Bahan Pangan (1)

Serena dan Violina bersandar di batang pohon besar yang rindang, pohon itu menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya di sekitarnya. Dahan-dahannya yang kokoh melindungi mereka dari langit malam yang berawan.

Di salah satu cabang yang kuat, sebuah lentera tergantung, memancarkan cahaya hangat yang menyinari keduanya.

Di sekeliling mereka, rumput liar yang halus dan berwarna hijau pucat tumbuh lebat, mencapai setinggi orang dewasa.

Rumput itu begitu padat sehingga seseorang harus menerobosnya untuk masuk, namun anehnya, di sekitar pohon tempat mereka bersandar, rumput tersebut tidak tumbuh, seolah-olah memberi ruang khusus untuk mereka berdua.

Mereka duduk berdekatan, bahu mereka hampir bersentuhan saat keduanya meneliti lembaran koran yang tergeletak di tanah di depan mereka.

Mata Serena menyipit, penuh dengan kemarahan yang terpendam ketika dia membaca judul besar di halaman depan. Violina, di sisi lain, tampak terkejut, meskipun ada jejak kepasrahan dalam ekspresi wajahnya.

"Manusia semakin menggila," Violina bergumam dengan suara rendah, meski kata-katanya jelas terdengar di udara malam yang tenang. "Apa mereka benar-benar sebutuh itu dengan tubuh kita? Ini tidak seperti dulu. Sebelumnya, mereka tidak seobsesif ini."

Serena mengangguk, namun raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam.

Di bawah judul besar, sebuah gambar mengerikan memperlihatkan tumpukan tubuh bangsa monster, beberapa sudah tak berbentuk. Latar tempat dipenuhi darah, sementara para manusia dengan wajah tanpa ekspresi—berdiri di sana dengan senjata-senjata mereka.

"Dan Dewan Serikat Monster masih berdiam diri," gumam Serena, suaranya bergetar penuh amarah. "Berita seperti ini sudah menyebar ke mana-mana, tapi mereka belum mengambil tindakan apapun. Sampai kapan kita harus menunggu?"

Violina menoleh, mencoba mencari ketenangan dalam mata Serena, tetapi yang ia temukan hanyalah kobaran api amarah yang semakin menyala.

“Sabar saja, Serena. Selagi kita bisa bersama, bukankah itu sudah cukup baik?” Violina memberikan senyuman tipis.

Serena menghela napas panjang. Wajahnya yang murung semakin terlihat jelas saat otot-otot di wajahnya menegang.

“Kau tidak lelah dengan semua ini, Violina? Bahkan untuk makan dan minum saja kita harus menyelesaikan quest dari permainan dewa. Barang-barang reward itulah satu-satunya yang bisa kita makan. Dan sekarang, kita juga diburu oleh manusia.”

Ekor naga Serena tiba-tiba menegang, bergetar hebat seiring dengan kata-katanya yang penuh emosi. Kegetiran dan kelelahan tampak jelas di raut wajahnya.

Violina, dengan hati-hati, merangkul Serena dari samping, mendekatkan kepala Serena ke pipinya.

Rambut putih Serena menjuntai, menghalangi mata kiri Violina. Kedua telinga serigala Violina ikut menunduk, memahami dan merasakan kegelisahan yang meresapi Serena.

"Tidak apa, Serena. Aku yakin semua Serikat Monster yang ada di dunia manusia sekarang sedang mencari cara untuk keberlangsungan bangsa kita ke depannya. Jangan menyerah, kita harus tetap bertahan," bisik Violina dengan penuh keyakinan.

Suara gemerisik rumput yang terinjak oleh seseorang membuyarkan momen kebersamaan mereka.

Serena dan Violina segera tersadar dari lamunan mereka.

Mereka melepaskan pelukan, jantung mereka berdetak lebih cepat, menunggu dengan rasa penasaran akan kemunculan siapa dari balik rerimbunan rumput liar yang mengelilingi mereka.

Tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik rerumputan.

Dia berambut hitam yang diikat bundar di belakang kepalanya, dengan rambut panjang yang mengalir di sisi kiri dan kanan wajahnya. Dengan mengenakan kemeja putih panjang yang rapi dipadukan dengan rok hitam selutut, lengkap dengan kacamata bundar yang membuatnya terlihat tegas.

"Serena dan Violina," panggil wanita itu dengan nada terkesan mendesak. "Kalian harus segera mengambil persediaan makanan dari Serikat Guild Hiddenama. Persediaannya sudah hampir habis."

Violina segera berdiri untuk menyambut wanita itu. Ekor serigalanya berkibas pelan ke kiri dan ke kanan, menunjukkan campuran antara kegelisahan dan rasa hormat.

Kedua tangannya terangkat sedikit, menimpali perasaan heran yang ia rasakan.

"Bibi Mei? Bukannya seminggu lalu sudah kami bawakan bahan makanannya? Kenapa sudah habis saja sekarang?" tanyanya, tak menyembunyikan rasa tidak percayanya.

Bibi Mei menghela napas panjang sambil memijat pelipis kanannya, seakan mencoba meredakan pusing yang tampaknya selalu menghinggapinya. Wajah kelelahan terpancar jelas dari setiap gerak-geriknya.

"Kalian, sebagai monster pengintai, seharusnya sudah tahu. Sekarang semakin banyak bangsa monster yang diteleportasi dari dunia sihir ke dunia manusia. Banyaknya orang yang ditampung di kota Hiddenama membuat persediaan makanan harus diperbanyak juga."

Violina menurunkan rasa terkejutnya. Tingkah lakunya kembali melemas, ekor serigalanya berhenti berkibas, dan ia menundukkan kepalanya, tatapannya jatuh ke tanah di bawah kakinya.

"Oh, iya, tapi kenapa sekarang banyak orang dari dunia sihir yang diteleportasi ke dunia manusia? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?" tanya Violina, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.

Serena yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan wajah cemberutnya.

Dia memeluk kedua kakinya dan menyandarkan punggungnya di batang pohon, ekor naganya terjulur panjang, menunjukkan betapa dalam rasa kesalnya.

"Gimana enggak susah! Semua orang di kota Hiddenama hanya diam saja. Mereka tidak mau bertindak untuk mengubah kehidupan bangsa monster!"

Bibi Mei berdiri mematung setelah mendengar keluhan Serena.

Sorot mata Bibi Mei berubah, menunjukkan kegelisahan yang semakin sulit disembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah koran yang terbuka di hadapan Serena dan Violina. Meskipun berusaha tegar, jelas terlihat bahwa kata-kata Serena telah menggoyahkan ketenangan hatinya.

"Sudahlah, Serena. Bersabarlah. Biarkan para Dewan Serikat Monster yang mengurus semua ini. Itu semua bukan di bawah kendalimu," ujar Bibi Mei dengan suara lembut, berusaha menenangkan Serena meski dirinya sendiri tampak ragu.

Namun tiba-tiba, suara wanita lain terdengar dari kejauhan, memanggil nama Bibi Mei berulang kali dengan nada cemas.

"Mei! Di mana kau?!" teriaknya.

Violina, dengan gerakannya yang lincah, langsung melompat ke atas pohon, mencari sumber suara tersebut. Rerumputan tinggi yang tumbuh liar menghalangi pandangannya, memaksanya untuk naik lebih tinggi lagi ke atas ranting.

"Bibi Mei, itu ada Bibi Ella yang sedang mencarimu," ujar Violina setelah melihat sosok seorang wanita berpakaian serupa dengan Bibi Mei di sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu yang tergantung di dindingnya.

Wanita yang dipanggil Bibi Ella segera memperhatikan Violina di atas pohon, lalu berteriak sambil meletakkan kedua telapak tangannya di mulut untuk memperkuat suaranya, "Violina, kau tahu di mana Bibi Mei?"

Bibi Mei dan Serena segera memalingkan pandangannya ke arah Violina yang sedang bertengger di atas pohon.

"Oh, itu Ella. Bilang saja padanya, Violina. Aku akan segera datang," ujar Bibi Mei dengan nada sedikit terburu-buru, tampak jelas bahwa dia memiliki banyak hal yang harus diurus.

Violina mengangguk cepat dan berteriak ke arah Bibi Ella, "Bentar, Bibi! Bibi Mei akan segera pergi!"

Bibi Mei berbalik badan, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum dirinya benar-benar melangkah pergi, dia berhenti sejenak dan memalingkan wajahnya kembali ke arah Serena dan Violina.

"Serena, Violina, jangan lupa ya. Tolong ambil bahan makanannya. Kasihan anak-anak nanti tidak bisa sarapan," katanya dengan nada penuh harap.

Setelah itu, Bibi Mei pergi, menerobos ilalang tinggi dan meninggalkan Serena dan Violina di bawah pohon besar yang rindang, di tengah malam yang semakin sepi.

Violina melompat turun dari pohon dengan lincah. Dia segera menepuk-nepuk bulu ekor serigalanya yang tertempel debu, juga membersihkan rok panjangnya dari kotoran yang melekat.

"Mari kita pergi, Serena. Kita selesaikan secepatnya saja. Kasihan anak-anak di penginapan monster kalau mereka nanti tidak bisa makan," kata Violina dengan lembut sambil mengulurkan tangan kanannya.

Serena, meskipun masih menunjukkan wajah cemberut, meraih tangan Violina dan berdiri. Dia membersihkan rok serta ekor naganya sebelum mengajak Violina melanjutkan perjalanan.

"Hei, Violina," ucap Serena, suaranya sedikit lebih lembut.

"Hmm?" gumam Violina, memberikan respons tanpa menoleh.

"Sepertinya bangsa monster harus ada yang membuat perubahan. Kita tidak bisa seperti ini terus selamanya," Serena mengutarakan pikirannya, nadanya serius.

Violina mengangguk pelan, "Iya, iya, Serena. Serah kau saja deh," jawabnya setengah bercanda, sebelum mengambil koran yang tadi mereka baca.

Dengan hati-hati, dia meletakkannya kembali ke dalam lemari yang terletak di batang pohon. Lemari itu menyimpan pakaian-pakaian milik Violina, bantal, guling, selimut, dan peralatan pribadi seperti sisir.

Mereka kemudian mulai berjalan, menerobos ilalang yang tinggi menuju lorong yang sebelumnya dilewati oleh Bibi Ella.

Lorong itu membawa mereka menuju asrama, tempat yang familiar bagi mereka berdua. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah bangunan asrama yang cukup besar, penuh dengan aktivitas anak-anak monster yang berkeliaran.

Di asrama tersebut, mereka bertemu dengan wanita-wanita lain yang mengenakan pakaian yang sama seperti Bibi Mei dan Bibi Ella.

Asrama ini terbagi dalam beberapa ruangan yang fungsinya tertulis jelas di pintu masuk, meski tanpa pintu. Ada ruang makan, ruang dapur, perpustakaan, dan ruang kesehatan yang luas.

Anak-anak dari berbagai macam bangsa monster berlarian riang ke sana kemari. Sebagian menuju ruang makan, yang lain berkumpul di perpustakaan, sementara yang lain menuju ruang kesehatan.

Setelah melewati keramaian di dalam asrama, Serena dan Violina akhirnya tiba di halaman yang luas di bagian belakang.

Halaman itu terbagi menjadi tiga area besar: satu untuk bermain sepak bola, satu untuk kolam renang, dan satu lagi untuk bermain basket.

"Asrama Monster Bagian Barat" begitu tulisan besar di atas bangunan utama, menandakan tempat mereka.

Asrama ini berada di tengah-tengah, diapit oleh dua asrama lain yang terletak di kiri dan kanan.

Asrama di kanan dipenuhi oleh anak-anak monster laki-laki, sementara di kiri dihuni oleh anak-anak monster perempuan. Semuanya tampak bergerak menuju asrama pusat, mengikuti aroma makanan yang menguar dari dalam.

Serena menoleh ke arah Violina, suaranya tegas, "Violina, nanti pegang erat kakiku. Kita akan terbang."

Violina mengangguk, memahami arahan itu. Dia mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Serena. "Siap, Serena."

Serena memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Saat itu, sayap naganya yang besar dan berwarna biru mencuat dari punggungnya, membentang lebar di udara.

Desain gaun Serena memang sengaja dibuat terbuka di bagian punggung, hanya dilapisi kain tipis untuk memastikan gaunnya tidak robek saat sayapnya keluar.

Anak-anak monster yang bermain di sekitar lapangan berhenti sejenak, mata mereka terbelalak menyaksikan keindahan sayap Serena.

Saat Serena mulai mengepakkan sayapnya, angin kencang bertiup, mengangkat debu dari tanah dan menghamburkannya ke udara. Anak-anak itu menutup mata mereka dengan tangan, melindungi diri dari debu yang beterbangan.

"Lompat, Violina!" teriak Serena dari udara, suaranya terdengar jelas meski angin berhembus kencang.

Violina tidak menunggu lama. Dengan lompatan yang cekatan, dia menggenggam erat kaki kanan Serena. Bersama-sama, mereka terbang tinggi ke angkasa, meninggalkan lapangan sepak bola yang kini kembali sunyi.

Setelah beberapa menit terbang di angkasa, Serena memperhatikan sekelilingnya.

Di langit kota, terlihat banyak monster dari berbagai bangsa, semuanya memiliki sayap yang memungkinkan mereka untuk terbang. Di kejauhan, Serena melihat tujuan mereka—Serikat Guild Hiddenama, sebuah bangunan berlantai dua yang mencolok di tengah kota.

Bangunan itu berdiri sendiri, tanpa ada bangunan lain di sekitarnya. Namun, tempat itu ramai, dikelilingi oleh para monster yang berkumpul untuk berbelanja di kios-kios kaki lima atau bersantai di meja-meja yang disediakan, menikmati makanan dan minuman mereka.

Serikat Guild Hiddenama dibangun dari kayu dengan beberapa bagian terbuat dari beton, desainnya berbeda dan menonjol dibandingkan bangunan-bangunan lainnya yang tersebar jauh di sekitarnya.

"Violina, kita hampir sampai. Sebelum aku mendarat, bisa nggak kamu langsung lompat ke bawah?" tanya Serena sambil melirik ke arah Violina yang masih menggenggam erat kakinya.

"Ya, gampang kok. Asal jangan dari ketinggian aja," jawab Violina sambil mendongakkan kepalanya, pakaian dan ekor serigalanya berkibar-kibar diterpa angin.

"Oke, aku akan turun sekarang."

Serena mulai terbang lebih rendah, menukik perlahan menuju sebuah halaman yang tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.

Halaman tersebut merupakan area pendaratan khusus bagi para monster bersayap yang terbang di kota.

Tempat ini disediakan agar debu yang terhembus oleh kepakan sayap para monster tidak mengganggu warga sekitar. Di sekeliling halaman, terdapat tiang-tiang rambu bergambar makhluk bersayap.

Beberapa monster lain juga terlihat mendarat, sebagian membawa barang bawaan, sementara yang lain datang dengan tangan kosong.

Serena dan Violina melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati jalanan yang dipadati oleh monster dari berbagai bangsa.

Setiap bangsa memiliki ciri khas yang berbeda, membuat jalanan kota penuh warna dan kehidupan.

Lampu-lampu kota berwarna kuning menerangi jalan, memberikan suasana hangat dan sekaligus memperindah Hiddenama. Di sepanjang jalan, papan penunjuk arah menunjukkan berbagai lokasi penting, termasuk Serikat Guild Hiddenama, rumah sakit kota, area pelatihan, dan lapangan pendaratan.

Dalam perjalanan menuju serikat, Serena dan Violina menyaksikan pemandangan yang mengganggu—banyak monster yang terluka, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit Hiddenama. Wajah mereka tampak lelah dan kesakitan, beberapa di antaranya terluka parah.

Serena mengernyit, suaranya penuh kekhawatiran, "Kenapa banyak sekali Hunter yang terluka? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Violina, yang ikut melihat pemandangan itu, menjawab dengan nada penuh kebingungan, "Mereka juga Hunter Monster, kan? Mungkin mereka diserang oleh Hunter manusia?"

Serena menatap ke arah bawah, merenung dalam pikirannya. "Aku juga nggak tahu, Violina. Jarang sekali kita melihat banyak Hunter Monster terluka parah seperti ini. Luka kita biasanya sembuh cepat, jadi biasanya kita tidak perlu dirawat di rumah sakit."

Mereka melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati kerumunan pedagang kaki lima yang ramai. Aroma rempah-rempah yang kuat menyebar ke seluruh area, menggoda setiap indra penciuman yang melewatinya.

Di depan mereka, bangunan Serikat Guild Hiddenama tampak lebih tenang dan tertata.

Meja-meja bundar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya dipenuhi oleh monster dari berbagai bangsa, bercakap-cakap dengan santai sambil menikmati makanan dan minuman.

Beberapa pelayan pria dan wanita dari Serikat Guild terlihat sibuk keluar masuk, mengantarkan pesanan kepada para pelanggan.

Saat mereka melangkah masuk ke dalam Serikat Guild Hiddenama, suasananya berbeda dari luar. Meski masih ramai, ada perbedaan signifikan. Di sini, cahaya lembut dari lampu-lampu gantung memantul di atap kayu berwarna cokelat, menggantikan sinar bintang dari luar.

Monster-monster di dalam juga membawa senjata seperti pedang dan tongkat sihir, yang diletakkan rapi di samping mereka saat mereka beristirahat.

"Nea, selamat malam!" Serena menyapa salah satu resepsionis wanita yang sedang bekerja di meja depan.

Di sana, enam resepsionis wanita lainnya juga sibuk mencatat dan melayani para Hunter Monster yang datang.

Nea, yang baru saja selesai mencatat permintaan dari beberapa Hunter sebelumnya, langsung menoleh saat mendengar suara Serena.

"Serena, Violina! Apa kabar kalian? Ada yang bisa kubantu?" Nea menyambut mereka dengan senyum, meletakkan pena yang dipegangnya.

Sayap kelelawar kecil yang berada di pinggang Nea berkibar-kibar dengan semangat saat mengetahui Serena dan Violina mampir. Matanya berbinar, dan senyuman hangat merekah di bibirnya, menyambut kedatangan kedua sahabatnya.

Serena dan Violina mendekat ke meja resepsionis. Violina, tanpa ragu, berdiri tepat di hadapan Nea, matanya penuh harap.

"Nea, kami butuh persediaan bahan makanan," ujar Violina dengan nada serius. "Asrama monster akan kehabisan persediaan, dan kami tak bisa membiarkan itu terjadi."

Wajah Nea langsung berubah mendengar permintaan itu. Keceriaan yang tadi terpancar di wajahnya kini memudar, digantikan oleh raut cemas. Ia menundukkan kepalanya sedikit, dan sayap kelelawarnya yang tadi berkibar-kibar kini melemas.

"Maaf, Violina," jawab Nea pelan. "Persediaan bahan makanan di Serikat Guild juga menipis. Asrama monster bagian timur sering memintanya, jadi stok kami benar-benar kritis."

Serena, melihat situasi yang semakin sulit, maju ke depan dan menatap Nea dengan tajam. Wajahnya serius, hampir memaksa.

"Nea, jadi apa yang bisa kami lakukan sekarang? Kami tak mungkin pulang dengan tangan kosong. Anak-anak di Asrama Monster Bagian Barat tidak bisa sarapan jika kita tak membawa apapun. Menipis bukan berarti habis, kan? Pasti ada yang bisa kau berikan."

Nea menggeleng pelan, kesedihan terlukis jelas di wajahnya.

"Serena, jika aku memberikan bahan makanan yang tersisa untuk kalian, bagaimana dengan orang-orang yang sedang memesan makanan sekarang? Mereka juga bergantung pada stok ini. Jika aku berikan semuanya, mereka tak akan bisa membeli apa-apa nanti."

Tiba-tiba, tirai hijau yang menutupi pintu di belakang Nea tersibak, dan seorang wanita muncul dari baliknya.

Wanita itu mengenakan pakaian ungu dengan rambut hitam panjang yang terurai hingga ke dadanya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah cerutu, menghisapnya dengan santai. Namun, yang paling mencolok adalah bagian bawah tubuhnya bukan kaki, melainkan tubuh ular berwarna hitam yang panjang, melingkar di lantai.

"Nona Ra!" seru Nea, jelas terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

Wanita bernama Ra itu mengarahkan tatapannya pada Serena, lalu berbicara dengan nada tegas.

"Serena, jika kamu tidak mau, silakan pergi saja. Jangan buat gaduh di Serikat Guild saat jam kerja."

Serena segera menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan emosinya yang sempat memuncak.

Violina, yang tak ingin membiarkan situasi semakin buruk, segera menyela, "Maaf, Bibi Ra. Kami hanya tidak ingin pergi ke kota manusia sekarang. Saat malam, banyak Hunter Manusia berkeliaran. Kami malas harus menghadapi mereka."

Bibi Ra menghembuskan asap cerutunya, lalu dengan tenang menggunakan ekornya untuk membuka laci meja Nea. Dari dalam laci, ia mengambil dua lembar kertas coklat usang dan menyerahkannya pada Serena.

"Pilihan kalian hanya satu. Selesaikan quest ini, dan biarkan Nea mengatur agar reward-nya berupa bahan makanan," kata Nona Ra, tegas.

Violina menyenggol pundak Serena, memberi isyarat untuk mengambil kertas quest tersebut. Serena tanpa ragu memasukkan kertas itu ke dalam saku roknya.

"Baiklah. Maaf, Bibi Ra. Kami permisi dulu," ujar Serena, lalu berjalan keluar dari Serikat Guild.

Saat mereka hendak pergi, Nea berteriak, "Kalian tidak membawa batu portal perpindahan? Buat jaga-jaga jika kalian diserang nanti!"

Violina menoleh, sambil mengibaskan tangan. "Tidak perlu, Nea. Kami bisa mengatasinya."

Serena menambahkan dengan senyum tipis, "Dadah, Nea," sambil melambaikan tangannya.

Kedua sahabat itu kemudian menghilang dari pandangan, meninggalkan Bibi Ra dan Nea di dalam Guild. Nea menggaruk kepalanya, ekspresi cemas terlihat jelas di wajahnya.

"Apa mereka akan baik-baik saja? Baru-baru ini banyak Hunter Monster terluka parah setelah melawan Hunter Manusia," gumam Nea, penuh kekhawatiran.

Bibi Ra hanya mengangkat bahu sambil memasukkan cerutu ke mulutnya lagi. "Biarkan saja. Mereka berdua juga Hunter Pengintai. Mereka pasti sudah paham risikonya. Jika mereka mati, kita bisa beli tubuh mereka di pasar ajaib Alantropora."

Nea masih menatap pintu tempat Serena dan Violina baru saja menghilang, hatinya dipenuhi kekhawatiran.

Suasana di dalam bar Serikat Guild terasa berbeda dari biasanya. Biasanya ramai dengan Hunter Monster yang sibuk mengambil quest, tapi kali ini lebih banyak yang datang hanya untuk menikmati makanan dan minuman.

"Hey, Nea. Kenapa melamun?" Suara wanita yang sedikit tinggi tiba-tiba memecah lamunannya.

Nea tersentak kaget, kedua sayap kelelawarnya bereaksi dengan cara yang sama, mengepak kecil saat dia tersentak.

"Astaga, Asra! Kenapa kau di sini? Bukannya di rumah sakit masih banyak yang terluka sekarang?" tanya Nea, nada suaranya menunjukkan kekesalan.

Asra, yang mengenakan kaos coklat dengan kalung berbulu serta rok abu-abu yang menutupi tubuh bawahnya yang seperti rusa, tersenyum tipis.

"Aku datang ke sini untuk meminta potion. Aku tahu tugasku, kok. Sebagai monster penyembuh."

Asra mengetuk-ngetuk meja resepsionis dengan jarinya, menunggu.

Nea menghela napas panjang, sebelum berteriak kepada beberapa pelayan laki-laki yang sedang mengantarkan pesanan, "Cepat bawa sekotak potion!"

Pelayan yang baru saja menyelesaikan tugasnya, segera mengangguk dan bergegas menuju ruang penyimpanan di dalam Serikat Guild. Nea kembali menatap Asra, rasa khawatir di matanya belum sepenuhnya hilang.

"Nea," Asra berbicara dengan nada yang lebih lembut kali ini, "Serena dan Violina pasti tahu apa yang mereka lakukan. Jangan terlalu khawatir."

Nea membelalakkan matanya, ekspresi bingung yang sedikit lucu tergambar jelas di wajahnya. "Bagaimana kau tahu? Jika aku mengkhawatirkan mereka?"

Asra tersenyum samar. "Aku melihat mereka tadi sedang menuju portal perpindahan," jawabnya dengan tenang.

Nea menggigit bibirnya, matanya beralih sejenak ke luar jendela. Di luar, pemandangan yang tidak biasa menghiasi jalanan. Banyak Hunter Monster yang terluka parah, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit.

"Apa mereka bakalan baik-baik saja ya? Aku tidak yakin."

Asra mendekati Nea, menepuk pundaknya dengan lembut.

"Tenang aja," kata Asra dengan suara yang meyakinkan. "Jika mereka selama sehari tidak kembali, regu pengintai pasti akan mencarinya. Apalagi Serena yang sangat dibutuhkan di regu pengintai Hunter Monster. Mereka tidak akan membiarkannya begitu saja."

Nea menatap Asra, mencoba menenangkan diri meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan. "Aku harap kau benar, Asra," gumamnya pelan.

Pelayan pria yang tadi diperintahkan Nea akhirnya tiba. Di tangannya, tiga kotak kayu ditumpuk dengan hati-hati, masing-masing berisi potion yang tertata rapi. Ia meletakkannya di lantai dengan sedikit membungkuk.

"Sudah aku ambilkan," katanya singkat.

Nea hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih. Tanpa banyak bicara, pelayan itu segera kembali ke dapur bar.

Asra langsung bergerak mendekat. Kedua kaki depan rusa miliknya menekuk agar ia bisa meraih kotak-kotak itu dengan lebih mudah.

"Baiklah, Nea. Aku harus pergi dulu," katanya. "Masih banyak yang harus kami obati."

Nea baru saja hendak membuka mulut untuk membalas, tapi langkah cepat seseorang menghentikannya.

Seorang pria muda muncul, berjalan tergesa-gesa, tanpa mengunakan alas kaki.

Otot-otot kekarnya tampak jelas di balik kaos hitam tanpa lengannya dengan celana levis panjang. Rambut hitamnya menutupi dahinya dan hanya dipotong tipis di samping dan belakang, sedikit berantakan karena keringat.

"Hars?" Asra menoleh, sedikit terkejut. "Ada apa? Kok buru-buru?"

Tanpa menjawab langsung, Hars meletakkan selembar kertas di meja dengan sedikit kasar. Napasnya masih berat saat ia menatap Nea.

"Di mana Nona Ra? Aku harus bertemu dengan beliau sekarang!"

Nea mengangkat kedua telapak tangannya ke dada, memberi isyarat agar Hars menenangkan diri.

"Tenang dulu, Hars. Ada apa sebenarnya? Dan ini kertas apa?"

Asra, yang awalnya berniat pergi, kini memilih tetap di tempatnya. Ada sesuatu yang terasa aneh.

"Iya, duduk dulu. Tumben kau ada di kota. Bukannya petualang monster yang bertugas untuk mengintai petualang manusia jarang kembali?"

Hars mengusap keringat di keningnya, lalu menggeleng.

"Mana bisa aku santai?" katanya cepat. "Ini pengumuman penting. Harus segera dipasang di papan informasi. Ada kelompok petualang bernama Murderer Three yang sedang berkeliaran. Mereka memburu bangsa monster."

Asra dan Nea membelalakkan mata, tubuh mereka menegang seketika.

"Serena dan Violina, bagaimana?!" seru mereka serempak.

Terpopuler

Comments

✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌

✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌

Bedanya fanbar sama fantim itu... kayaknya dari narasi tell deh soalnya fanbar lebih detail gitu ( atau enggak kah, aku lupa 🤣🤣 )

2024-02-15

1

Mr. Wilhelm

Mr. Wilhelm

Akan lebih keren lagi klw babnya lebih panjang lagi /Determined/

2024-02-12

0

Richie

Richie

"kau mah... "

orang sunda /Scare/

2024-02-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!