Serena memapah Violina yang masih lemah, berjalan perlahan di lorong lembap itu. Di belakang mereka, Simpe mengikuti dengan langkah ringan, sementara Monte memimpin di depan, dengan ekor tikusnya yang melambai-lambai.
Violina mengerutkan hidungnya, pandangannya melirik lumut yang menempel di dinding serta akar tumbuhan kecil yang merambat dari celah-celah batu. Ia mendesah pelan sebelum membuka mulut.
"Tempat apa ini, sih? Terowongan rahasia atau apa?" tanyanya dengan nada setengah bercanda.
Simpe, yang sibuk menendang kerikil di bawah kakinya, langsung menjawab, suaranya terdengar ramah namun serius.
"Ini gorong-gorong, Nona Violina. Menghubungkan selokan kota Grassiace dengan Alantropora. Jalan ini adalah salah satu rute paling aman bagi ras monster untuk keluar-masuk tanpa diketahui."
Violina mendengus kecil, senyumnya tipis.
"Beruntung, ya. Kalau sedang hujan, kita pasti sudah berenang di sini," ujarnya, setengah bergurau.
Monte, yang berjalan paling depan, menolehkan kepala tikusnya ke belakang. Dengan siluet tubuh kecilnya dan ekor tikus yang melingkar seperti pegas, mata kecilnya yang bersinar tampak mengawasi dengan cermat.
"Nona Serena, Nona Violina," katanya dengan nada khawatir. "Kalian bisa melihat dalam gelap, bukan? Aku khawatir kalau kalian menabrak sesuatu atau terjatuh."
Serena tersenyum, kini terlihat lebih santai.
"Tenang saja, Monte. Selagi kami ini berada di wujud monster. Penglihatan kami akan diperkuat," balasnya dengan nada ceria.
Violina menambahkan, suaranya terdengar ringan meskipun sedikit lelah.
"Kalau ada bangsa monster yang tidak bisa melihat dalam gelap, mungkin mereka perlu jadi bangsa lain deh," katanya sambil terkekeh kecil.
Simpe tertawa kecil di belakang mereka. Ia menendang kerikil kecil lagi, suara gemelitiknya menggema di lorong.
"Ah, hampir lupa. Nanti aku akan membawa kalian berdua menemui Pak Agran di Serikat Guild Grassiace. Beliau mungkin bisa memberikan bantuan yang kalian butuhkan."
Monte menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh sepenuhnya ke belakang.
"Nona Serena, Nona Violina, kalian pergilah ke Serikat Guild Grassiace bersama Simpe dulu. Aku perlu ke alkemis kota untuk menganalisis cairan ini," ujarnya sambil menunjuk tas kecilnya.
Serena tersenyum simpul. "Baiklah, Tuan Monte. Tapi, tolong jangan panggil aku ‘Nona’. Cukup Serena saja."
Violina mengangguk setuju. "Sama, aku juga. Panggil aku Violina saja, ya."
Monte terkekeh kecil, kemudian mengangguk. "Kalau begitu, kalian juga jangan panggil aku ‘Tuan’. Cukup Monte saja."
Saat mereka terus berjalan di lorong gelap, cahaya kecil mulai terlihat di kejauhan. Pantulan cahaya itu menari di dinding basah, menciptakan bayangan yang bergerak seiring langkah mereka.
Simpe mempercepat langkahnya, memajukan leher untuk melihat lebih jelas. "Sepertinya, kita sudah hampir sampai di jalan keluarnya," katanya, suaranya penuh antusias.
Simpe melangkah lebih cepat, wajahnya penuh semangat. "Itu jalan keluarnya! Akhirnya kita sampai juga," ujarnya sambil tersenyum kecil.
Serena, yang masih memapah Violina, mempercepat langkahnya.
Dalam beberapa saat, mereka tiba di ujung terowongan. Udara segar langsung menyambut, mengusir bau lembap gorong-gorong yang selama ini menemani perjalanan mereka.
Pemandangan yang terbentang di depan membuat Serena dan Violina tertegun. Deretan rumah dengan lampu kuning redup menghiasi kota di bawah sana. Cahaya lampu itu menyatu sempurna dengan gelapnya malam, menciptakan suasana damai yang memikat.
"Selamat datang di kota Grassiace," kata Monte, berdiri di samping mereka dengan senyum kecil di wajahnya. "Kota ini terkenal dengan pepohonannya yang lebat, dikelilingi oleh gunung dan bukit. Mungkin ini pertama kalinya kalian datang ke sini, jadi aku beri tahu."
Serena melepas pegangannya pada Violina, melangkah ke tepi tebing untuk mendapatkan pandangan lebih jelas. Angin malam menerpa wajahnya, sementara ekor naganya terangkat dengan gerakan refleks.
"Kita keluar di atas tebing?" tanyanya, nada suaranya penuh kebingungan. "Bukannya gorong-gorong itu tadi ada di dataran rendah?"
Monte tertawa kecil. "Gorong-gorong ini memang unik. Jalurnya dapat menghubungkan dengan tempat lain di kota yang ditetapkan."
Violina, yang sudah sedikit lebih kuat, berjalan mendekat. Mata serigalanya berbinar, dan telinganya yang berbulu lebat berdiri tegak. Ia menatap pemandangan malam kota Grassiace dengan takjub.
"Indah sekali," gumamnya. "Kotanya terlihat begitu damai dari sini."
Serena memandang kembali pemandangan kota dari tepi tebing, ekor naganya melambai ringan seiring angin malam.
"Ya, lampu-lampunya terlihat sangat indah, seperti kunang-kunang yang menari di malam hari," katanya sambil tersenyum kecil.
Simpe melangkah lebih dekat ke Monte, ikut menikmati pemandangan sejenak sebelum menghela napas.
"Tapi kita harus segera turun sekarang. Sebelum masyarakat Grassiace mulai banyak yang beraktivitas," ujarnya sambil melirik Serena dan Violina.
Monte mengangguk setuju. "Kau benar, kawan. Terima kasih sudah mengingatkan." Ia kemudian menatap Serena dan Violina dengan serius. "Ayo kita bergerak. Semakin pagi, semakin ramai aktivitas di kota. Kita tidak bisa mengambil risiko terlihat mencolok di sini."
Serena, yang tadinya larut dalam keindahan kota, kembali sadar akan situasi mereka. Ia menoleh, menatap Monte dengan ekspresi penuh perhatian. "Baiklah. Tapi kita lewat mana? Masalahnya, sihir perubahan manusiaku sudah habis. Aku memakainya terlalu lama tadi."
Violina menyela dengan nada khawatir. "Aku juga sama. Tubuhku masih belum sepenuhnya pulih. Rasanya mustahil bagiku untuk berlari atau menyamar dengan wujud manusia. Sihir perubahan manusiaku juga sudah mendekati batas untuk habis."
Simpe berjalan mendekat, wajahnya memancarkan keraguan. Ia menghela napas panjang, kemudian berkata, "Kalau begitu, hanya ada satu pilihan: menyamar dengan jubah. Biasanya kita bisa membaur dengan wujud manusia, tapi dalam situasi ini, itu tidak memungkinkan."
Monte mengangguk setuju. "Benar. Jika kalian tidak bisa berubah wujud, maka kita harus menggunakan jubah untuk menyembunyikan identitas kalian. Itu cara terbaik agar kita bisa masuk ke kota tanpa menarik perhatian."
Serena dan Violina saling berpandangan, jelas terlihat keraguan di mata mereka. Tapi Serena mengangguk tegar, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
"Baiklah. Mau bagaimana lagi. Aku juga harus kembali ke kotaku secepatnya untuk tugas menyerahkan reward quest ini."
Violina mengangguk pelan. "Ya, aku setuju. Asal kita tidak terlalu lama, aku rasa aku masih sanggup berjalan."
Monte melangkah hati-hati di jalan setapak kecil yang menurun, lalu menoleh ke belakang. "Ikuti aku. Jalannya sedikit curam, jadi hati-hati. Kita harus sampai di kota sebelum matahari terbit," ujarnya, suaranya terdengar tegas.
Serena, Violina, dan Simpe mengikuti di belakangnya. Jalan setapak itu dikelilingi semak-semak dan pepohonan lebat. Udara dingin bercampur dengan aroma tanah basah menyelimuti perjalanan mereka.
Simpe, yang berjalan di barisan belakang, sesekali membantu Violina yang tampak kesulitan menuruni jalan curam itu. Ia memegangi tangan kanan Violina sambil menahan pinggang kirinya untuk menjaga keseimbangan.
"Kau baik-baik saja, Violina?" tanya Simpe dengan nada perhatian.
"Aku tidak apa-apa," jawab Violina dengan lemah, sesekali menarik napas panjang untuk menghilangkan rasa sakitnya.
Setelah beberapa saat, Monte berhenti di sebuah area terbuka yang dipenuhi tumpukan sampah.
Monter slime berwarna hijau dan coklat tampak berkeliaran di antara sampah-sampah itu, mengunyah segala yang bisa mereka cerna. Serena memperhatikan mereka dengan seksama, terkejut karena meski banyak sekali sampah, tidak ada bau busuk yang menyengat.
"Aku akan pergi sebentar ke hutan," kata Monte tiba-tiba sambil menunjuk ke arah semak-semak.
Serena mengernyit, bingung. "Mau ke mana?" tanyanya, menatap Monte yang sudah bersiap melangkah.
Simpe menjelaskan sambil menunjuk ke arah hutan yang dimaksud Monte. "Dia akan mengambil jubah penyamaran untuk kalian. Jubah-jubah itu kami sembunyikan di kotak khusus di dekat tempat pembuangan ini, sebagai langkah antisipasi."
"Oh, begitu," gumam Serena sambil mengangguk, meski rasa ingin tahunya belum sepenuhnya hilang.
Beberapa menit kemudian, Monte kembali dengan dua jubah hitam yang sudah dilipat rapi. Ia menyerahkan jubah itu kepada Serena dan Violina sambil berkata, "Nona Serena, Nona Violina, ini jubah kalian. Silakan dipakai."
Serena segera memakai jubah itu. Ia melilitkan ekor naganya di pinggang agar tidak terlihat, lalu menarik tudung jubah hingga menutupi tanduk dan telinga runcingnya. "Ternyata ini cukup nyaman," katanya sambil memeriksa dirinya sendiri.
Violina juga memakai jubah itu. Ia berusaha melipat ekor berbulu miliknya agar tidak mencuat dari balik jubah. Namun, ketika ia mencoba menutupi kedua telinga serigalanya dengan tudung, ia menyadari sesuatu.
"Telingaku tidak muat di dalam tudung ini. Masih kelihatan sebagian," keluhnya sambil terus berusaha menekuk telinganya.
Simpe menghentikan Violina dengan lembut, lalu mengangkat tangannya untuk memberi isyarat.
"Sudah, jangan dipaksakan. Aku punya ide," katanya sambil tersenyum tipis. "Aku akan menggendongmu. Tugasmu hanya memegangi tudung itu agar telinga serigalamu tidak terlihat. Lagipula, kau belum pulih sepenuhnya dari luka akibat senjata itu."
Violina terkejut dengan tawaran Simpe, namun akhirnya mengangguk setuju meski dengan sedikit ragu. "Baiklah. Terima kasih, Simpe," katanya sambil melirik Monte yang menatap serius ke arah rekannya.
Monte melipat tangannya di dada, matanya menyipit penuh arti. "Simpe, jangan lupa berubah dulu," ucapnya dengan nada tegas.
Simpe tersenyum kecil, mengangguk. "Tenang saja. Aku tahu aturan," jawabnya santai.
Serena dan Violina memperhatikan dengan rasa penasaran yang bercampur takjub saat Simpe dan Monte menutup mata mereka, menarik napas dalam-dalam, lalu mulai berubah.
Simpe lebih dulu. Tubuh keranya perlahan berubah; bulu coklatnya yang lebat di wajahnya menyusut hingga lenyap, sementara ekor panjangnya melingkar ke dalam dan menghilang di balik celananya.
Dalam hitungan detik, ia berdiri dengan wujud manusia: seorang pria bertubuh kekar dengan otot-otot yang terlihat jelas, mengenakan pakaian ala jagoan kungfu. Wajahnya tampan, lengkap dengan dagu tegas yang memberi kesan kuat dan percaya diri.
Monte menyusul. Kumis tikus di wajahnya menyusut, hidung mancung khas tikus perlahan rata, dan bulu hitam samar yang menutupi kulitnya memudar menjadi kulit manusia yang bersih. Ekor panjangnya menggulung perlahan hingga lenyap.
Ketika transformasinya selesai, ia tampak seperti seorang petualang berpengalaman dengan wajah tampan, meskipun pakaiannya yang lusuh memberikan kesan agak lain.
Serena dan Violina sama-sama tercengang.
"Wow," gumam Serena, memiringkan kepalanya. "Aku tidak menyangka kalian terlihat keren sekali."
Violina tersenyum tipis meski tampak lelah. "Jadi ini wujud kalian? Tidak buruk," katanya setengah bercanda.
Simpe tertawa kecil sambil menundukkan badannya, mempersilakan Violina untuk naik ke punggungnya. "Ayo, Violina. Naiklah ke punggungku. Aku akan membawamu dengan aman," katanya, memberikan senyuman lembut.
Violina ragu sejenak, lalu menunduk dan mengangkat roknya sedikit agar lebih leluasa. Dengan hati-hati, ia memanjat ke punggung Simpe, melingkarkan tangannya di lehernya.
Namun, Simpe menoleh dengan senyum penuh goda. "Atau, kau mau kugendong di depan seperti seorang putri? Lebih nyaman, kan?"
Violina langsung menggeleng cepat, wajahnya menatap sinis. "Tidak perlu! Begini saja sudah cukup!" katanya, nada suaranya tegas.
Monte, yang sudah menyelesaikan persiapannya, menatap Serena yang tampak sudah siap dengan jubahnya. "Serena, kau sudah siap?"
Serena menatap Monte dengan tatapan heran, lalu mengangguk. "Siap, tapi jangan panggil aku 'Nona' lagi. Rasanya aneh," katanya sambil menyentuh tudung jubahnya, memastikan semuanya tertutup.
Monte tersenyum tipis dan membalikkan badan, mulai melangkah pelan menuruni jalan setapak yang kini penuh sampah berserakan.
"Maaf, Serena. Entah kenapa, rasanya aku ingin menambahkan 'Nona' di depan namamu. Mungkin karena kau terlihat berbeda," ujarnya sambil melangkah hati-hati.
Serena hanya menghela napas panjang, lalu mengikuti Monte dari belakang, sementara Simpe membawa Violina di punggungnya dengan hati-hati.
Mereka berjalan beriringan menyusuri jalan tanah setapak yang dikelilingi pepohonan dan semak-semak lebat. Udara malam terasa sejuk, disertai suara lembut dedaunan yang bergesekan diterpa angin.
Setelah beberapa waktu, di ujung jalan setapak mulai tampak sebuah jalan raya beraspal hitam.
Lampu jalan berwarna kuning yang terpasang berjauhan satu sama lain memberikan penerangan seadanya. Meski demikian, suasana terasa sunyi; hanya beberapa kendaraan seperti truk dan mobil sesekali melintas, menambah kesan sepi pada jalan tersebut.
Serena memperhatikan sekeliling dengan seksama. Di sisi kanan jalan, beberapa deretan toko tampak sudah tutup. Pintu-pintu toko itu dihiasi tulisan "CLOSED" yang terpampang jelas di balik kaca. Keheningan malam yang melingkupi kota Grassiace membuatnya merasa sedikit aneh.
"Kenapa tidak ada polisi yang berpatroli di sekitar sini?" tanya Serena dengan nada ingin tahu, matanya terus mengamati jalanan yang lengang.
Monte, yang berjalan di depan, menolehkan kepalanya dan memberikan jawaban sambil terus melangkah.
"Kita sudah berada di dalam wilayah kota Grassiace. Kalau kau berada di luar kota, barulah kau akan sering melihat polisi penjaga," jelasnya dengan tenang.
Simpe ikut menyahut dari belakang, suaranya terdengar ringan meski ia sedang memikul Violina.
"Ya, kota ini memiliki banyak penduduk. Biasanya, para polisi memilih fokus menjaga perbatasan kota. Tugas menjaga keamanan di dalam kota lebih sering diserahkan kepada para petualang yang terdaftar di guild."
Serena mengangguk pelan, meski ada sedikit kerutan di dahinya. "Jadi, guild di sini berperan seperti pengganti polisi?" tanyanya, memandang Monte dan Simpe bergantian.
"Kurang lebih begitu," jawab Monte sambil terus melangkah, suaranya tenang namun terdengar sedikit serius. "Setiap guild petualang memiliki divisi pengamanan yang bertugas menangani laporan dari warga. Polisi hanya turun tangan jika ancaman benar-benar besar atau melibatkan hukum negara."
Violina, yang masih berada di punggung Simpe, menoleh dengan penasaran ke arah Serena.
"Menarik juga, ya. Kalau begitu, polisi kota di sini enak dong. Nggak banyak kerjaan," celetuknya dengan nada bercanda, meski ekspresi wajahnya menyiratkan rasa ingin tahu.
Simpe terkekeh kecil mendengar komentar itu. "Benar, dan kau tahu kenapa? Karena sebagian besar polisi di sini lebih sibuk menerima 'uang terima kasih' dari petualang atau pedagang yang ingin urusan bisnis mereka nggak diganggu," katanya, nada suaranya setengah mengejek.
"Jadi mereka disuap?" tanya Serena, matanya menyipit curiga.
Simpe mengangguk ringan. "Bisa dibilang begitu. Ini sudah jadi rahasia umum di Grassiace. Petualang atau pedagang besar sering membayar supaya mereka bisa bergerak lebih leluasa tanpa campur tangan polisi."
Violina termenung sejenak, matanya sedikit memutar ke atas seolah mencoba mengingat sesuatu.
"Oh, iya. Kota Grassiace memang terkenal sebagai pusat perdagangan terbesar. Tapi, Simpe, kok kamu tahu banyak tentang hal itu?" tanyanya penuh rasa ingin tahu.
Monte, yang berjalan di depan, menoleh sebentar sebelum kembali menatap jalan. Dia tersenyum tipis.
"Itu memang bagian dari tugas kami. Sebagai anggota guild, kami ditugaskan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Informasi adalah aset yang sangat berharga di tempat seperti ini," jelasnya.
Serena melirik Monte, lalu mengangguk pelan. "Masuk akal. Sepertinya banyak petualang di kota ini yang menjual barang-barang ilegal. Itu mungkin alasan mereka sampai menyuap polisi kota untuk tetap tutup mulut," katanya sambil berpikir keras.
Simpe terkekeh lagi. "Kau cepat menangkapnya, Serena. Ya, begitulah cara kerja kota besar. Di sini, tidak ada yang sepenuhnya bersih."
Percakapan mereka terhenti ketika tiba di jalanan berpaving yang mulai ramai.
Deretan toko yang tadinya sepi berubah menjadi pusat aktivitas yang hidup, meski malam sudah larut. Lampu-lampu jalan bercahaya hangat menerangi kawasan itu, menciptakan suasana yang kontras dengan ketenangan sebelumnya.
Di sekitar mereka, berbagai jenis toko masih buka.
Ada pedagang rempah-rempah dengan aroma kuat yang memenuhi udara, warung makanan dan minuman yang menggoda, hingga lapak-lapak yang menjual peralatan tempur dan obat-obatan.
Di antara kerumunan, banyak orang berlalu-lalang membawa senjata, beberapa bahkan tertawa dan bercanda, menambah kesan bahwa tempat ini bukan pasar biasa.
Monte berhenti sejenak, matanya menatap sebuah jam besar di tiang jalan. Jarum panjangnya menunjukkan pukul 7 lebih sedikit, sedangkan jarum pendeknya di pukul 3 tepat. Dia mendekat ke sisi Serena dengan ekspresi waspada.
"Serena, pastikan penampilanmu tertutup rapat. Kita sudah masuk kawasan yang ramai," bisiknya tegas.
Serena mengangguk cepat. Dia merapikan tudung jubahnya, memastikan kedua tanduk dan telinga runcingnya tertutupi. Kedua tangannya memegangi tudung itu erat, takut angin malam membukanya.
Di punggung Simpe, Violina tanpa disuruh segera menekan tudungnya, memastikan telinga serigalanya tidak mencuat.
"Perjalanannya masih jauh, ya?" tanya Serena, suaranya pelan namun terdengar lelah. Dia menatap Monte yang berjalan memimpin di depannya.
Monte menoleh sekilas. "Lumayan. Guild kita ada di pinggiran pusat kota Grassiace. Jadi, kita harus terus berjalan sampai ke sana."
Serena menghela napas, lalu melirik ke kanan dan kiri. Keramaian di pasar ini mengingatkannya pada pasar di Kota Alantropora, tempat dirinya dan Violina pernah menyelamatkan para tawanan bangsa monster. Hanya saja, suasana di sini terasa lebih intens.
Dia memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang.
Bau rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan aroma makanan dari warung-warung kecil. Namun, yang paling mencolok adalah jumlah orang bersenjata.
Mereka berkeliaran dengan santai, beberapa bahkan membawa senjata besar seperti pedang atau tombak.
"Pasar ini penuh dengan petualang, ya?" gumam Serena sambil terus memperhatikan sekitar.
Simpe, yang masih menggendong Violina, tertawa kecil mendengar ucapan Serena barusan.
"Ya, ini memang tempat favorit mereka. Di sini mereka bisa belanja perlengkapan, jual barang jarahan, atau sekadar menikmati makanan sambil bercengkerama. Pasar malam di kota Grassiace adalah salah satu pasar terbesar yang ada di antara empat kota."
Violina, yang sejak tadi diam, menambahkan dengan suara pelan. "Tapi, kenapa banyak sekali orang yang bersenjata? Mereka tidak berbahaya kah?"
Simpe menggeleng pelan, sambil melonggarkan langkahnya agar lebih dekat dengan Monte di depan.
"Jangan khawatir. Pasar kota Grassiace itu aman, terutama untuk petualang manusia. Ada lima guild besar yang menjaga ketertiban di sini. Selama kita tidak menonjolkan diri, tidak ada yang akan mengganggu kita."
Monte tiba-tiba menghentikan langkahnya. Gerakannya yang mendadak membuat Serena, Simpe, dan Violina ikut terhenti dengan tatapan penuh tanda tanya.
"Monte. Ada apa?" Tanya Simpe, sedikit bingung.
Monte tidak langsung menjawab. Dia menatap ke arah kanan, memperhatikan deretan kendaraan yang terparkir rapi di pinggir jalan.
Beberapa orang tampak sibuk memuat barang ke dalam mobil, sementara seorang pria berseragam sedang berbicara dengan pelanggan di dekat sana. Monte menunjuk ke arah mobil-mobil itu sambil menoleh ke teman-temannya.
"Aku pikir, kita bisa naik kendaraan transportasi saja," katanya sambil tersenyum. "Kalau terus jalan kaki, perjalanan kita masih lama."
Simpe mengernyit. Tatapannya berubah serius. "Kau yakin? Bagaimana dengan identitas nona Serena dan Violina? Kita tidak bisa mengambil risiko."
Monte menepuk pundak Simpe, mencoba menenangkan temannya itu. "Kita sewa mobil pribadi. Tidak ada orang lain yang akan ikut. Supirnya pun hanya perlu tahu tujuan kita, tidak lebih."
Simpe merenung sejenak, matanya mengamati kendaraan-kendaraan di kejauhan. Setelah itu, dia menoleh ke Serena yang berdiri di sebelahnya.
"Serena, bagaimana menurutmu? Kita bisa menyewa mobil untuk lebih cepat sampai, tapi kau dan Violina harus tetap berhati-hati. Apa kau setuju?"
Serena memandang Simpe dengan ragu. Ia melirik ke arah mobil-mobil yang terparkir dan orang-orang yang tampak sibuk membawa barang belanjaan masuk ke kendaraan itu. Pikirannya berputar cepat.
Serena terdiam sejenak, memandang keramaian di sekitar. Pilihan untuk naik kendaraan memang terasa lebih praktis, tetapi juga membawa risiko jika ada yang mencurigai mereka. Dia menatap Violina, yang balas menatapnya dari punggung Simpe.
"Kalau kita memang bisa menyewa mobil sendiri, aku setuju. Tapi selagi kita aman dan tidak menarik perhatian, kayaknya tidak apa." jawab Serena akhirnya, suaranya tegas meski ada sedikit keraguan.
Violina, yang masih digendong, mengangguk setuju. "Kalau itu mempercepat perjalanan kita, kenapa tidak? Lagipula, kakiku sudah mulai merasa keram kalau terus digendong seperti ini."
Monte tersenyum tipis mendengar jawaban mereka. "Bagus. Aku akan negosiasi dengan salah satu sopirnya. Tunggu di sini sebentar, dan jangan terlalu mencolok."
Ia melangkah mantap ke arah deretan mobil yang terparkir di sisi jalan.
Monte memilih kendaraan yang tampak bersih dan sepi penumpang, lalu berbicara dengan sopirnya. Dari kejauhan, terlihat percakapan mereka cukup serius.
Serena, Simpe, dan Violina menunggu dengan waspada, memperhatikan sekitar untuk memastikan tidak ada yang memperhatikan mereka.
"Simpe," bisik Violina sambil memiringkan kepala ke arahnya. "Mereka enggak bakal tanya-tanya tentang kita, kan?"
Simpe tersenyum tipis, meyakinkan. "Aman kok. Sopir di sini biasanya enggak peduli. Yang penting kita bayar. Tapi ya. Kalau ketemu petualang pungli, itu cerita lain. Kita harus kasih 'uang sogokan' kalau mereka curiga. Kalau tidak, kita bisa diperas, atau lebih buruk, mereka membawa kita untuk diinterogasi"
Violina menghela napas panjang, merasa sedikit lega. Ia menyandarkan kepala di pundak Simpe. "Syukurlah kalau begitu. Aku benar-benar tidak ingin ada masalah lagi malam ini."
Namun, tiba-tiba Simpe menghentikan langkahnya. Hidungnya bergerak-gerak seperti sedang mengendus sesuatu. Ia melirik ke arah Serena, matanya menyipit penasaran.
"Serena," panggilnya dengan suara rendah, "Kau pakai parfum, ya? Dari tadi aku mencium bau wangi vanilla ini. Kupikir awalnya ini bau rempah di pasar, tapi ternyata dari arahmu."
Simpe tertawa pelan, menggeleng sambil mengangkat bahu. "Bukan masalah, sih. Hanya saja. Parfummu cukup kuat. Cobalah lebih hati-hati. Bau seperti itu bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan, apalagi di tempat seperti ini."
Serena hanya mendengus kecil sambil memperbaiki tudung jubahnya. Ia memilih untuk tidak membalas komentar Simpe.
Tak lama kemudian, Monte kembali dengan anggukan singkat, memberi isyarat bahwa semuanya sudah beres. "Ayo, kita naik. Sopirnya sudah setuju membawa kita langsung ke tempat tujuan."
Simpe menurunkan Violina dari gendongannya, membantunya berdiri dengan hati-hati sebelum melangkah menuju mobil.
Mereka masuk satu per satu ke dalam kendaraan. Bagian belakang mobil didesain dengan kursi panjang yang melingkar di setiap sisi, memberikan ruang cukup luas untuk mereka duduk bersama.
Serena memilih duduk di sudut, memastikan dirinya tetap tertutup oleh jubah.
Violina duduk di samping Simpe, sementara Monte mengambil kursi di depan, di samping sopir.
Sopir, seorang pria dengan wajah tidak terlalu tua namun terlihat tangguh, menoleh ke arah Monte sambil tersenyum tipis. "Ke mana tujuan kalian, Tuan?"
Monte menjawab dengan suara tenang, tapi tegas. "Pusat kota Grassiace. Pastikan kita sampai tanpa berhenti di tengah jalan."
Sopir mengangguk, memutar kunci dan menyalakan mesin. "Baik, Tuan. Harap tenang, kita akan sampai dalam waktu kurang dari tiga puluh menit."
Mobil mulai melaju perlahan, meninggalkan hiruk pikuk pasar malam.
Di dalam kendaraan, suasana hening, hanya terdengar deru mesin yang menggema pelan. Serena memperhatikan jalanan yang mulai berganti dengan bangunan-bangunan besar yang megah, cahayanya memancar lembut di bawah langit malam.
Mobil melaju perlahan meninggalkan keramaian pasar malam, menyusuri jalan berpaving yang khusus untuk kendaraan. Suasana semakin sunyi, hanya deru mesin mobil yang terdengar, menggema pelan di dalam kabin.
Serena duduk bersandar dengan tenang, pandangannya tertuju ke luar jendela.
Bangunan-bangunan megah mulai bermunculan, bercahaya terang, memberikan sentuhan elegan pada suasana malam kota Grassiace.
Di trotoar, keramaian bangsa manusia yang lalu lalang menambah hidup pemandangan kota.
"Suasana kotanya indah sekali," ucap Violina pelan, memecah keheningan. Matanya berbinar saat mengamati kerumunan di luar. "Aku jadi teringat kampung halamanku."
Serena menoleh, tersenyum kecil meski sorot matanya menyimpan kesedihan. "Aku juga," balasnya.
Suaranya terdengar lemah, hampir seperti bisikan. Ia menatap kembali ke luar jendela, membiarkan bayangan masa lalu muncul di benaknya. Gelapnya kabin menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sendu.
Keduanya termenung, membiarkan keheningan kembali menyelimuti mereka.
Sesekali, suara percakapan Monte dan sopir dari kursi depan terdengar samar. Aroma tembakau dari rokok yang dinyalakan sopir mulai tercium, menyebar di kabin.
Simpe, yang duduk di dekat pintu keluar penumpang, terlihat diam saja. Matanya lurus menatap jalanan yang terus bergerak, seperti sedang tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ekspresinya serius, tidak seperti biasanya.
Violina mencuri pandang ke arahnya, lalu berbisik pada Serena, "Simpe kenapa diam saja? Biasanya dia suka bercanda."
Serena menggeleng pelan. "Mungkin dia sedang memikirkan sesuatu."
Violina mengangguk kecil, tidak ingin mengganggu lebih jauh.
Setelah sekitar tiga puluh menit perjalanan, mobil akhirnya berhenti di pinggir jalan yang ramai. Deretan kendaraan serupa tampak parkir di sekitarnya, membawa penumpang yang turun dan naik silih berganti. Sopir menoleh ke arah Monte.
"Sudah sampai, Tuan. Semoga perjalanan Anda lancar," ucap sopir sambil tersenyum singkat.
Monte mengangguk sopan. "Terima kasih. Ini bayarannya." Ia menyerahkan beberapa koin logam sebelum membuka pintu dan turun lebih dulu.
Simpe mengikuti, tetapi gerakannya sedikit terburu-buru. Saat melangkah keluar, ia hampir kehilangan keseimbangan dan terhuyung. Namun, dengan cekatan ia berhasil berdiri tegak.
Serena dan Violina menyusul. Sebelum keluar, mereka merapikan tudung jubah masing-masing, memastikan tidak ada bagian tubuh mereka yang mencurigakan terlihat.
Violina, dengan hati-hati, menekan tudungnya agar menutupi telinga serigalanya.
Ketika mereka semua sudah berkumpul di trotoar, Monte melangkah mendekat. "Baik, kita tinggal jalan sedikit lagi. Serikat Guild ada di ujung jalan ini. Pastikan kalian tetap menutupi diri dengan baik."
Ketika mereka semua berkumpul di trotoar, Monte mendekat dengan langkah mantap. Wajahnya tetap serius, memperhatikan sekeliling untuk memastikan tidak ada hal mencurigakan.
“Baik, kita tinggal jalan sedikit lagi,” ujarnya sambil menunjuk ke arah jalan lebar di depan mereka. “Serikat Guild kita ada di ujung sana. Ingat, tetap jaga penyamaran kalian.”
Serena mengangguk singkat. Violina, yang tampak sedikit gugup, memperbaiki tudungnya, memastikan tidak ada bagian telinga serigalanya yang terlihat. Tangannya mencengkeram erat kain itu, seolah takut angin malam akan menghempasnya terbuka.
“Masih mau aku gendong?” tanya Simpe dari belakang. Suaranya rendah, namun ada nada canda di dalamnya.
Violina memalingkan wajahnya. “Tidak usah. Terima kasih,” jawabnya cepat.
Simpe mengangkat bahu, tersenyum tipis. “Baiklah, kalau kau yakin. Tapi kalau capek, bilang saja.”
Serena, yang berjalan mendekat ke samping Monte, bertanya dengan nada sedikit kesal, “Jadi, di mana sih tempatnya? Apa masih jauh?”
Monte, sambil menyedot rokok tembakau besarnya, mengarahkan jari telunjuk ke arah jalan lebar yang membentang di depan mereka. Asap rokoknya mengepul, membuat Serena sedikit mengernyitkan hidung.
“Di ujung sana,” jawab Monte santai. “Semua bar milik Serikat Guild kita ada di area itu. Kita menuju ke salah satunya sekarang.”
Tanpa membuang waktu, mereka melanjutkan perjalanan, menyusuri keramaian pusat kota Grassiace.
Serena dan Violina memperhatikan sekeliling mereka dengan seksama. Jalanan kini dipenuhi bangunan megah—kasino berlampu neon mencolok, hotel tinggi yang berdiri menjulang, dan bar-bar dengan papan nama mencolok.
Tidak ada lagi pedagang kaki lima seperti di pasar malam sebelumnya. Hanya gedung-gedung besar yang memberikan aura kemewahan dan hiruk pikuk.
“Pusat kotanya berbentuk lingkaran, ya?” gumam Violina, matanya terus mengamati bangunan-bangunan di sekitarnya.
Serena mengangguk. “Iya. Aku jadi penasaran. Tempat-tempat disini apa saja. Rasanya berbeda sekali dengan yang aku bayangkan.”
Mereka melangkah dengan formasi yang teratur. Monte berjalan di depan, memimpin dengan langkah tenang namun penuh kewaspadaan.
Serena dan Violina berada di tengah, menjaga jarak aman sambil sesekali melirik sekeliling. Sementara itu, Simpe berjalan di belakang, matanya tajam mengawasi setiap sudut jalan seperti penjaga pribadi.
Namun, langkah mereka melambat ketika melihat lima pria berdiri bercengkerama di depan.
Para petualang itu tampak mencolok dengan pakaian yang mencerminkan status mereka. Salah satu pria bertubuh kekar mengenakan zirah ringan, membawa pedang besar dan perisai di punggungnya.
Di sebelahnya, seorang pria yang lebih ramping memegang tongkat sihir dengan ukiran indah, sementara tiga pria yang lain melengkapi kelompok itu dengan senjata berupa pedang pendek dan belati yang terikat di pinggang mereka.
Monte mengangkat tangan, memberi isyarat agar kelompoknya berhenti. Dia menoleh ke belakang dengan ekspresi serius.
“Hati-hati,” ucapnya dengan nada pelan namun tegas. “Mereka petualang penjaga. Serena, Violina, tutupi wajah kalian.”
Serena dengan cepat menarik tudungnya lebih dalam, menundukkan kepala agar wajahnya tidak terlihat. Violina mengikuti, menekan tudungnya dengan kedua tangan untuk memastikan kedua telinga serigalanya tetap tersembunyi.
Simpe mempercepat langkahnya, bergerak ke samping Serena dan Violina, menciptakan jarak fisik yang cukup untuk melindungi mereka dari pandangan kelompok petualang itu.
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati, mencoba melewati kelompok tersebut tanpa menimbulkan kecurigaan.
Saat mereka melewati lima pria itu, tidak ada tanda-tanda bahaya. Monte melirik sekilas ke arah kelompok itu, memastikan semuanya berjalan lancar.
Namun, ketika mereka mulai menjauh, sebuah suara tiba-tiba memecah keheningan.
“Hei, kalian! Tunggu sebentar!” teriak salah satu pria dari kelompok itu.
Serena terkejut, tubuhnya langsung menegang. Violina menggenggam tudungnya lebih erat, matanya melebar dengan kepanikan.
Simpe segera berbalik, berdiri tegak dengan tubuh yang siap menghadapi apapun. Monte berhenti melangkah, memutar badannya dengan gerakan tenang namun penuh waspada. Pandangannya menusuk ke arah pria yang memanggil.
“Ada apa?” tanya Monte, suaranya dingin dan tegas, seolah mencoba menahan ketegangan yang mulai terasa di udara.
Pria bertubuh kekar dari kelompok petualang itu melangkah maju, menatap mereka dengan mata menyipit. “Kalian tampak mencurigakan,” katanya, suaranya berat dan kasar. “Apa kalian bagian dari kelompok baru di kota ini?”
Monte tersenyum tipis, meski matanya tetap tajam. “Kami hanya lewat. Baru datang dari perjalanan panjang, dan sedang menuju tujuan kami. Tidak ada yang perlu dicurigai.”
Pria itu menyeringai, melirik Simpe yang berdiri di samping Serena. “Kalian terlihat seperti bukan penduduk biasa. Apa kalian petualang juga?”
Simpe, dengan nada tenang namun menusuk, menjawab, “Kami bukan urusanmu. Kalian penjaga, bukan? Fokus saja pada tugas kalian menjaga kota.”
Ucapan itu membuat suasana semakin tegang. Para petualang lainnya mulai memperhatikan, tangan mereka perlahan mendekat ke gagang senjata. Serena dan Violina saling bertukar pandang, napas mereka tertahan.
Monte melangkah maju, menghadapi pria bertubuh kekar itu langsung. “Kami tidak mencari masalah. Jika tidak ada hal penting, kami akan melanjutkan perjalanan.”
Pria bertubuh kekar itu mengamati Monte sejenak, lalu mengangkat bahu dengan gerakan santai, meskipun matanya tetap penuh dengan keseriusan.
"Baiklah," katanya, nada suaranya terdengar dingin. "Kami biarkan kalian lewat, tapi serahkan wanita itu." Jarinya menunjuk ke arah Serena dengan sikap mengintimidasi.
Serena merasakan tubuhnya membeku. Wajahnya tetap tertunduk, tapi hatinya berdebar kencang. Violina di sebelahnya merapat lebih dekat, mencengkram tudungnya lebih erat, seolah mencoba menghilang dari pandangan.
Monte mengembuskan asap rokok dari bibirnya dengan tenang. Tatapannya tetap fokus pada pria besar itu. "Apa maksudmu? Kami bukan pedagang budak," ucapnya dingin.
Simpe, yang berdiri sedikit di belakang, mulai tegang. Otot-otot tubuhnya mengeras, matanya memancarkan kewaspadaan. Dia melirik Monte sekilas, seolah menunggu isyarat.
Salah satu pria dari kelompok itu, yang memegang tongkat sihir, melangkah maju. Senyum licik menghiasi wajahnya saat dia membetulkan posisi kacamatanya. "Kalian bisa mencoba berbohong, tapi sayangnya, itu takkan berhasil pada kami."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌
Bangke 🤣🤣
2024-02-16
0
Richie
lanjut
2024-02-13
1