Simpe mengerutkan kening, wajahnya jelas menunjukkan kebingungan. Ia melirik Monte, lalu menggaruk rambut monyetnya dengan ekspresi frustasi.
"Maksudmu apa, sih? Susah banget mengerti topik pembicaraan ini," keluhnya, matanya melirik ke sana kemari seolah mencari jawaban yang lebih sederhana.
Monte menghela napas panjang. Ekor tikusnya mengetuk-ngetuk lantai dengan ritme cepat, menunjukkan rasa jengkelnya.
"Keluargamu zaman dulu ngapain aja, coba?" Monte menyilangkan tangan di dadanya. "Kok bisa, mereka nggak menceritakan sejarah penting kayak gini? Penyebab dunia sihir jadi berantakan ini kan seharusnya diceritakan Turun-temurun!"
Simpe hanya bisa cengengesan, mengangkat bahu tanpa bisa membalas. Ia tahu Monte punya poin di situ, tapi tetap saja, otaknya masih berusaha mencerna semua informasi yang tadi disampaikan.
Di sisi lain, Pak Malvier tampak mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan.
Perhatiannya tertuju pada tempat pemeriksaan Violina. Gadis serigala itu tampaknya sudah selesai diperiksa.
Para petugas yang tadi sibuk di sekitarnya kini mulai membereskan peralatan. Tirai yang sebelumnya menutupi area itu kini tersingkap dan lampu yang digunakan untuk pencahayaan sudah mulai dimatikan.
Serena, yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya, akhirnya kembali menatap Pak Malvier. Ada kecemasan dalam sorot matanya, sesuatu yang jelas belum terjawab.
"Tuan Malvier," ucapnya dengan suara pelan. "Selain itu, apakah ada dampak buruk lain bagi saya?"
Pak Malvier terdiam sejenak. Beliau menarik napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Matanya turun menatap lantai, seolah sedang memilih kata-kata yang tepat sebelum menjawab.
"Ada satu hal yang harus kau waspadai, Nak Serena. Bau wangimu itu bukan hanya tanda bahwa kau seorang bangsawan monster, tetapi juga sesuatu yang membuatmu menjadi target."
Serena menegang. "Target?"
Pak Malvier mengangguk perlahan.
"Kau akan sering diburu oleh bangsa manusia nantinya," lanjut beliau dengan nada serius. "Bukan hanya karena statusmu, tetapi karena sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Tubuhmu adalah bahan tingkat premium untuk pembuatan senjata sihir."
Ruangan terasa semakin sunyi. Kata-kata itu menggantung di udara, menekan suasana seperti kabut gelap yang menelan cahaya.
Simpe tiba-tiba tersentak, seolah sesuatu muncul dalam ingatannya. Dengan cepat, ia menoleh ke Pak Malvier.
"Tuan Malvier. Kalau begitu, bagaimana dengan ekor naga milik Serena yang dibawa petualang manusia sebelumnya?" suaranya penuh kekhawatiran. "Waktu itu ekornya sempat terpotong, dan potongannya dibawa pergi oleh mereka!"
Monte yang awalnya bersandar santai kini langsung tegak, ekspresinya berubah tajam. Matanya melirik ekor Serena yang kini masih utuh, seolah mencoba membayangkan bagaimana rasanya kehilangan bagian tubuh seperti itu.
Pak Malvier terdiam sesaat, lalu pandangannya beralih ke ekor Serena yang bergerak perlahan.
Monte dan Simpe ikut menatapnya, tetapi hanya Serena yang terlihat santai.
Dengan ringan, Serena menggerakkan ekor naganya dengan gemulai, memutarnya sekali sebelum menghentikannya kembali di pangkuannya.
"Ada apa?" katanya dengan nada ringan. "Ekorku tumbuh lagi, kok."
Monte mencibir. "Itu bukan masalah, Nona. Yang jadi masalah, potongan ekormu sekarang ada di tangan manusia. Siapa tahu mereka sudah membuat sesuatu dari itu!"
Pak Malvier menghela napas, wajahnya tampak berpikir dalam.
"Senjata sihir yang dibuat dari tubuh monster biasanya berada di peringkat A sampai S, tapi ada banyak faktor yang mempengaruhi hasil akhirnya. Tidak sesederhana sekadar mengubah bagian tubuh monster menjadi senjata biasa."
Simpe mengamati ekor naga Serena dengan cermat. Jari telunjuk dan jempolnya menopang dagunya, ekspresinya penuh rasa ingin tahu.
"Wah, berarti bisa jadi sesuatu yang lebih mengerikan dari yang kita kira, dong?" gumamnya, lalu menoleh ke Pak Malvier dengan mata berbinar. "Aku penasaran. Kenapa bangsa manusia di dunia ini tidak menggunakan bahan dari tubuh bangsa manusia dari dunia sihir, ya?"
Monte langsung mendecak, menatap Simpe seperti baru saja mendengar sesuatu yang benar-benar bodoh.
"Astaga, kawan. Kenapa pertanyaanmu selalu aneh?" Monte mengusap wajahnya. "Tapi, sebenarnya aku juga penasaran."
Pak Malvier, yang sejak tadi tampak serius, malah tertawa pelan. Tawa yang terdengar pahit, seperti orang yang tahu sesuatu yang tidak seharusnya diketahui.
Monte menyipitkan matanya, ekspresinya penuh kebingungan. Kali ini, giliran dia yang mencoba memahami maksud dari ucapan Pak Malvier.
"Maksudnya apa, Tuan?"
Pak Malvier menatap mereka satu per satu, lalu mengangkat satu jarinya, seperti seorang guru yang hendak menjelaskan sesuatu yang penting.
"Bayangkan ini: seorang petualang manusia ingin membuat senjata sihir tingkat tinggi. Mereka membutuhkan bahan baku dari makhluk dunia sihir. Jika mereka menggunakan bahan dari tubuh manusia bangsa sihir tetapi salah mengambil manusia yang ternyata berasal dari dunia mereka sendiri."
Beliau sengaja menghentikan kalimatnya sejenak, memberi waktu bagi mereka untuk berpikir. Kemudian, sudut bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang terasa mengandung ironi.
"Yah, bahan itu tidak akan bereaksi. Senjata sihirnya tidak akan bisa dibuat."
Simpe dan Monte terdiam sejenak sejenak, sebelum akhirnya mengangguk bersamaan. Sekarang semuanya lebih masuk akal bagi mereka.
Namun, sebelum ada yang sempat menanggapi lebih lanjut, suara langkah kaki terdengar mendekat. Langkah ringan, namun cukup tergesa.
"Serena. Aku sudah selesai," suara lembut nan tegas itu memecah keheningan.
Mereka semua langsung menoleh ke arah sumber suara.
Violina datang dengan langkah kecil yang tergesa. Ada sesuatu yang langsung menarik perhatian mereka. Di bagian lehernya, sebuah perban melilit erat, menutupi setengah lehernya.
Serena terperanjat dan segera berdiri, tangannya refleks meraba tubuh temannya. Tekstur kain perban terasa kasar di ujung jarinya, sementara di bawahnya, ia bisa merasakan kulit Violina yang lebih kaku dari biasanya.
"Violina! Bagaimana? Apa kau baik-baik saja?" Serena bertanya dengan cemas, matanya menatap leher Violina dengan waswas.
Violina tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya. Katanya sih, aku cuma mengalami luka biasa saja."
Pak Sam berjalan dengan langkah mantap menuju Pak Malvier, ekspresinya tetap serius. Beberapa lembar kertas beliau genggam erat, seolah isinya terlalu penting untuk diabaikan.
"Tuan Malvier." beliau menyerahkan dokumen itu dengan gerakan terukur. "Pemeriksaannya sudah selesai."
Pak Malvier berdiri, merapikan jasnya yang sedikit kusut sebelum menerima laporan tersebut.
"Bagaimana, Sam. Hasilnya?" tanya beliau dengan nada suaranya datar.
Pak Sam tidak langsung menjawab. Sebagai gantinya, beliau hanya menatap Pak Malvier sejenak, lalu mengulurkan dokumen itu.
"Silakan Anda baca sendiri."
Pak Malvier menyipitkan matanya begitu membaca isi laporan itu. Sekilas, ekspresinya tampak berubah lebih tegang, lebih serius. Entah apa yang dilihat, tapi jelas ada sesuatu yang tidak biasa.
Serena menelan ludah. Apa yang sebenarnya terjadi?
Namun, sebelum ada yang bisa bertanya, Pak Malvier mengembalikan dokumen itu pada Pak Sam. Beliau menarik napas dalam, lalu menatap Serena dan Violina dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Sudah waktunya. Saya akan mengantarkan kalian ke Pak Agran. Entah sekarang sudah jam berapa."
Belum sempat ada yang merespons, sosok lain tiba-tiba melayang mendekat.
Nyonya Fafil, wanita bersayap peri yang sebelumnya membawa Violina ke ruang pemeriksaan, terbang ringan sebelum berhenti tepat di depan Pak Malvier dan Pak Sam. Sayapnya yang bercahaya berpendar lembut, ketika mengepakkan sayapnya.
"Tuan Malvier! Laporan ini berisi analisis pemeriksaan Nak Violina. Namun, laporan mengenai potionnya masih dalam proses penyulingan. Kami masih belum bisa memastikan bahan-bahan apa saja yang terkandung di dalamnya."
Pak Malvier mengangguk, menerima informasi itu tanpa banyak komentar. Namun, tatapan matanya sekilas kembali tertuju pada Violina, seolah menimbang sesuatu dalam pikirannya.
Akhirnya, beliau mengalihkan pandangan ke arah Simpe dan Monte yang sedari tadi hanya mendengarkan.
"Kalian berdua," katanya dengan nada perintah. "Antarkan mereka sampai ke portal menuju Kota Hiddenama. Mulai sekarang, kalian saya tugaskan untuk mengawal mereka."
Monte dan Simpe langsung berdiri dengan sigap, menegakkan punggung mereka seolah baru saja diberi tugas besar.
"Dimengerti!" jawab Monte dengan nada tegas, ekor tikusnya sedikit berayun ke belakang.
"Siap, Tuan! Lagi pula, itu sudah jadi janji kami juga," sahut Simpe, menyeringai kecil sebelum menggaruk rambut monyetnya yang berantakan untuk merapikannya.
Di tengah kesibukan mereka, Nyonya Fafil melayang perlahan ke arah Violina, kepakan sayapnya yang bersinar lembut mengangkat tubuhnya dengan mudah. Dengan hati-hati, beliau menyerahkan sebuah surat bersegel ke tangan Violina.
Violina menerima surat itu dengan ekspresi penasaran. Serena, yang berdiri di sampingnya, ikut menatap kertas tersebut dengan rasa ingin tahu.
"Ibu dokter, ini surat apa?" alisnya Violina sampai sedikit mengernyit.
"Itu laporan kesehatanmu, Nak," jawab Nyonya Fafil. "Kamu harus menjalani perawatan lebih lanjut di rumah sakit di kotamu. Luka-lukamu masih dalam proses penyembuhan, dan regenerasi monsternya belum pulih sepenuhnya. Hati-hati, jangan sampai terluka fatal lagi untuk saat ini. Kalo tidak, kamu akan mati nanti."
Violina mengangguk pelan, kemudian dengan hati-hati menyelipkan surat itu di dalam jubah dadanya. Ia menunduk sebentar, seakan memikirkan sesuatu, sebelum tiba-tiba wajahnya berubah seperti orang yang baru teringat sesuatu yang penting.
"Eh, Serena!" panggilnya sambil menoleh cepat. "Kertas reward-nya masih kau bawa, bukan?"
Serena refleks menyentuh bagian belakang punggungnya, tepat di tempat tali pita gaunnya terikat. Ia menghela napas lega, lalu menepuk-nepuk area tersebut pelan.
"Tenang saja," katanya dengan senyum tipis. "Masih ada kok. Mereka hanya tahunya di saku rok gaunku saja, tapi mereka tidak tahu tempat penyimpanan yang sebenarnya. Di sini masih aman."
Nyonya Fafil mengernyitkan dahi setelah mendengar perkataan Serena. Sayapnya yang bersinar lembut bergetar sedikit, menunjukkan bahwa sesuatu dalam pikirannya sedang bekerja cepat.
"Kertas? Kertas apa itu, Nak?" tanyanya, matanya menyipit penuh selidik.
Serena menoleh ke arah beliau sambil merapikan ikatan pita di gaunnya. Dengan ekspresi tenang, ia menjawab, "Hanya kertas reward quest, Bu. Kami disuruh mencari stok bahan makanan sebagai bagian dari tugas."
Violina ikut menimpali, ekspresinya berubah sedikit muram.
"Iya, setelah kami menyelesaikan quest-nya, kami mendapatkan kertas reward sebagai bukti. Tapi," Ia menarik napas dalam, lalu melanjutkan, "Saat kami akan pulang, dua petualang manusia tiba-tiba muncul dan menyerang kami. Mereka tidak hanya menyerang, tapi juga mengambil peta jalan pulang kami."
Mata Nyonya Fafil langsung membulat. Ketegangan tampak jelas di wajahnya. Sayapnya yang semula mengepak pelan kini berhenti, seolah pikirannya sibuk mencerna informasi itu.
"Apa yang sebenarnya mereka cari?" suaranya terdengar lebih rendah, nyaris seperti gumaman. "Bangsa manusia kini bahkan mulai merampas peta jalan pulang bangsa monster dari kota lain."
Pak Sam, yang sejak tadi diam, kini meletakkan jemarinya di dagu, merenung dalam-dalam.
"Kau benar, Fafil," ujarnya akhirnya. "Sudah banyak petualang Chirandian dari bangsa monster yang kehilangan peta pulang mereka. Padahal, peta itu bukan sekadar petunjuk arah. Itu adalah koordinat portal yang menghubungkan kota-kota bangsa sihir. Setiap portal memiliki pintu masuk unik, dan tanpa peta, para petualang monster akan terjebak di luar tanpa bisa kembali."
Pak Malvier menghentakkan tongkatnya sekali ke lantai, suara dentingannya yang tajam memecah keheningan di ruangan.
Kedua mata Nyonya Fafil dan Pak Sam langsung beralih kepadanya, menyadari kode yang disampaikan. Seketika, mereka berhenti berbicara, tampak diam sejenak. Suasana menjadi lebih serius.
"Baiklah, karena pemeriksaan Nak Violina sudah selesai," Pak Malvier memulai, suaranya tegas namun tak terburu-buru, "Sekarang, kita harus pergi ke Pak Agran. Dia pasti sudah menunggu lama di gedung perpindahan."
Monte yang sejak tadi melamun, tiba-tiba mengalihkan pandangannya ke sekeliling ruangan, seakan mencari jawaban dari atap-atap yang dipandanginya.
"Iya juga," katanya sambil menyipitkan mata, "Tapi sekarang jam berapa ya? Apa sudah lebih dari jam 6 pagi?"
Pak Malvier, yang sudah mulai melangkah menuju pintu, tidak menghiraukan pertanyaan tersebut.
Beliau hanya mengangkat alisnya, melangkah perlahan menjauh dari mereka, suara langkah kakinya bergema di lantai yang keras.
"Tenang saja. Saya yang akan bicara kepadanya. Mari, Nak Serena, Nak Violina. Kita pergi."
Simpe dan Monte langsung mengangguk serentak, tak ada satu pun dari mereka yang ragu. Mereka pun segera melangkah mengikuti Pak Malvier, dengan Serena dan Violina yang kemudian mengikuti dari belakang.
Pak Malvier berhenti. Beliau lalu menoleh ke belakang, menatap Pak Sam dan Nyonya Fafil.
"Fafil," kata beliau dengan nada tegas, "Jangan lupa potionnya. Sam, cepat beritahu ke Serikat Guild Chirandian soal ini. Tugas mereka akan ketambahan lagi."
Nyonya Fafil, dengan sikap anggunnya, menundukkan kepala dan meletakkan telapak tangannya di atas roknya.
"Tentu, Tuan Malvier," jawab beliau dengan suara lembut, penuh penghormatan.
Pak Sam yang berada di samping beliau hanya mengangguk. "Akan kami laksanakan."
Dengan begitu, Pak Malvier mulai berjalan menuju pintu keluar, namun bukan pintu yang mereka gunakan sebelumnya untuk masuk.
Serena, Violina, Simpe, dan Monte mengikuti dari belakang, penasaran dengan arah tujuan Pak Malvier yang tiba-tiba berubah. Beliau berhenti di sebuah pintu besi yang tersembunyi di sudut ruangan, tak jauh dari tempat mereka duduk sebelumnya.
Pintu itu terletak di samping dinding yang penuh dengan kabel-kabel dan monitor yang menyala dengan cahaya redup.
Dengan sekali dorong, pintu itu terbuka, dan suasana gelap menyambut mereka.
Pak Malvier kemudian berkata, "Kalian pergi saja dulu. Ikuti saja jalan di dalam pintu ini. Di ujung, kalian akan keluar di sekitar tempat teleportasi perpindahan."
Serena, yang sebelumnya terdiam, langsung menoleh kepada Pak Malvier dengan ekspresi penuh rasa penasaran.
"Tuan Malvier, mau kemana?" tanyanya.
Pak Malvier berhenti sejenak, menatap mereka sebelum menjawab dengan nada yang lebih pribadi, "Saya ingin menulis sebuah surat untuk Serikat Guild Hiddenama. Oleh karena itu, saya akan kembali ke kantor terlebih dahulu."
Mendengar penjelasan itu, Simpe dan Monte langsung bergerak tanpa ragu. Mereka melangkah maju dan memasuki pintu gelap itu.
"Baiklah, Tuan. Kami yang akan menemani Nona Serena dan Nona Violina. Tidak usah khawatir," kata Monte dengan nada sopan, memberikan jaminan pada Pak Malvier.
Pak Malvier mengangguk, menatap mereka dengan mata yang penuh arti. "Tolong ya, kalian."
Simpe yang sudah bergerak lebih dulu, menggerakkan telapak tangan kanannya ke arah Serena dan Violina, memberi isyarat untuk segera mengikuti mereka.
"Ayo, Serena, Violina!" ajaknya dengan semangat.
Violina, meski sedikit cemas, tetap mengikuti langkah Serena.
Kegelapan di dalam pintu terasa menekan, namun mereka harus melangkah maju. Suara langkah mereka yang bergema pelan di lorong yang sepi menciptakan rasa misterius yang semakin mendalam.
Sesaat setelah mereka melewati pintu, suara gemericik pintu itu menutup dengan sendirinya, membiarkan hanya sedikit cahaya yang tampak dari lubang intip di pintu yang tertutup rapat.
Di luar, Pak Malvier berdiri dengan tenang, menatap mereka dari balik lubang intip. Beliau melambaikan tangan dengan lembut, memberikan isyarat agar mereka tidak khawatir.
"Jangan takut, Nak," suara Pak Malvier terdengar dari arah belakang. "Teleportasi kota Chirandian memang seperti itu. Kami menggunakan kegelapan sebagai perantara perpindahannya."
Violina yang mendengarnya, merasa sedikit lega. Dia mengangguk dengan sopan, meski rasa cemasnya belum sepenuhnya hilang.
"Terima kasih, Tuan Malvier. Atas bantuannya."
Pak Malvier membalas anggukan itu dengan senyuman tipis, lalu menatap Serena.
Senyum itu mengembang perlahan di wajah Pak Malvier, membuat Serena menatapnya dengan heran, merasa seperti ada sesuatu yang tidak biasa dalam pandangan beliau.
Serena menyipitkan matanya, memastikan bahwa senyuman itu memang ditujukan padanya.
"Nak Serena," Pak Malvier mulai berbicara, suaranya lebih lembut daripada sebelumnya, "Jaga baik-baik artefakmu itu. Mungkin suatu saat nanti, kau akan membutuhkannya."
Serena terkejut. Kata-kata itu membuat darahnya berdesir. Tanpa sadar, ia bergumam pelan, "Bagaimana beliau bisa tahu?"
Sebelum Serena bisa melanjutkan pikirannya tentang pesan Pak Malvier, lubang intip pintu yang sempat memberi cahaya itu tertutup dengan sendirinya, menghilangkan satu-satunya sumber cahaya yang ada.
Dalam sekejap, ruangan kembali menjadi gelap gulita. Hanya ada keheningan yang melingkupi mereka.
"Ayo jalan. Pintu keluarnya sudah muncul itu," ujar Simpe, suaranya terdengar dengan jelas dalam kegelapan, sambil menunjuk ke lorong yang terlihat jauh di depan.
Tiba-tiba, sebuah cahaya terang muncul dari ujung lorong, memecah kegelapan yang menutupi mereka.
"Ayo pergi," sahut Monte dengan nada tegas, menyemangati mereka untuk tidak ragu dan terus melangkah maju.
Serena dan Violina lalu mengangguk, melangkah mengikuti Simpe dan Monte yang sudah lebih dulu melangkah maju.
Langkah mereka bergema pelan di lorong yang sepi, hanya ada suara kaki mereka yang menghantam lantai.
Namun, ketika mereka hampir sampai di ujung lorong, Monte tiba-tiba menoleh, pandangannya tertuju pada Serena. Matanya menatap serius, seolah ada pertanyaan yang mengganjal di benaknya.
"Serena, aku mau bertanya," kata Monte, suara seriusnya memecah kesunyian.
Serena yang masih merasa heran, mengangkat alisnya.
"Mau tanya apa?"
Monte menatapnya dengan tatapan yang tajam, seperti mencoba menembus segala ketidakpastian di sekitar mereka.
"Kau punya artefaknya, bukan? Artefak dari dewa jahat itu?" tanyanya.
Serena terdiam sejenak. Pertanyaan itu menusuk ke dalam pikirannya, membuat ekor naganya terbujur lemas di lantai. Dia tidak menyangka Monte akan menyinggung hal ini sekarang.
Violina, yang berdiri di sampingnya, ikut menatap Monte dengan ekspresi serius.
Sorot matanya menunjukkan rasa penasaran yang kuat. Ekor serigalanya sampai menegang, pertanda bahwa insting alaminya menangkap sesuatu yang besar.
"Apa yang kau maksud?" tanya Serena, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. "Artefak dari dewa jahat itu? Maksudmu yang mana?"
Monte tidak langsung menjawab. Ia menatap Serena dalam-dalam, seperti sedang menimbang sesuatu.
"Kau ingat, kan, apa yang Pak Malvier katakan tadi?" lanjutnya dengan suara lebih rendah. "Tentang bau yang ada padamu. Tapi beliau tidak mengungkit lebih jauh lagi tentang artefak yang diberikan oleh dewa jahat itu, padahal justru itu bagian yang paling menarik."
Di samping Monte, Simpe tiba-tiba menegakkan tubuhnya. Ekor monyetnya melengkung naik, menunjukkan ketertarikan yang sama. Ia menatap Monte dengan mata berbinar.
"Menarik bagaimana, kawan?" tanyanya antusias.
Monte tiba-tiba menghentikan langkahnya. Serena, Violina, dan Simpe spontan ikut berhenti, menatap Monte yang kini memutar badannya menghadap mereka.
"Nenek buyutku pernah bercerita," ujar Monte perlahan, "bahwa penyebab perang di dunia sihir bukan hanya karena wabah penyakit atau kelangkaan sumber daya alam. Itu hanya perang biasa."
Dia menghela napas sebelum melanjutkan, tatapannya semakin serius.
"Perang yang sesungguhnya terjadi setelah dewa jahat itu membagikan enam artefak senjata sihir ke penjuru dunia. Setelah itu, muncullah orang asing yang datang entah dari mana. Mereka membawa pesan dewa.
Pesan itu harus diselesaikan, kalau tidak, bencana yang tertulis di dalamnya akan menjadi nyata. Tapi, jika pesan itu berhasil diselesaikan, maka akan ada hadiah yang menunggu."
Violina mengangkat jarinya, seperti baru menyadari sesuatu.
"Maksudmu, itu Quest Dewa, bukan?" katanya. "Bangsa manusia di dunia ini menyebut orang asing itu sebagai NPC, sedangkan pesan yang mereka bawa disebut sebagai quest."
Monte mengangguk, matanya menerawang ke depan. “Benar sekali,” suaranya terdengar berat. Ia menatap Violina sebentar sebelum memandang ke seluruh ruangan. “Dunia kita berubah sejak enam artefak itu tersebar. Saat masing-masing artefak menemukan pemiliknya, bencana mulai terjadi, dan akibatnya kita mengalami hal-hal seperti sekarang ini: Quest Dewa, kejadian aneh yang sulit dijelaskan, bahkan pemindahan kita ke dunia manusia.”
Simpe mengernyit, mencoba mencernanya. “Kejadian aneh itu. Maksudmu Event, kan?”
Monte tersenyum kecil, mengacungkan jempol. “Yap. Aku yakin kita semua sudah paham maksudnya.”
Simpe menatap ke langit-langit lorong yang gelap, merenung sejenak. “Ngomong-ngomong, kapan Event akan terjadi lagi? Aku belum melihat ada Event yang muncul di dunia manusia ini.”
Monte menyilangkan tangannya. “Mungkin kita saja yang belum mengalaminya. Aku yakin para sesepuh bangsa sihir yang lebih dulu pindah ke sini sudah mengalami Event. Saat Event muncul, manusia dan bangsa sihir pasti akan berebut untuk mendapatkannya. Sama seperti yang terjadi di dunia kita sebelumnya.”
Serena mengangkat alis, merasa ada yang perlu diluruskan. “Tapi, aku sendiri tidak tahu. Jika kau dan Pak Malvier menganggap aku memiliki artefak dari dewa jahat, aku bahkan tidak tahu benda apa yang dimaksud sebagai artefak itu.”
Monte menghela napas, lalu menatap Serena dengan serius. Matanya menyipit, pikirannya jelas tengah bekerja keras. Ia menurunkan pandangannya ke lantai, mencoba menghubungkan potongan-potongan yang ia ketahui.
“Masa kau tidak pernah melihat sesuatu yang luar biasa dari keluargamu? Orang tuamu mungkin pernah menggunakan senjata sihir yang berbeda dari yang lain. Konon, artefak itu tidak hanya bisa berubah bentuk, tetapi juga memberikan sesuatu, seperti hadiah bagi mereka yang telah menyelesaikan Quest.”
Keheningan menyelimuti lorong karena Serena tidak langsung menjawab. Ia menunduk, bahunya sedikit gemetar lalu menghela napas panjang dalam kegelapan.
“Maaf,” katanya pelan, suaranya nyaris berbisik. “Aku tidak punya orang tua kandung.”
Simpe dan Monte tersentak. Serena menelan ludah, suaranya terdengar lebih lirih dari sebelumnya.
“Aku dibesarkan oleh pasangan manusia. Aku bahkan tidak tahu siapa orang tuaku yang sebenarnya. Sampai sekarang.”
Monte dan Simpe merasa tidak enak, ekspresi mereka sampai berubah. Monte mengusap rambutnya sendiri, merasa bersalah karena menyinggung hal yang begitu pribadi. Simpe pun hanya bisa tersenyum getir.
Violina, yang sejak tadi mendengarkan, akhirnya bersuara, mencoba mengangkat suasana yang mendadak muram.
“Sudahlah,” katanya, menepuk bahu Serena dengan lembut. “Ayo kita lanjutkan perjalanan. Pak Agran dan Pak Malvier pasti sudah menunggu di sana.”
Monte menundukkan kepala sedikit, menyatukan kedua telapak tangannya seperti seseorang yang sedang meminta maaf.
“Maaf, Serena. Kami tidak tahu kalau itu akan membuatmu sedih.”
Serena menggeleng pelan, mencoba tersenyum tipis meski bayang-bayang kesedihan masih terlihat di wajahnya.
Namun, Simpe, dengan rasa penasaran yang masih membara, kembali bertanya.
“Ngomong-ngomong, di mana orang tua angkatmu sekarang? Apakah mereka ada di kota Hiddenama?”
Serena menghela napas panjang. “Tidak,” jawabnya dengan suara pelan. “Aku terpisah dari mereka saat mereka melindungiku. Sebelum aku diteleportasi ke dunia manusia ini.”
Serena melanjutkan, suaranya sedikit lebih tegas. “Lagi pula, Hiddenama adalah kota khusus untuk bangsa monster. Berbeda dengan Chirandian, yang terbuka untuk semua bangsa dari dunia sihir.”
Monte melirik Simpe dengan tatapan tajam, seakan menyalahkannya karena terus mengorek hal yang jelas menyakitkan bagi Serena. Simpe hanya bisa menyengir kecil, menggaruk kepalanya dengan canggung.
“Baiklah, mari kita lanjutkan perjalanan. Kasihan Pak Malvier dan Pak Agran kalau kita terlalu lama,” sahut Monte, mencoba mengalihkan suasana.
Violina mengangguk, kemudian mengelus pundak Serena dengan lembut. “Tak apa, Serena. Kita semua ada di sini bersamamu.”
Serena menarik napas panjang, mencoba mengusir perasaan yang membebaninya. Ia mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka kembali melangkah menuju cahaya di ujung lorong.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Mizuki
paragraf dobel
2024-08-28
0