari tadi ia peluk.
“Kenapa? Kan bahaya? Apalagi kalo pergi sendirian.”
“Karena orangtua mereka mayoritas kerja di ladang. Jadi mungkin mereka pengen nyusul buat main,” terang Mirandani, mencoba untuk menenangkan.
“Tapi...” Febri menunduk. Ia masih resah memikirkan si bocah.
“Mau kubantu cari?” tawar Mirandani.
Febri menatap wanita cantik yang kini membuatnya bingung itu. “Sebelum itu... aku pengen tahu Mbak Mira kenapa bisa ada di sini sambil bawa bakul bau terasi?”
Air muka Mirandani tiba-tiba menegang. Ia tatap pemuda di hadapannya itu dengan tajam. “Ya jelas mau cari sayuran,” ujar Mirandani yang kemudian diikuti gelak tawanya. “Kenapa? Kamu curiga aku mau ngelakuin hal aneh?” tanyanya sambil menahan tawa.
Seketika Febri merasa canggung. Lagi-lagi ia menunjukkan sikap kurang sopan. “Maaf, aku nggak terbiasa soalnya.”
“Iya, aku maklum,” sahut Mirandani. Ia buka kain lap yang menutupi bakulnya. Tampak separuh terisi nasi putih, seperempat nasi jagung, semangkuk kecil sambal terasi, dan beberapa lauk berupa ikan goreng, tahu tempe goreng, serta telur dadar.
Refleks Febri menelan ludah. Isi bakul bambu Mirandani membuat seleranya tergugah. Asam lambungnya seketika meronta. “Tapi kenapa Mbak Mira bawa-bawa makanan di tempat kayak gini?” tanya Febri sambil terus menatap ke arah bakul. “Kalo mau cari sayuran kan bisa bawa kresek atau tas aja, gitu?”
“Soalnya mau kulalap langsung di sini,” jawab Mirandani. “Aku suka banget makan di ladang. Sayurnya tinggal metik, terus dimakan mentahan. Aku mau cari timun, tomat, beberapa daun, sama kemangi di ladang Budheku.”
“Oh, gitu?” Febri manggut-manggut.
“Febri! Feeeb!” panggil Ozza. Suaranya terdengar ada di kejauhan.
“Nah, itu suara temenku, Mbak,” ucap Febri. Seketika ia merasa lega karena Ozza menemukannya. “Za! Gue di sini!” teriak Febri sambil melambai setelah melihat Ozza, Aneska, dan Beni berdiri di persimpangan jalan. Ketiga orang itu segera belari menghampiri Febri.
“Lo ngapain di sini?” tanya Beni begitu tiga orang itu sampai di tempat Febri berdiri.
“Tiba-tiba ngilang. Terus telepon tapi pas diangkat malah mati. Bikin orang panik aja!” tegur Ozza.
Febri menggaruk belakang kepala karena diomeli akibat sikap impulsifnya. “Sorry. Gue tadi ngejar si Adek yang bedakan itu sampe ke sini. Terus ketemu sama—” Febri tercekat saat menoleh ternyata Mirandani sudah tak ada.
“Ketemu sama siapa?” tanya Aneska.
Febri menelan ludah. Jantungnya terasa sakit karena berdetak terlalu cepat. Napasnya memburu seperti habis berlari jauh. Ozza menepuk punggung Febri dan berbisik, “Tenangin diri lo, Feb.”
Febri berusaha mengatur napasnya. “Gue tadi ngobrol sama Mbak Mira, Guys,” aku Febri.
Tiga teman Febri saling pandang. Mereka coba mengamati sekitar tapi tak menemukan siapa pun selain mereka berempat. “Lo mabok apa ngelindur?” hardik Aneska. “Nggak ada siapa-siapa di sini selain kita.”
Beni pura-pura bergidik ngeri. “Hii—jangan-jangan...”
“Ben?” tegur Ozza dengan nada tenang. “Sorry.” Beni cengengesan.
Febri mengatur napasnya lagi untuk menenangkan diri. Ia merasa tak ada gunanya membicarakan Mirandani lebih banyak lagi. Teman-temannya tidak akan percaya mau bagaimana pun ia menjelaskan karena tak ada bukti, bahkan jejak kakinya di tanah pun nihil.
Badan Febri kembali merinding dan sedikit kesal karena harus mengalami hal tak masuk akal. “Yaudah, yuk, kita balik ke penginapan saja sekarang. Gue nggak enak badan.”
Ozza, Beni, dan Aneska mengangguk setuju dan mengikuti langkah Febri. Tak disangka, bocah gundul berbedak yang tadi dikejar Febri muncul di persimpangan jalan. Febri yang merasa kesal langsung berlari menghampiri. Kali ini ia ingin menangkapnya.
“Feb, tunggu!” teriak Aneska. Ia dan dua temannya pun mengejar Febri.
“Dek!” panggil Febri pada si bocah. Segera ia tangkap lengan kecil itu sebelum terlambat lagi. “Adek, kamu habis dari mana?” tanya Febri dengan napas tersengal. Kulit lengan si bocah terasa dingin di telapak tangannya. Ia sudah tak peduli jika bocah itu memang makhluk halus, yang jelas ia ingin memastikan rasa kesal dan penasarannya bisa terobati.
“Aku dari sana, Mas,” tunjuk si bocah yang tadi pagi mengenalkan diri bernama Dika pada Kia. Jari telunjuknya mengarah pada jalan lain yang berseberangan dengan tempat Febri bertemu Mirandani.
Febri melirik kaki si bocah yang syukurnya menapak tanah. Ia pun buru-buru jongkok tanpa melepas genggaman tangannya. “Kenapa kamu lari sendirian di ladang sepi gini? Terus aku panggil-panggil kamu juga nggak nyahut? Kamu emang biasanya suka gini, ya? Kalo Ibumu nyariin, gimana?”
“Jangan marahin anak saya!” teriak suara wanita. Wanita yang tadi Febri dan kelompoknya lihat menyuapi si bocah. Ia berjalan cepat dan menghentak menghampiri kelompok Febri. “Anak saya salah apa?” tanyanya sambil melotot tak terima.
Febri segera melepas genggaman tangannya dari lengan Dika. “Maaf, Bu. Saya cuma khawatir sama anak Ibu.”
“Anak saya udah biasa nyusul Bapaknya di ladang. Jadi sampeyan ndak usah lebay!” sinis wanita itu sambil menarik tangan anaknya meninggalkan kelompok Febri.
Febri dan tiga rekannya diam, tercengang, mencoba mencerna situasi.
“Sorry, gue udah bikin perkara di hari pertama,” gumam Febri. Beni dan Ozza menepuk bahu Febri sebagai bentuk memberi dukungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Mulai ada teka teki😁
2024-03-19
1
Ali B.U
cerita yg menarik.,
secangkir kopi penyemangat,
lanjut
2024-03-03
2