Serena dan Violina melangkah keluar dari halaman belakang toko terbengkalai setelah pertarungan sengit melawan zombie-zombie.
Udara dingin malam yang menusuk kulit seolah menyambut kemenangan mereka bahwa mereka telah berhasil menyelesaikan questnya. Namun, cahaya bulan yang mengintip dari balik awan memberikan sedikit rasa ketegangan di tengah hari malam.
"Mari kita kembali, Serena. Gaun ini—" Violina mengernyit saat mencium pakaiannya sendiri, akibat menghantam tumpukan sampah sebelumnya. "bau busuk semua. Setelah sampai di kota Hiddenama, aku harus ganti pakaian. Rasanya tak tahan lagi dengan aroma ini."
Violina pun memejamkan mata sejenak, menanggalkan wujud serigalanya yang ganas dan kembali ke wujud manusia yang anggun. Wujud serigalanya telah membawa mereka melewati pertempuran, namun sekarang saatnya beristirahat.
Serena, yang sedari tadi mendengarkan keluhan sahabatnya, hanya bisa tersenyum kecil.
Dia mengeluarkan kertas quest satunya yang diberikan oleh Nea dari saku roknya yang juga tak luput dari bekas-bekas pertempuran. Bagian bawah gaunnya sedikit robek, dan noda darah serta kotoran menghiasi kainnya.
"Sabar, Violina. Kita perlu mencari altar portal teleportasi dulu. Aku cek lokasinya di tempat ini. Siapa tahu jaraknya tidak terlalu jauh," Serena menjelaskan sambil membentangkan peta di tangannya. Mata birunya menelusuri simbol-simbol pada peta yang bercahaya samar di bawah sinar bulan.
Violina, yang biasanya penuh energi, hanya mendengus setuju sambil merengut.
"Jangan bilang kita harus jalan kaki jauh lagi. Mantelku juga sudah belepotan kotoran," keluh Violina. Namun, saat melihat simbol biru yang ditunjuk Serena di peta, raut wajahnya sedikit berubah. "Oh, jadi lokasinya dekat, ya?"
Serena mengangguk, mengacungkan telunjuk ke arah simbol bangunan biru yang tampak tidak jauh dari posisi mereka sekarang.
"Sepertinya begitu. Ada altar portal yang bisa kita gunakan tidak jauh dari sini," jelas Serena. "Kalau kita cepat, mungkin kita bisa sampai sebelum malam semakin dingin."
Violina menghela napas panjang, lalu memandang langit yang tampak sepi dari halangan awan. Begitu pula dengan jalan raya di sekitar mereks, tanpa tanda-tanda kehadiran polisi ataupun musuh.
Angin malam berdesir lembut, membuat helaian rambut putih Serena dan rambut coklat Violina tergerai, berkibar tidak karuan.
"Oke, ayo jalan kaki saja. Aman kok, di sini juga sudah tenang," gumam Violina sambil tersenyum tipis. "Lagipula, polisi-polisi itu sudah tidak ada lagi. Mereka sepertinya sudah meninggalkan tempat ini sejauh mungkin, sebelum kita membuat keributan tadi."
"Iya, kurasa kita sudah aman," jawab Serena sambil menggulung kembali peta tersebut dan memasukkannya ke dalam saku gaunnya. "Ayo berangkat."
Mereka berdua mulai melangkah meninggalkan halaman toko yang kini sunyi, dengan hanya derap langkah kaki yang bergema lembut di atas jalanan berkerikil.
Cahaya bulan perlahan menyinari jalan setapak yang membentang di depan mereka, mempertegas suasana sepi dan dingin yang mendominasi malam itu.
Tidak ada suara, selain desiran angin yang seolah membawa bisikan misterius dari kegelapan malam.
"Serena, kenapa tadi kau melamun saat NPC itu melempar kertas quest ke arahmu? Sekarang juga, kau masih terlihat tidak fokus," tanya Violina, sambil mengerutkan alis.
Tatapannya menyelidik, menatap wajah Serena yang sejak tadi hanya menunduk, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Serena tersentak mendengar pertanyaan temannya, seakan baru tersadar dari lamunan panjang yang menghantuinya sejak pertarungan terakhir. Ia berhenti sejenak, lalu menoleh pelan ke arah Violina, matanya tampak sayu, seperti sedang menyimpan sesuatu yang tak terungkap.
"Maaf, Violina. Aku memang melamun tadi," jawabnya dengan suara pelan, nyaris berbisik. "Aku kepikiran tentang orang tuaku," Lirihnya, membuat Violina sedikit tertegun.
Violina mengangkat sebelah alis, bingung, namun tetap mencoba memahami apa yang dirasakan Serena.
"Orang tuamu? Maksudmu orang tua angkatmu di dunia sihir? Serena, kau tahu kan mereka bukan ras naga sepertimu? Apalagi. Di dunia kita sebelumnya, ras manusia dan ras monster tidak pernah benar-benar damai. Bahkan ada desas-desus kalau Dewa Permainan sekarang muncul karena ambisi manusia yang ingin mengalahkan ras monster," jawab Violina dengan nada tenang namun serius, berusaha mengingatkan Serena tentang kenyataan dunia mereka.
Serena mengangguk, namun matanya tetap terpaku pada jalan di depannya, pikirannya masih jauh. Ia menggigit bibirnya, lalu menutup mata sejenak, mencoba menenangkan gejolak di hatinya.
"Mungkin mereka hanya orang tua angkat, Violina," jawab Serena akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Tapi. Mereka satu-satunya yang merawatku sejak kecil. Sebelum aku dipindahkan ke dunia ini, mereka yang membesarkanku, yang melindungiku. Bagaimana aku bisa melupakan mereka begitu saja?"
Violina memperlambat langkahnya, menatap Serena dengan tatapan yang lebih lembut. Ia bisa merasakan rasa sakit yang dirasakan temannya.
"Aku mengerti perasaanmu, Serena. Tapi. Kenapa kau tidak pernah mencoba mencari orang tuamu yang asli? Kau tahu, jika kau bisa kembali ke dunia sihir, mungkin ada harapan untuk bertemu mereka. Ada kota yang dihuni hanya oleh bangsa naga di dunia sebelumnya, kan?"
Serena terdiam, nafasnya berat seolah membawa beban dari masa lalu yang tidak pernah bisa ia lepaskan.
Matanya tetap menunduk, menatap jalanan trotoar yang terasa tak ada habisnya. Kata-kata Violina terus menggema di pikirannya, menelusup masuk dan menggoyahkan pertahanannya.
"Entahlah, Violina," katanya lirih. "Aku bahkan tidak tahu bagaimana rupa orang tua kandungku sejak kecil. Apalagi. Sejak kejadian itu." Suaranya bergetar di akhir kalimat, tanda luka lama kembali menganga.
Violina, yang melihat kegalauan temannya, memberikan senyuman penuh dukungan sambil menggenggam tangan Serena erat-erat, memberikan kehangatan di tengah malam yang dingin.
"Tenang saja, Serena," kata Violina dengan suara menenangkan. "Aku akan membantumu mencari orang tua kandungmu, jika ras monster nantinya bisa kembali ke dunia sihir. Serikat Guild Hiddenama dan semua serikat Guild monster di dunia manusia kan sedang berencana untuk itu. Entah bagaimana caranya."
Serena hanya mengangguk pelan. Meskipun kata-kata Violina memberinya sedikit harapan, hatinya masih diselimuti keraguan. Saat mereka terus berjalan, pikiran Serena melayang, kembali ke masa lalu—ke kenangan saat ia masih bersama kedua orang tua angkatnya di dunia sihir.
Bayangan masa itu mulai tergambar jelas di benaknya :
Langit dipenuhi awan putih yang bergerak pelan, di atas kota Alcaist begitu cerah. Kota tempat singgahnya para pelancong di dunia sihir. Cahaya matahari yang hangat menembus di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang, terbuat dari batu bata merah yang disemen dengan rapi.
Di setiap dinding bangunan, terpampang tulisan "Kota Alcaist" dengan huruf-huruf tebal dan artistik, memberi kesan bahwa tempat itu merupakan pusat kesibukan para petualang dan semi-manusia.
Kota itu ramai dengan aktivitas. Orang-orang berlalu lalang di jalanan berbatu, beberapa di antaranya menarik kereta barang yang dihela oleh berbagai hewan. Tak hanya kuda, tapi juga babi besar dan kadal jumbo yang menggantikan peran hewan tunggangan di dunia mereka.
Serena, yang masih kecil saat itu, terpana oleh hiruk-pikuk di sekelilingnya. Matanya menatap ke sekitar, memperhatikan yang ada.
Toko-toko di sepanjang jalan menjual berbagai barang dari ramuan obat, senjata, hingga peralatan petualangan. Aroma yang khas dari ramuan herbal bercampur dengan bau asap dari bengkel pandai besi, memenuhi udara.
"Serena. Kita berada di Kota Alcaist. Ini adalah kota para petualang semi-manusia. Jangan sampai kamu tersesat saat sedang berkeliling, ya," kata seorang wanita muda, menggenggam erat tangan kanan Serena.
Dia seorang manusia dengan wajah sedikit bersisik. Wajahnya cantik, namun tegas, dengan mata lembut yang selalu penuh kasih sayang untuk Serena.
"Baik, Ibu," jawab Serena dengan nada sopan. Namun, tak lama kemudian ia menambahkan dengan ekspresi cemberut khas anak-anak, "Padahal aku tidak mungkin tersesat, kok. Aku ini kan bisa terbang juga!"
Wanita itu tersenyum kecil, menahan tawa mendengar respons anak angkatnya yang keras kepala.
Sementara itu, seorang pria manusia dengan wajah yang bersisik juga, tubuhnya kekar yang berdiri di samping mereka ikut berbicara, dengan suaranya yang dalam dan berwibawa.
"Iya. Ayah tahu kamu berpergian cepat dengan cara itu. Tapi kamu harus ingat satu hal: jangan pernah menunjukkan wujud nagamu di kota ini. Ini kota para semi-manusia, dan sebagian dari mereka mungkin ada yang sedang mencarimu sekarang. Jadi, ayah peringatkan lagi, tetaplah berhati-hati," ujarnya, sambil menatap Serena dengan serius.
Serena menundukkan kepalanya, jubah yang ia kenakan menutupi hampir seluruh tubuhnya, hanya menyisakan bibir yang terlihat. Saat wajahnya berubah masam, bibirnya tertarik ke bawah, menunjukkan rasa kesal yang sulit ia sembunyikan.
"Iya, Ayah. Aku tahu, aku tidak akan menggunakan wujud nagaku," gumam Serena dengan nada malas, meski dia mengerti betapa pentingnya perintah itu.
Ayah Serena, pria dengan tubuh kekar namun tampak bijaksana, tersenyum tipis. Dengan lembut, dia membetulkan tudung jubah Serena, memastikan bahwa rambut putih panjang anak angkatnya itu tidak terlihat.
"Maafkan Ayah, Serena. Kita sedang dalam pelarian. Ayah tidak mau sesuatu yang buruk terjadi padamu," kata ayahnya dengan suara rendah tapi penuh kepedulian. Tatapan matanya menunjukkan kasih sayang, meskipun kekhawatiran yang tersembunyi di baliknya tak bisa disembunyikan.
Serena mengangguk tanpa bicara, merasakan betapa beratnya beban yang ditanggung keluarganya. Tidak mudah menjadi buronan di kota yang ramai seperti Alcaist.
"Ayah, Ibu," tanya Serena sambil mendongakkan wajahnya. Wajahnya terlihat murung, lekuk bibirnya sampai melemas. "Sampai kapan kita harus seperti ini? Aku lelah berpergian dari satu kota ke kota lainnya terus."
Ayah dan Ibu Serena terdiam. Wajah mereka seperti orang yang sedang kebingungan.
"Maaf Serena. Ayah tidak tahu," jawab Ayahnya dengan suara lirih.
Sedangkan Ibunya hanya menunduk, tidak menjawab. Ekspresi kebingungan beliau juga sama seperti yang ditunjukkan Ayah Serena. Dengan jemari tangan kanan yang mengenggam erat tas kulit kecil yang ada di pinggulnya.
Kedua orang tua angkat Serena juga mengenakan jubah serupa, namun tidak menutupi wajah mereka. Di dahi mereka, tanduk kecil yang menonjol terlihat jelas.
Saat mereka melangkah ke pusat pasar Alcaist, suasana terasa tegang.
Ayah dan ibu angkat Serena secara naluriah memasang sikap waspada, mata mereka mengawasi sekeliling dengan teliti. Jalanan yang biasanya dipenuhi pedagang dan petualang kini dihiasi dengan prajurit berzirah merah. Mereka berkelompok dan berpatroli.
Para prajurit itu setengah naga, dengan ekor yang menjuntai di belakang mereka, dengan tanduk hitam yang mencuat dari atas kepala.
"Serena, menunduklah. Jangan biarkan wajahmu terlihat," bisik ibunya cepat, menahan kecemasan.
Mereka berjalan menyusuri pasar dengan napas tertahan, mencoba untuk tidak menarik perhatian.
Begitu berhasil melewati area patroli para prajurit, mereka langsung masuk ke sebuah bar yang tampak biasa saja dari luar. Pintu bar itu berderit saat mereka membukanya, dan aroma daging panggang serta bir segera menyerbu hidung mereka.
Di dalam, suasananya jauh lebih meriah dan beragam.
Para pelanggan di bar kebanyakan adalah bangsa monster, sebagian besar setengah manusia, dengan berbagai macam bentuk dan ukuran. Sisanya bangsa manusia.
Ada yang sedang menikmati daging panggang dari hewan-hewan raksasa, ada pula yang sedang mengangkat gelas bir besar, tertawa keras-keras sambil berbagi cerita petualangan mereka.
Di sudut ruangan, sebuah papan quest besar dipenuhi kertas-kertas yang berisi misi dan tantangan, ditempel acak oleh para pelayan yang sibuk melayani para pengunjung.
Ayah Serena mendekati meja kasir dengan langkah mantap, meskipun suasana tegang sebelumnya masih terasa di benaknya.
Dia menghampiri seorang wanita yang bertugas di belakang meja, sosok yang kuat dengan otot-otot terlihat jelas dari balik baju pelayannya. Meskipun rambutnya mulai memutih dan wajahnya menunjukkan keriput usia, postur tubuhnya masih sangat bugar.
Wanita itu, yang sedang mengelap gelas dengan santai, melirik ke arah tamu yang menghampirinya.
"Permisi, Nyonya. Saya ingin bertemu dengan Tuan Rufus," sapa ayah Serena sopan.
Wanita itu mengangkat alis, kembali menatapnya dengan tajam.
"Untuk apa kau mencari suamiku?" tanyanya dengan nada penuh curiga. Tatapannya menyipit, seakan menilai apakah tamu yang dihadapinya adalah ancaman atau tidak.
Sebelum suasana menjadi lebih tegang, ibu Serena maju dengan tenang, wajahnya tersenyum lembut. Dia menganggukkan kepala sedikit, memperkenalkan dirinya dengan suara yang mengalun tenang.
"Nyonya Resyana, apa kabar? Apakah Anda masih ingat aku?" tanya ibu Serena dengan suara ramah, meskipun nadanya membawa sedikit rasa nostalgia.
Nyonya Resyana terdiam sejenak, memperhatikan wanita di hadapannya.
Wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan, seakan mencoba menghubungkan ingatan yang samar-samar dengan sosok yang berdiri di depannya. Namun, begitu ia menyadari siapa yang sedang berbicara, matanya melebar dalam kejutan.
"Biana? Kau Biana kan? Tapi kenapa wajahmu sekarang sedikit bersisik?" katanya, nada suaranya bergeser dari curiga menjadi penuh rasa tidak percaya.
Ibu Serena tertawa kecil, menganggukkan kepala.
"Ya, Nyonya. Aku Biana. Dan di sampingku ini adalah suamiku. Ada cerita panjang tentang perubahan ini, tapi kami baik-baik saja," jelas Biana sambil tersenyum, memberikan kesan bahwa semua akan dijelaskan pada waktunya.
Nyonya Resyana masih melongo, jelas masih terkejut dengan perubahan drastis yang dialami teman lamanya.
Tanpa berpikir panjang, dia langsung memasang tulisan "SEDANG SIBUK" di meja kasir, lalu bergegas keluar dari balik meja dan menggenggam tangan Biana dengan penuh semangat.
"Kenapa kalian tidak bilang kalau kalian akan datang? Oh, astaga! Silakan masuk, jangan berdiri di sini!" serunya dengan wajah cerah yang tiba-tiba berubah hangat.
"Terima kasih, Nyonya Resyana, tapi kami sebenarnya sedang mencari Tuan Rufus. Ada hal penting yang ingin kami bicarakan dengannya," tambah ayah Serena sambil mengangguk hormat.
Nyonya Resyana tersenyum penuh pengertian, lalu melirik ke arah anak kecil yang berdiri sedikit di belakang orang tuanya. Pandangan matanya melembut begitu melihat gadis kecil itu, dan Serena yang menyadari tatapan itu segera melambaikan tangan pelan.
"Halo, Bibi. Lama tidak bertemu," sapa Serena dengan suara lembut.
Tanpa peringatan, Nyonya Resyana langsung mengangkat Serena ke dalam pelukannya, seperti seorang bibi yang lama tidak bertemu keponakan tersayang.
"Oh, Serena kecil! Kau tumbuh begitu cepat! Ayo, mari masuk, kalian pasti lelah," katanya sambil tertawa, menggendong Serena dan membawanya masuk ke dalam ruangan belakang bar.
Sementara itu, ayah dan ibu Serena mengikuti di belakang, melangkah masuk ke dalam ruangan yang lebih sepi dan jauh dari keramaian bar. Begitu mereka masuk, Nyonya Resyana menutup pintu di belakang mereka dan menatap kedua orang tua Serena dengan penuh perhatian.
Serena, yang masih tenggelam dalam pikirannya, tiba-tiba merasakan sentuhan di bahu kirinya.
Violina menyenggolnya dengan cukup keras hingga Serena tersentak, segera menggelengkan kepalanya untuk menyingkirkan bayang-bayang masa lalu yang masih menghantuinya.
"Heh, Serena! Sadar dong!" Violina menggerutu, wajahnya cemberut seperti biasa saat melihat Serena melamun lagi.
Serena menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang kacau. "Maaf, Violina. Ada apa?"
Dengan wajah sedikit jengkel, Violina menunjuk ke depan. "Kita sudah hampir sampai, lihat! Di sana, pertigaan seperti di peta. Kita tinggal cari NPC pedagang yang jual batu portal itu. Jangan ngelamun lagi."
Serena mengikuti arah tunjukan Violina, pandangannya kini terfokus pada pertigaan yang sepi di depan mereka.
Lampu lalu lintas berkedip kuning tanpa henti, memberikan cahaya lembut yang kontras dengan gelapnya malam. Suasana di sekitar pertigaan itu terasa sunyi, hampir seperti kota mati. Trotoar di sekitar mereka kosong, hanya suara langkah kaki mereka yang terdengar.
Di sisi trotoar, tak jauh dari pertigaan, berdiri sebuah outlit kecil. Bentuknya sederhana, kotak besi dengan dua meja dan beberapa kursi. Tak ada tanda-tanda kehidupan selain seorang kakek tua yang duduk di balik meja kecilnya.
"Sepertinya itu dia, NPC pedagangnya," ujar Serena, memicingkan matanya. "Enggak mungkin ada manusia yang jualan di tempat sesepi ini."
Violina menyilangkan tangan di dada, menatap outlit itu dengan penuh perhatian. "Betul juga. Manusia normal mana mau jualan di tempat kayak begini?"
Tanpa membuang waktu lagi, mereka mempercepat langkah menuju outlit tersebut. Angin dingin malam semakin terasa menusuk, namun langkah mereka mantap, dengan tujuan yang semakin jelas di depan mata.
Sesampainya di sana, mereka mendapati kakek penjaga outlit yang sudah tua. Kulit keriputnya menunjukkan tanda usia lanjut, namun matanya masih tajam, mengamati barang dagangannya dengan penuh perhatian.
Di meja kecilnya, barang yang dijual tampak sederhana: kopi sachet, rokok, dan beberapa makanan serta minuman kemasan. Tidak ada tanda-tanda barang ajaib yang mereka cari, namun ada sesuatu dalam tatapan si kakek yang membuat Serena dan Violina merasa bahwa ini bukan pedagang biasa.
Violina menyapa dengan sopan, "Selamat malam, Kek. Kami ingin membeli sesuatu. Apakah kakek menjual batu portal untuk teleportasi?"
Kakek tua itu mengangkat wajahnya perlahan, memperlihatkan senyum tipis di bibirnya yang sudah keriput.
Serena dan Violina memperhatikan dengan cermat, mencari tanda-tanda apakah kakek itu mungkin bukan manusia biasa. Namun, tidak ada yang aneh dari penampilannya. Kakek itu tampak seperti manusia tua biasa, tanpa tanda-tanda khas bangsa monster.
Dia tidak langsung menjawab. Tangannya meraih cangkir kopi yang terlihat sudah dingin di mejanya.
Setelah meneguk perlahan, kakek itu menaruh kembali cangkirnya, dan barulah dia menjawab dengan suara serak namun tenang, "Batu portal teleportasi apa? Aku tidak tahu itu."
Serena dan Violina saling bertukar pandang, keraguan mulai muncul di wajah mereka.
Perlahan mereka mundur beberapa langkah. Serena dengan cepat mengeluarkan kembali peta yang disimpan di saku gaunnya, memeriksa koordinat tempat NPC pedagang yang seharusnya menjual batu portal teleportasi.
"Tidak mungkin salah deh," gumam Serena sambil meremas peta di tangannya. "Kakek tua itu pasti orangnya." sambil menunjuk simbol keranjang berwarna biru di peta.
Serena yakin, jika dirinya berada di lokasi yang tepat. Jalan pertigaan yang dekat dengan lokasi Npc pedagang yang tergambar di peta bisa Serena saksikan di hadapannya.
Violina, dengan sedikit keraguan, mengambil langkah berani. "Oke deh. Mungkin beliau ingin bukti, jika kita benar-benar ingin membeli barang itu."
Serena menyipitkan mata. Dia menaruh jari di dagunya untuk mencerna hal yang sedang terjadi.
"Iya juga. Sepertinya, kita harus menunjukkan, jika kita bangsa monster asli untuk membeli batu portal tersebut. Mungkin Hunter Pengintai Hiddenama yang menjual batu portal itu kepada beliau memberikan syarat khusus bagi orang yang ingin membelinya."
Violina, dengan wajah penuh keyakinan, segera melangkah kembali ke arah kakek tua itu. Tanpa basa-basi, dia berkonsentrasi untuk mengubah wujudnya menjadi manusia serigala. Ekor panjang berbulu coklat menyembul dari balik roknya beserta dua telinga serigalanya yang muncul di atas kepalanya.
Dia mengulurkan tangan kanan ke telinga kanannya, mengambil beberapa koin emas yang disembunyikannya di sana.
Violina meletakkan tiga koin emas di atas meja outlit dengan tenang.
Kakek itu menatap koin emas itu sejenak, lalu senyum tipisnya berubah menjadi senyuman lebih lebar. Dengan gesit, beliau mengambil koin emas itu dan seketika barang dagangannya diletakkan di bawah meja.
Beberapa botol potion merah ditaruh di atas meja, bersama dengan beberapa batu berbentuk pipih untuk mengantikan barang dagang sebelumnya.
Kakek itu mengambil salah satu batu pipih dan dua botol potion, kemudian menyerahkannya kepada Violina dengan gerakan yang perlahan namun pasti.
"Terima kasih sudah membeli," ucapnya serak. "Apakah ada yang bisa saya bantu lagi?"
Violina menerima barang-barang itu dengan anggukan mantap, sementara Serena yang sejak tadi berdiri di belakang akhirnya merasa lega. Mereka memang berada di tempat yang benar.
"Enggak, Kek. Ini saja cukup," jawab Violina sambil menyelipkan batu portal ke dalam sakunya. Ia menoleh ke Serena, wajahnya kini sedikit lebih ceria setelah mendapatkan apa yang mereka cari.
"Mari kita pulang. Kita pecahkan dimana ini batu portalnya?" tanyanya ringan.
Serena mengangguk, tapi senyum di wajahnya tampak samar. Pikirannya masih terganggu oleh bayangan masa lalu yang terus menghantui. Namun, ia tetap berusaha fokus pada situasi sekarang.
"Kita pecahkan di tengah jalan saja," jawab Serena, setengah bercanda. "Kalau di sini, bisa-bisa warung kakek ikut terteleportasi ke Hiddenama juga."
Violina tertawa kecil, tapi sebelum mereka melangkah pergi, suara kakek pedagang itu kembali menghentikan langkah mereka.
"Berhati-hatilah di jalan, Nak." katanya dengan suara serak, namun nadanya terasa tegas. "Tempat ini mungkin tampak tenang, tapi banyak Hunter Manusia yang berpatroli sejak kemarin."
Serena mendadak menghentikan langkahnya. Rasa was-was tiba-tiba menguar di dadanya. Dia menoleh ke belakang, menatap kakek itu dengan tatapan serius, sementara Violina sudah berjalan ke arah tengah jalan sendirian.
"Terima kasih, Kek, atas peringatannya," ucap Serena, sopan. "Kami nanti akan berhati-hati."
Namun, respons sang kakek tak seperti yang ia harapkan. Dengan wajah yang terlihat semakin serius, kakek itu menggelengkan kepalanya.
"Jangan nanti, tapi sekarang," katanya pelan namun jelas. "Mereka sudah mengawasi kalian dari tadi, Nak."
Serena langsung merasa dingin menjalari punggungnya. Dia segera memutar pandangannya ke sekitar, matanya tajam meneliti kegelapan yang membungkus area sekitar pertigaan.
Violina yang sudah berjalan beberapa meter lebih jauh, berhenti dan menoleh kembali, melihat Serena yang kini tampak tegang.
"Ada apa, Serena?" tanya Violina, nada suaranya penuh kebingungan.
Serena tidak langsung menjawab. Wajahnya berubah serius, matanya memindai sekeliling dengan teliti, mencari tanda-tanda bahaya yang tak kasat mata.
Suasana mendadak berubah mencekam, seakan angin malam berhenti berhembus dan hanya keheningan yang tersisa di antara mereka.
Tiba-tiba, suara peluit memecah kesunyian. Suaranya nyaring, melengking tajam, dan terasa begitu dekat sehingga menggetarkan udara di sekitar mereka.
Serena menegakkan bahu, sementara Violina menoleh cepat, mengarahkan pandangannya ke bangunan-bangunan tua yang berdiri kokoh di pinggir jalan.
"Suara peluit itu berasal dari arah sana," kata Violina, menunjuk ke sebuah deretan bangunan. Mata serigalanya menajam, meneliti bayangan gelap yang meliputi bangunan-bangunan tersebut. "Tapi siapa yang bermain peluit malam-malam begini? Apa mungkin mereka Hunter Manusia?"
Serena menghela napas pelan, perasaan tak nyaman merayapi dirinya. "Violina," ucapnya, suaranya sedikit bergetar, "sepertinya kau benar. Kita sedang diawasi oleh mereka."
Violina langsung memasang wajah tegang. Kegelisahan mulai menguasai dirinya. Ia menggigit bibir, pikirannya berputar cepat mencari solusi.
"Ini buruk. Kita tidak bisa menggunakan batu teleportasi sekarang. Kalau kita buka portal di sini, mereka bisa mengikuti kita masuk ke dalam portal juga."
Serena terdiam, tahu betul bahwa Violina benar. Di balik malam yang sunyi, bahaya semakin mendekat. Detak jantung mereka berdua semakin cepat, selaras dengan ketegangan yang terus meningkat.
Tiba-tiba, dari arah belakang, suara serak kakek pedagang Npc yang tadi mereka temui terdengar lagi.
"Terima kasih sudah membeli," katanya, suaranya tenang meski situasi terasa genting. "Kakek harus pergi sekarang, menyelamatkan barang-barang dagangan ini sebelum dicuri."
Serena dan Violina menoleh ke belakang, melihat kakek itu berdiri di depan outlit kecilnya. Tanpa banyak bicara, sang kakek menyentuh bagian atas outlit itu, dan secara ajaib, dalam hitungan detik, outlit besi itu menyusut hingga seukuran koper.
Kakek itu menutup kopernya dengan rapi dan, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, ia berlari dengan gesit menuju arah hutan yang gelap, meninggalkan Serena dan Violina berdiri di sana.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Mr. Wilhelm
Aku tidak tahu gerakan lincahnya kaya gmna /Chuckle/
2024-05-25
1
✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌
asdean kan ya
2024-02-15
0
✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌
Wah minta dikuliti ni orang /Applaud/
2024-02-15
1