“Kita kasih tahu temen-temen nggak, Feb?” celetuk Dea di tengah keheningan dirinya dan Febri dalam perjalanan menuju penginapan.
Febri yang sibuk meregangkan otot-otot lengan dan bahunya langsung berhenti bergerak. “Menurut kamu?” tanyanya balik.
“Menurut aku sih mereka nggak akan seneng kalo kita nyembunyiin sesuatu, apalagi ini masalah yang mungkin aja segede gunung itu,” ujar Dea sambil menatap lurus ke arah gunung yang ada tepat di depan mereka. “Tapi kali aja kamu punya pendapat lain?”
Febri menggeleng. “Gue sependapat kok sama kamu, karena nggak yakin kita bisa ngatasin ini cuma berdua.”
“Iya, sih.” Dea menatap kosong ke jalan paving yang masih utuh dan rapi seperti belum lama dipasang. Isi kepalanya ribut meski tak jelas hal apa yang benar-benar fokus ia pikirkan.
“Oke, kalo gitu ntar kita coba ngomong dulu ke mereka. Dan gimana pun keputusan mereka antara mau ikut terlibat atau nggak, itu sih terserah,” tandas Febri.
“Bener, Feb. Yang penting kita nggak nyembunyiin apa-apa, juga nggak bakal maksa,” sahut Dea.
Kemudian keduanya kembali hening, sibuk dengan pikiran masing-masing. Sampai mereka tiba di pertigaan depan toko kelontong pak botak.
“By the way, bisa kebetulan banget ya Mbak Mira lewat sana,” gumam Febri. Ia menyesal, karena saking fokusnya dengan Hanum tadi sampai lupa minta nomor WA Mirandani.
“Iya, ya?” sahut Dea. “Coba kalo nggak, pasti kamu masih nahan serangan Pak Agus sekarang ini.”
“Ya enggak, lah. Lebay!” Febri mencubit ujung hidung Dea.
“Aw! Febri, ih!” Dea meringis kesakitan lalu mencubit tangan Febri sampai terlepas dari hidungnya. “Aku aduin Mama Kos ntar, biar kamu dicoret dari kartu keluarga!”
“Aduin aja, we!” ledek Febri sambil mengacak rambut Dea kemudian berlari ke toko kelontong. “Teh dingin, oke?” teriaknya pada Dea.
Dea mengangguk sambil cemberut. Ia duduk di saung dekat toko, tangannya sibuk merapikan rambut yang acak-acakan. “Aw!” pekik lirih Dea saat tak sengaja menyentuh kepala belakangnya. Rasa sakit akibat jambakan ayah Hanum rupanya masih terasa.
“Kenapa, De?” teriak Febri dari teras toko setelah melihat Dea meringis kesakitan. Dea menggeleng, “Nggak.”
Febri berlari menghampiri Dea. “Apanya yang nggak? Coba sini lihat!” Febri memaksa. Ia putar leher Dea 90 derajat kemudian mengecek kepala belakangnya. “Ya ampun, De!” pekik Febri.
Dea langsung panik. “Kenapa, Feb? Kepalaku kenapa?”
“Nggak kenapa-napa, tuh.”
“Hish!” Dea kesal kena prank Febri. “Becanda mulu!”
Febri nyengir lalu ngacir ke toko lagi membayar minumannya.
“Kalian pacaran?” celetuk pak botak sambil terus kipasan dengan santai.
Febri tersenyum kecil. “Nggak, Pak. Dia sepupu saya.” Setelah itu ia segera kembali ke saung dan menyerahkan minuman dingin Dea sambil duduk di sampingnya.
“Tapi kalo dipikir-pikir, kita musti cerita mulai dari mana ke temen-temen nanti?” tanya Febri.
Dea membuka tutup minuman kemudian menenggak teh dinginnya sedikit sambil menatap rak sandal merah yang ada di toko kelontong. “Dari masalah sandal Hanum, lah. Dia kan kehilangan sandal yang sekarang kamu bawa. Dan hal-hal janggal lainnya.”
“Bener juga!” sahut Febri. Ia teringat pada sandal kotor Hanum yang dibawanya. Buru-buru Febri melepas sebelah tali tas punggungnya dan mengeluarkan kantong kresek hitam yang berisi sebelah sandal. “Ini kita buang atau simpen aja?” tanyanya sambil menyodorkan sandal ke depan Dea.
Dea tergelak melihat sandal itu. “Pantesan Hanum nyuruh kamu buang aja.”
“Kenapa malah ketawa?”
Dea turun dari saung lalu berjalan meninggalkan Febri. Febri segera memasukkan sandal ke dalam kantong kresek lagi. “Tunggu, De! Salah gue di mana?”
“Ya ampun, Feb. Selain nggak bisa dipake karena tinggal sebelah, ya masa nggak kamu bersihin dulu sebelum ngasihin ke dia?” ejek Dea. “Jelas dia nggak mau, lah!”
Febri garuk kepala. “Iya, sih. Tapi kalo gue bersihin ntar nggak ngebuktiin kalo itu milik Hanum, dong.”
Dea mengangguk, sependapat. “Yaudah, kalo gitu sekarang kamu bersihin, deh. Trus kita simpen sebagai barang bukti pertama dalam penyelidikan kita.”
“Encer juga otak kamu, De.” Mata Febri berbinar. Ia segera berjongkok mencari batu dan mengupas lumpur kering di bawah sandal Hanum. Baru terkupas sedikit, mendadak mata Febri membulat sempurna. “AAARGH!” teriak Febri tiba-tiba. Ia sentakkan sandal itu sampai terlempar agak jauh darinya.
Dea merasa kesal tapi juga penasaran. “Kenapa malah kamu buang?!” Dea beranjak akan memungut sandal itu tapi Febri menahannya. “Jangan, De!”
“Kenapa, sih?” tanya Dea dengan raut wajah heran.
“Gue yakin nggak salah lihat.” Febri celingukan mencari kayu yang lebih panjang. Setelah dapat, ia melangkah pelan ke tempat sandal. Dibaliknya sandal itu dengan kayu panjang kemudian susah payah ia kupas lagi lumpur keringnya hingga lepas semua.
Betapa shock Dea dan Febri setelah dengan jelas melihat sesuatu yang menempel di sandal itu.
“Itu rambut kan, Feb?” tanya Dea ragu-ragu. Wajahnya memucat. Tengkuknya terasa geli seperti ditiup napas orang dari belakang sampai merinding sebadan-badan.
Jelas terlihat gumpalan rambut panjang itu lengket di sol sandal oleh cairan merah kehitaman seperti darah yang mengering. Bahkan ada sedikit lembaran pucat seperti kulit yang terkelupas menempel di sekitarnya. Seketika perut Dea terasa mual. “Huwek!” Badan Dea sempoyongan. Febri segera menjaga Dea supaya tidak ambruk.
“Ayo, De, pulang! Kamu kuat jalan, kan?”
Dea mengangguk lemah. Napasnya terasa berat, tapi kakinya berusaha menapak kuat. Febri memegangi kedua bahunya lalu jalan bersama.
Tak lama kemudian Mirandani muncul di tempat sandal Hanum. Ia perhatikan Febri dan Dea hingga keduanya menghilang di tikungan. Dengan pelan ia pungut sandal yang masih tertempel rambut itu kemudian memasukkannya ke dalam kantong kresek bekas Febri tadi.
“Akhirnya mereka tahu,” gumam Mirandani sambil berlalu.
***
Suti tersentak saat tiba-tiba ada sesuatu yang terlempar di atas meja dapurnya. Ia mendongak dan mendapati Mirandani menatapnya tajam. “Mir? Apa itu tadi?” tanya Suti dengan hati-hati.
“Buka aja,” suruh Mirandani.
Suti menyudahi aktifitasnya mengemasi bawang goreng. Ia lepas sarung tangan plastiknya kemudian memungut kresek hitam yang tadi terpental dari meja ke lantai. Tanpa prasangka apa pun, Suti membuka kantong kresek itu dan sontak menjerit sambil melemparnya sembarangan. Raut wajahnya sangat ketakutan. Ia menatap Mirandani sambil bergidik ngeri. “Kamu dapat dari mana benda itu, Mir?” tanya Suti dengan suara bergetar.
“Di ladang,” jawab Mirandani sambil duduk bersilang kaki di kursi panjang. “Adik-adik lucu itu yang bawa. Trus aku nemu karena mereka sama ketakutannya kayak kamu, Budhe.” Mirandani terbahak-bahak. Sekujur badan Suti merinding dibuatnya.
“Ampun, Mir!” Suti buru-buru berlutut dan menangkupkan kedua tangannya di atas kepala.
“Kenapa Budhe yang minta ampun?” Mirandani heran. “Emang Budhe salah apa? Budhe nggak terlibat, kan?”
Suti menggeleng cepat. “Aku nggak tahu apa-apa. Sumpah, demi Allah!”
“Trus kenapa minta ampun?” Mirandani menatap tajam pada Suti. Suti langsung menunduk menghindari tatapan mata Mirandani. Mirandani kemudian berjongkok di depan Suti. Ditekannya pundak gemuk wanita 45 tahun itu. “Aku nggak bermaksud nakut-nakutin Budhe, kok. Justru aku perlu bantuan Budhe buat jadi cepu.”
Suti mendongak. Sorot matanya penuh keputusasaan. “Tolong, Mir, jangan libatin Budhe dalam balas dendammu. Budhe masih pengen hidup lama di desa ini sama suami sama anak-anak Budhe. Tolong, Mir, lepasin Budhe.”
Mirandani menelengkan kepala, bibirnya tersenyum, tapi matanya melotot nyalang. Badan Suti seketika membeku, bahkan ia merasakan hawa dingin merayapi kedua kakinya dan membuatnya mati rasa. Airmata mengalir di pipi Suti, baginya kehadiran Mirandani adalah mimpi buruk paling nyata. Namun ia tak mampu mengungkapkannya.
“Aku nggak minta tolong ke Budhe lho, tapi ngasih perintah!” bentak Mirandani yang diikuti kikik tawa. “Apa perlu kubikin Budhe nggak bisa jualan lagi trus ngurus kebun kantilku aja?”
“Nggak, Mir! Jangan! Budhe mohon!” Suti menangis meraung-raung. “Oke! Budhe janji akan nurutin perintah kamu.”
“Nah, gitu, dong,” ucap Mirandani kemudian melepas tangannya yang menekan pundak Suti dari tadi. Ia berdiri dan beranjak pergi. “Apa kabarnya ya anak lanang Budhe yang sekarang jadi TNI?”
Suti terperanjat mendengar gumaman terakhir Mirandani. Jantungnya sakit seperti diremas-remas. Ia takut wanita licik itu akan mencelakai anak semata wayangnya. Tapi lagi-lagi Suti tak berdaya. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain membulatkan tekad untuk menuruti Mirandani meski harus bertaruh nyawa. Demi keselamatan putra tercintanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Maz Andy'ne Yulixah
Kira2 kulit kepala siapa kok sama rambut nya ngeri😬😬
Dan mba Mira mau balas dendam sama siapa dan karena apa🤔🤔
2024-03-19
1
Ali B.U
nextj
2024-03-04
2
Subber Ngawur
Apaan sih cubit2 🙈
2024-02-12
1