Monsearch

Monsearch

(Penyebab Semuanya)

Cahaya lampu kuning yang hangat menerangi pasar malam yang tak pernah kehilangan pesonanya.

Lampu-lampu kecil menjuntai di antara bangunan, memancarkan sinar lembut yang memantulkan bayangan di atas jalan berbatu. Riuh suara tawar-menawar, derap langkah kaki, dan dentingan logam bercampur menjadi simfoni yang khas. Aroma makanan yang dipanggang menguar, bercampur dengan wangi rempah-rempah eksotis yang dijual oleh pedagang.

Di tengah jalan pasar yang sedikit lengang, dua gadis berjalan berdampingan.

Tudung mereka menutupi sebagian besar wajah, menyembunyikan identitas mereka.

Di tepi jalan berbatu, para pedagang menjajakan barang dagangan yang menarik perhatian: potion dengan warna memikat, pedang dengan ukiran runa bercahaya, makanan khas dunia mereka, hingga barang-barang unik yang memancarkan aura misterius. Namun, perhatian kedua gadis itu tak tertarik pada barang dagangan.

"Serena," bisik Violina, gadis bertudung di sebelah kiri, sambil mendekatkan kepalanya. "Kau sudah siap untuk menghajar para petualang manusia nanti?"

Serena melirik Violina dengan sudut matanya dan menghela napas. "Mau tidak mau harus siap. Serikat Guild sudah memerintahkannya. Kita harus membebaskan mereka, kan?" jawabnya pelan.

Violina mengangguk kecil, sorot matanya menerawang ke jalan berbatu di depan mereka. "Iya. Tapi kenapa setiap bulan semakin banyak saja orang dari dunia kita yang dipindahkan ke sini? Aku tidak habis pikir," gumamnya dengan nada prihatin.

Serena menatap lurus ke depan, matanya yang tersembunyi di balik tudung penuh tekad.

"Kalau kita tidak menyelamatkannya. Mereka akan dijadikan peralatan sihir oleh para petualang manusia itu. Senjata sihir, baju zirah, semua dibuat dari tubuh mereka. Kalau mereka semakin kuat, sedangkan kita terus kehilangan orang, kehidupan kita akan hancur."

Violina mengepalkan tangan erat di balik jubahnya, matanya menyala-nyala dengan kemarahan yang tertahan.

"Kejam. Mereka pikir, bangsa kita hanya sekadar bahan baku!"

Serena menoleh, ekspresinya dingin namun penuh tekanan. "Mau bagaimana lagi," katanya, nadanya tajam. "Hanya dari tubuh kita senjata sihir bisa dibuat. Senjata yang mampu melawan monster yang dikirim dari Permainan Dewa. Mereka tahu itu."

Sejenak percakapan mereka terputus ketika suasana di sekitar berubah. Gang yang tadi lengang kini mulai dipadati manusia petualang. Langkah mereka berhenti, mata mengamati dengan cermat.

Para petualang mudah dikenali: armor besi yang memantulkan cahaya remang lampu, pedang besar yang terlihat kokoh di punggung mereka, belati tajam terselip di pinggang, hingga tongkat sihir dengan ujung bercahaya.

Beberapa membawa buku tebal dengan sampul berhiaskan rune, seolah siap melafalkan mantra kapan saja.

"Kenapa banyak petualang manusia di sini?" Serena berbisik hampir tak terdengar.

Violina menatap ke arah ujung gang yang semakin ramai. "Sepertinya mereka menuju ke sana. Entah apa yang ada di ujung itu."

Tatapan Serena mengeras, kedua alisnya bertaut, menunjukkan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan.

"Aku yakin tujuan kita ada di sana. Bangsa monster yang ditawan akan muncul di sana. Mereka pasti akan dilelang, dan para Serikat Guild manusia akan berlomba membeli mereka."

Keduanya saling bertukar pandang, tak perlu berkata lebih.

Serena dan Violina mengangguk bersamaan, menyepakati langkah berikutnya. Mereka segera mempercepat langkah, bergerak melawan arus para petualang manusia yang mengarah ke ujung gang.

Namun, dalam upaya itu, tudung jubah mereka sedikit tersibak, memperlihatkan rambut panjang mereka. Rambut putih Serena memantulkan cahaya lampu kuning, sementara rambut coklat halus Violina tampak lembut berkilau.

Ketika mereka bergegas, melewati dua petualang bertudung yang tampak berbisik, sebuah tangan tiba-tiba meraih lengan Violina. Langkahnya terhenti, tubuhnya berputar, dan ia menatap tajam ke arah pemegang tangannya.

"Siapa kau?" tegur Violina tegas, matanya menyipit penuh curiga.

Pria bertudung itu perlahan menarik tudungnya ke belakang, memperlihatkan wajah yang sebagian tertutup bayangan lampu remang.

"Serena, Violina. Tunggu!" serunya dengan nada mendesak.

Violina menghentikan langkahnya, matanya melebar karena terkejut. Serena, di sisi lain, memutar tubuh dengan cepat, sikapnya tegang dan siap menghadapi apapun.

"Aku juga di sini," ujar sebuah suara lembut namun tegas dari wanita yang berdiri di sebelah pria itu.

Wanita itu menurunkan tudungnya, menampilkan rambut hitam bergelombang yang jatuh di bahunya. Senyum tipis menghiasi wajah manisnya.

Violina, yang awalnya terkejut, tiba-tiba tersenyum lebar, begitu lebar hingga sudut bibirnya terasa tertarik.

"Asra, Hars! Kenapa kalian di sini? Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya penuh antusias.

Serena, yang biasanya lebih pendiam dan waspada, akhirnya melangkah maju menghampiri mereka. Wajahnya yang tegang mulai melunak, menunjukkan rasa lega dan senang yang sama.

"Asra dan Hars. Apa kabar?!" sapanya, meski nada suaranya masih sedikit terkendali.

Hars, pria yang tadinya memanggil mereka, hanya mengangkat ibu jarinya sambil tersenyum kecil, tanda bahwa ia baik-baik saja.

Di sisi lain, Asra, wanita berambut hitam itu, melambaikan tangan kanan dengan santai. Senyumnya yang cerah dan penuh percaya diri membuat suasana sedikit lebih hangat.

"Kami baik-baik saja," jawab Asra, pandangannya tak lepas dari dua gadis di depannya. Matanya seolah mencoba membaca apa yang telah mereka lalui.

Hars, yang berdiri di sebelahnya, melirik ke sekitar dengan waspada. Setelah memastikan tak ada orang yang terlalu dekat, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Violina.

"Kami juga ditugaskan untuk menyelamatkan tawanan monster yang dibawa di pasar ini," bisiknya.

Violina melirik Serena sejenak sebelum bertanya, "Kau juga disuruh oleh Nona Ra dan Pak Snade, kah?"

Serena bahkan memiringkan kepalanya, penasaran dengan jawaban mereka.

Tatapan Hars dan Asra berubah bingung. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Hars menjawab, "Nona Ra, iya. Tapi kalau Pak Guru Snade, tidak. Kami datang dengan Pak Arltez."

Violina mengangkat alis, lalu berbisik, "Pak Guru Minotaur itu?"

Hars mengangguk singkat, lalu mundur kembali, membiarkan percakapan itu menggantung.

Asra, yang tampaknya lebih sadar pada situasi sekitar, melirik sekeliling dengan gelisah. Orang-orang yang melewati mereka mulai melirik dengan curiga karena keempatnya berdiri diam di tengah jalan.

Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Kita sambil jalan saja. Berdiri di sini terlalu mencolok. Banyak orang menuju ke depan, jadi kita ikut saja."

Serena, Violina, dan Hars mengangguk, setuju dengan usulan itu. Mereka melanjutkan langkah menuju ujung gang, mengikuti arus manusia yang terus mengalir ke arah yang sama.

Semakin mereka melangkah, suasana menjadi lebih ramai.

Para pedagang di pinggir jalan sibuk melayani pembeli. Ada yang menawarkan senjata berkilauan, kain dengan warna mencolok, hingga makanan yang aromanya menggugah selera. Beberapa petualang terlihat bercakap-cakap di meja-meja kedai yang berbaris rapi, sementara pelayan sibuk membawa hidangan.

Ketika mereka akhirnya keluar dari gang, pemandangan luas terbuka di depan mereka. Sebuah halaman melingkar dengan meja dan kursi yang berjajar memenuhi area. Empat gang kecil lainnya terhubung ke tempat ini, seolah-olah ini adalah pusat pertemuan para petualang.

Asra menghentikan langkahnya, menatap sekeliling dengan ekspresi datar. "Kita sampai di ujung gang ini. Ternyata hanya halaman luas saja, tempat para petualang manusia nongkrong," ujarnya dengan nada kecewa.

Serena melirik sekeliling. Matanya menyisir tempat itu, mencari sesuatu yang mencurigakan.

Setelah beberapa saat, ia bergumam, "Di mana tawanan monsternya? Apa benar mereka ada di sini?" Nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekecewaan.

Violina memutar badan, mencoba mencari tanda-tanda apapun yang sesuai dengan misi mereka. Tapi semuanya tampak normal—terlalu normal. Petualang tertawa, pelayan berlalu-lalang, dan aroma makanan memenuhi udara. Tidak ada yang terlihat seperti pasar gelap atau tempat penahanan.

Hars menatap sekeliling dengan raut serius. Suaranya rendah saat berbicara, seolah tak ingin menarik perhatian.

"Tunggu saja. Siapa tahu, Pak Snade dan Pak Altrez akan menghubungi kita nantinya. Apa yang harus kita lakukan." Tatapannya beralih ke Serena dan Violina, penuh rasa ingin tahu. "Kalian bawa ponsel, kan? Untuk komunikasi dengan Pak Guru Snade?"

Violina melirik Serena dengan alis sedikit terangkat, bertanya dalam diam.

Serena, memahami maksud tatapan itu, merogoh saku rok hitamnya dan mengeluarkan sebuah ponsel kecil dengan layar yang memantulkan cahaya remang dari lampu jalan.

"Bawa, kok," jawab Serena singkat. "Pak Snade memang menyuruh kami membawa salah satu ponsel untuk berjaga-jaga."

Hars mengangguk. "Kami juga begitu. Pak Guru Altrez bilang ponsel ini penting untuk berkomunikasi ketika saatnya tiba. Tapi tetap saja, tak ada kabar sampai sekarang."

Violina mengerutkan dahi, rasa penasaran menggelitik pikirannya. "Eh, Hars, Asra," katanya tiba-tiba. "Apa hanya kita saja yang ditugaskan oleh Serikat Guild untuk membebaskan tawanan di pasar ini?"

Asra mengangkat bahu santai. "Aku tidak tahu. Serikat Guild kadang suka merahasiakan strategi mereka."

Hars hanya menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia juga tak punya jawaban.

Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, ponsel di tangan Serena bergetar. Bunyi dering pendek menggema di antara keramaian, cukup untuk membuat mereka semua menoleh ke arahnya.

Serena menatap layar dengan cepat, rasa gugup bercampur penasaran menguasai dirinya.

"Ada pesan dari Pak Snade," ucapnya.

Violina langsung mendekat, matanya penuh semangat. "Pesan apa itu, Serena?"

Serena membaca pesan itu dengan saksama. Ekspresinya berubah drastis, dari fokus menjadi terkejut. Matanya membelalak saat ia menyerap informasi yang baru saja diterimanya.

"Pak Guru Snade sedang bersama Pak Guru Altrez," Serena mulai menjelaskan, suaranya sedikit bergetar karena emosi. "Mereka sedang bersiap untuk melancarkan penyerangan ke pusat keramaian di sini. Itu semua dilakukan untuk mengalihkan perhatian para petualang manusia."

Violina menatap Serena dengan mata lebar, sementara Hars menyipitkan matanya, mencerna informasi itu.

"Penyerangan?" Violina mengulang kata itu dengan nada antara kagum dan cemas. Matanya melirik sekeliling, menatap kerumunan petualang manusia yang lalu lalang dengan perlengkapan mereka. "Tempat ini ramai sekali dengan petualang manusia. Ngomong-ngomong, pembicaraan kita ini aman, kan?"

Asra, yang sebelumnya diam, akhirnya membuka suara. Nadanya tenang dan meyakinkan. "Kalau Pak Snade dan Pak Altrez sudah memutuskan itu, mereka pasti sudah memikirkan semuanya dengan matang. Kita hanya perlu fokus pada tugas utama—menyelamatkan tawanan."

Belum sempat Violina menjawab, ponsel Asra tiba-tiba bergetar. Dia mengeluarkannya, membaca pesan dengan cepat, lalu menghela napas pendek.

"Maaf, Serena, Violina," ujar Asra, suaranya terdengar penuh penyesalan. "Kami harus pergi dulu. Ada tugas mendesak. Pak Altrez memerintahkan kami menyusul Pak Orong di stasiun sebelum penyerangan dimulai. Kami harus memastikan beliau bersama kita."

"Maaf, Serena, Violina," ujar Asra dengan nada menyesal, matanya menatap kedua gadis di depannya. "Kami harus pergi dulu. Ada tugas mendesak. Pak Altrez memerintahkan kami untuk menyusul Pak Orong di stasiun sebelum penyerangan dimulai. Beliau harus dipastikan bersama kita."

Serena mengernyit, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. "Pak Orong? Bukankah dia guru perakitan senjata sihir? Apa dia juga punya tugas yang sama seperti kita?"

Hars menghela napas singkat sebelum menjawab. "Entahlah. Aku juga bingung kenapa Pak Altrez ingin membawa beliau. Mungkin ada sesuatu yang kita tidak tahu."

Serena dan Violina saling memandang. Meski ragu, mereka akhirnya tersenyum. Serena melambaikan tangan dengan santai. "Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau ada perkembangan."

Violina menambahkan dengan ceria, "Semoga sukses, ya! Kami akan lanjut ke tugas kami sendiri."

Asra tersenyum tipis, sedangkan Hars mengangguk singkat sebelum mereka berdua menyelinap di antara kerumunan, menghilang seperti bayangan.

Kini tinggal Serena dan Violina di tempat itu. Keduanya berdiri sejenak, menatap keramaian yang makin padat.

Halaman luas berbentuk lingkaran itu dipenuhi petualang manusia. Lampu-lampu kecil bergantung di sepanjang kedai, menambah suasana malam yang hangat meski penuh dengan kesibukan.

Serena merapikan tudung jubahnya yang sedikit melorot, memastikan tak ada sehelai rambut putihnya yang terlihat. Violina, dengan kebiasaannya, mengikuti langkah Serena, mengamati setiap detail kecil.

"Sekarang, apa yang harus kita lakukan di tempat seramai ini?" bisik Serena, matanya menyapu pemandangan.

Violina mengangkat bahu sebelum menjawab. "Kita lihat-lihat saja dulu. Siapa tahu kita menemukan petunjuk."

Serena mengangguk, tetapi perhatiannya segera tertuju pada seorang pelayan yang melintas dengan nampan penuh makanan. Aroma rempah yang menggoda memenuhi udara, menggelitik perutnya.

"Coba lihat itu," gumam Serena sambil menggerakkan dagunya, menunjuk pelayan tersebut. "Kalau kita bisa mencicipi masakan mereka, pasti rasanya luar biasa. Bahkan aromanya saja sudah menggoda."

Violina tertawa kecil, tetapi wajahnya berubah masam. "Serena, kau tahu makanan mereka itu tidak cocok untuk kita. Rasanya seperti pasir. Aku tidak ingin merasakan itu lagi."

Serena dan Violina melanjutkan langkah mereka dengan hati-hati.

Di balik tudung mereka, mata keduanya waspada, memperhatikan setiap detail. Kerumunan petualang manusia di halaman ini tampak sibuk, tapi Serena tahu betul—banyak di antara mereka adalah pemburu yang tak segan membunuh bangsa monster seperti dirinya.

Di tengah keramaian, tiba-tiba suara lonceng besar menggema dari arah utara halaman.

Suara itu tegas, tajam, memecah kebisingan yang ada. Serena dan Violina menghentikan langkah, mengikuti tatapan orang-orang yang serempak melihat ke arah lonceng besar yang bergantung di atas bangunan megah.

Keramaian berubah. Para petualang manusia mulai mengemasi barang-barang mereka. Kursi dan meja yang memenuhi tengah halaman dipindahkan dengan sigap, disusun rapi hingga membentuk tumpukan yang menjulang. Suasana mendadak serius.

"Serena," bisik Violina, suaranya hampir tertelan oleh kegaduhan. "Sepertinya ada sesuatu yang besar akan terjadi."

Serena mengangguk kecil. "Aku juga merasakannya. Tetap tenang dan perhatikan sekitar."

Dari arah gang di sisi kanan halaman, suara mesin mulai terdengar.

Rombongan truk besar perlahan muncul, diiringi petualang manusia bersenjata lengkap yang berjalan di sisi masing-masing kendaraan. Delapan truk berhenti di tengah halaman, setiap ban besarnya menginjak batu jalan yang berdebu.

Setelah semua truk terparkir, satu mobil klasik merah tanpa atap masuk ke halaman dengan angkuh.

Di dalamnya, duduk empat orang dengan penampilan mencolok. Pakaian mereka mewah—jas hitam rapi, dan aksesori berkilauan seperti tongkat emas, pedang katana, serta cincin-cincin besar di setiap jemari.

Ketika mobil berhenti, pria bertongkat emas turun lebih dulu.

Dengan gerakan santai namun penuh kesombongan, dia menoleh ke salah satu rekannya dan mengambil topi kulit bertepi lebar.

Dia memakainya dengan gaya sebelum menerima megafon kecil dari salah seorang petualang.

Pria itu berjalan ke depan kerumunan dengan langkah penuh percaya diri, tongkatnya mengetuk-ngetuk tanah berbatu di bawahnya. Suaranya kemudian terdengar lantang, menggelegar di seluruh halaman melalui megafon:

"Silakan mendekat, para pembeli setia!" ujarnya sambil membuka kedua tangannya seperti seorang pedagang ulung. "Kami, dari Serikat Petualang Pusat, telah membawa koleksi barang sihir terbaru untuk Anda semua! Jangan lewatkan kesempatan emas ini!"

Kerumunan manusia semakin riuh saat delapan truk besar itu mulai menurunkan kargonya.

Petualang yang menjaga truk bekerja dengan cekatan, mengeluarkan peti-peti kayu berornamen, menatanya di atas meja panjang yang dihiasi ukiran sihir yang memancarkan cahaya samar.

Di satu sisi, beberapa meja lain sudah diatur untuk barang-barang yang akan dijual secara terbuka, lengkap dengan petugas kasir. Sementara itu, barang-barang yang tampak lebih istimewa ditempatkan di meja lelang yang dikelilingi oleh beberapa petualang penjaga.

"Lihat itu," bisik Serena sambil memperhatikan salah satu barang yang dipajang—sebuah pedang panjang dengan bilah berwarna biru kehijauan, dan beberapa benda lainnya. "Barang-barang ini benar-benar luar biasa, bahkan aku bisa merasakan auranya dari sini."

Violina menelan ludah, berusaha menahan perasaan cemas yang mulai merayap. "Barang-barang itu pasti dibuat dari bangsa kita," gumamnya lirih, nada suaranya dipenuhi rasa pilu.

Serena menoleh ke arahnya, mata berkilat tajam di balik tudungnya. "Itu sebabnya kita ada di sini. Fokus, Violina."

Kerumunan tiba-tiba bergerak, membuka jalan bagi beberapa kelompok yang baru tiba.

Dari empat arah berbeda, muncul empat kelompok beranggotakan lima orang, semuanya dengan penampilan yang mencolok.

Mereka berjalan dengan percaya diri, pakaian mewah yang mereka kenakan dihiasi simbol-simbol sihir, sementara senjata yang mereka bawa tampak seperti karya seni berharga tinggi—pedang, tombak, bahkan busur yang berkilauan oleh batu permata.

Violina memperhatikan mereka dengan seksama. "Serena, mereka siapa? Kenapa semua orang memberi jalan untuk mereka?"

Serena menggelengkan kepala, mengamati dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku tidak tahu. Tapi mereka jelas bukan orang sembarangan."

Pria bertongkat emas itu melangkah maju, wajahnya berseri-seri seperti tuan rumah yang menyambut tamu kehormatan. Dia menundukkan sedikit kepalanya dengan sopan, tetapi sikapnya tetap menunjukkan superioritas.

"Selamat datang, Tuan Altair, Nona Frinsen, Tuan Razen, dan Tuan Sirian," ucapnya, menyebut nama-nama mereka satu per satu dengan nada yang penuh penghormatan.

Keempat pemimpin kelompok itu berjalan maju, berdiri sejajar di depan meja lelang utama.

Tuan Altair, seorang pria tinggi dengan rambut pirang panjang yang diikat rapi, melirik barang-barang di meja dengan ekspresi santai namun tajam.

Nona Frinsen, seorang wanita bertubuh ramping dengan mata hitam tajam, menyisir rambut hitam panjangnya sembari tersenyum sinis.

Tuan Razen, seorang pria kekar dengan armor berlapis perak, tampak tak sabar, jarinya mengetuk gagang pedang raksasa di punggungnya.

Dan terakhir, Tuan Sirian, pria muda dengan mantel panjang berwarna kelabu. Kedua telapak tangannya memakai sarung tangan hitam tipis.

"Seperti biasa, kau tahu cara membuat kami terkesan, El," ujar Pak Altair, pemimpin kelompok pertama, dengan suara yang dalam dan dingin.

Pria bertongkat emas yang ternyata bernama El hanya tersenyum bangga.

"Tentu saja, Tuan Altair. Barang-barang terbaik selalu tersedia untuk pelanggan terbaik."

"El. Kau pasti sudah tahu, apa yang kami butuhkan." Ujar Nona Frinsen.

Kerumunan di halaman besar itu kembali sunyi, semua mata tertuju pada pria bertongkat emas bernama El dan keempat tamu istimewa yang berdiri di depan meja lelang.

El, yang tampak menikmati perhatian, melangkah maju dengan percaya diri. Tongkat emasnya mengetuk lantai batu, menghasilkan suara yang menggema, mempertegas keberadaannya.

"Tentu saja, Nona Frinsen," jawab El dengan nada licik, mengangguk sopan kepada wanita berambut biru itu. "Barang yang kalian cari sudah kami siapkan, untuk empat tamu terhormat saya ini."

Sementara itu, Tuan Altair menatap El dengan pandangan tajam. "Katakan, apa saja yang kalian bawa? Kami sudah menempuh perjalanan jauh hanya untuk ini."

El tersenyum, mengangguk paham. Dia langsung melirik ke arah tiga orang yang tadi bersamanya di mobil. Tiga orang itu mengangguk dan menelpon ke seseorang.

Pria bertongkat emas itu melangkah dengan percaya diri ke tengah perhatian, senyumnya bertambah lebar mendengar pernyataan Nona Frinsen. Tongkatnya mengetuk-ngetuk lantai batu dengan suara yang sengaja dibuat dramatis.

Kerumunan petualang manusia yang tadinya sibuk berbincang mendadak senyap, mata mereka terpaku pada barisan bangsa monster yang diseret keluar dari truk-truk besar.

Rantai dan tali berukir rune yang mengikat mereka berkilau redup, memancarkan energi sihir yang kuat, memastikan para tawanan itu tidak bisa menggunakan kekuatan mereka.

Serena mengepalkan tangannya, matanya tak bisa berpaling dari wajah-wajah lelah dan putus asa para tawanan.

Beberapa dari mereka berjalan tertatih-tatih, tubuh mereka penuh luka. Seorang anak kecil dari ras rubah menangis pelan, telinga dan ekornya lunglai, namun tak ada satu pun dari petualang yang peduli.

Violina, yang berdiri di samping Serena, tak kuasa menahan amarahnya. Ia berbisik dengan nada tajam, "Serena, mereka membutuhkan kita."

Serena menelan ludah, pikirannya berpacu. "Aku tahu, tapi kita tidak bisa gegabah. Mereka punya terlalu banyak penjaga di sini. Jika kita bertindak sekarang, kita semua akan tertangkap."

El, di sisi lain, tampak menikmati perhatian yang ia dapatkan. Ia melangkah maju, mengangkat tongkat emasnya tinggi-tinggi.

"Lihatlah, teman-teman sekalian! Tangkapan terbaik kami! Dari ras kucing yang lincah hingga bangsa rubah yang cerdas, bahkan ras elf yang terkenal dengan sihir mereka. Semua siap untuk dijual kepada penawar tertinggi!"

Para petualang manusia mulai bergerak, mengelilingi para tawanan seperti pembeli di pasar. Beberapa dari mereka tertawa melihat bangsa monster yang tampak kesakitan.

Tuan Raizen menatap El, setelah dia menatap bangsa monster yang dijualnya. Hatinya sudah memilih, apa yang akan dia beli. "Aku beli yang bangsa monster yang dewasa saja." Tuan Razen lalu menatap ke arah tiga orang lainnya yang ada di sampingnya: Nona Frinsen, Tuan Altair dan Tuan Sirian. "Saya harap kalian tidak keberatan soal itu."

Tuan Sirian memberikan senyumannya, disertai anggukan. "Terserah anda saja, tuan Razen. Saya akan membeli yang kecil saja."

Nona Frinsen ikutan menjawab. "Kalo begitu. Aku ambil bangsa monster yang memiliki kekuatan sihir paling banyak."

Tuan Altair ikutan menyela, wajah cemberutnya sekilas terlihat. "Tolong sisakan untukku. Kalo tidak, aku akan membuat acara ini menjadi acara lelang saja. Siapa yang paling kaya yang akan mendapatkannya."

El tersenyum, senang mendengar diskusi dari empat pembeli eksekutifnya. "Baiklah. Silahkan kalian pilih dulu bangsa monster mana yang akan kalian bawa. Lalu, semuanya!" Teriak El kepada semua orang. "Silahkan membeli barang yang tersedia! Akan kami kasih bonus untuk orang yang membeli banyak."

Serena dan Violina yang sedang gelisah, membayangkan hal apa saja yang akan terjadi oleh bangsa monster itu. Tiba - tiba ponselnya berdering. Saat Serena membuka pesannya yang diikuti oleh Violina yang melihatnya.

Pesan dari nomer anonim itu berbicara: persiapkan diri kalian. Jangan lupakan, apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Bekerja samalah dengan Hars, Asra dan Pak Orong untuk keberhasilan tugas ini.

Kerumunan yang tadinya hiruk-pikuk mendadak berubah menjadi kekacauan.

Para petualang manusia yang sebelumnya sibuk memilih barang yang akan mereka beli, kini panik melihat slime raksasa biru yang muncul dari lubang selokan. Mata merah menyala pada tubuhnya.

"Slime seperti itu, tidak mungkin ada di sini!" seru salah seorang petualang sambil mundur. Namun, tak ada waktu untuk berpikir.

Slime itu mengangkat tangannya yang besar dan menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa, menciptakan gelombang kejut yang melemparkan banyak orang ke udara.

"Serena, kau lihat itu?" bisik Violina, matanya tertuju pada slime. "Itu Pak Snade."

Serena mengangguk, wajahnya serius. "Mari lakukan tugas kita."

Sementara itu, di tengah kerumunan, Tuan Razen berdiri tegap, matanya menyipit memandang slime yang mengamuk. "Kenapa ada monster sebesar itu disini?" tanyanya dengan suara keras, pedangnya yang besar kini berada di genggamannya.

Nona Frinsen melangkah ke depan dengan santai, pedang tipisnya bersinar dengan sihir air. "Apapun itu, kita hanya perlu menghabisinya. Tak ada waktu untuk bertanya-tanya."

Dia mengayunkan pedangnya dengan anggun, menciptakan lingkaran sihir yang memanggil torpedo air berkecepatan tinggi.

Torpedo itu meluncur deras, menghantam tubuh slime hingga terpental. Namun, slime itu dengan cepat bangkit kembali, tubuhnya menyerap energi dari serangan tersebut.

"Serangan sihir biasa tidak akan berpengaruh!" seru seorang petualang dari belakang.

Sebelum orang-orang bisa merespons, sebuah geraman menggelegar dari arah lain.

Dari celah kerumunan, muncul monster berbentuk banteng besar dengan tubuh yang dilapisi pelat baja. Di tangannya, ia membawa palu raksasa. Monster itu mengaum, lalu menghantamkan palunya ke tanah, membuat banyak orang terpental.

Di tengah kekacauan, El berteriak, "Jangan biarkan monster ini mengacaukan acara kita! Para petualang, tunjukkan kemampuan kalian!"

Kekacauan di tengah lapangan semakin memuncak.

Para petualang manusia yang tadinya berusaha menjaga tawanannya kini kewalahan menghadapi serangan monster dan gangguan slime biru raksasa.

Teriakan El yang memerintahkan mereka untuk bertahan nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk.

Serena dan Violina bergerak lincah di antara kerumunan.

Mata mereka fokus pada para tawanan yang tengah digiring kembali ke truk dengan perlakuan kasar. Setiap pukulan dan tendangan yang mendarat pada tubuh bangsa monster membuat darah mereka mendidih.

"Violina," ujar Serena tegas sambil mengencangkan pegangan pada belatinya. "Aku akan bebaskan tawanannya. Sisanya, serahkan padamu."

Senyum tajam muncul di wajah Violina. "Diterima."

Salah satu penjaga tawanan yang menyadari kehadiran mereka langsung berteriak, "Hei! Siapa kalian?!" Teriakannya membuat penjaga lainnya langsung bersiaga.

Serena hanya menatap dingin, sementara Violina menutup matanya, menarik napas dalam-dalam.

Ketika dia membuka matanya kembali, wujudnya berubah. Telinga serigala muncul di atas kepalanya, ekor berbulu cokelat panjang menjuntai di belakangnya. Aura ganas memancar dari tubuhnya.

"Monster?!" teriak salah satu penjaga, tetapi kata-katanya tak sempat selesai.

Dengan kecepatan luar biasa, Violina menerjang mereka. Cakar tajam dan taringnya mencabik-cabik delapan penjaga tawanan dalam sekejap, membuat mereka tergeletak tak bernyawa di tanah berbatu, tubuh mereka berlumuran darah.

Sementara Violina menghabisi penjaga, Serena mendekati para tawanan yang kini berdiri gemetar, menatapnya penuh kebingungan. "Kalian! Cepat ikut kami kalau ingin selamat," ujar Serena, matanya serius tapi penuh keyakinan.

Salah satu bangsa monster pria, tubuhnya penuh luka dan wajahnya pucat, berbisik gemetar, "Siapa kalian? Apa tujuan kalian?"

Violina, yang kini kembali berdiri di samping Serena, menggerakkan telinga serigalanya dan melirik tajam ke arah pria itu.

"Kami teman kalian, paman. Kalau kalian ingin bebas, ikutlah dengan kami sekarang. Kami tak punya waktu."

Mereka semua saling pandang, ragu. Tapi tatapan Serena yang tegas dan Violina yang kini menjelma serigala buas membuat mereka akhirnya mengangguk. "Baiklah, kami akan ikut," jawab salah satu dari mereka. Beberapa bahkan kembali ke dalam truk untuk memanggil teman-temannya yang masih bersembunyi.

Di saat yang sama, suara teriakan nyaring memanggil nama mereka membuat Serena dan Violina mendongak. Di atas langit, Hars, dalam wujud monster harpy, meluncur turun sambil membawa Asra dan Pak Orong di kakinya.

"Serena! Violina!" teriak Asra sambil melambaikan tangannya.

Ketika mereka mendarat, Pak Orong, sosok kecil berkulit hijau dengan hidung melengkung ke bawah dan telinga sedikit runcing, langsung melirik para tawanan. Matanya menyipit tajam, memeriksa kondisi mereka.

"Violina, nak. Apa aku tidak pantas mendapatkan sapaan darimu?" tanya Pak Orong dengan nada pura-pura kesal.

Violina tersenyum canggung sambil membungkuk sedikit. "Maaf, Pak. Fokusku tadi pada tugas."

Pak Orong menatap para tawanan dengan penuh keyakinan. Sambil menggenggam tongkat sihirnya—sebuah kayu tua dengan batu sihir berbentuk lingkaran di ujungnya—dia menghentakkannya ke tanah berbatu.

Sebuah kilatan listrik berwarna biru menyambar dari batu sihir tersebut, menghancurkan rantai dan tali yang dipenuhi rune sihir yang selama ini membelenggu bangsa monster.

"Kalian bebas sekarang," ujar Pak Orong dengan suara tegas.

Asra, yang berdiri di sampingnya, maju dengan langkah mantap. Dia memejamkan mata, tangannya dirapatkan seperti orang berdoa.

Dalam sekejap, sepasang tanduk bercabang seperti rusa muncul di kepalanya. Cahaya hijau lembut memancar dari tubuhnya, menyelimuti para tawanan. Luka-luka di tubuh bangsa monster perlahan menghilang, rasa sakit yang mereka alami selama ini mulai sirna.

"Kita tidak punya waktu. Semua sudah siap," ujar Asra dengan nada mendesak sambil mengangguk kepada Serena.

Hars, yang kini terbang di udara dengan sayap harpy-nya yang lebar, memberi isyarat. "Ikuti aku! Ke arah barat!" teriaknya.

Serena dan Violina segera mengarahkan para tawanan untuk bergerak.

Asra berubah menjadi setengah rusa, tubuh bagian bawahnya berbentuk rusa, lengkap dengan kaki kuat dan ekor kecil. Dia mengangkat dua anak kecil bangsa monster ke punggungnya sebelum berlari dengan lincah.

"Ayo cepat!" seru Serena sambil membantu seorang wanita bangsa elf yang kesusahan untuk berlari.

Namun langkah mereka terhenti ketika seorang pria berambut pirang muncul dari balik kerumunan. Tuan Altair berdiri tegak, tongkat sihirnya sudah terangkat. Di belakangnya, empat pengawalnya telah bersiap, membawa senjata sihir jarak dekat dan jauh. Tatapan mereka penuh ancaman.

"Kalian pikir bisa kabur begitu saja?" ujar Tuan Altair dengan suara dingin. "Barangku tidak akan pergi ke mana pun."

Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara gemuruh dari langit menggelegar. Monster banteng raksasa yang tadi mengacaukan lapangan kini melompat turun, menghantam tanah dengan palu besarnya. Debu beterbangan, memisahkan Tuan Altair dari pengawalnya.

"Kalian urus pelarian mereka! Aku akan menghadapi orang-orang ini!" teriak monster banteng itu, matanya berkilat penuh amarah.

Tuan Altair tersenyum sinis. "Seekor monster? Kau pikir bisa melawanku?"

Monster banteng itu tidak menjawab, hanya mengayunkan palu besarnya sekali lagi, memaksa Tuan Altair dan pengawalnya berpencar.

"Pergi! Ini kesempatan kalian!" seru monster banteng itu, menoleh sekilas kepada Serena dan yang lainnya.

Serena, Violina, dan kelompok mereka memanfaatkan kekacauan untuk melarikan diri.

"Terima kasih, Pak Altrez!" teriak Serena sambil memimpin para tawanan menuju gang barat.

Pak Orong berhenti sejenak, menoleh ke arah Altrez yang masih bertarung melawan para petualang manusia. "Hati-hati, Altrez! Baliklah dengan selamat dan pastikan Snade juga!" katanya dengan suara lantang, matanya menunjukkan kekhawatiran sekaligus rasa percaya.

Mereka menerobos pasar yang penuh sesak. Barang dagangan berhamburan, tenda-tenda roboh, dan orang-orang berteriak panik. Hars dan Violina bertindak sigap, melumpuhkan siapa saja yang mencoba menghentikan mereka.

Seorang petualang manusia menyerang dari samping, tapi Hars menukik tajam dari udara dan menendangnya hingga terlempar.

Violina, dalam wujud serigalanya, menyerang penjaga lainnya, mencabik senjatanya sebelum melumpuhkannya dengan satu pukulan.

Di tengah kekacauan, Serena merasakan ada sesuatu yang mendekat dengan kecepatan tinggi dari belakang. Kibasan angin yang ditimbulkan begitu kuat hingga menerbangkan sekitarnya.

"Violina!" serunya sambil berlari ke samping Violina. "Kalian pergi dulu ke stasiun. Aku akan menyusul nanti."

Violina menoleh dengan wajah bingung. "Ada apa, Serena?"

"Ada seseorang yang mengejar kita. Aku akan mengurusnya," jawab Serena tegas sebelum berhenti dan berbalik arah.

Serena menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, dan tubuhnya mulai berubah.

Ekor naga berwarna biru muncul dari balik roknya, diikuti oleh sepasang tanduk biru yang tumbuh dari kepalanya.

Dalam wujud setengah naga, Serena mengepalkan tangan kanannya dan bersiap menghadapi ancaman yang datang.

Dari kejauhan, seorang pria berlari ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Serena menghantamnya dengan tinju, tapi pria itu dengan cekatan memukul balik. Benturan mereka menciptakan gelombang angin yang memporak-porandakan barang-barang di sekitar.

"Kau monster naga?" tanya pria itu dengan nada kagum. "Siapa namamu? Dan apa yang kau cari di sini?"

Serena mengenali pria itu—Sirius, salah satu pembeli bangsa monster sebelumnya. Wajahnya masih muda, namun ada sorot mata tajam penuh pengalaman.

"Berisik!" bentak Serena. "Aku datang ke sini untuk membebaskan teman-temanku! Kalian, bangsa manusia, membunuh kami dan menjadikan kami alat!"

Sirius terdiam, matanya menatap Serena dengan penuh perhatian. Perlahan, dia tersenyum, lalu meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya, sikapnya terlihat santai.

"Baiklah," katanya, mengejutkan Serena. "Silakan pergi. Kalau itu tujuanmu, aku tidak akan menghentikanmu."

Mata Serena melebar, tak percaya. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak peduli dengan urusan mereka," ujar Sirius sambil tersenyum tipis. "Pergilah. Aku hanya ingin melihat apa yang akan kau lakukan."

Serena menatapnya curiga, tapi dia tidak merasakan niat jahat dari pria itu. Dia perlahan melangkah mundur, tak melepas pandangannya dari Sirius.

"Terima kasih," ucapnya pendek sebelum berbalik dan berlari menuju kelompoknya.

Sirius memandangnya pergi, senyumnya tak pudar. "Semoga kita bertemu lagi, cantik." gumamnya pelan, lalu berjalan menjauh, menghilang di tengah hiruk-pikuk pasar.

Terpopuler

Comments

Tanata✨

Tanata✨

Cukup banyak ya tokoh-tokoh yang di sebutkan di awal.

2025-04-11

0

Tanata✨

Tanata✨

Penggambaran suasana yang bagus

2025-04-11

0

Kak Dsh 14

Kak Dsh 14

Yuhuuuu
aku mampir🥳

2024-07-05

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!