Alasan Kita (3)

Tiba-tiba, suara gemerisik dari dedaunan dan ranting di pepohonan membuat semua orang terdiam. Udara menjadi tegang, seolah ada sesuatu yang mengintai dari dalam kegelapan.

Kemudian terdengar teriakan lantang, "Tendangan kaki besi!"

Sosok pria melompat tinggi dari pepohonan, siluetnya terlihat jelas di bawah sinar bulan. Dengan kecepatan luar biasa, ia menghantamkan kakinya ke arah Pak Rencent dan anak buahnya.

"Awas!" seru Airin, panik.

Namun Garr bergerak lebih cepat. "Biar aku saja!" serunya.

Garr, Yang telah merasa pulih, melesat ke depan. Dalam sekejap, cincin di jari manisnya berubah menjadi zirah pelindung yang melapisi tubuhnya. Tangan kanannya bergerak cepat, mengeluarkan perisai berwarna perunggu yang kokoh.

Benturan keras terdengar ketika kaki pria itu menghantam perisai Garr. Getaran dari benturan tersebut cukup kuat hingga membuat Pak Rencent, Airin, dan Asdean kehilangan keseimbangan dan jatuh ke tanah.

Sosok penyerang itu perlahan mendarat, memperlihatkan wujudnya yang tak biasa.

Rambut cokelatnya lebat di sekitar kepala dan wajah, dengan ekor monyet berbulu yang melambai. Kaos tanpa lengan memperlihatkan lengan kekarnya, sementara celana ketat dan sepatu kokoh menegaskan kesiapannya untuk bertarung.

"Hebat juga. Kau bisa menahan tendanganku," katanya dengan nada penuh kekaguman.

Namun, ancaman belum selesai. Dari dalam tanah, muncul sosok lain—seorang pria monster bertubuh sedikit membungkuk dengan kuku tajam, kulit berbulu, dan ekor tikus yang panjang menjuntai. Pakaian kulitnya kotor oleh tanah yang menempel.

Serena, yang sebelumnya terikat tali rune, menatapnya dengan bingung. "Siapa kau?" tanyanya, mencoba memahami situasi.

Pria monster tikus itu tersenyum samar. "Jangan panik, Nona! Kami akan menyelamatkanmu," ucapnya dengan suara serak namun meyakinkan.

Dia menarik Serena menjauh dari arena pertarungan dan meraih segenggam tanah.

Dengan aliran mana sihirnya, tanah itu berubah menjadi lumpur ajaib yang ia tempelkan pada tali rune yang mengikat tubuh Serena. Lumpur itu bergerak perlahan, melapisi ukiran rune hingga cahayanya memudar dan mati.

"Terima kasih atas bantuannya," kata Serena ketika ikatannya melonggar.

Begitu tali rune itu melemah, Serena merasakan aliran energi kembali ke tubuhnya. Ia memanfaatkan kekuatan terakhirnya untuk merobek tali tersebut dengan gerakan cepat.

Tubuhnya masih terasa lemas, tetapi ia segera berlari ke arah Violina yang masih terbaring di tanah, memeluknya erat.

"Violina." suara Serena terdengar lirih namun penuh emosi.

Violina membalas pelukan itu dengan gemetar. "Maaf, Serena," katanya dengan nada penuh penyesalan. "Aku tidak berguna. Aku bahkan tidak bisa menolongmu." Air matanya mulai mengalir.

Serena menggeleng pelan, matanya menatap Violina dengan tegas. "Tidak, bukan salahmu. Semua ini karena keegoisan kita. Kita terlalu ceroboh," jawabnya sambil membantu Violina berdiri, memapah tubuh sahabatnya yang masih lemah.

Belum sempat mereka melangkah lebih jauh, pria monyet itu melompat mendekat dengan gerakan salto yang cepat dan gesit. Ia mendarat tanpa suara di samping pria tikus yang tadi membantu Serena.

"Monte, tunjukkan jalan keluar sekarang," katanya dengan nada tegas kepada pria tikus. "Kita harus segera pergi dari sini."

Monte, pria tikus itu, mengangguk cepat. "Dimengerti, Simpe," sahutnya. Ia langsung mulai menggali tanah dengan cekatan. Tangan kukunya yang besar dengan mudah mencakar tanah, menciptakan lubang yang semakin dalam.

Serena dan Violina memperhatikan si pria tikus dengan cemas, sementara Simpe, pria monyet, berdiri di depan mereka seperti perisai.

Getaran kecil mulai terasa, merambat dari tanah tempat Monte menggali. Serena merasakan getaran itu melalui telapak kakinya.

"Tenang, nona-nona," kata Simpe, menoleh pada mereka dengan senyum tipis. "Ikuti saya, kami akan membawa kalian keluar dari tempat ini."

Serena mengangguk. "Baik," jawabnya. Ia segera memapah Violina dengan hati-hati, menopang tubuh sahabatnya yang masih lemah.

Namun, ketegangan belum berakhir.

"Tidak akan kami biarkan kalian pergi!" Teriakan keras itu datang dari Asdean, yang sudah mengarahkan senapannya ke arah mereka. Suaranya memecah malam yang sunyi.

Di sampingnya, Mael bersiap dalam posisi kuda-kuda. Kedua pedangnya sudah terhunus, memantulkan cahaya bulan yang redup. Ia menatap tajam ke arah Serena dan Violina, bersiap menyerang kapan saja.

Namun sebelum mereka bertindak, Pak Rencent maju selangkah, mengangkat tangan untuk menghentikan keduanya.

"Sudah, hentikan!" serunya, nada suaranya penuh perintah. Ia meletakkan tangan kirinya di bahu Mael, sementara tangan kanannya menurunkan senapan Asdean dengan tegas.

"Tapi, Pak—" Asdean bersikeras, wajahnya menunjukkan kebingungan sekaligus ketegangan.

Pak Rencent mengangkat tangannya dengan tegas, memotong protes itu. "Tidak ada waktu untuk berdebat. Kita harus pergi sekarang. Bawa saja ekor naga wanita itu," ucapnya dengan dingin.

Tiba-tiba, Airin berbicara dengan nada cukup keras, memastikan semua orang bisa mendengarnya. "Ada polisi datang! Aku melihat dua mobil mendekat!"

Garr, yang berdiri di ujung area untuk mengamati situasi, segera menyahut. "Aku menghitung ada delapan orang. Mereka sedang menuju kemari."

Suasana berubah semakin tegang. Semua mata tertuju pada kilau samar cahaya lampu kendaraan yang mulai menembus celah-celah rimbunan pohon. Suara mesin kendaraan terdengar semakin jelas, menggema di antara pepohonan yang sunyi.

"Monte, cepat! Kau sudah menemukan jalan pintasnya belum?" suara Simpe menggema dengan nada mendesak. Matanya tetap waspada mengawasi ke arah cahaya lampu. "Polisi keamanan sudah terlalu dekat!"

Dari dalam lubang tanah, suara Monte terdengar, sedikit teredam. "Aku sudah menemukannya! Ikuti aku nanti!"

Sementara itu, Mael segera berlari menuju tempat di mana ekor Serena yang terpotong tergeletak.

Dengan gerakan cekatan, Mael mengambilnya dan menyerahkannya kepada Airin. "Bungkus ini dengan rapi," katanya sambil melirik ke arah Serena dengan ekspresi dingin.

Airin mengeluarkan sebuah kubus hitam kecil dari sakunya.

Dengan cepat, ia menyalurkan mana ke dalam kubus itu, membuatnya bersinar lembut. Dari dalam cahaya yang muncul, sebuah kain gelap bermaterial magis keluar. Ia menggunakan kain itu untuk membungkus potongan ekor tersebut dengan rapi.

Di bawah bayang-bayang cahaya lampu yang semakin dekat, suasana semakin mencekam.

Pak Rencent menatap Serena dan Simpe dengan tatapan tajam, seolah memberikan peringatan terakhir. "Mungkin, kita akan bertemu lagi di lain waktu," katanya dengan suara berat, sebelum memberikan isyarat kepada kelompoknya untuk bersiap bergerak.

Para anggota kelompok itu mulai memakai masker dan jubah yang telah disiapkan dari kubus sihir milik Airin.

Beberapa menggunakan masker gas, sementara yang lain memakai masker kain yang menutupi sebagian besar wajah mereka.

Airin memberikan jubah hitam kepada Garr, sedangkan Mael menerima jubah dari Asdean. Ketika mereka selesai mengenakannya, seluruh penampilan mereka berubah menjadi sosok misterius yang mencurigakan.

Namun, sebelum mereka sempat melangkah, suara deru sepeda motor mengisi udara.

Dari kegelapan, empat polisi dengan sepeda motor trail menerobos masuk, membelah jalan dengan sorotan lampu yang menusuk gelapnya malam. Dua di antaranya memegang pistol, sementara yang lain menggenggam tongkat sihir bercahaya.

"Berhenti kalian! Menyerah sekarang juga!" teriak salah satu polisi, suaranya menggema di tengah hutan.

Serena dan Simpe membeku untuk sesaat, menatap ke arah polisi-polisi tersebut. Belum sempat siapa pun bergerak, empat motor trail lainnya muncul dari arah belakang, membawa tambahan pasukan. Situasi semakin genting.

Pak Rencent tidak menunggu lebih lama. "Bom asap!" perintahnya cepat.

Airin dan Garr segera mengeluarkan tabung kecil dari kantong mereka, melemparkannya ke depan.

Dalam hitungan detik, kepulan asap tebal menyelimuti area tersebut, memblokir pandangan polisi. Di balik asap, kelompok Pak Rencent melesat ke dalam hutan seperti bayangan, melompati akar-akar besar dan menerobos semak belukar tanpa melambat.

"Kejar mereka!" salah satu polisi memberikan komando. "Kalian empat orang, urus yang di sana!"

Delapan polisi langsung membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing empat orang, mengejar arah kaburnya kelompok Pak Rencent. Sepeda motor trail meraung, membelah malam dengan suara mesin yang memekakkan telinga.

Simpe menoleh ke Serena, matanya tajam namun penuh kepedulian. "Biar aku gendong temanmu, Nona. Kau ikuti saja temanku!" katanya tegas, meraih Violina yang masih lemah tanpa menunggu jawaban.

Monte, yang baru saja melompat keluar dari lubang tanahnya, mengangguk cepat. "Ayo, ikuti aku!" teriaknya, melesat ke depan dengan lincah.

Tanpa berpikir panjang, Serena mengikuti mereka.

Mereka semua berlari sekuat tenaga, menerobos akar-akar pohon yang mencuat dari tanah dan ranting yang menghalangi jalan. Suara gemerisik dan patahan ranting saling bersahutan, berpadu dengan napas mereka yang memburu.

Dari kejauhan, suara mesin motor trail masih terdengar, mengejar mereka tanpa henti. Namun, fisik bangsa monster yang tangguh membuat mereka bisa melesat lebih cepat, melompati rintangan dengan gesit, hingga perlahan mereka mulai menjauh dari kejaran.

"Simpe, kita masuk ke dalam pohon besar mati di depan sana!" seru Monte sambil berlari. "Pohon itu terhubung dengan selokan kota Grassiace!"

"Dimengerti!" sahut Simpe tanpa ragu. Ia menoleh ke belakang, memastikan Serena mendengar instruksinya. "Ikuti aku, nona! Kita hampir sampai!"

Serena mengangguk tegas. "Baik," balasnya, tak sedikit pun memperlambat langkahnya.

Di atas punggung Simpe, Violina mencoba membuka mulut, suaranya lemah tapi penuh penasaran. "Kalian monster dari kota Grassiace, ya?"

Simpe tidak menoleh, hanya menjawab singkat dengan nada tegas. "Iya, tapi tanya nanti saja. Kita harus fokus kabur sekarang."

Monte menunjuk sebuah pohon tumbang besar yang hampir seluruhnya tertutupi tumbuhan merambat dan lumut. Pohon itu tumbang dengan posisi membentuk huruf "V" yang menjorok ke tanah, menyisakan celah gelap di bagian bawah.

"Di sana! Cepat masuk sebelum mereka menemukan kita!" seru Monte dengan nada mendesak, matanya melirik ke belakang, memastikan tidak ada polisi yang mengejar.

Serena mengerutkan kening, menatap pohon yang ditunjuk Monte. Rimbunnya semak dan tumbuhan liar membuatnya ragu. Tidak ada tanda-tanda jalur menuju kota Grassiace seperti yang disebutkan.

"Mana jalan masuknya?" tanyanya dengan nada bingung.

Simpe menoleh sambil tersenyum tipis, meski wajahnya tetap tegang. "Lompat saja ke sana, Nona. Di balik semak itu ada jalannya," jawabnya cepat.

Monte tidak membuang waktu. Dengan gesit, ia melompat masuk ke dalam semak-semak yang menutupi pohon tumbang tersebut.

Suara gemerisik daun terdengar ketika tubuhnya menghilang ke dalam rimbunnya tumbuhan. Simpe mengikuti dengan lompatan ringan, meskipun ia masih menggendong Violina di punggungnya.

"Percayalah, Nona. Ini aman," kata Simpe sambil memberi isyarat agar Serena menyusul.

Serena menghela napas dalam, lalu melompat masuk ke dalam semak. Daun-daun yang lembap dan ranting-ranting kecil menyentuh kulitnya saat ia melewati jalur sempit itu.

Di balik semak, sebuah lorong kecil muncul, tersembunyi di antara akar-akar pohon yang menonjol. Lorong itu cukup rendah sehingga mereka harus berjalan dengan tubuh membungkuk.

"Maaf, aku mendahului," kata Serena, menoleh ke Simpe yang tampak kesulitan bergerak jongkok sambil menggendong Violina.

"Tak apa, yang penting kita segera sampai," sahut Simpe, berusaha menjaga keseimbangan.

Violina yang berada di gendongannya menghela napas panjang. Wajahnya pucat, matanya tampak redup.

"Maafkan aku. Aku beban banget," katanya pelan, nyaris seperti bisikan.

Simpe menggeleng tegas. "Tidak, Nona. Jangan merasa begitu. Yang penting sekarang, kita selamat."

Beberapa meter ke depan, Monte sudah menunggu mereka di ujung lorong, berdiri di samping sebuah penutup selokan besar yang terbuat dari besi tua. Ia mengangkat penutup itu dengan mudah, memperlihatkan sebuah lubang gelap dengan tangga besi yang menjulur ke bawah.

"Masuk duluan, Nona," kata Monte sambil menunjuk ke arah lubang.

Serena terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. "Namaku Serena. Maaf, aku belum sempat memperkenalkan diri," ucapnya, menatap Monte.

Monte mengangguk dengan senyum simpul. "Silakan, Nona Serena."

Serena mulai turun perlahan. Tangga besi yang dingin dan lembap membuatnya harus ekstra hati-hati. Lubang itu cukup dalam, sehingga ia harus menuruni beberapa pijakan sebelum mencapai dasar. Cahaya rembulan dari atas perlahan menghilang, tergantikan oleh kegelapan yang pekat.

Di belakangnya, Simpe membantu Violina untuk turun. Namun, langkah Violina sangat lambat. Ia tampak kesakitan setiap kali mencoba memijakkan kakinya ke tangga berikutnya.

Tangannya bergetar hebat saat memegang erat batang besi, sementara keringat dingin membasahi Wajahnya.

Monte, yang sudah berada di bawah, mendongak. "Kita harus cepat! Mereka bisa menemukan kita kapan saja!" serunya.

Tiba-tiba, suara deru mesin sepeda motor terdengar semakin dekat. Cahaya lampu menembus sela-sela lorong sempit itu, membuat Simpe dan Monte refleks menunduk untuk menghindari sorotan. Ketegangan semakin terasa, membuat semua orang memacu gerakan mereka.

Namun, ketika Violina mencoba melangkahkan satu kakinya ke pijakan berikutnya, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ia tergelincir, dan teriakan kecilnya menggema di lorong sempit itu.

"Violina!" Serena berteriak panik.

Serena yang sudah sampai di dasar, refleks merentangkan kedua tangannya.

Dia berhasil menangkap tubuh Violina tepat sebelum gadis itu menghantam tanah. Namun, tabrakan itu membuat Serena hampir kehilangan keseimbangan. Kakinya sedikit gemetar, tapi ia tetap berdiri tegap, menahan berat Violina.

"Maaf, Serena. Badanku tiba-tiba nyeri," bisik Violina lemah, air mata menggantung di sudut matanya. Ia tampak merasa bersalah, meskipun rasa sakit jelas menyiksa tubuhnya.

Serena menggeleng sambil tersenyum kecil, meski napasnya sedikit terengah. "Tak apa, Violina. Untung aku berhasil menangkapmu."

Dari atas, terdengar suara langkah berat mendekat.

Simpe dan Monte yang masih di luar lubang tak membuang waktu.

Monte langsung melompat masuk tanpa ragu, tubuhnya mendarat dengan suara gedebuk yang nyaris tak terdengar. Sementara Simpe, dengan gerakan gesit, meluncur masuk sambil menutup penutup selokan besi di atasnya.

Di atas, suara langkah-langkah semakin jelas. Lalu, sebuah suara keras terdengar. "Ada suara di sini!" teriak salah satu polisi, suaranya bergema di malam gelap.

"Dimana mereka? Mereka tidak mungkin jauh dari sini," sahut polisi lainnya.

"Tempat ini seperti sebuah sarang," kata suara ketiga, terdengar ragu. "Apa mungkin ini sarang monster?"

"Monster apa yang hidup di hutan seperti ini? Ular besar, mungkin?" teman sebelahnya menimpali.

Cahaya lampu kuning mulai menembus sela-sela tutup besi selokan, menciptakan garis-garis terang di kegelapan.

Simpe segera bergelantungan di pijakan besi dengan tubuh miring ke kiri, menjaga keseimbangan hanya dengan satu tangan. Ia mengangkat jari telunjuk ke bibir, memberi isyarat agar semua diam.

Serena menahan napas. Violina yang masih di pelukannya mencoba menahan batuk kecil, menggigit bibir agar tidak mengeluarkan suara.

Monte, yang sudah berada di dasar, berjongkok dengan waspada, tubuhnya hampir menyatu dengan bayangan gelap di sekeliling mereka.

Mereka semua terdiam dalam kegelapan gorong-gorong, hanya ditemani suara gemericik air yang mengalir pelan di bawah. Cahaya yang menerobos semakin redup.

"Sudahlah. Mari kita pergi dari sini. Kita tidak menemukan apa pun," gumam salah satu polisi dengan nada lelah.

"Benar. Mungkin itu cuma suara tikus. Kita terlalu lama melawan monster sampai lupa kalau hewan biasa masih ada di tempat-tempat seperti ini," timpal rekannya dengan nada setengah bercanda, meskipun desahan beratnya jelas mengungkapkan keletihan.

Ketegangan di gorong-gorong itu mulai surut saat suara langkah para polisi semakin menjauh. Suara samar salah satu dari mereka terdengar, meski sudah mulai memudar.

"Untuk sekarang, situasi aman," bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri.

"Beruntung sekali kita," gumam Monte sambil menoleh ke atas. "Kalau kita sampai melawan mereka, situasinya pasti rumit. Sulit bertarung tanpa harus membunuh."

Simpe mengangguk sambil melompat ke dasar dengan ringan. "Kau benar, Monte. Satu polisi saja terluka atau terbunuh, kita akan diburu habis-habisan. Senjata mereka bukan main-main. Peringkat minimal B, bahkan mungkin ada yang A."

Mendengar percakapan itu, Serena yang masih memapah Violina maju mendekati Simpe dan Monte. Ekspresi lelah tapi lega terlihat di wajahnya.

Dia sedikit menundukkan kepala, suaranya terdengar tulus. "Terima kasih atas pertolongannya. Jika kalian tidak datang, kami mungkin sudah tamat."

Simpe menggaruk kepalanya yang berbulu dengan sedikit canggung. "Tidak perlu terima kasih, Nona. Kami hanya kebetulan lewat dan merasakan hawa pertarungan kalian. Apalagi kembang api di langit tadi. Sulit untuk tidak menyadarinya."

Monte tiba-tiba menepuk bokong Simpe dengan keras, membuat pria monyet itu melompat kecil karena terkejut. "Hei! Setidaknya perkenalkan diri dulu, kawan. Kau belum memberitahu siapa namamu pada mereka!"

Simpe mengusap tengkuknya dengan canggung, lalu menatap Serena.

"Ah, benar juga. Namaku Simpe, dan ini temanku, Monte. Kami dari Serikat Monster Kota Grassiace," ucapnya sambil melirik Monte yang hanya mengangguk singkat.

Serena tersenyum kecil meskipun terlihat lelah. "Namaku Serena. Dan ini temanku, Violina. Kami petualang monster serikat Hiddenama." Serena sedikit membungkukkan badan sebagai tanda hormat. "Terima kasih banyak, Tuan Simpe dan Tuan Monte. Kami benar-benar berhutang nyawa pada kalian."

Sebelum percakapan mereka berlanjut, Violina tiba-tiba meringis kesakitan. Tubuhnya melemas, hingga Serena harus menopang tubuhnya agar tidak jatuh sepenuhnya.

"Aduh. Kenapa lukaku makin sakit?" rintih Violina sambil memegangi perutnya. Wajahnya semakin pucat, dan keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Biasanya, luka seperti ini sembuh dalam beberapa menit. Tapi sekarang tidak. Kekuatan sihirku juga, seperti hilang," lanjutnya dengan suara lemah.

Serena menunduk, panik melihat kondisi sahabatnya. "Violina, maafkan aku. Aku membuang-buang waktu di sini. Tapi aku juga bingung bagaimana cara kembali ke kota Hiddenama. Peta kita juga hilang."

Monte yang melihat kondisi Violina dengan serius langsung melangkah ke depan, mendekati mereka. "Nona, ikut kami ke Serikat Guild Grassiace. Temanmu bisa dirawat di sana."

Monte, yang memperhatikan situasi, langsung maju ke depan lorong. Ia menoleh ke Serena dengan ekspresi serius.

"Nona Serena, bawa temanmu ke Serikat Guild Grassiace. Kami punya pengobatan untuknya. Senjata para petualang manusia itu memang sedang kami selidiki. Kami curiga senjata itu memiliki kemampuan untuk menghambat regenerasi bangsa monster."

Mata Serena melebar, sedikit terkejut. Namun ia segera tersenyum tipis, berusaha menutupi rasa cemasnya. "Terima kasih banyak. Sekali lagi, maaf kami merepotkan kalian."

Monte mengibaskan tangannya, seolah tak ingin Serena merasa bersalah. "Ah, tidak perlu begitu. Pengurus Serikat Grassiace juga punya hubungan dekat dengan pengurus Hiddenama. Ini memang bagian dari tugas kami."

Simpe mendekati Violina, membuka tas kecil yang tergantung di pinggangnya, lalu mengeluarkan sebotol potion berwarna merah tua. Ia menyerahkannya dengan hati-hati.

"Minumlah ini," katanya lembut. "Ini potion penyembuh. Ini akan membantu mengurangi rasa sakit, tapi sayangnya tidak akan menghentikan efek pembusukan dari senjata itu."

Violina menerima botol itu dengan tangan gemetar. "Terima kasih," katanya lirih sebelum meneguk cairan merah di dalamnya. Wajahnya sedikit berkerut saat menelan, tetapi perlahan rintihannya mulai mereda.

Monte, yang awalnya diam, tiba-tiba melotot tajam ke arah Simpe. Mulut tikus kecil itu sedikit menganga, memperlihatkan giginya yang tajam, sementara hidung mancungnya bergerak-gerak seakan mencium sesuatu.

Setelah itu, ia mengalihkan pandangannya ke Violina dengan ekspresi curiga.

"Tunggu dulu," Monte berkata dengan nada serius. "Nona Violina, jika kau benar-benar terkena senjata itu, kenapa kau masih terlihat sehat? Senjata ini seharusnya tidak hanya menghambat regenerasi bangsa monster, tapi juga menyebabkan pembusukan daging. Kau paham maksudku?"

Simpe, yang sedang memeriksa ekor monyetnya sendiri, tiba-tiba berhenti dan menatap Monte dengan mata melebar. Ekor panjangnya bahkan terangkat, menunjukkan rasa terkejut yang tidak bisa ia sembunyikan.

"Iya, benar juga. Aku kira awalnya karena Nona Violina adalah salah satu bangsa monster dengan kemampuan regenerasi yang luar biasa. Ada beberapa spesies seperti itu," gumam Simpe. Ia kemudian mengarahkan pandangannya ke Serena, memperhatikan ekor naga yang menjuntai di belakangnya. "Tapi tunggu, mungkin Nona Serena juga termasuk? Aku masih ingat jelas kalau ekormu tadi terpotong."

Serena, yang mendengar itu, dengan cepat menoleh ke belakang untuk memeriksa ekornya yang sebelumnya terpotong kini sudah tumbuh kembali seperti semula.

Bekas asap putih samar masih mengepul dari ujungnya, menandakan proses regenerasi yang baru saja selesai.

"Iya sih," Serena bergumam, suaranya pelan namun penuh kekaguman. Ia menyentuh ekornya, merasakan kulit baru yang mulus menggantikan bagian yang hilang sebelumnya.

Violina, yang sudah selesai meminum potion, menatap mereka dengan bingung. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun masih ada sedikit sisa kelelahan.

"Jadi. Serangan itu sebenarnya sangat berbahaya bagi bangsa monster, kan? Tapi kenapa aku masih bisa bertahan tanpa luka parah?" tanyanya dengan nada penuh kebingungan.

Monte mengerutkan dahi, matanya memandang tanah di bawah mereka seolah mencoba mencari jawaban.

"Benar, senjata ini memang mematikan. Tapi tidak langsung membunuh. Lebih seperti memutus kemampuan regenerasi sementara dan menyiksa korbannya perlahan. Namun, kalau kau masih bisa berdiri, mungkin ada sesuatu di dalam tubuhmu yang melawan efeknya."

Simpe menimpali sambil menggaruk kepalanya. "Mungkin, nona Violina, kau memiliki semacam kekebalan alami? Atau ada faktor lain yang tidak kita ketahui." Ia berhenti sejenak, lalu menambahkan dengan nada ringan untuk meredakan suasana, "Yah, bisa jadi kau punya keberuntungan yang sangat besar."

Violina hanya menatap Simpe dengan senyum tipis, meskipun pikirannya masih penuh pertanyaan.

Serena, yang sedang memperhatikan Violina, tiba-tiba teringat sesuatu.

Dengan cepat, ia merogoh saku gaun di rok panjangnya dan mengeluarkan botol potion kosong yang sebelumnya diberikan oleh Pak Rencent.

"Mungkin ini penyebabnya," ujar Serena sambil mengangkat botol itu agar semua bisa melihatnya. "Potion ini diberikan oleh mereka sebagai pertukaran dengan peta pulang kami."

Monte, yang mendengar itu, langsung melompat mendekati Serena dengan semangat. Mata tikusnya berbinar, sementara ekornya melingkar ke atas seperti pegas. "Tunjukkan padaku! Biar kulihat lebih dekat!"

Simpe, yang penasaran, ikut mendekati Monte. "Ada apa? Kau terlihat terlalu antusias, Monte," katanya, menatap botol itu dengan penuh rasa ingin tahu.

Monte memutar botol di tangannya, memperhatikan cairan setetes di dalamnya dengan cermat.

"Ini mungkin penawar dari efek senjata mereka. Jika benar, kita harus menganalisis cairannya. Serikat Guild Grassiace memiliki alkemis yang bisa memeriksa komposisinya. Dengan ini, kita bisa mencari tahu bagaimana mereka membuatnya!" katanya penuh semangat.

Simpe mengangguk setuju. "Bagus! Kalau ini benar penawarnya, kita bisa menggunakannya untuk membantu bangsa monster lain yang terluka akibat senjata itu." Ia menoleh ke Serena dan Violina. "Nona Serena, Nona Violina, mari ikut kami ke Serikat Guild Grassiace. Pengurus kami pasti bisa membantu kalian kembali ke kota Hiddenama, sekaligus menjawab pertanyaan kalian."

Serena tersenyum lega, perasaan khawatir di hatinya sedikit berkurang. Ekor naganya yang sebelumnya tegang kini menepuk-nepuk tanah dengan santai, seakan mengekspresikan rasa gembira.

Violina, meski masih tampak lemah, menarik napas panjang dan mengangguk pelan.

Monte segera menyelipkan botol potion itu ke dalam tas kecilnya. Ia kemudian melangkah maju, menatap terowongan gelap di depan mereka. Tidak ada secercah cahaya di sana; hanya kegelapan pekat yang terasa dingin dan sunyi.

"Baiklah," ujar Monte dengan nada tegas. "Aku akan memimpin. Ikuti aku."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!