Rencana (1)

Di ujung jalan, sebuah gedung megah berdiri kokoh di tengah halaman berbentuk lingkaran.

Tidak seperti bangunan lain di kota Chirandian yang terbuat dari bata coklat dengan sentuhan arsitektur klasik, gedung ini tampak berbeda. Modelnya mulus dan berkilauan, lebih mirip gedung modern di kota manusia.

Tidak ada pedagang kaki lima atau hiruk-pikuk khas pasar seperti sebelumnya, padahal tempat tersebut lumayan luas dan strategis, seolah tempat ini menyimpan atmosfer yang lebih serius dan berat.

Tiba-tiba, suara teriakan mengiris udara.

"Minggir! Minggir!"

Beberapa orang berlarian, mendorong kasur pasien dengan seorang pria terbaring di atasnya, tubuhnya berlumuran darah dan napasnya tersengal.

Sementara orang lainnya, ada yang berlari sambil mengendong temannya yang terlukah parah. Rombongannya mengikuti dari belakang, wajah mereka penuh kekhawatiran saat sedang mengiringinya.

"Bertahanlah, kawan!" seru seseorang yang menggendong temannya yang terluka, wajahnya dipenuhi kecemasan.

Serena dan Violina terdiam, menyaksikan pemandangan itu dengan mata melebar.

Orang-orang yang terluka tampak seperti pemandangan sehari-hari di tempat ini.

Monte, yang berjalan di depan mereka, menghela napas. "Seperti inilah kota yang banyak dihuni bangsa manusia. Rumah sakit selalu penuh."

Serena menatap lurus ke depan, tapi ada bayangan kelelahan dalam sorot matanya.

"Aku tahu rasanya. Kotaku juga sedang seperti ini. Banyak orang yang dilarikan ke rumah sakit sekarang."

Violina di sampingnya mengangguk. "Benar. Dulu di kota Hiddenama, rumah sakit hampir tidak pernah terpakai. Seolah-olah hanya pajangan. Tapi sekarang sudah tidak."

Simpe, yang berjalan di sisi Monte, menolehkan kepalanya ke belakang setelah mendengar percakapan Serena dan Violina.

Ekor monyetnya bergoyang-goyang ke kiri dan kanan, seakan pikirannya tengah bekerja keras mencerna situasi.

"Biar aku tebak. Orang-orang yang banyak masuk rumah sakit di kotamu pasti petualang dari Serikat Hiddenama."

Violina mengangguk perlahan, wajahnya tampak lemas. "Iya sih. Melihat pemandangan di tempat ini mengingatkanku tentang keadaan jalan di kota Hiddenama sebelumnya. Banyak petugas medis berlarian membawa pasien."

Simpe menghela napas. "Bangsa monster punya penyembuhan luka yang cepat, jadi rumah sakit biasanya jarang kita butuhkan. Tapi bagi manusia? Mereka tidak sekuat kita. Mereka tak bisa sembuh secepat itu."

Dia melirik sekeliling, matanya menyipit. "Dan kalau sampai banyak bangsa monster yang butuh rumah sakit. Itu berarti senjata yang digunakan bukan senjata biasa."

Monte yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. "Senjata sihir dengan rank tinggi juga bisa melukai tubuh kita," katanya pelan. "Tapi, untuk benar-benar menembus daya tahan tubuh bangsa monster, manusia harus memakai senjata sihir minimal rank D. Masalahnya, itu pun biasanya tak cukup karena kita punya penyembuhan alami."

Ia terdiam sejenak, lalu mendesah pelan. "Jadi, sepertinya memang senjata Manaterium."

Nada suaranya terdengar ragu, tapi di penjelasan tersebut, mereka tahu bahwa kesimpulan itu yang paling masuk akal.

Nada suara Monte terdengar ragu, tapi Serena dan Violina merasa bahwa kesimpulan yang diungkapkannya masuk akal.

Serena, yang masih terganggu dengan pikiran-pikiran itu, tiba-tiba mengeluarkan ekornya dari dalam roknya.

Ekor naganya memanjang, mengarah ke bawah dengan elegan. Ia menatapnya sebentar, mengingat kembali kejadian yang membuatnya kehilangan bagian tubuh itu.

Sebelumnya, ekornya terpotong oleh petualang manusia yang saat itu sedang mencari lokasi portal kota Hiddenama. Namun sekarang, ekornya telah sembuh dan tumbuh kembali sempurna tanpa bekas luka sedikit pun.

"Tuan Monte sepertinya benar. Petualang di kota kita yang dibawa ke rumah sakit pasti terkena senjata Manaterium." Serena mengucapkannya pelan, suaranya lesu, seolah merasa terbebani dengan kenyataan itu.

Violina menghela napas panjang, lalu dengan hati-hati, dia menyentuh dadanya yang masih terasa sakit, bekas luka akibat serangan sebelumnya. Wajahnya sedikit merengut menahan rasa nyeri.

"Sepertinya iya. Lukaku ini saja belum sembuh-sembuh, padahal bangsa serigala punya kemampuan penyembuhan yang cepat," kata Violina pelan, matanya menyipit karena rasa sakit yang mulai mengganggu.

Pak Malvier, yang sejak tadi tampak diam, menoleh ke belakang dan dengan tegas mengingatkan mereka.

"Kalian. Berhenti membicarakannya. Kita mau masuk ke dalam gedungnya." Suara Pak Malvier terdengar tegas, namun ada sedikit kelelahan di baliknya.

Serena, Violina, Simpe, dan Monte langsung menghentikan diskusi mereka. Seolah baru sadar, mereka melihat ke depan. Pintu gedung megah itu kini sudah ada di hadapan mereka.

Bangunan ini jauh lebih megah dibandingkan yang lain. Pintu besarnya berdiri kokoh dengan ukiran rune sihir yang terukir di sekitar pintu masuk. Energinya terasa samar berpendar.

Begitu mereka melangkah lebih dekat, suasana di sekeliling terasa semakin penuh ketegangan.

Di dalam, banyak sekali orang dengan pakaian dan perlengkapan mencolok keluar-masuk.

Beberapa mengenakan armor besi yang mengilap, pedang besar bertengger di punggung mereka. Yang lain mengenakan jubah penyihir, menggenggam tongkat sihir yang tampak menyimpan kekuatan luar biasa.

Namun, di antara mereka, ada juga warga biasa yang berpakaian sederhana, mungkin hanya pengunjung atau kerabat pasien yang datang dengan kekhawatiran di wajah mereka.

Begitu memasuki ruangan utama, aroma khas ramuan penyembuh tercium samar.

Beberapa orang duduk di kursi panjang, menunggu giliran mereka.

Di sisi lain, seorang penyihir dengan luka bakar di lengannya tengah berbincang dengan seorang penyihir penyembuh. Sementara, di koridornya sedang banyak pria berseragam petualang yang berjalan tampak tertatih dengan perban membalut paha atau tangannya.

Pak Malvier tanpa ragu melangkah menuju meja resepsionis di dekat pintu masuk.

Dua wanita muda duduk di balik meja dengan tulisan "Resepsionis" terukir rapi di plakat kayu.

Mereka mengenakan seragam suster berwarna hitam dengan desain yang terlihat imut. Dua suster itu tetap tersenyum memberikan kesan profesional, meskipun tidak ada orang yang sedang mereka layani.

Resepsionis di sisi kanan segera menyambut mereka dengan ramah, melihat ada segerombolan orang yang dipimpin seorang bapak-bapak menuju meja resepsionis.

"Permisi, Bapak. Bisa kami bantu?" tanyanya dengan senyum sopan.

Pak Malvier merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kartu kecil berwarna perak. Dengan gerakan tenang, beliau menyodorkannya kepada wanita tersebut.

"Nona. Bawa kami ke ruangan eksekutifnya."

Suster itu menerima kartu tersebut dan membacanya. Matanya langsung melebar, ekspresi terkejut tergambar jelas di wajahnya. Ia buru-buru mengangkat pandangannya kembali ke Pak Malvier, kali ini dengan rasa hormat yang lebih besar.

"Selamat datang, Tuan." Suaranya kini lebih formal. Ia segera berdiri dan membungkuk dalam-dalam.

Teman di sampingnya ikut menoleh, awalnya bingung, tapi begitu kartu itu diperlihatkan kepadanya, ekspresi wajahnya pun berubah.

Dengan sigap, ia ikut berdiri dan memberikan penghormatan serupa.

Namun, Pak Malvier dengan cepat meletakkan jari telunjuknya di bibir, isyarat untuk tetap diam.

Dengan gerakan tangan yang halus, ia juga memberi isyarat agar mereka duduk kembali.

"Sudahlah, kalian. Cepat tunjukkan pintunya saja dan jangan beritahu siapa pun bahwa aku datang."

Suster itu tampak ragu sejenak, tetapi akhirnya mengangguk patuh.

Dengan langkah cepat, ia keluar dari meja resepsionis dan bergegas menuju lift yang terletak tidak jauh di sebelah kiri. Jemarinya lincah menekan beberapa tombol di samping pintu logam itu.

"Silakan menuju sini, Tuan," katanya dengan nada hormat.

Pak Malvier mengangguk ringan sebelum menoleh ke rombongan di belakangnya.

"Ayo semuanya."

Mendengar instruksi beliau, Serena, Violina, Monte, dan Simpe segera melanjutkan langkah mereka menuju lift.

Saat tombol terakhir ditekan, terdengar bunyi mekanis pelan dan pintu lift terbuka dengan lembut, memperlihatkan kotak dalamnya yang luas dengan cahaya redup keemasan.

Saat mereka masuk, Serena menoleh ke Simpe dan Monte.

Rasa penasarannya semakin membuncah setelah menyaksikan bagaimana resepsionis memperlakukan Pak Malvier dengan begitu hormat.

"Kalian. Pak Malvier itu sebenarnya siapa sih?" tanyanya dengan suara pelan.

Simpe melirik ke arah Pak Malvier yang berdiri di depan, memastikan bahwa beliau tidak sedang memperhatikan. Kemudian, dengan gerakan hati-hati, ia mendekatkan bibirnya ke telinga runcing Serena, sebelum menjawab dengan nada lirih.

"Beliau itu salah satu pemimpin kota Chirandian. Jabatan resminya adalah Ketua Riset Ilmu Kesehatan dan Sihir di kota ini."

Serena membelalakkan mata, sementara Violina yang berdiri di sampingnya ikut menyipitkan mata kebingungan.

"Terus Pak Agran?" Violina ikut bertanya, masih berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. "Bukannya kalian bilang sebelumnya kalau Pak Agran yang jadi pemimpin kota ini? Apa kota Chirandian punya dua pemimpin?"

Belum sempat Simpe atau Monte menjawab, Pak Malvier yang tampaknya mendengar pembicaraan mereka langsung menoleh ke belakang dengan ekspresi serius. Tatapan matanya tajam, namun ada sedikit senyum samar di sudut bibirnya.

Beliau kembali meletakkan jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar mereka diam.

"Kalian berdua. Jangan sebut nama saya di tempat ini. Nanti saja. Saya sedang menyamar, soalnya."

Violina dan Serena langsung terdiam, saling bertukar pandang sebelum akhirnya menutup mulut mereka rapat-rapat.

Di dalam lift yang kini naik ke atas, suasana mendadak lebih hening, hanya terdengar suara mekanisme lift yang bergerak naik melewati lantai demi lantai.

Lalu, di tengah keheningan itu, Pak Malvier tiba-tiba berbicara dengan senyum kecil di wajahnya.

"Kalian jangan kaget ya. Saya akan berubah menjadi orang yang berbeda nanti."

Serena dan Violina menoleh ke arah beliau dengan alis berkerut.

Tanpa menunggu respons dari mereka, Pak Malvier mulai menekan beberapa angka di panel lift. Namun, bukannya hanya sekadar memilih lantai, suara mekanis berbunyi dari panel itu—seperti gembok yang terbuka.

Setelahnya, beliau menarik panel angka tersebut, memperlihatkan sebuah kotak kecil tersembunyi di dalamnya.

Dari dalam kotak itu, Pak Malvier mengambil sebuah alat suntik kecil berisi cairan berwarna biru bening.

Serena, yang penasaran, langsung bertanya.

"Apa itu, Pak?"

Pak Malvier menatapnya sebentar sebelum tersenyum. "Ini elixir. Obat yang akan mengubah penampilan saya nanti."

Serena hanya bisa menatapnya dengan ekspresi bingung. Mulutnya sedikit terbuka, dan kedua alisnya bertemu, menunjukkan ketidakpahaman.

Monte, yang berdiri tak jauh dari mereka, akhirnya angkat bicara. "Nona Serena, Tuan Malvier itu seorang Alkemis. Beliau akan menunjukkan penampilan aslinya sekarang."

Seolah membuktikan perkataan Monte, Pak Malvier tanpa ragu menyuntikkan cairan itu ke lehernya.

Saat elixir itu perlahan masuk ke tubuhnya, perubahan pun mulai terjadi.

Kulit di wajah dan tangannya yang semula berkerut mulai bergetar halus, seakan meluruhkan usia yang telah menempel selama puluhan tahun.

Rambutnya yang putih perlahan berubah menjadi hitam pekat, kembali ke warna aslinya.

Aura yang sebelumnya terkesan seperti pria tua eksentrik kini berubah menjadi lebih karismatik dan berwibawa.

Violina masih menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sementara Serena hanya bisa terpaku, matanya membesar melihat perubahan drastis yang terjadi di depan mereka.

"Ya ampun. Penampilan beliau jadi begitu berbeda!" seru Violina, suaranya dipenuhi keterkejutan.

Serena mengangguk, masih tak percaya. Sosok pria tua yang tadi berjalan bersama mereka kini berubah menjadi seseorang yang jauh lebih muda, seolah waktu berpuluh tahun yang menempel di tubuhnya lenyap begitu saja.

Monte dan Simpe hanya tersenyum tipis, menunjukkan bahwa ini bukan pertama kalinya mereka melihat perubahan ini.

Sementara itu, Pak Malvier dengan tenang merapikan kerah bajunya, lalu melihat pantulan dirinya di dinding lift yang mengilap. Dia menghela napas ringan sebelum berbicara.

"Nah, sekarang lebih baik begini, bukan?" katanya santai, seolah perubahan luar biasa ini hanyalah hal biasa.

Serena dan Violina masih terkesima. Ekor mereka secara refleks berdiri tegak, menunjukkan rasa kagum yang begitu kuat.

Kini, Pak Malvier bukan lagi seorang pria tua dengan rambut beruban dan tubuh yang tampak lelah.

Penampilannya berubah drastis. Rambut panjang sepundaknya yang dulu penuh uban kini hitam pekat dan berkilau. Tatapan matanya yang dulu teduh kini menjadi lebih tajam dan tegas. Posturnya kembali tegap, memperlihatkan otot yang lebih berisi di dada dan lengannya.

Serena menelan ludah, masih mencoba memahami apa yang baru saja ia saksikan.

"Bagaimana bisa?" tanyanya lirih, penuh rasa penasaran.

Pak Malvier tidak langsung menjawab. Dengan gerakan tenang, beliau mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya—sebuah kalung dengan kristal biru yang bercahaya lembut.

Cahaya dari kristal itu mulai menyelimuti tubuhnya, membentuk lapisan tipis yang berpendar, bergerak seakan memiliki nyawa sendiri.

Dalam hitungan detik, sinar yang berkelap-kelip itu perlahan berubah bentuk.

Dari kilauan yang melayang-layang di udara, cahaya itu mulai mengeras, mengubah dirinya menjadi pakaian yang terwujud dengan sempurna.

Kini, sebuah jas hitam elegan melekat di tubuh Pak Malvier, dipadukan dengan kemeja putih di dalamnya. Sebuah tongkat hitam berukir muncul di tangan kanannya, menambah kesan berwibawa pada sosoknya.

Violina semakin ternganga melihat perubahan itu. Ekor serigalanya bergoyang-goyang, mencerminkan rasa penasaran yang membuncah di dalam dirinya.

"Ini bukan sihir transformasi deh. Ini seperti sihir tingkat tinggi," gumamnya pelan.

Pak Malvier hanya tersenyum samar, matanya melirik sekilas ke arah panel lift yang menunjukkan angka semakin mendekati tujuan mereka.

"Ini memang bukan sihir transformasi." Beliau merapikan jasnya dengan santai. "Ini adalah sihir ilmu pengetahuan."

Serena dan Violina sampai membulatkan mata, semakin bingung dengan istilah yang baru saja mereka dengar.

Violina yang tak bisa menahan rasa penasarannya akhirnya bertanya lebih lanjut.

"Sihir ilmu pengetahuan? Itu sihir apa?"

Sebelum Pak Malvier sempat menjawab, terdengar suara "Ting!" dari lift. Perjalanan mereka telah sampai pada tujuannya.

Pak Malvier tersenyum kecil, menepuk jasnya sekali lagi sebelum berkata, "Nanti saja. Kita bahas di kantor lab saya."

Pintu lift terbuka dengan mulus. Seketika, udara dengan bau antiseptik yang tajam menyeruak ke hidung mereka.

Begitu melangkah keluar, pemandangan yang terbentang di hadapan mereka bukanlah ruang kantor biasa.

Ruangan itu luas, penuh dengan meja-meja panjang yang diterangi lampu medis berwarna putih terang.

Di atas meja-meja tersebut, berbagai tubuh monster yang sudah mati terbaring, masing-masing dalam kondisi yang berbeda. Ada yang masih utuh, ada yang telah dibedah hingga organ dalamnya terlihat.

Beberapa orang di sekitarnya, para peneliti dari berbagai ras manusia, beastmen, bahkan elf sibuk mengamati tubuh makhluk itu dengan pakaian medis tertutup rapat bergerak di antara meja-meja, memeriksa, mencatat, dan mengamati dengan penuh konsentrasi.

Ada yang menggunakan alat-alat sihir untuk menganalisis luka-luka pada tubuh monster, sementara yang lain sibuk menggambar struktur anatomi makhluk-makhluk tersebut.

Serena menahan napas. Violina menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang perlahan merayap di tubuhnya.

Langkah kaki mereka berhenti ketika seorang pria tua mendekat.

Pakaiannya rapi seperti Pak Malvier yaitu berjas hitam panjang. Namun, tanpa tongkat. Rambutnya hitam tipis, dengan brewok halus yang memberikan kesan cerdas dan berwibawa.

Pria itu mengulurkan tangannya kepada Pak Malvier.

"Selamat datang, Tuan Malvier. Ada keperluan apa Anda di sini?"

Pak Malvier menjabat tangannya tanpa ragu.

"Siapkan ruangan untuk pemeriksaan. Ada hal penting yang ingin saya cek."

Pria tua itu mengangguk, lalu memberi isyarat dengan tangannya. "Ikuti saya, Tuan."

Mereka berjalan melewati beberapa meja lagi.

Cahaya di ruangan ini berbeda dari sebelumnya. Bukan lagi putih terang seperti di laboratorium utama, melainkan kuning hangat. Pandarannya menciptakan suasana yang lebih serius, seolah tempat ini diperuntukkan bagi riset yang lebih mendalam.

Di hadapan mereka, sebuah pintu besi berdiri kokoh. Tulisan "Jangan Ganggu" tercoret di permukaannya dengan pilox merah yang mencolok, seakan memberi peringatan bahwa ruangan ini bukan untuk sembarang orang.

Pria tua yang memandu mereka berhenti di depan pintu itu, kemudian menoleh ke Pak Malvier. Tanpa banyak bicara, ia membuka pintu dan memberi isyarat agar mereka masuk.

Pak Malvier melangkah masuk, diikuti oleh Serena, Violina, Simpe, dan Monte. Begitu mereka melewati ambang pintu, suasana di dalam langsung terasa berbeda.

Berbeda dari ruangan sebelumnya yang dipenuhi aktivitas otopsi monster, ruangan ini lebih tertata dan berfokus pada penelitian bahan-bahan misterius.

Tabung-tabung kaca besar berjajar di sisi ruangan, berisi cairan berwarna-warni yang berpendar lembut.

Beberapa meja kerja dipenuhi dengan peralatan alkimia, dari bejana kaca, tabung reaksi, hingga tungku pemanas yang mengeluarkan asap tipis.

Yang paling menarik perhatian adalah mesin-mesin unik yang dipenuhi ukiran rune bercahaya. Setiap kali salah satu mesin itu diaktifkan, partikel sihir berwarna keemasan berhamburan di udara seperti percikan cahaya bintang.

Serena dan Violina mengedarkan pandangannya, mengamati sekitar. Mereka tidak pernah membayangkan tempat seperti ini ada di dalamnya.

Tiba-tiba, sesosok wanita kecil dengan sayap transparan berkilauan terbang mendekati Pak Malvier. Dengan tubuhnya yang mungil, tak lebih besar dari kepala manusia biasa.

Sayap capung di punggungnya mengepak dengan cepat, menghasilkan percikan cahaya kecil setiap kali ia bergerak.

Saat sudah berada di depan pak Malvier. Tubuhnya diselimuti cahaya lalu berubah menjadi wanita anggun bergaun elegan berenda dengan warna hitam dan putih yang serasi. Rambutnya panjang berwarna pirang dengan kedua mata berwarna biru cerah.

"Ada apa, Tuan Malvier?" tanyanya dengan suara jernih.

Pak Malvier merogoh sesuatu dari dalam sakunya dan menunjukkan sebuah potion berisi cairan berwarna hijau pekat.

"Siapkan tabung pemeriksaan dan alat analisis bahan sihirnya. Saya ingin meneliti sesuatu yang penting."

Para peneliti di ruangan itu langsung bergerak. Tanpa perlu diberi perintah dua kali, mereka mulai membereskan alat-alat sebelumnya dan menggantinya dengan peralatan yang dibutuhkan untuk penelitian baru ini.

Pria tua yang tadi mengantar mereka ke ruangan ikut angkat bicara.

"Tuan Malvier, bolehkah saya tahu apa yang sedang Anda teliti? Mungkin saya bisa membantu."

Pak Malvier menoleh ke arahnya dan tersenyum kecil.

"Sam."

Pria tua itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk kecil.

"Iya, tuan."

"Periksa keadaan nona serigala ini," kata Pak Malvier sambil melirik ke arah Violina. "Obati lukanya. Lalu cek komposisi potion ini. Aku ingin tahu apakah kita bisa menemukan sesuatu yang berguna darinya."

Pak tua Sam mengamati Violina dengan tatapan penuh perhitungan, lalu melirik potion di tangan Pak Malvier.

"Ini eliksir apa, Tuan Malvier? Apa ini ramuan terbaru yang Anda buat?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.

Sebelum Pak Malvier sempat menjawab, Simpe langsung menyela dengan ekspresi penuh semangat.

Dia menaruh kedua tangannya di dada, sementara ekor monyetnya bergoyang teratur seperti mengikuti irama yang hanya bisa ia dengar sendiri.

"Bapak pasti akan terkejut nanti kalau mendengarnya! Kalau ramuan itu bisa menyembuhkan racun dari bahan Manaterium!"

Pak Sam langsung membeku di tempat. Kedua matanya melebar, mulutnya pun sedikit terbuka, seolah kata-kata Simpe baru saja menjungkirbalikkan semua yang ia ketahui tentang dunia alkimia.

Beruntung, suara Simpe cukup pelan, jadi peneliti lain tidak mendengar penjelasannya.

"Tidak mungkin. Bahan Manaterium ternyata ada obatnya?" gumamnya tak percaya.

Monte, yang berdiri di sampingnya, mengangguk mantap, menegaskan pernyataan Simpe.

"Benar, Pak. Karena itu, kami membawa Nona Violina untuk diobati sekaligus mengecek efek obat ini pada tubuhnya. Jika benar potion ini bisa menghilangkan racunnya, maka ini adalah penemuan besar."

Pak Sam tidak menunggu lebih lama lagi. Beliau langsung mengambil potion itu dari tangan Pak Malvier dengan hati-hati, seolah sedang memegang benda paling berharga di dunia.

"Akan saya laksanakan," katanya singkat.

Beliau kemudian menunduk sedikit ke arah Serena dan Violina sebagai tanda penghormatan sebelum melangkah pergi dengan cepat menuju meja laboratorium. Namun, sebelum benar-benar pergi, pak Sam menoleh ke arah Simpe dan Monte dengan ekspresi datar.

"Oh, satu lagi," katanya dengan nada santai, "Kalian berdua, jangan lupa ganti pakaian. Bau kalian sudah campur aduk."

Simpe dan Monte saling berpandangan.

Serena, yang sejak tadi diam, hanya terkikik kecil melihat ekspresi mereka berdua.

Simpe tersenyum tipis, lalu memandang baju kaosnya yang sudah kusam. Kulitnya juga kotor dan bulu monyetnya tampak berdebu.

"Efek tidak mandi selama tiga hari kayaknya. Kita terlalu sibuk mengawasi petualang manusia sampai lupa diri," ujarnya dengan cengiran kecil.

Monte menghela napas panjang, menyadari bahwa pakaiannya jauh lebih kotor dari Simpe. Jubah kainnya yang dulunya berwarna gelap kini berubah menjadi coklat dan bau tanah.

"Apa kita harus mandi dulu?" tanya Monte setengah bercanda, meskipun terlihat serius.

Violina ikutan mengecek pakaiannya. Dia menatap gaun mantelnya yang sudah kusam dan mengendus sedikit kainnya. Bau amis yang samar masih tersisa, mengingatkan dia pada kejadian sebelumnya, saat dirinya terlempar ke dalam tumpukan sampah.

"Aku sampai lupa, sebelumnya aku ingin cepat-cepat ganti pakaian."

Serena menatap gaunnya dengan cermat. Meski gaunnya sedikit robek di bagian bawah, dan ada beberapa di pinggang, dia merasa itu masih jauh lebih baik dibandingkan dengan sahabatnya.

"Gaunku tidak begitu kotor sih. Kecuali, kalo aku terpental ke tumpukan sampah kayak kau, Violina."

Pak Malvier, yang dari tadi mengamati mereka dengan senyum tipis, akhirnya menggelengkan kepala.

"Tidak perlu, Monte," kata Pak Malvier dengan suara lembut. "Setelah ini kalian ada tugas untuk mengantarkan mereka ke Pak Agran. Mandinya nanti saja."

Wanita peri yang sebelumnya menghampiri Pak Malvier kini kembali.

Dengan gerakan lembut, sayap perinya yang berkilauan berdesir halus di udara. Ia terbang mendekat, menundukkan tubuhnya dengan hormat sambil sedikit mengangkat roknya.

"Sudah saya siapkan, Tuan."

Pak Malvier mengangguk singkat, lalu mengarahkan tangannya ke arah Violina. "Fafil. Jangan bilang ke saya. Silahkan tanyakan ke nona Violina."

Wanita peri itu berpaling, menatap Violina dengan penuh perhatian.

"Nona Serigala, silahkan ikut kami untuk pemeriksaan tubuh Anda. Pemeriksaan ini akan dilakukan tanpa busana, jadi kami akan mengambil pakaian Anda untuk pengecekan lainnya."

Violina terdiam, perasaannya campur aduk. Rasa canggung langsung menyerang dirinya. "Tunggu. Jadi, aku harus telanjang di hadapan bangsa manusia ini?" tanyanya dengan suara ragu.

Nona Fafil menggelengkan kepala dengan senyum manis di wajahnya.

"Tenang saja, Nona. Kami akan menutupi proses pemeriksaannya, dan hanya beberapa bangsa manusia yang akan memeriksa tubuh Anda nanti."

Serena, yang sejak tadi diam, mendekat dan dengan lembut mendorong punggung Violina.

"Violina, ayo deh. Ini demi kesehatanmu. Kau dengar tadi, kan? Kalau tubuhmu terkena senjata yang menakutkan itu."

Tatapan serius dari Serena membuat Violina tak bisa berkata-kata. Matanya yang melotot dengan penuh perhatian memberi Violina dorongan yang cukup kuat.

Setelah beberapa detik ragu, Violina akhirnya mengangguk pelan.

"Baiklah. Aku pergi," jawabnya dengan suaranya pelan.

Violina pun mengikuti nona Fafil yang terbang maju, mengarah ke ruang yang telah disiapkan.

Di dalamnya, sebuah meja otopsi yang bersinar dengan cahaya terang putih terlihat mencolok. Tirai penutup yang mengelilingi meja itu memberikan sedikit rasa privasi.

Para peneliti, baik dari ras manusia maupun monster, sibuk menyiapkan peralatan yang tampak canggih dan alat-alat medis aneh.

Beberapa mesin tampak menyala dengan ukiran rune yang memancarkan cahaya lembut, menambah suasana misterius yang mengelilingi ruangan itu.

Pak Malvier menghentakkan tongkatnya dengan suara bergema yang memecah keheningan di ruangan tersebut.

Semua orang yang ada di sana, termasuk Serena, Simpe, dan Monte langsung memperhatikan gerakan beliau.

"Baiklah. Mari kita duduk dulu," kata Pak Malvier sambil melirik mereka satu per satu. "Saya akan menjawab pertanyaanmu, Nak Serena. Sesuai janji."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!