Monsearch

Monsearch

Penyebab Semuanya

Pinggiran jalan raya yang sepi, hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan berwarna kuning, memberi kesan suram.

Di sisi jalan, sebuah bar tanpa nama tampak ramai, halaman parkirnya penuh dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Para pria bertubuh tegap dengan pakaian mencolok mirip ksatria sihir—berkerumun sambil menyarungkan berbagai macam senjata, mulai dari pedang hingga senapan api. Senjata-senjata itu tampak unik, masing-masing dengan ciri khasnya sendiri, seolah-olah menandakan identitas pemiliknya.

Di antara kerumunan, beberapa wanita dengan pakaian feminim berbaur, meskipun ada yang berbeda—berpenampilan atletis dengan senjata di tangan atau di punggung mereka.

Ada yang hanya membawa tongkat besar, berpakaian jubah panjang seperti seorang penyihir, menambah keanehan di tengah keramaian malam itu.

Sementara itu, di seberang jalan yang sunyi, hutan gelap membentang dengan kesunyian yang menakutkan.

Beberapa sosok tersembunyi di balik bayangan pepohonan, mengawasi bar tersebut dengan penuh kewaspadaan.

"Violina, apa kamu yakin ini bar tempat para monster akan ditahan?" bisik Serena dengan suara pelan namun tajam, pandangannya tak lepas dari bangunan bar.

Violina mengangguk, matanya tetap fokus ke arah yang sama. "Menurut info dari Pak Guru Snade, memang ini tempatnya. Tapi, entahlah..."

Serena menghela napas panjang, masih merasakan ketidakpastian menggelayuti pikirannya. "Di mana Pak Guru Snade? Berapa lama lagi kita harus menunggu seperti ini?"

Violina hanya bisa merenung sesaat sebelum menjawab dengan nada lelah, "Jangan tanya aku, Serena. Aku bukan Pak Guru Snade. Aku juga tidak tahu, apa yang beliau lakukan."

Di balik kegelapan hutan, kelompok mereka yang berjumlah tujuh orang, bersama Serena dan Violina, masih menunggu dengan penuh kewaspadaan. Mata mereka tak lepas dari bar di seberang jalan, menunggu momen yang tepat untuk bertindak.

Suara deru mesin kendaraan tiba-tiba memecah suasana.

Sebuah truk box melaju pelan dari arah kanan, lalu berhenti di halaman parkir bar yang ramai. Seperti diisyaratkan oleh kedatangan truk itu, orang-orang segera bergerak, berkerumun di sekitar truk dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Pintu belakang truk terbuka dengan suara berderit, dan dari dalamnya, tujuh anak kecil dengan ciri-ciri setengah monster diseret keluar dengan kasar.

Kaki mereka terikat rantai berat, membuat langkah mereka tersendat-sendat.

Beberapa pria bersenjata meneriaki mereka, mendorong agar anak-anak itu bergerak lebih cepat. Terlihat ketakutan di mata anak-anak itu, namun mereka tak punya pilihan selain mengikuti perintah yang diteriakkan kepada mereka.

"Itu dia, Pak Snade," gumam seorang pria di belakang Serena dan Violina, suaranya dalam dan penuh kewaspadaan. Pria itu menunjuk ke arah truk dengan jari telunjuknya. "Kita harus bersiap. Kita akan menyelamatkan anak-anak itu."

Di halaman parkir, sebuah aliran air kecil mengalir dari lubang selokan yang ada di sudut. Perlahan, air itu membentuk genangan yang tidak biasa, bergerak seperti makhluk hidup, merayap mendekati kerumunan sekitar dua puluh orang yang berkumpul di sekitar truk.

Kemudian, tanpa peringatan, dari genangan air itu muncul tentakel-tentakel licin yang bergerak cepat.

Tentakel-tentakel itu menusuk kaki beberapa pria bersenjata, mencengkeram dengan kuat, dan menarik mereka hingga tersungkur ke tanah.

Suara teriakan kesakitan dan kepanikan langsung memenuhi udara, memecah keheningan yang sebelumnya menegang.

Suara tembakan bergema di udara saat orang-orang bersenjata dengan cepat menyadari ancaman yang muncul dari genangan air yang tampak seperti slime itu.

Mereka melompat mundur dengan sigap, pedang dan senapan siap di tangan, mata mereka terpaku ke tanah, mencari tahu dari mana serangan itu berasal.

Ledakan peluru menghantam permukaan slime, menciptakan percikan air yang liar, namun tentakel-tentakel itu terus merayap, tak terhentikan.

"Ini saatnya!" teriak pria kekar tadi, suaranya penuh gairah, seolah-olah telah menunggu momen ini sepanjang malam. "Jangan biarkan mereka lolos!"

Seorang anggota kelompok lainnya menyusul, suaranya tegas, "Ingat, anak-anak itu prioritas kita. Jangan hanya fokus pada Hunter Manusia!"

Serena menatap Violina, mata mereka saling berbicara dengan pemahaman yang dalam. Tidak ada waktu untuk ragu. "Ayo," kata Serena, suaranya penuh tekad. "Kita harus bertindak sekarang sebelum mereka sempat bereaksi!"

Dengan satu gerakan cepat, Serena dan Violina melesat keluar dari persembunyian mereka di hutan. Angin malam yang dingin berdesir di sekitar mereka saat mereka melaju dengan kecepatan kilat menuju medan pertempuran yang kini berkobar dengan sengit.

Di belakang mereka, lima pria yang sebelumnya bersembunyi bersama segera mengikuti, menerjang maju dengan teriakan penuh semangat.

"Hajar mereka!" teriak salah satu dari mereka, suaranya menggema di tengah kekacauan.

"Serang!" tambah yang lain, seolah-olah kobaran api dalam dirinya telah menyala.

Saat teriakan itu terdengar, tubuh mereka yang semula tampak seperti manusia biasa tiba-tiba berubah secara drastis.

Otot-otot mereka menggembung, tubuh mereka membesar dengan cepat. Ekor dan tanduk muncul dari kepala dan bokong mereka, mengubah mereka menjadi monster yang menakutkan. Wajah sebagian dari mereka berubah menjadi bentuk hewan yang buas dan perkasa, sementara yang lain tetap mempertahankan wajah manusia dengan tubuh yang kini dipenuhi ciri-ciri monster.

"Awas, ada serangan lagi!" teriak salah satu Hunter Manusia, suaranya nyaring di tengah kepanikan yang semakin menjadi-jadi.

Formasi para Hunter Manusia yang tadinya solid kini terpecah-belah, buyar oleh serangan mendadak yang tak terduga.

Lima monster yang menerjang maju dari depan membuat kekacauan, menyabitkan senjata mereka dengan kekuatan dahsyat. Ada yang mengayunkan senjatanya dengan brutal, membabat siapa saja yang berada di jalurnya. Salah satu dari mereka melompat tinggi ke udara, lalu menghantamkan senjatanya dari langit, memecah formasi lawan dengan serangan yang mematikan.

Serena dan Violina terus bergerak dengan kecepatan tinggi, memanfaatkan kekacauan untuk mendekati anak-anak yang terperangkap.

Sementara itu, lima monster rekan mereka melancarkan serangan brutal, menimbulkan kehancuran di tengah barisan para Hunter.

Suara ledakan mantra sihir terdengar memekakkan telinga saat para Hunter Manusia yang mampu menggunakan sihir melontarkan serangan mereka. Cahaya berwarna-warni menerangi kegelapan malam, memancar dari tongkat-tongkat yang mereka acungkan.

Sementara itu, orang-orang yang tidak bersenjata mulai panik dan melarikan diri dari medan pertempuran, berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan yang semakin menggila.

Di sisi lain, adu tangkis terjadi dengan sengit di antara para Hunter Manusia yang membawa pedang atau senjata jarak dekat lainnya, seperti belati dengan lima orang monster yang datang.

Bunyi dentingan logam yang berbenturan memenuhi udara, sementara mereka yang membawa senapan api mencoba menjaga jarak, menembaki para monster yang menyerang mereka. Namun, peluru-peluru yang mereka tembakkan hanya menancap di permukaan kulit lima monster yang menyerang, tidak cukup kuat untuk melumpuhkan mereka. Monster-monster itu, dengan tubuh yang telah berubah menjadi lebih besar dan kuat, terus menerjang tanpa henti.

Di tengah kekacauan tersebut, Serena dan Violina bergerak cepat, memanfaatkan situasi untuk mendekati anak-anak yang terperangkap.

Violina segera berbicara dengan suara lembut namun tegas kepada anak-anak itu. "Mari kita pergi, anak-anak. Selamat datang di dunia manusia. Semoga kalian bisa bertahan di sini," katanya, berusaha menenangkan ketakutan di mata mereka.

Anak-anak itu terdiri dari lima anak laki-laki dan dua anak perempuan, masing-masing dengan ciri monster yang berbeda—ada yang memiliki tanduk, ada yang memiliki ekor, dan ada pula yang memiliki mata bersinar dalam gelap.

Mereka tampak bingung dan ketakutan, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

Serena segera mendekati mereka. Dia mencengkeram erat rantai borgol yang mengikat kaki anak-anak itu, menariknya dengan sekuat tenaga. Namun, rantai itu terlalu kuat untuk dihancurkan dengan mudah. Serena mengerutkan kening, menyadari bahwa dia perlu memanfaatkan kekuatan aslinya.

"Sebentar, aku akan menghancurkan rantai ini terlebih dahulu," ujar Serena dengan suara rendah namun mantap.

Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.

Ekor dan tanduk naga berwarna biru pucat mulai muncul perlahan dari tubuhnya, seiring dengan perubahan yang membuatnya tampak semakin menakutkan. Dengan kekuatan naga yang kini mengalir di dalam dirinya, Serena menggenggam rantai itu sekali lagi dan menariknya dengan kekuatan luar biasa.

Perlahan, rantai tersebut mulai retak, suara logam yang terpecah terdengar jelas di antara gemuruh pertempuran. Akhirnya, rantai itu pecah, membebaskan anak-anak dari belenggu mereka.

"Sudah, sekarang kita harus bergerak cepat," kata Serena, suaranya kembali normal namun penuh kewaspadaan. "Kita belum aman di sini."

"Mari, anak-anak. Ikuti Kakak ke tempat yang lebih aman," bisik Serena dengan suara lembut namun tegas.

Dengan cepat, dia merangkul ketujuh anak monster itu ke dalam pelukannya, memastikan mereka tetap berkumpul erat di tengah kekacauan yang berlangsung.

Di belakang mereka, suara ledakan dan cahaya berwarna-warni terus menerangi malam yang kelam, membuat bayangan panjang di tanah saat mantra sihir meledak di udara.

Genangan air yang sebelumnya menjebak kaki para Hunter Manusia kini ikut terlibat dalam pertarungan. Air itu bergerak dengan gesit, menciptakan tentakel yang berubah menjadi tangan raksasa, siap menonjok musuh, atau berubah menjadi sabit tajam untuk menahan serangan lawan.

Tiba-tiba, suara yang dalam dan tegas terdengar dari arah genangan air itu.

"Serena, Violina! Bawa anak-anak itu pergi sekarang!" Suara itu memerintah dengan nada mendesak.

Serena dan Violina menoleh, terkejut melihat sosok wajah seorang pria paruh baya muncul dari dalam genangan air tersebut. Wajah itu terbentuk dengan jelas dari air yang bergerak, tampak tegas dan penuh kewibawaan.

"Pak Snade!" seru Violina, mengenali wajah itu.

"Jangan buang waktu lagi! Aku akan menahan mereka di sini. Bawa anak-anak itu ke tempat yang aman," perintah sosok air itu.

Serena mengangguk. Dia dan Violina bergerak dengan cepat, membawa anak-anak itu menjauh dari pertempuran yang semakin sengit.

Keduanya berlari secepat mungkin, menyeberangi jalan raya yang sepi, menuju rindangnya hutan di seberang, tempat mereka sebelumnya bersembunyi.

"Serena! Lindungi anak-anak!" teriak Violina tiba-tiba, suaranya dipenuhi oleh rasa bahaya.

Serena, terkejut oleh teriakan mendadak itu, segera menoleh ke belakang untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun, sebelum kata-kata sempat keluar dari mulutnya, dia melihat sesuatu yang mengagetkan—Violina sedang berubah.

Wujud manusia serigala muncul dari tubuh temannya. Telinga serigala berwarna coklat, sama seperti rambutnya, serta ekor berbulu lebat yang keluar dari balik rok panjangnya. Dengan kekuatan luar biasa, Violina mengeluarkan sihir angin dari telapak tangannya, menciptakan hembusan dahsyat yang menghantam Serena dan anak-anak yang ia lindungi.

Serena tidak punya waktu untuk bereaksi. Refleksnya mengambil alih, sayap naganya yang besar langsung terbentang, membungkus ketujuh anak itu dengan perlindungan yang kokoh.

Dia merangkul mereka erat-erat dengan kedua sayap, tangan, dan ekornya, memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang terluka oleh hempasan angin yang mendadak itu.

Serena dan anak-anak berguling-guling di atas lantai hutan, daun-daun kering dan tanah basah menyelimuti mereka. Tapi, berkat perlindungan sayap naga Serena, tak satu pun dari anak-anak itu mengalami luka sedikit pun. Mereka tetap aman dalam pelukan hangatnya.

Tiba-tiba, sebuah ledakan dahsyat mengguncang tempat di mana mereka baru saja berdiri di tepi jalan raya.

Aspal berhamburan, dan tanah retak akibat ledakan itu.

Serena melihat ke arah lubang besar yang kini terbentuk di tengah jalan, napasnya tersengal saat kesadaran mulai menyelinap ke dalam pikirannya. Ledakan itu bukan sekadar kecelakaan—itu serangan yang sengaja diarahkan kepada mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Serena, masih kebingungan dan mencoba mencerna kejadian barusan.

Serena menggigil saat suara dingin seorang pria berbisik di telinganya, "Nona, bisa kau serahkan anak-anak tersebut? Kami membutuhkannya."

Serena segera berbalik, matanya melebar saat melihat sosok pria memakai masker hitam berdiri di belakangnya.

Tanpa peringatan, pria itu meluncurkan serangan dengan belati putih yang memiliki tiga bilah tajam, mengarah langsung ke punggung Serena. Namun, Serena berhasil menangkis serangan tersebut dengan ekor naganya. Meskipun berhasil melindungi diri, rasa sakit menusuk dari ekornya yang hampir terputus membuat Serena meringis.

Dengan cepat, Serena melompat mundur, mencari tempat yang lebih aman sambil tetap menjaga tujuh anak monster dalam dekapan eratnya.

Dia mengamati ekor naganya yang terluka parah, darah biru pucat mengalir dari luka itu. Namun, seiring berjalannya waktu, luka tersebut mulai memulihkan diri, mengeluarkan uap saat jaringan tubuhnya yang kuat memperbaiki diri.

"Aduh. Senjata sihir tingkat tinggi, rupanya," gumam Serena, matanya berkilat menahan rasa sakit.

Pria bermasker itu berdiri tegak, mengenakan pakaian serba hitam yang ketat, menampilkan otot-ototnya yang terlatih.

Sebuah lambang perisai dan pedang dengan dua sayap kecil berwarna putih terukir di pakaiannya, memberi petunjuk bahwa dia bukan sekadar prajurit biasa.

"Benar-benar merepotkan," katanya dengan nada datar, namun jelas. "Senjata sihir tingkat tinggi pun tidak cukup untuk membunuh kalian, kecuali jika mengenai titik vital."

Serena menatap pria bermasker itu dengan tajam, menahan rasa sakit yang merambat dari ekor naganya yang terluka. Dia tahu, orang ini tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.

Dengan suara yang tegas, Serena bertanya, "Kenapa kalian memburu bangsa monster yang baru diteleportasi? Mereka tidak punya salah kepada kalian!"

Pria itu hanya tersenyum sinis di balik maskernya, memutar belati putihnya dengan jari telunjuk seperti sedang memainkan senjatanya, lalu menggenggamnya erat lagi.

"Asal kalian tahu," ucapnya dengan nada penuh tekanan, "kami tidak hanya memburu monster yang baru datang ke dunia kita."

Ucapan pria itu diiringi oleh suara ledakan yang kembali bergema di kejauhan, sama persis seperti ledakan yang menghancurkan aspal jalan raya sebelumnya.

Hembusan angin kencang yang mengikuti ledakan menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitar mereka, menambah kesan mencekam di tengah hutan yang gelap.

Tiba-tiba, salah satu anak laki-laki yang dipeluk Serena bersuara dengan nada panik, "Kakak, apa yang terjadi? Tempat apa ini?" Sementara itu, seorang anak perempuan menangis ketakutan, "Ibu, Ayah! Dimana kalian?!"

Lima anak lainnya mulai menangis keras, suara rengekan mereka menggema di hutan yang hanya diterangi oleh sinar bulan yang menembus sela-sela dedaunan.

Serena berusaha menenangkan mereka, meski hatinya juga dipenuhi kekhawatiran. "Tidak apa-apa, semua akan aman," katanya lembut, mempererat pelukannya, mencoba memberikan rasa aman di tengah situasi yang penuh bahaya.

Pria itu langsung memasang kuda-kuda, menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan kekuatan yang membuat debu beterbangan.

"Cukup basa-basinya. Kami memerlukan tubuh kalian untuk keberlangsungan rencana kami," ucapnya dengan nada dingin.

Dalam sekejap, dia melesat ke hadapan Serena, seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam.

Serena terkejut dengan kecepatan pria itu.

Dia melihat kilatan belati yang diarahkan tepat ke lehernya, dengan tiga bagian lancip yang berkilauan di bawah sinar bulan. Namun, sebelum pria itu bisa menyelesaikan serangannya, hembusan angin yang kuat tiba-tiba menghantamnya.

Tubuh pria itu langsung pecah menjadi bayangan gelap, menghilang seolah dia hanya ilusi, lalu muncul kembali di tempat yang sama seperti semula.

"Jangan kau sentuh dia!" Suara Violina menggema dari atas langit.

Dalam hitungan detik, beberapa cahaya kuning terang melesat ke arah Violina dari belakangnya, seperti kilatan petir yang ingin menghantamnya dari atas. Namun, Violina sudah siap. Dengan cepat, dia mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah cahaya-cahaya itu. Angin kencang berputar di sekitar tangan Violina, membentuk perisai angin yang berputar cepat.

Cahaya-cahaya itu langsung berbelok ketika bertemu dengan perisai angin Violina, menghantam tanah dan menghancurkan beberapa bagian hutan dengan ledakan acak.

Pohon-pohon besar tumbang, dan tanah berguncang seolah hutan itu sedang diguncang oleh kekuatan dahsyat.

Violina mendarat di samping Serena, terlihat lelah namun tetap waspada. Kulit di kedua telapak tangannya memerah dan melepuh, seolah baru saja terkena bara api. Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam.

"Awas, Serena. Mereka bukan Hunter manusia sembarangan," ujar Violina sambil berusaha mengatur pernapasannya yang terengah-engah.

Serena menoleh dengan ekspresi kebingungan. "Apa maksudnya, Violina?"

Sementara itu, cahaya bulan yang sebelumnya terhalang oleh dedaunan kini menerangi hutan, menciptakan bayangan samar di sekeliling mereka. Ranting-ranting pohon berguguran, tersapu oleh angin kuat yang dikeluarkan Violina sebelumnya.

Dari langit malam yang cemerlang, seorang wanita melayang turun dengan anggun, mendarat di samping pria bermasker. Wanita itu memegang busur berwarna ungu di tangan kanannya, pakaian putih dan mantel birunya berkibar pelan.

Violina mengeluarkan cakar di kedua tangannya, siap menghadapi ancaman yang datang. Dia memasang kuda-kuda, tangan kanannya terangkat, seolah siap menyerang kapan saja.

"Mereka bisa menggunakan sihir, Serena. Sama seperti kita," kata Violina, suaranya serius.

Serena terkejut, perasaan cemas semakin menghantuinya. "Mustahil. Bukankah bangsa manusia hanya bisa menggunakan sihir dari senjata sihir saja?"

Wanita pemanah itu menatap pria bermasker dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksabaran. Matanya menyipit dan bibirnya mengerut, mencerminkan rasa kesal yang ditahannya.

"Kau terlalu lama mengambil anak-anak itu," katanya dengan nada tajam. "Kita seharusnya sudah menyelesaikan quest lain, tapi malah disuruh ke sini."

Pria bermasker itu hanya menghela napas panjang sambil meregangkan tubuhnya.

"Apa boleh buat. Anak-anak monster itu dilindungi dengan baik. Aku tidak bisa begitu saja mengambil mereka."

Wanita itu mendengus frustrasi. "Lalu, apa yang akan kita katakan pada Hunter Serikat Guild nanti? Kita tidak bisa kembali tanpa monster sebagai bahan untuk senjata sihir."

Sebelum pria bermasker itu sempat menjawab, teriakan nyaring tiba-tiba terdengar dari langit.

Serena dan Violina serempak menengadah, melihat lima sosok monster meluncur cepat dari langit. Mereka adalah rekan-rekan yang sebelumnya bertempur di depan bar melawan para Hunter Manusia.

"Maafkan kami, Nona. Kami terlambat," ujar salah satu dari mereka saat mendarat di dekat Serena dan Violina. "Kalian tidak terluka, kan?"

Serena menggeleng pelan, tetapi wajahnya masih menunjukkan ketegangan. "Kami baik-baik saja. Terima kasih."

Di dekat mereka, genangan air yang sebelumnya turut menyerang para Hunter Manusia mulai bergerak, naik dari tanah dan membentuk sosok pria paruh baya dengan jaket dan celana hitam—Pak Guru Snade. Dia berdiri dengan tenang.

"Menyerahlah," kata Pak Snade dengan nada dingin. "Kalian tidak akan bisa melawan kami."

Violina cepat menyahut, "Pak Guru, hati-hati. Mereka bisa menggunakan sihir seperti kita. Kekuatan mereka bukan hanya berasal dari senjata sihir."

Pria bermasker itu hanya tersenyum tipis, tetapi matanya mengancam. "Sungguh menyebalkan. Aku penasaran bagaimana kalian bisa mengetahui rencana kami. Tapi sudahlah, mari kita akhiri saja pertarungan sia-sia ini."

Dia menyarungkan belatinya, yang kemudian berubah menjadi partikel kecil dan tersedot ke dalam kubus kecil yang tergantung di sabuknya. Dengan satu gerakan, dia mengeluarkan sebuah batu kecil dan melemparkannya ke tanah. Batu itu mengeluarkan cahaya terang yang menyelimuti dirinya dan wanita pemanah.

"Hubungi saja resepsionis Serikat Guild. Tugas pengambilan barang ini gagal," ucapnya sebelum menghilang sepenuhnya

Wanita pembawa busur mengangguk, mengeluarkan ponsel dari sabuk kain di punggungnya, dan mengetikkan sesuatu.

"Selamat tinggal kalian. Semoga kita bertemu lagi," ucapnya sebelum ia pun menghilang.

Monster-monster yang baru saja berjuang keras melawan para Hunter manusia akhirnya bisa bernapas lega. Beberapa dari mereka duduk di tanah, mencoba memulihkan diri, sementara yang lain berteriak kegirangan meskipun tanpa alasan yang jelas.

Snade, masih dengan wujud manusianya, menatap para monster di sekitarnya. "Terima kasih atas kerja keras kalian. Kita telah berhasil menyelamatkan para monster ini. Setelah beristirahat sebentar, kita akan kembali ke kota Hiddenama."

Serena akhirnya melepaskan pelukan sayap dan tangannya dari tujuh anak monster yang masih gemetaran. Mereka tak lagi menangis, tapi ketakutan masih tampak di mata mereka.

Dengan ekspresi serius, Serena menatap Pak Snade. "Pak Snade, apakah Serikat Guild Monster memutuskan untuk melawan Hunter Manusia? Mereka tidak hanya menargetkan monster yang baru diteleportasi, tapi kita semua. Penyelamatan seperti ini sudah sering kita lakukan, tapi apa untungnya?"

Pak Snade mengangguk, memahami kekhawatiran Serena. "Serena, Serikat Guild Monster di kota ini masih mencari tahu apa sebenarnya yang mereka rencanakan. Kita akan bertindak setelah mengetahui apa tujuan mereka."

Serena mendengus, tidak puas dengan jawaban itu. Dia memalingkan wajahnya, merenung, mencoba memahami situasi yang semakin rumit.

Terpopuler

Comments

Kak Dsh 14

Kak Dsh 14

Yuhuuuu
aku mampir🥳

2024-07-05

1

Mizuki

Mizuki

jejak dulu lah, bagus ini kayaknya

2024-07-02

1

canvie

canvie

keren... tp pengenalan di awal mungkin bisa lebih sederhana lagi.

2024-06-11

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!