Pak Agran mengangguk perlahan, wajahnya memperlihatkan kelelahan yang mendalam. Ia berdiri dengan perlahan, memandang Monte dan Simpe sebelum beralih ke dua gadis monster yang berdiri agak jauh di belakang.
"Siapa nama kalian?" tanyanya, suaranya tenang namun tegas, mengisi kesunyian malam di hutan itu.
Pak Agran adalah sosok tua dengan aura kewibawaan yang tak bisa diabaikan.
Meski usianya tampak jelas dari rambutnya yang mulai memutih, sorot matanya tetap tajam. Ia mengenakan kemeja putih rapi dan celana panjang hitam, sederhana namun bersih, mencerminkan kepribadiannya yang disiplin.
Monte segera melangkah maju, memberi hormat. "Saya Monte, Pak. Salah satu petualang yang Bapak tugaskan untuk mencari informasi," ujarnya dengan nada penuh hormat.
Simpe, yang berada di sampingnya, mengangguk dengan tenang.
Perlahan, ia kembali ke wujud asalnya, setelah menyatukan kedua telapak tangannya. Bulu coklat mulai menyelimuti tubuhnya, ekor monyetnya menjulur ke bawah menandai perubahan menjadi bangsa monster monyet.
"Saya Simpe, Pak," katanya dengan nada rendah, suaranya penuh rasa hormat.
Pak Agran mengangguk paham, matanya kini mengamati mereka dengan seksama. Lalu, pandangannya beralih ke Serena dan Violina yang masih berdiri dengan canggung di belakang.
"Kalian, maju sini. Siapa nama kalian?" ujarnya, mengisyaratkan agar mereka mendekat.
Serena dan Violina saling berpandangan sejenak sebelum melangkah maju. Serena menundukkan kepala, tangannya memegang ujung roknya dengan anggun. Sementara itu, Violina menunduk dengan tangan disilangkan di dada, menunjukkan rasa hormatnya.
"Nama saya Serena, Pak. Petualang dari serikat Hiddenama," ucap Serena dengan suara lembut.
"Saya Violina, Pak. Saya juga dari serikat Hiddenama, sama seperti Serena," tambah Violina dengan senyuman kecil.
Pak Agran mengangguk pelan. "Kalian anak buahnya Nona Ra, bukan? Wanita setengah ular itu."
Serena mengangguk sekali. "Iya, Pak. Nona Ra adalah penanggung jawab Serikat Guild Hiddenama. Beliaulah yang memberikan kami misi ini, sebelum kami kehilangan jalan pulang."
Pak Agran mengeryitkan dahi, kulit di dahinya terlipat. "Kenapa kalian tidak bisa kembali? Bukankah setiap warga kota monster sudah memiliki cara untuk kembali ke kotanya?"
Violina yang menjawab kali ini. "Alat yang kami gunakan untuk kembali ke kota Hiddenama dirampas oleh petualang manusia saat kami dalam perjalanan pulang."
Pak Agran terdiam sejenak, jemarinya menyentuh bibirnya, seperti sedang memikirkan sesuatu. "Serena dan Violina, kalian sebaiknya segera memberitahu Nona Ra untuk menjaga portal masuk ke kota kalian."
Mata mereka membelalak, ekor naga Serena dan ekor serigala Violina menjadi tegang, telinga Violina sampai terangkat waspada.
"Kenapa, Pak? Ada apa?" tanya Serena dengan nada khawatir.
"Bangsa manusia sering berkeliaran di bar-bar sekitar sini. Mereka kerap mengawasi tempat-tempat seperti ini," jawab Pak Agran dengan wajah cemas.
Simpe dan Monte yang berdiri dekat mereka menambahkan penjelasan.
"Iya, Pak. Banyak petualang penjaga yang berkeliaran di gang jalan barat. Mereka seperti sedang mencari sesuatu," kata Simpe dengan wajah serius.
Monte mengangguk, menatap Pak Agran dengan serius. "Kami juga melihat mereka. Sepertinya mereka punya tujuan tertentu di daerah ini."
Pak Agran menghela napas panjang, wajahnya tampak penuh kekhawatiran.
"Kalian harus berhati-hati. Dunia ini tidak lagi aman seperti dulu. Petualang manusia semakin agresif. Mereka tampaknya sedang mencari cara untuk masuk ke kota monster."
Serena dan Violina saling berpandangan, wajah mereka berubah muram. Mereka merenung sejenak sebelum Serena berbicara, suaranya terdengar cemas.
"Jangan-jangan, portal teleportasi kita yang diambil itu digunakan untuk mencari tahu cara masuk ke kota Hiddenama."
Violina menopang dagunya dengan jemari, ekspresinya penuh kecemasan.
"Sepertinya begitu. Pantas saja banyak berita tentang petualang di kota yang diserang oleh petualang manusia. Mungkin mereka mencari informasi dari para petualang monster Hiddenama tentang cara masuk ke kota."
Suasana menjadi tegang. Semua orang, termasuk empat dewan parubaya yang hadir, menatap Serena dan Violina dengan serius. Pernyataan mereka membuat perhatian tertuju pada kedua gadis itu.
Monte mencoba menenangkan suasana. "Maaf, bukannya setiap kota monster memiliki cara khusus untuk masuk? Jadi tidak mungkin semua orang bisa masuk ke kota itu."
Seorang pria parubaya yang duduk di belakang Pak Agran berdiri. Rambutnya yang sedikit panjang disisir ke belakang, dan ia mengenakan kemeja coklat lengan pendek serta celana jeans. Wajahnya menunjukkan kewibawaan yang tidak bisa diabaikan.
"Tidak, Nak," katanya dengan suara berat. "Sehebat apa pun portal teleportasi suatu kota monster, jika seseorang mengetahui cara kerjanya, siapa pun bisa masuk."
Simpe dan Monte menundukkan kepala mereka dengan hormat saat pria itu berjalan mendekati Pak Agran. Serena dan Violina mengikuti, memberi hormat dengan sopan.
"Perkenalkan, nama saya Pak Atval," pria itu memperkenalkan diri. "Saya wakil ketua serikat Chirandian. Kami akan membuatkan surat untuk Serikat Guild Hiddenama nanti. Sebelum rapat besar antara lima kota monster dilaksanakan, ada yang ingin kami bicarakan dengan dewan serikat Hiddenama, bukan begitu, Pak Agran?"
Pak Agran menatap Pak Atval dengan sedikit terkejut, lalu mengangguk perlahan. Setelah itu, ia mengalihkan pandangannya kembali ke Serena dan Violina.
"Kalian berdua silakan beristirahat di kota Chirandian terlebih dahulu. Kita akan berangkat jam enam pagi. Sekarang masih terlalu gelap, dan di luar sana pasti masih banyak polisi keamanan yang bertugas."
Pak Agran mengalihkan pandangannya dari jam dinding ke arah Simpe, Serena, dan Violina. Langit masih gelap, hanya diterangi oleh cahaya redup dari api unggun yang berkeredap, menciptakan bayangan menari di wajah-wajah lusuh mereka.
Serena dan Violina menghela napas lega, merasa sedikit beban terangkat. Ekor naga Serena terkulai lemas ke tanah, sementara telinga serigala Violina yang tadi menunduk kini berdiri tegak, menandakan minat mereka terhadap pembicaraan yang baru saja dimulai.
Serena memberanikan diri bertanya, "Maaf, Pak Atval. Rapat apa yang dimaksud tadi?" Suaranya lembut, namun penuh rasa ingin tahu. Alisnya yang melengkung menurun, mencerminkan kebingungannya.
Violina, yang berdiri di samping Serena, ikut penasaran. Telinga serigalanya bergerak-gerak, matanya membesar, dan mulutnya sedikit terbuka, menunggu jawaban.
Pak Atval menaikkan alisnya, menatap kedua gadis itu dengan senyuman samar.
"Sebentar lagi, kalian akan tahu, Nona-Nona. Serikat Guild kalian sendiri yang akan menjelaskannya nanti. Lebih baik kalian tanyakan langsung kepada salah satu dewan serikat kalian."
Suara seorang dewan lainnya memecah keheningan. "Agran, Atval, apa kalian masih lama? Pembahasan di sini belum selesai. Cepat selesaikan obrolan kalian!"
Pak Agran mengangguk, lalu menoleh ke Simpe, menyentuh pundaknya perlahan.
"Simpe, bawa mereka berdua ke kota Chirandian untuk beristirahat. Nanti pagi, sekitar jam enam atau tujuh, saya akan menunggu kalian di Serikat Bar Chirandian. Kita akan mengantar mereka kembali ke portal kota mereka."
Simpe mengangguk patuh, tapi Monte tiba-tiba teringat sesuatu.
Tangannya merogoh tas kecilnya dengan cepat, ekspresinya berubah serius. Dia mengeluarkan sebuah botol kecil yang hampir kosong, isinya berupa cairan hijau yang berkilau samar di bawah cahaya api unggun.
"Pak Agran," Monte memanggil dengan nada serius, "Kami menemukan sesuatu." Dia menunjukkan botol tersebut. "Ini potion yang dapat menyembuhkan racun dari material Manaterium."
Pak Agran mengerutkan kening, matanya menatap botol itu dengan penuh perhatian. "Potion ini. Dari mana kalian mendapatkannya?"
Semua dewan serikat Chirandian yang berada di sekeliling api unggun langsung mengalihkan pandangan mereka ke Monte, memperhatikan botol potion kosong yang dipegangnya dengan tatapan serius.
Keheningan sesaat menyelimuti mereka, hanya terdengar bunyi api yang berderak-derak.
Pak Agran mengerutkan kening, matanya meneliti botol potion itu dengan seksama.
Beliau mengangkat botol tersebut lebih tinggi, mencoba melihat sisa cairan di dalamnya dengan bantuan cahaya api unggun yang berkelap-kelip.
"Tunggu dulu," salah satu dewan serikat yang duduk di dekat mereka berbicara, suaranya tegas. "Potion ini, dari mana kalian mendapatkannya?"
Dewan itu, seorang pria tua dengan rambut kelabu dan janggut lebat bernama tuan Malvier, segera berdiri. Pakaiannya kemeja putih yang memperlihatkan dadanya, celananya hitam panjang mengkilat.
Langkahnya cepat dan pasti saat ia menghampiri Pak Agran. Tanpa berkata apa-apa, dia mengambil botol potion itu dari tangan Pak Agran dan menelitinya dengan tatapan penuh perhatian.
Monte menjawab dengan nada yang penuh hormat. Dia menoleh ke arah Serena, menunjuknya dengan sedikit gerakan tangan.
"Nona Serena yang memberikannya kepada saya, Tuan Malvier."
Serena mengangguk pelan saat tuan Malvier menatapnya dengan sorot mata tajam, membuatnya sedikit menunduk. Suasana di sekitar mereka semakin sunyi, hanya terdengar bunyi api unggun yang berderak.
"Saya mendapatkannya dari petualang manusia yang sebelumnya menyerang kami, Pak," Serena menjelaskan dengan tenang. "Mereka memberikan potion itu sebagai ganti peta yang kami bawa."
Tuan Malvier mengerutkan alisnya, ekspresi wajahnya menunjukkan rasa curiga yang dalam. "Aku tahu ceritamu, tapi apa buktinya bahwa potion ini adalah penawar racun material Manaterium?"
Violina, yang berdiri di samping Serena, terdiam sejenak. Wajahnya menunjukkan keterkejutan. Dengan gerakan perlahan, dia berbalik dan mulai melepas jubah hitamnya. Tangannya dengan hati-hati membuka kancing bajunya, memperlihatkan luka yang ada di tubuhnya.
"Saya meneteskannya di luka teman saya dan meminumkan sisanya," jawab Serena sambil menunjuk Violina yang sedang memeriksa luka-lukanya.
Tuan Malvier segera menghampiri mereka berdua, matanya penuh dengan rasa ingin tahu dan kecemasan.
"Baiklah. Kalian berdua, ikuti saya ke laboratorium sekarang. Saya ingin mengecek kandungannya dan memeriksa nona itu. Material Manaterium bersifat racun. Bahan itu dapat menggerogoti sel-sel yang masih hidup."
Violina menoleh ke arah Serena, matanya penuh kekhawatiran. "Serena, badanku kok membekas hitam semua. Rasanya sakit saat aku sentuh. Seperti ada pasir di dalam dagingku."
Serena menatap Tuan Malvier dengan serius, sorot matanya penuh harapan. "Tolong, Pak. Obati teman saya nanti."
Tuan Malvier mengangguk, senyum simpul muncul di wajahnya. "Baiklah. Mari kita ke kota pusat Chirandian. Saya akan mengobati temanmu di sana."
Dia kemudian menoleh ke Simpe dan Monte. "Kalian ikut juga. Temani nona-nona ini nanti saat berada di Chirandian. Mereka mungkin akan butuh bantuan kalian."
Monte dan Simpe mengangguk, siap menjalankan perintah tanpa ragu.
Serena memandang Violina dengan penuh rasa lega. Violina hanya bisa mengangguk pelan, berusaha menenangkan diri meskipun rasa sakit masih membekas.
Tuan Malvier melangkah maju, menoleh sejenak kepada Agran dan Atval. "Agran, Atval. Aku pergi dulu. Hasil rapatnya, aku serahkan kepada kalian."
Pak Agran mengangguk dengan penuh pengertian, kemudian mengarahkan pandangannya kepada Serena dan Violina.
"Nak Serena, Nak Violina. Saya tunggu kalian jam enam pagi di pusat Bar Serikat Chirandian. Kalian harus sudah berkumpul di sana. Saya akan usahakan secepat mungkin."
Serena dan Violina menundukkan kepala mereka dengan hormat, tangan mereka merapikan rok sebagai tanda terima kasih yang dalam. Simpe dan Monte juga memberikan salam hormat sebelum mereka semua berjalan mengikuti Tuan Malvier.
Di tengah perjalanan, Tuan Malvier memperkenalkan dirinya. "Perkenalkan. Nama saya Tuan Malvier. Saya pengurus akademi yang ada di kota Chirandian."
Serena, yang berjalan di sampingnya, tak bisa menahan rasa ingin tahunya. "Pak Malvier, kita mau pergi ke mana?"
Hutan kelapa yang mereka masuki semakin lebat. Kedai tempat mereka berkumpul tadi sudah tak terlihat lagi. Hanya suara gemerisik angin yang berhembus di antara pelepah pohon kelapa. Langit malam perlahan memudar, memberi isyarat bahwa fajar akan segera tiba.
Tuan Malvier menjawab dengan tenang, "Kita akan pergi ke kota Chirandian, Nak. Sekarang, kita sedang menuju tempat teleportasinya." Lalu beliau menoleh ke belakang, menatap mereka. "Sebelumnya, kalian bisa ke sini lewat mana?"
Simpe segera mengangkat tangannya. "Lewat gerbang teleportasi Bar, Tuan."
Malvier mengangguk paham. "Jadi kalian sebelumnya melewati pusat pasar Grassiace dulu sebelum sampai di sini. Apakah aman?"
Simpe tertawa canggung. "Lumayan ada masalah, Tuan. Kami harus kabur dari kejaran petugas manusia yang menginginkan Nona Serena."
Tuan Malvier terdiam, wajahnya serius. "Bagaimana bisa? Bukannya Nona Serena sudah menyamarkan diri?"
Serena memberanikan diri untuk menjawab. "Mereka ingin menangkap saya, Pak. Mereka bilang saya berasal dari bangsawan monster karena bau wangi dari tubuh saya."
Tuan Malvier mengerutkan alisnya, jelas terganggu dengan informasi ini.
Beliau menghentikan langkah, membuat Serena, Violina, Simpe, dan Monte yang mengikuti di belakangnya turut berhenti. Ekspresi mereka berubah menjadi bingung, mencoba memahami apa yang sedang dipikirkan oleh Tuan Malvier.
"Apa bau wangimu, Nak Serena? Bau wangimu tidak dapat saya cium soalnya karena energi sihirmu tidak kau gunakan," tanya Tuan Malvier sambil melirik Serena.
Serena termenung sejenak, wajahnya tampak gugup. "Bau harum vanilla, Pak," jawabnya dengan suara pelan, seolah merasa sedikit malu mengungkapkannya.
Tuan Malvier kemudian mengalihkan pandangannya ke Violina, gadis serigala coklat yang berdiri di samping Serena.
"Kamu, Nak," ujarnya sambil menunjuk Violina. "Apa kamu juga punya bau wangi tertentu dari keringatmu, saat menggunakan energi sihirmu?"
Violina terkejut, kedua telinga serigalanya berdiri tegak, begitu juga ekor berbulunya. Dia langsung menggelengkan kepala, mengangkat kedua tangannya seolah membela diri.
"Tidak, Pak. Keringat saya tidak berbau sesuatu. Mungkin bulu saya saja yang bisa bau, kalau tidak bau tanah, bisa bau matahari juga."
Tuan Malvier menunduk sesaat, jemari tangan kanannya memegangi dagunya, tanda beliau sedang memikirkan sesuatu yang penting. Wajahnya tampak serius, menyiratkan bahwa ingatannya sedang membawa dia ke masa lalu.
"Saya jadi teringat suatu sejarah besar yang terjadi di dunia kita dahulu, sebelum kita dipindahkan ke dunia manusia ini. Sebelum dewa permainan itu datang juga," ujar Tuan Malvier dengan nada berat.
Monte menyela, "Yang Tuan Malvier maksud, sejarah perang antar bangsa monster yang terpilih itu, kan? Saya juga pernah mendengarnya dari keluarga tikus tanahku yang lain."
Tuan Malvier mengangguk perlahan, menatap ke arah Monte dengan sorot mata yang penuh keyakinan.
"Benar sekali. Artefak itu memiliki kekuatan luar biasa. Apapun yang diinginkan oleh pemiliknya akan dikabulkan, tapi untuk setiap keinginan baru, mereka harus menyelesaikan permintaan dari artefak tersebut."
Serena dan Violina saling bertukar pandang, mencoba mencerna penjelasan tersebut. Pikiran mereka penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab.
Dengan suara pelan, Violina bertanya, "Jadi, apa hubungannya dengan teman saya ini, Pak? Semua orang di dunia sihir sebelumnya juga mengetahui sejarah itu.
Jika masing-masing pemilik artefak harus saling membunuh untuk merebut artefak pemilik lain, karena artefak itu menginginkan dirinya digabungkan kembali dengan artefak lain. Imbalan bagi pemilik artefak yang dapat menggabungkan artefak itu adalah keinginan lainnya akan dikabulkan."
Tuan Malvier tiba-tiba berekspresi serius, kedua alisnya hampir bertemu. Dia menatap Serena yang tampak kebingungan.
"Hubungannya adalah," Tuan Malvier mulai dengan nada berat, "Nak Serena adalah keturunan dari orang yang pernah dipilih oleh artefak itu. Bau wangi keringatnya adalah pertanda bagi orang yang mencari artefak itu."
Semua orang langsung terdiam. Tatapan mereka beralih ke Serena, penuh dengan keheranan dan rasa ingin tahu. Bahkan Violina, yang sudah lama menjadi teman Serena, tampak terkejut mendengar penjelasan itu.
"Tunggu dulu, Pak Malvier," Serena berusaha menyangkal, suaranya sedikit gemetar. "Saya tidak paham. Artefak apa yang dimaksud? Meskipun saya tahu sejarah itu, bagaimana bisa saya menjadi petunjuk untuk mencari artefak itu? Apa alasan lengkapnya?"
Tuan Malvier mengangkat wajahnya, memandangi cahaya matahari yang mulai menembus sela-sela daun pohon kelapa. Langit yang tadinya gelap kini perlahan berubah terang.
"Kita bahas di kantor saya nanti. Sekarang, mari kita cari portal teleportasinya dulu," ujarnya, melanjutkan langkahnya tanpa berkata-kata lagi.
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah sumur tua yang dikelilingi oleh lima toilet umum. Di sekitarnya, terlihat tujuh orang sedang mendirikan tiga tenda kemah.
"Pak Malvier! Itu ada manusia! Wujud monster kita bisa ketahuan nanti!" Violina panik, telinga serigalanya kembali berdiri tegak.
Namun, Tuan Malvier menggelengkan kepala dengan tenang. "Tidak usah takut. Mereka teman kita. Kita akan masuk ke dalam sumur tua itu. Di sana ada portal menuju kota monster Chirandian."
Violina mencoba menenangkan dirinya, meskipun ekor serigalanya masih berkibas gelisah.
Serena, di sisi lain, tetap tenang, jubah penyamarannya masih terpasang rapi, menyembunyikan wujud aslinya.
"Santai, Nona Violina. Semua akan baik-baik saja," ucap Simpe dari belakang, mencoba menenangkan.
Monte mengangguk setuju. "Benar, kita berdua juga masih dalam wujud monster. Tenang saja."
Saat mereka tiba di perkemahan, Tuan Malvier mengangkat tangan kanannya, memberi salam kepada tujuh orang petualang yang sedang beristirahat di sekitar api unggun.
Mereka tampak seperti manusia biasa, namun jelas bahwa mereka adalah petualang berpengalaman.
Pria-pria berotot dengan pisau di pinggang, sementara dua wanita tampak sibuk dengan sihir api dan air, menambah nyala api unggun dan menjernihkan air. Seorang wanita lainnya sedang mengaduk panci, menambahkan bumbu ke dalam masakannya.
"Selamat pagi, Tuan Malvier," sapa salah satu pria dengan rambut poni yang disisir rapi ke kanan. Meski tidak terlalu tinggi, tubuhnya berotot dan tegap.
Melihat Tuan Malvier, keenam petualang lainnya segera berdiri tegak, menghentikan aktivitas mereka. Tuan Malvier berhenti di depan pria itu, memandangnya dengan tegas.
Serena, Violina, Simpe, dan Monte juga menghentikan langkah mereka, menunggu dengan penuh rasa ingin tahu.
"Maaf, saya tidak hafal nama kalian, tapi saya ingin bertanya. Kalian divisi apa? Apa yang sedang kalian lakukan di sini?" tanya Tuan Malvier, suaranya penuh wibawa.
Pria itu menjawab dengan tenang, "Kami dari divisi pencari informasi, Tuan. Kami di sini karena quest dari Serikat Petualang kota Grassiace, yang mengutus kami untuk berburu monster Rooting Shadow."
Mendengar nama monster itu, Serena dan Violina saling bertukar pandang, lalu mengalihkan perhatian mereka ke sebuah tumpukan kayu hitam tak jauh dari perkemahan.
Cahaya matahari yang mulai muncul memperjelas bentuk kayu tersebut, berwarna hitam dengan getah ungu yang menetes. Beberapa bagian bahkan menyerupai kepala dengan ranting-ranting yang masih berdaun, lengkap dengan mata dan mulut bertaring yang terlihat di antara tumpukan itu.
Tuan Malvier mengangguk perlahan, memahami situasi mereka. Beliau menepuk pundak pria itu dengan kedua tangannya, memberikan dorongan semangat.
"Baiklah. Tetap semangat. Saya harap kalian bisa segera menyelesaikan quest kalian. Saya masih ada tamu sekarang. Saya pergi dulu."
Namun, saat Tuan Malvier hendak melangkah pergi, pria itu memanggilnya dengan nada mendesak. "Tunggu, Tuan Malvier. Kami punya informasi penting yang baru kami dapatkan dari Serikat Petualang Grassiace kemarin."
Tuan Malvier berhenti sejenak, menatap pria itu dengan alis berkerut. "Informasi penting? Apa itu?"
Pria tersebut menoleh ke salah satu teman wanitanya, yang sebelumnya terlihat menjernihkan air dengan sihir.
Wanita itu segera bergegas ke tenda mereka, mengambil sebuah alat berbentuk kotak, lalu menghampiri Tuan Malvier dengan langkah cepat.
"Ini, Tuan," ujar wanita itu, menyerahkan alat tersebut.
Pria itu menjawab dengan nada serius, "Ini adalah rekaman rencana pergerakan Serikat Petualang, Tuan. Dari desas-desus yang kami dapatkan, tampaknya mereka merencanakan quest khusus yang cukup besar. Rekaman ini saya peroleh dari divisi keamanan kota Grassiace dan divisi Serikat Petualang kota."
Tuan Malvier mengerutkan alisnya, jemari tangan kanannya menyentuh pelipis, seolah mencoba meredakan tekanan yang dirasakannya. Setelah menghela napas berat, beliau menutup matanya sejenak, seolah meresapi beban situasi.
"Kita akan rapatkan hal ini nanti," ucapnya dengan suara tenang namun penuh kewibawaan. "Setelah kalian selesai dengan tugas dari Serikat Manusia, jangan lupa datang ke kantor Serikat Guild. Saya akan menunggu kalian."
Pria petualang itu mengangguk patuh. "Baik, Tuan Malvier. Kami akan segera menyelesaikan tugas ini dan melapor ke kantor."
Tuan Malvier menyimpan tape recorder ke dalam jubahnya, lalu menoleh ke belakang, melihat ke arah Serena, Violina, Simpe, dan Monte. "Ayo, kita lanjutkan perjalanan."
Serena dan Violina mengikuti langkah Tuan Malvier tanpa banyak bicara, perasaan mereka masih campur aduk dengan berbagai informasi yang baru saja mereka terima.
Simpe dan Monte melambaikan tangan ke arah para petualang manusia itu, memberikan salam perpisahan yang disambut dengan anggukan dan senyum dari kelompok tersebut. Aroma harum kari yang sedang dimasak perlahan memenuhi udara, menambah suasana pagi yang mulai cerah.
Mereka akhirnya tiba di sumur tua yang memiliki lubang cukup besar di tengah-tengah perkemahan itu.
Tanpa ragu, Tuan Malvier menaiki bibir sumur dengan gesit, lalu melompat ke dalamnya. Suara cipratan air terdengar samar di bawah sana.
"Serena, Violina. Apa yang kalian tunggu? Ayo lompat ke dalam," ujar Simpe dengan nada mendesak, matanya menatap mereka berdua yang masih termenung di pinggiran sumur.
Violina mengerutkan alisnya, ragu-ragu sambil menyentuh permukaan air sumur yang tampak penuh. "Yakin kita harus masuk ke sini? Airnya kelihatan dalam," ucapnya, sedikit gentar.
Monte, dengan santai, menanggapi keluhan Violina. "Masuk aja. Memang ini jalannya."
Tiba-tiba, suara Tuan Malvier terdengar dari dalam sumur, terdengar jelas dan tenang. "Kapan kalian masuk? Saya menunggu kalian di sini, loh."
Serena dan Violina, lalu menatap ke arah air sumur. Keajaiban terjadi di depan mata mereka—air di sumur itu mulai terbuka seperti tirai yang tersibak, memperlihatkan Tuan Malvier berdiri dengan tenang di dasar sumur yang kering.
"Baik, Tuan Malvier. Ayo Serena, Violina," ujar Simpe dengan semangat. Tanpa ragu, dia melompat ke dalam sumur dengan salto ke belakang, diikuti Monte yang melompat dengan gaya santainya.
"Jangan ragu, Nona Monster! Portal teleportasi kota Chirandian memang seperti ini!" teriak salah satu pria dari kelompok petualang manusia, suaranya menggema di udara pagi.
"Masuk aja! Ikuti Tuan Malvier!" sahut temannya yang lain dengan semangat.
Mendengar dorongan itu, Serena dan Violina akhirnya mengambil keputusan.
Mereka melompat ke dalam sumur secara bergantian. Begitu mendarat di dasar, mereka menemukan diri mereka berada di sebuah terowongan bawah tanah yang lebar. Dindingnya dipenuhi batu-batu berlumut, dan udara di dalamnya terasa segar.
"Kalian, ikuti saya. Tetap berdekatan. Saya akan menutup kembali air sumurnya," ujar Tuan Malvier, suaranya penuh keyakinan.
Mereka semua mendekat ke belakang Tuan Malvier.
Dengan gerakan tangannya, air yang sebelumnya tersibak perlahan kembali memenuhi sumur, namun air itu tidak menyentuh mereka. Mereka seolah berdiri di dalam sebuah kubah tak kasat mata yang melindungi mereka dari air.
Violina, dengan rasa ingin tahu yang masih membara, bertanya, "Pak Malvier, kenapa portal teleportasinya kok unik sekali?"
Tuan Malvier tersenyum kecil, menatap Violina dengan penuh pengertian.
"Bukankah portal teleportasi kota kalian juga unik? Pasti tujuannya sama, agar para petualang manusia tidak dapat menemukan jalan masuknya. Ngomong-ngomong, nanti saya tidak bisa menemani kalian terlalu lama. Setelah mengobati kamu dan menjawab pertanyaan Nak Serena, saya harus pergi karena ada urusan penting yang perlu dibahas."
Semua orang mengangguk, menerima penjelasan itu. Mereka melanjutkan perjalanan dalam diam, langkah mereka bergema di sepanjang terowongan.
Di tengah keheningan, pikiran Serena mulai melayang ke masa lalunya.
Kenangan saat ia diasuh oleh orang tua angkatnya kembali memenuhi benaknya.
Hatinya bergemuruh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Apa sebenarnya yang terjadi di masa kecilnya? Ia berharap cerita dari Tuan Malvier nanti akan memberinya petunjuk yang selama ini ia cari :
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments