Langkah Awal (3)

Di ruang tamu toko Bibi Resyana, suasana hangat mulai tercipta.

Serena, yang masih berada di gendongan Bibinya, memperhatikan sekeliling dengan rasa ingin tahu. Ayah dan Ibu Serena duduk di sofa yang empuk, mencoba menyembunyikan kecemasan mereka di balik senyuman tipis.

"Sebentar, aku akan siapkan sesuatu dulu. Kalian pasti lelah setelah perjalanan jauh," ujar Bibi Resyana dengan nada riang. Dia menurunkan Serena dengan lembut dari gendongannya.

Namun, Ayah Serena segera merespon dengan cepat, "Tidak usah repot-repot, Bibi. Kami tidak akan lama di sini."

Ibu Serena mengangguk setuju, "Benar, kami hanya singgah sebentar saja."

Bibi Resyana tersenyum penuh pengertian, tapi tetap melambaikan tangan kanannya, mengisyaratkan agar mereka tidak perlu khawatir.

"Tenang saja," katanya sebelum melangkah keluar ruangan.

Saat keheningan menyelimuti ruang tamu, Ibu Serena, Biana, melirik suaminya dengan cemas.

"Sayang, kita harus segera pergi dari kota ini. Para Ksatria Naga sudah tiba. Sebelum mereka mulai pencarian, kita harus segera pergi."

Ayah Serena, dengan ekspresi lelah, menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Aku tahu, Biana. Tapi tanpa informasi dari Om Rufus, kita akan terus diburu. Serena akan tetap menjadi target mereka, kemanapun kita pergi."

Keheningan kembali menyelimuti mereka, membawa beban yang semakin berat.

Serena, yang menangkap kekhawatiran di wajah kedua orang tuanya, mendekat ke ibunya, memegang tangannya dengan lembut.

"Ibu," panggil Serena dengan suara pelan, matanya penuh dengan kekhawatiran. "Apa yang mereka cari dariku? Jika aku menyerahkan apa yang mereka inginkan, apakah semua ini akan berakhir?"

Ibu Serena tersenyum lembut sambil mengusap pipi putrinya. "Tidak apa-apa, Nak. Semua akan baik-baik saja. Percaya ya."

Suasana yang tegang perlahan mencair saat Bibi Resyana kembali masuk ke ruangan, diikuti tiga pelayan yang membawa nampan berisi makanan dan minuman.

Mereka meletakkannya di meja kayu jati di depan sofa, mengisi ruangan dengan aroma lezat yang menggoda.

Di atas meja kayu coklat mengkilap, hidangan sederhana namun menggugah selera telah tersaji.

Tiga gelas kayu yang diisi dengan jus apel berwarna kuning keemasan berdiri sejajar di samping sebuah teko yang masih mengeluarkan uap hangat. Aroma apel yang segar tercium samar-samar, mengisi ruangan dengan keharuman alami.

Di sampingnya, terdapat tiga potong roti panggang berwarna coklat keemasan, masih mengepul dengan panas.

Bagian atas roti dibuka, memperlihatkan isian daging cincang yang lembut dengan saus sambal yang menggoda, menciptakan kombinasi rasa yang menjanjikan.

Bibi Resyana duduk di sofa berhadapan dengan Ayah dan Ibu Serena, senyum hangat menghiasi wajahnya.

"Ini dia, makanan dan minuman hangat untuk kalian," katanya dengan nada ramah. "Setidaknya nikmati dulu, silakan!"

Ayah dan Ibu Serena saling bertukar pandang sejenak sebelum menghela napas panjang.

Dengan perlahan, mereka mengangkat gelas kayu masing-masing dan menyeruput jus apel yang segar. Aroma apel yang harum seakan menenangkan, memberikan sekejap kedamaian di tengah kekhawatiran mereka.

Setelah meneguk jus apel, Ayah Serena meletakkan gelasnya kembali di meja. Tatapan serius tergambar di wajahnya saat dia memandang Bibi Resyana.

"Bibi, tujuan kami ke sini adalah untuk menemui Om Rufus. Kami sangat membutuhkan informasi darinya mengenai lokasi quest yang bisa memberikan reward khusus untuk Serena. Hanya dengan cara itu, Serena bisa menghilangkan aroma wangi vanilla yang selalu menarik perhatian mereka."

Serena, yang duduk di pangkuan ibunya, mendengarkan dengan seksama.

Wajahnya yang polos menyiratkan rasa penasaran, namun dia memilih diam agar tidak mengganggu pembicaraan orang dewasa.

Bibi Resyana terdiam sejenak, wajahnya berubah serius. Jemarinya saling mengenggam erat, kekhawatiran terpancar jelas dari raut wajahnya.

Setelah menarik napas panjang, dia akhirnya berkata, "Suamiku sedang menjalankan tugas di istana. Sejak quest-quest acak yang muncul dari orang-orang misterius itu, para penanggung jawab Serikat Guild harus berkumpul untuk membahas situasi ini."

Ibu Serena, dengan wajah gelisah, bertanya, "Kira-kira, Om Rufus akan pulang jam berapa, Bibi?"

Bibi Resyana menunduk, matanya menatap kosong ke arah lantai sebelum melirik ke jam dinding di sudut ruangan.

"Kemungkinan sekitar jam enam malam," katanya pelan. "Suamiku seharusnya sudah pulang pada waktu itu."

Ayah dan Ibu Serena secara bersamaan memandang ke arah jam dinding. Jarum pendek menunjukkan pukul tiga sore, sementara jarum panjang hampir mencapai angka tujuh.

Ayah Serena menghela napas berat, matanya kembali tertuju ke Bibi Resyana.

"Malam hari, ya. Semoga Om Rufus sudah pulang sebelum malam semakin larut," ujarnya dengan nada yang sarat harapan.

Ibu Serena tetap diam, pikirannya melayang jauh. Wajahnya yang kosong mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

Serena, yang duduk di pangkuan ibunya, tetap diam, menyimak setiap kata yang terucap.

Bibi Resyana tiba-tiba menepukkan kedua telapak tangannya, mencoba membuyarkan suasana yang semakin tegang.

"Kalau begitu, lebih baik kalian beristirahat sejenak. Lagi pula, lihat itu. Aksesoris penyamaran kalian hampir habis daya magisnya. Nak Serena juga mulai berubah kembali ke wujud aslinya."

Ayah dan Ibu Serena segera merasakan sesuatu jatuh dari kepala mereka.

Aksesoris itu berupa plat kepala dengan tanduk putih kecil. Rambut mereka yang sebelumnya berwarna abu-abu perlahan kembali menjadi hitam pekat, memperlihatkan identitas mereka yang sebenarnya.

Serena, yang duduk di pangkuan ibunya, tiba-tiba merasakan perubahan di tubuhnya.

Dua tanduk kecil berwarna biru cantik mulai muncul di kepalanya, dan ekor naga kecilnya perlahan menjulur keluar dari balik roknya.

Ibu Serena, terkejut, dengan lembut menahan ekor itu, mencoba menutupi perubahan yang tak terhindarkan.

Biana menoleh ke suaminya, mempertimbangkan saran dari Bibi Resyana dengan penuh perhatian. Wajahnya menunjukkan keraguan, namun akhirnya dia menghela napas panjang.

"Ayah, kita sepertinya tidak bisa melanjutkan perjalanan sebelum artefak penyamaran ini berfungsi lagi," ujarnya pelan, sambil memegang pelat kepala yang sudah kehilangan kekuatannya.

Ayah Serena mengangguk setuju, meletakkan pelat kepala bertanduk itu dengan hati-hati di atas meja. "Kamu benar, Biana. Kita harus bersabar."

Serena, yang sedari tadi duduk diam, langsung berdiri.

Dia merapikan roknya dengan hati-hati agar tidak tersangkut di pangkal ekornya yang mulai terlihat. Setelah itu, merogoh tas kecil milik ibunya, mengambil pita beraksesoris bunga biru dan sepasang bando lalu memasangkannya di kedua tanduk birunya yang baru saja muncul.

"Baiklah," kata Ayah Serena dengan nada tegas. "Kita berangkat besok pagi saja. Kita tunggu artefak ini pulih dan sihir transformasi Serena kembali normal."

Bibi Resyana tersenyum penuh kehangatan. Dia meraih piring berisi makanan yang masih hangat, menyodorkannya dengan lembut ke arah keluarga Serena.

"Kalau begitu, aku akan menyiapkan kamar untuk kalian. Tapi jangan lupa, makan dulu ya."

Ayah dan Ibu Serena saling bertukar pandang, lalu tersenyum bersamaan. "Terima kasih, Bibi," ucap Ayah Serena penuh rasa syukur.

"Maaf, Bibi, kami merepotkan," tambah Biana, wajahnya menunjukkan rasa bersalah.

Bibi Resyana tertawa kecil, menggelengkan kepala. "Berterima kasihnya dengan menghabiskan makanannya saja, ya."

Mereka bertiga mulai menikmati hidangan yang tersaji.

Ayah dan Ibu Serena menyeruput jus apel yang harum, sementara Serena dengan hati-hati menyobek roti panggang dan menaruh potongan daging di atasnya.

Mereka menikmati momen tenang itu, sejenak melupakan kekhawatiran yang membayangi.

Namun, ketenangan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba, terdengar suara ketukan di pintu. Suara itu cukup keras, membuat suasana berubah seketika.

Mereka semua saling menatap dengan pandangan penuh tanya.

Bibi Resyana berdiri perlahan, langkahnya hati-hati menuju pintu. Dia membuka pintu sedikit, cukup untuk melihat siapa yang datang.

"Ada apa?" tanyanya dengan nada yang tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.

Seorang pelayan pria berdiri di celah pintu, tubuhnya membungkuk hormat. "Maaf, Nyonya. Ada beberapa petualang yang mencari Nyonya Resyana. Mereka sedang menunggu di meja resepsionis sekarang."

Serena dan kedua orang tuanya mendengarkan dengan seksama, tubuh mereka tegang, namun berusaha tetap tenang.

Ayah dan Ibu Serena langsung beraksi, menutupi rambut mereka yang kini kembali ke warna aslinya.

Ayah Serena mengikatkan kain di kepalanya, sementara Ibu Serena dengan cepat mengenakan topi cantiknya. Mereka tahu, setiap detail kecil bisa memicu kecurigaan.

Bibi Resyana mengangguk paham, lalu menutup pintu dengan hati-hati setelah berterima kasih kepada pelayannya. Dia berbalik menghadap keluarga Serena, senyum kecil menghiasi wajahnya.

"Maaf, Bibi ada urusan dulu. Ada tiga petualang yang ingin mengambil quest. Bibi harus pergi menemui mereka. Kalian istirahat saja di sini. Nanti, saat bar akan tutup, kalian bisa pindah ke lantai atas. Gunakan tangga sebelah kiri, ya. Tangga kanan itu untuk ruangan biasa, yang eksklusif di sebelah kiri," katanya sambil tertawa ringan.

Ayah dan Ibu Serena tersenyum, kembali mengucapkan terima kasih sebelum Bibi Resyana melangkah keluar, melanjutkan tugasnya.

Suasana kembali tenang. Serena dan kedua orang tuanya menikmati makanan mereka dengan lebih santai, meskipun ketegangan sebelumnya masih menyisakan jejak di hati mereka.

Namun, Serena merasa ada sesuatu yang aneh. Bulu kuduknya tiba-tiba merinding, matanya tertuju pada pintu yang baru saja ditutup.

Perlahan, pintu itu terbuka sendiri. Sebuah uap panas menyelusup masuk, mendorong pintu hingga setengah terbuka.

Di balik pintu, berdiri seorang pria berjubah hitam. Tubuhnya kekar, wajahnya garang dengan senyuman yang memperlihatkan sepasang taring tajam. Di tangan kanannya, sebuah kompas emas berkilauan, memantulkan cahaya yang samar.

Serena menelan ludah, suaranya bergetar saat bertanya, "Siapa orang itu?"

Kedua orang tuanya langsung menangkap perubahan dalam nada suara Serena. Ibu Serena segera menoleh, wajahnya penuh kekhawatiran. "Ada apa, Serena? Kok wajahmu pucat sekali?"

Serena hanya bisa menunjuk ke arah pintu. Ayah dan Ibu Serena mengikuti arah pandangan putri mereka.

Begitu melihat pria berjubah hitam itu dan kompas emas di tangannya, raut wajah mereka berubah drastis. Ketenangan mereka hilang, digantikan oleh ekspresi tegang penuh kewaspadaan.

Ayah Serena berdiri dengan sikap waspada, tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Pandangannya tajam menatap pria berjubah hitam di ambang pintu.

"Orang itu sepertinya pemburu. Kompas itu pasti artefak digunakan untuk melacak kita," katanya dengan nada rendah namun tegas.

Ibu Serena dengan cepat merapatkan tasnya ke dada, seolah melindungi sesuatu yang sangat berharga.

"Mereka pasti melacak kita melalui artefak di tas ini. Kompas Emas itu, aku yakin fungsinya adalah mendeteksi artefak milik kita," ucapnya dengan suara bergetar.

Tanpa berpikir panjang, mereka bertiga segera berdiri bersama, mengambil posisi siap bertahan.

Mata mereka berkilat penuh kewaspadaan, tubuh mereka dalam posisi siaga menghadapi kemungkinan terburuk yaitu pertarungan.

Namun, pria berjubah itu hanya tersenyum lebar, sikapnya tampak tenang dan tidak menunjukkan hal mencurigakan.

Dua orang temannya, yang baru saja menyelesaikan urusan mereka di meja resepsionis, menghampirinya.

Salah satu dari mereka menepuk pundaknya dengan santai dan berbisik sesuatu.

Ketiganya tampak seperti manusia biasa, tanpa ciri khas yang menunjukkan mereka berasal dari bangsa monster ataupun bangsa lainnya.

Namun, mereka tahu, kemungkinan tiga orang itu menggunakan artefak atau sihir penyamaran untuk menyembunyikan sosok aslinya. Kewaspadaan tetap terjaga.

Dua pria itu kemudian menoleh ke arah keluarga Serena, memberikan senyuman singkat dan menunduk untuk hormat kecil sebelum mereka bertiga berbalik dan meninggalkan bar. Langkah mereka tenang, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

Begitu mereka keluar dari pandangan, suasana kembali lengang. Namun, perasaan cemas masih menyelimuti ruangan.

Ayah dan Ibu Serena menghela napas lega, meski hati mereka masih berdebar. Serena sendiri masih bernafas tak beraturan, matanya terus mengamati pintu.

"Kita harus segera menemui Om Rufus," Ayah Serena berbicara dengan nada serius. "Aku tak menyangka ada artefak seperti itu sekarang."

"Kau benar, sayang," sahut Ibu Serena, matanya penuh kekhawatiran. "Aku akan meminta Bibi Resyana untuk segera menghubungi Om Rufus."

Tepat saat itu, Bibi Resyana masuk kembali ke ruangan, wajahnya penuh keheranan. "Kalian kenapa? Ada yang terjadi?" tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.

Ibu Serena segera menghampiri Bibi Resyana, matanya penuh kecemasan. Dia menggenggam erat tangan Bibi Resyana, seolah mencoba menyalurkan kegelisahannya.

"Bibi, tolong! Hubungi Om Rufus sekarang juga. Kami sangat membutuhkan petunjuk tentang quest eksklusif itu!" suaranya bergetar, hampir putus asa.

Bibi Resyana terlihat bingung, alisnya mengerut dalam. "Biana. Suamiku baru akan kembali nanti malam. Apa yang sebenarnya terjadi?"

Ayah Serena berdiri di belakang istrinya, wajahnya tegang. "Bibi, tadi ada pria berjubah hitam dengan Golden Compass. Dia menatap kami, dan aku yakin dia tahu siapa kami," jelasnya dengan nada serius.

Wajah Bibi Resyana berubah drastis, dari keheranan menjadi kepanikan. Alisnya sampai terangkat satu. "Golden Compass?! Bagaimana bisa mereka mengenali kalian?" tanyanya, suaranya bergetar.

Serena yang sejak tadi diam, mengangguk pelan. "Aku merasakannya, Bibi. Tatapan mereka seperti mereka tahu sesuatu yang penting. Mereka tidak seperti petualang biasa," ucapnya dengan suara lirih.

Bibi Resyana mengerutkan alisnya, berusaha memproses informasi tersebut. "Jadi, kompas emas itu benar-benar bisa melacak keberadaan Serena?" tanyanya dengan nada serius.

Ibu Serena menggeleng, tampak kebingungan. "Kami tidak tahu pasti, tapi kita tidak bisa mengambil risiko. Tolong segera hubungi Om Rufus Kami takut mereka akan merebut Serena dan artefak ini," katanya dengan nada hampir memohon.

Mata Bibi Resyana menyipit, tanda dia menyadari sesuatu yang lebih dalam. "Kalian membawa artefak legendaris itu?" tanyanya dengan nada terkejut.

Ibu Serena mengangguk pelan, sementara Ayah Serena hanya menunduk, menghela napas berat.

Tanpa membuang waktu, Bibi Resyana bergegas keluar ruangan, tetapi tak lama kemudian dia kembali lagi dengan ekspresi cemas yang masih tergurat jelas di wajahnya.

"Kalian cepat pindah ke lantai dua. Aku tidak bisa menjamu kalian di ruang tamu ini lebih lama lagi, karena tiga petualang tadi ingin meminta sesuatu kepadaku setelah mereka menyelesaikan quest mereka," ucapnya dengan nada tegas, matanya sesekali melirik ke arah pintu.

Ayah dan Ibu Serena termenung sejenak. Pikiran mereka dipenuhi kekhawatiran, mencoba menebak apa yang sebenarnya diinginkan oleh tiga petualang pembawa Golden Compass itu.

"Baik, Bibi," ujar Ayah Serena, suaranya tenang meski jelas ada ketegangan di balik kata-katanya.

Ibu Serena mulai mengemasi barang-barang mereka yang tersebar di sekitar meja, sementara Serena bergegas menekuk ekor naganya agar tidak mencuat keluar dari balik roknya.

Dia kemudian mengenakan kembali jubah penyamarannya, berusaha menyembunyikan tanduk dan ciri khas lainnya.

"Aku akan segera mengirim surat kepada suamiku agar dia cepat pulang," tambah Bibi Resyana dengan nada yang tak bisa disangkal lagi serius. Setelah itu, beliau segera berlari keluar ruangan.

"Kami ikut keluar, Bibi," ujar Ibu Serena sambil menggandeng tangan Serena.

Mereka berjalan bersama menuju tangga yang menuju ke lantai dua, mencoba menghindari kejadian yang tak diinginkan. Namun, ketakutan mereka menjadi kenyataan.

Tepat ketika mereka mencapai ujung ruang tamu, tiga sosok pria yang mereka khawatirkan muncul dari pintu masuk Bar yang tak memiliki pintu itu.

Mereka berjalan dengan langkah mantap menuju Bibi Resyana, yang kini berdiri di tengah ruangan.

Salah satu pria, yang mengenakan syal hitam mengilap yang menutupi sebagian besar wajahnya, menyerahkan tumpukan kertas quest kepada Bibi Resyana.

"Kami sudah menyelesaikan semua quest yang ada. Jadi, Nyonya, sesuai janji tadi, kami ingin meminta sesuatu sebagai imbalannya," katanya dengan suara dalam dan dingin.

Pria itu memiliki rambut hitam yang agak panjang, menjuntai ke belakang.

Sorot matanya tajam, sementara senjata pisau belati berbentuk sabit terselip di pinggang kirinya, mengisyaratkan bahwa dia bukanlah orang yang bisa dianggap enteng.

Matanya perlahan beralih dari Bibi Resyana ke arah Serena, lalu melirik dengan tajam ke Ayah dan Ibu Serena.

Bibi Resyana menerima kertas quest dari pria berjubah hitam itu dengan sikap waspada. Matanya menyelidik, menatap tajam ke arah pria di depannya.

"Cepat sekali kalian menyelesaikan quest-nya. Mana bukti barangnya?" tanyanya dengan suara tegas yang tidak mengizinkan penolakan.

Salah satu dari mereka, seorang pria dengan zirah perak yang bersinar di bawah cahaya bar, melangkah maju.

Penampilannya seperti seorang ksatria, meskipun tubuhnya tidak terlalu besar atau berotot. Di punggungnya, dia membawa pedang panjang yang terlihat tajam dan mematikan.

Dengan gerakan tenang, dia merogoh tas kulit kecil yang dibawanya.

Tanpa ragu, dia mulai mengeluarkan beberapa hasil buruannya: monster babi berbulu duri, kadal ekor cambuk, dan beberapa makhluk lain yang tampak ganas dan berbahaya.

Setiap monster itu dijatuhkan ke lantai dengan bunyi gedebuk, menarik perhatian setiap pengunjung bar. Mereka semua menatap dengan campuran rasa terkejut dan kagum.

Pria berjubah hitam itu mengangkat alisnya, senyum licik terpampang di wajahnya.

"Baiklah, Nyonya Resyana. Kami hanya memiliki permintaan kecil," katanya dengan nada yang terlalu santai untuk situasi seperti itu. "Kami ingin tahu lebih banyak tentang gadis kecil itu. Mari kita diskusikan ini bersama."

Dia menunjuk Serena dengan gerakan santai namun penuh makna. Kata-katanya seperti pisau tajam yang memotong suasana menjadi lebih mencekam.

Ibu Serena segera bereaksi, tubuhnya menegang, dan matanya melebar dalam kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan. "Anak ini hanyalah anak biasa. Jangan membuat masalah," katanya dengan suara yang bergetar, berusaha mengalihkan perhatian mereka dari Serena. Namun, jelas dari nada suaranya bahwa dia tidak yakin mereka akan percaya.

Pria itu tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh rasa percaya diri. "Anak biasa, katamu? Menarik sekali," ujarnya dengan nada mengejek. "Kalau begitu, mari kita bahas sesuatu yang lain. Bagaimana dengan peralatan di tas itu?"

Ayah Serena berdiri teguh di samping istrinya, melindungi keluarganya. "Kami tidak akan membiarkan kalian menyentuh tas ini atau anak kami," katanya tegas.

Pria bersyal hitam itu, yang sebelumnya tampak penuh percaya diri, kini mendekat dengan sikap yang lebih memohon. Kedua tangannya disatukan di depan dadanya, wajahnya menunjukkan ketulusan yang jarang terlihat.

"Bapak, tolong. Kami tidak akan menyakiti kalian. Kami hanya ingin berbicara sebelum hal-hal yang lebih buruk terjadi."

Lalu, dengan perlahan, dia menaruh telapak tangan kanannya di belakang telinganya. Dalam sekejap, daun telinganya memanjang dan menjadi runcing.

Bibi Resyana tertegun, menutup mulutnya dengan kedua tangan. "Kau dari bangsa Elf," katanya dengan suara yang nyaris berbisik.

Pria berjubah yang sebelumnya membawa kompas itu maju selangkah, menunjukkan kompas emas di tangannya. Jarum kompas itu terbelah menjadi dua: jarum merah menunjuk ke arah Serena, sedangkan jarum biru mengarah ke tas kecil yang dibawa oleh ibunya.

"Kami diutus oleh kerajaan Elf untuk mengamankan artefak legendaris tersebut dan melindungi Putri Serena dari marabahaya. Tolong, percayalah pada kami," katanya dengan nada yang serius namun penuh harapan.

Namun, sebelum ada yang bisa menjawab, suara langkah kaki berat terdengar dari arah pintu masuk.

Mereka semua menoleh, dan pemandangan yang menegangkan menyambut mereka.

Dua belas pasukan ksatria naga telah mengepung mereka. pasukan itu memakai zirah merah yang mencolok, membawa perisai dan pedang dengan bilah di kedua sisinya. Rambut dan ekor mereka berwarna merah, sedangkan tanduknya berwarna hitam.

"Kita ketahuan ternyata," gumam pria bersyal hitam itu, menggenggam erat belatinya, bersiap menghadapi ancaman yang baru muncul.

Ibu Serena segera menarik Serena ke belakangnya, berusaha melindungi putrinya dari bahaya.

"Bagaimana bisa kita ketahuan? Apa mereka juga punya artefak seperti itu?" gumamnya dengan suara keras, matanya penuh kekhawatiran.

"Ibu, apa yang terjadi?" tanya Serena, suaranya gemetar. Namun, ibunya tetap diam, terlalu fokus pada ancaman di depan.

Di tengah kekacauan, para pelanggan bar dengan panik berlari ke sudut ruangan, berusaha menjauh dari potensi pertempuran yang akan terjadi. Suasana menjadi mencekam.

Dari barisan prajurit naga, seorang pria maju dengan langkah gagah. Rambut dan ekornya hitam, sementara tanduknya berwarna ungu tua. Dia memandang pria bersyal itu dengan tatapan dingin.

"Kalian kurang ajar. Tiga puluh pasukanku telah kalian bantai diam-diam," ujarnya dengan nada penuh amarah yang terkendali.

Pria bersyal itu hanya tersenyum tipis, meskipun tatapannya tetap waspada.

"Makanya. Jangan ikut campur! Artefak itu milik kerajaan kami," jawabnya santai, namun tangan kanannya tetap menggenggam erat belatinya, siap untuk bertindak kapan saja.

Ayah Serena menatap tajam ke arah pria naga itu. Ada sesuatu yang dikenalnya dari sosok itu, dan seiring dengan detakan jantung yang semakin cepat, dia menyadari siapa pria di depannya.

"Raez. Apa yang kau inginkan dari kami?! Jadi kau, orang yang memerintahkan semua prajurit naga untuk memburu kami?!" kata ayah Serena dengan suara penuh tekanan, matanya menyiratkan kemarahan yang tersimpan lama.

Pria naga itu, dengan rambut hitam dan zirah perak yang berkilauan, memegang kompas emas yang sama persis dengan yang dibawa pria bersyal itu. Senyuman sinis menghiasi wajahnya saat namanya dipanggil.

"Hai kak Biana, kak Silfian. Lama tidak berjumpa. Lama tidak bertemu. Adikku juga," ujar Raez, matanya tajam menatap Serena yang berada di belakang ibunya.

Sementara itu, pria bersyal, Harven, melangkah maju, menarik belatinya dengan gesit. "Raez. Kau mundur saja! Mereka sudah di bawah perlindungan kami," katanya tegas, sambil menunjukkan sikap yang lebih tenang.

Raez hanya menatapnya dengan ekspresi penuh kesal, telapak tangannya mengepal.

"Hei, Harven. Kau kira aku akan membiarkanmu membawa artefak itu ke kerajaanmu? Jangan harap!" ucapnya dengan penuh ancaman.

Tiba-tiba, tangan kanan Raez mengeluarkan pedang panjang yang memiliki bilah di kedua sisi. Tanpa ragu, dia menarik senjatanya, membaginya menjadi dua, siap bertarung dengan senjata di kedua tangannya.

Melihat ini, semua ksatria naga yang mengelilingi bar langsung menarik senjata mereka, mempersiapkan diri untuk pertempuran yang tidak terhindarkan. Pedang, tombak, dan perisai bersiaga, siap melindungi pemimpin mereka.

"Biana! Bawa Serena pergi dari sini!" bisik ayah Serena, suaranya penuh kecemasan. Segera, dia menoleh ke arah istrinya dan anaknya, memberi isyarat untuk segera meninggalkan tempat tersebut.

Biana segera meraih tangan Serena, bersiap membawanya pergi. "Ayo, Serena. Kita harus keluar dari sini sekarang!"

Serena, meski diliputi ketakutan, mengikuti ibunya. "Ibu, apa yang akan terjadi pada Ayah?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Ayahmu akan baik-baik saja, Serena." jawab Biana, mencoba menenangkan putrinya meskipun hatinya sendiri dipenuhi kecemasan.

Harven yang tidak ingin membiarkan Serena dan keluarganya mengalami hal buruk.

Dia menarik belatinya dengan penuh kewaspadaan dan menyuruh rekannya untuk melindungi mereka, lalu merapikan syalnya dengan satu gerakan cepat.

"Dardas. Kau bawa keluar Putri Serena dan ibunya. Aku akan melawan mereka sebentar," ujarnya kepada temannya, pria yang memegang kompas emas.

Ayah Serena berdiri tegak di samping Harven, tangan kanan dan kirinya mulai mengeluarkan tongkat sihir. Kekuatan sihir yang belum sepenuhnya tampak mulai meresap ke udara, siap untuk digunakan.

"Baiklah. Aku bantu kau. Aku percaya kepadamu," kata ayah Serena, dengan suara penuh keyakinan.

Harven mengangguk pelan, pandangannya tetap tajam mengarah ke Raez dan pasukannya.

"Baiklah. Jangan lupa. Yang Mulia Ratu mencarimu juga," katanya dengan suara rendah.

Serena kembali dari kilasan ingatannya, pandangannya beralih ke depan, di mana pancaran cahaya samar terlihat menembus dinding air di hadapan mereka.

Cahaya itu berkilauan, memberikan suasana misterius di sepanjang lorong bawah tanah yang mereka lalui.

"Sebentar lagi. Kita akan sampai," ujar Pak Malvier kepada mereka.

Terpopuler

Comments

Richie

Richie

/Drool//Awkward//Awkward/

2024-06-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!