Cahaya lampu kuning yang hangat menerangi pasar malam yang tak pernah kehilangan pesonanya.
Lampu-lampu kecil menjuntai di antara bangunan, memancarkan sinar lembut yang memantulkan bayangan di atas jalan berbatu. Riuh suara tawar-menawar, derap langkah kaki, dan dentingan logam bercampur menjadi simfoni yang khas. Aroma makanan yang dipanggang menguar, bercampur dengan wangi rempah-rempah eksotis yang dijual oleh pedagang.
Di tengah jalan pasar yang sedikit lengang, dua gadis berjalan berdampingan.
Tudung mereka menutupi sebagian besar wajah, menyembunyikan identitas mereka.
Di tepi jalan berbatu, para pedagang menjajakan barang dagangan yang menarik perhatian: potion dengan warna memikat, pedang dengan ukiran runa bercahaya, makanan khas dunia mereka, hingga barang-barang unik yang memancarkan aura misterius. Namun, perhatian kedua gadis itu tak tertarik pada barang dagangan.
"Serena," bisik Violina, gadis bertudung di sebelah kiri, sambil mendekatkan kepalanya. "Kau sudah siap untuk menghajar para petualang manusia nanti?"
Serena melirik Violina dengan sudut matanya dan menghela napas. "Mau tidak mau harus siap. Serikat Guild sudah memerintahkannya. Kita harus membebaskan mereka, kan?" jawabnya pelan.
Violina mengangguk kecil, sorot matanya menerawang ke jalan berbatu di depan mereka. "Iya. Tapi kenapa setiap bulan semakin banyak saja orang dari dunia kita yang dipindahkan ke sini? Aku tidak habis pikir," gumamnya dengan nada prihatin.
Serena menatap lurus ke depan, matanya yang tersembunyi di balik tudung penuh tekad.
"Kalau kita tidak menyelamatkannya. Mereka akan dijadikan peralatan sihir oleh para petualang manusia itu. Senjata sihir, baju zirah, semua dibuat dari tubuh mereka. Kalau mereka semakin kuat, sedangkan kita terus kehilangan orang, kehidupan kita akan hancur."
Violina mengepalkan tangan erat di balik jubahnya, matanya menyala-nyala dengan kemarahan yang tertahan.
"Kejam. Mereka pikir, bangsa kita hanya sekadar bahan baku!"
Serena menoleh, ekspresinya dingin namun penuh tekanan. "Mau bagaimana lagi," katanya, nadanya tajam. "Hanya dari tubuh kita senjata sihir bisa dibuat. Senjata yang mampu melawan monster yang dikirim dari Permainan Dewa. Mereka tahu itu."
Sejenak percakapan mereka terputus ketika suasana di sekitar berubah. Gang yang tadi lengang kini mulai dipadati manusia petualang. Langkah mereka berhenti, mata mengamati dengan cermat.
Para petualang mudah dikenali: armor besi yang memantulkan cahaya remang lampu, pedang besar yang terlihat kokoh di punggung mereka, belati tajam terselip di pinggang, hingga tongkat sihir dengan ujung bercahaya.
Beberapa membawa buku tebal dengan sampul berhiaskan rune, seolah siap melafalkan mantra kapan saja.
"Kenapa banyak petualang manusia di sini?" Serena berbisik hampir tak terdengar.
Violina menatap ke arah ujung gang yang semakin ramai. "Sepertinya mereka menuju ke sana. Entah apa yang ada di ujung itu."
Tatapan Serena mengeras, kedua alisnya bertaut, menunjukkan ekspresi serius yang jarang ia tunjukkan.
"Aku yakin tujuan kita ada di sana. Bangsa monster yang ditawan akan muncul di sana. Mereka pasti akan dilelang, dan para Serikat Guild manusia akan berlomba membeli mereka."
Keduanya saling bertukar pandang, tak perlu berkata lebih.
Serena dan Violina mengangguk bersamaan, menyepakati langkah berikutnya. Mereka segera mempercepat langkah, bergerak melawan arus para petualang manusia yang mengarah ke ujung gang.
Namun, dalam upaya itu, tudung jubah mereka sedikit tersibak, memperlihatkan rambut panjang mereka. Rambut putih Serena memantulkan cahaya lampu kuning, sementara rambut coklat halus Violina tampak lembut berkilau.
Ketika mereka bergegas, melewati dua petualang bertudung yang tampak berbisik, sebuah tangan tiba-tiba meraih lengan Violina. Langkahnya terhenti, tubuhnya berputar, dan ia menatap tajam ke arah pemegang tangannya.
"Siapa kau?" tegur Violina tegas, matanya menyipit penuh curiga.
Pria bertudung itu perlahan menarik tudungnya ke belakang, memperlihatkan wajah yang sebagian tertutup bayangan lampu remang.
"Serena, Violina. Tunggu!" serunya dengan nada mendesak.
Violina menghentikan langkahnya, matanya melebar karena terkejut. Serena, di sisi lain, memutar tubuh dengan cepat, sikapnya tegang dan siap menghadapi apapun.
"Aku juga di sini," ujar sebuah suara lembut namun tegas dari wanita yang berdiri di sebelah pria itu.
Wanita itu menurunkan tudungnya, menampilkan rambut hitam bergelombang yang jatuh di bahunya. Senyum tipis menghiasi wajah manisnya.
Violina, yang awalnya terkejut, tiba-tiba tersenyum lebar, begitu lebar hingga sudut bibirnya terasa tertarik.
"Asra, Hars! Kenapa kalian di sini? Apa yang sedang kalian lakukan?" tanyanya penuh antusias.
Serena, yang biasanya lebih pendiam dan waspada, akhirnya melangkah maju menghampiri mereka. Wajahnya yang tegang mulai melunak, menunjukkan rasa lega dan senang yang sama.
"Asra dan Hars. Apa kabar?!" sapanya, meski nada suaranya masih sedikit terkendali.
Hars, pria yang tadinya memanggil mereka, hanya mengangkat ibu jarinya sambil tersenyum kecil, tanda bahwa ia baik-baik saja.
Di sisi lain, Asra, wanita berambut hitam itu, melambaikan tangan kanan dengan santai. Senyumnya yang cerah dan penuh percaya diri membuat suasana sedikit lebih hangat.
"Kami baik-baik saja," jawab Asra, pandangannya tak lepas dari dua gadis di depannya. Matanya seolah mencoba membaca apa yang telah mereka lalui.
Hars, yang berdiri di sebelahnya, melirik ke sekitar dengan waspada. Setelah memastikan tak ada orang yang terlalu dekat, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Violina.
"Kami juga ditugaskan untuk menyelamatkan tawanan monster yang dibawa di pasar ini," bisiknya.
Violina melirik Serena sejenak sebelum bertanya, "Kau juga disuruh oleh Nona Ra dan Pak Snade, kah?"
Serena bahkan memiringkan kepalanya, penasaran dengan jawaban mereka.
Tatapan Hars dan Asra berubah bingung. Mereka saling berpandangan sejenak sebelum Hars menjawab, "Nona Ra, iya. Tapi kalau Pak Guru Snade, tidak. Kami datang dengan Pak Arltez."
Violina mengangkat alis, lalu berbisik, "Pak Guru Minotaur itu?"
Hars mengangguk singkat, lalu mundur kembali, membiarkan percakapan itu menggantung.
Asra, yang tampaknya lebih sadar pada situasi sekitar, melirik sekeliling dengan gelisah. Orang-orang yang melewati mereka mulai melirik dengan curiga karena keempatnya berdiri diam di tengah jalan.
Dengan suara pelan namun tegas, ia berkata, "Kita sambil jalan saja. Berdiri di sini terlalu mencolok. Banyak orang menuju ke depan, jadi kita ikut saja."
Serena, Violina, dan Hars mengangguk, setuju dengan usulan itu. Mereka melanjutkan langkah menuju ujung gang, mengikuti arus manusia yang terus mengalir ke arah yang sama.
Semakin mereka melangkah, suasana menjadi lebih ramai.
Para pedagang di pinggir jalan sibuk melayani pembeli. Ada yang menawarkan senjata berkilauan, kain dengan warna mencolok, hingga makanan yang aromanya menggugah selera. Beberapa petualang terlihat bercakap-cakap di meja-meja kedai yang berbaris rapi, sementara pelayan sibuk membawa hidangan.
Ketika mereka akhirnya keluar dari gang, pemandangan luas terbuka di depan mereka. Sebuah halaman melingkar dengan meja dan kursi yang berjajar memenuhi area. Empat gang kecil lainnya terhubung ke tempat ini, seolah-olah ini adalah pusat pertemuan para petualang.
Asra menghentikan langkahnya, menatap sekeliling dengan ekspresi datar. "Kita sampai di ujung gang ini. Ternyata hanya halaman luas saja, tempat para petualang manusia nongkrong," ujarnya dengan nada kecewa.
Serena melirik sekeliling. Matanya menyisir tempat itu, mencari sesuatu yang mencurigakan.
Setelah beberapa saat, ia bergumam, "Di mana tawanan monsternya? Apa benar mereka ada di sini?" Nada suaranya tak bisa menyembunyikan kekecewaan.
Violina memutar badan, mencoba mencari tanda-tanda apapun yang sesuai dengan misi mereka. Tapi semuanya tampak normal—terlalu normal. Petualang tertawa, pelayan berlalu-lalang, dan aroma makanan memenuhi udara. Tidak ada yang terlihat seperti pasar gelap atau tempat penahanan.
Hars menatap sekeliling dengan raut serius. Suaranya rendah saat berbicara, seolah tak ingin menarik perhatian.
"Tunggu saja. Siapa tahu, Pak Snade dan Pak Altrez akan menghubungi kita nantinya. Apa yang harus kita lakukan." Tatapannya beralih ke Serena dan Violina, penuh rasa ingin tahu. "Kalian bawa ponsel, kan? Untuk komunikasi dengan Pak Guru Snade?"
Violina melirik Serena dengan alis sedikit terangkat, bertanya dalam diam.
Serena, memahami maksud tatapan itu, merogoh saku rok hitamnya dan mengeluarkan sebuah ponsel kecil dengan layar yang memantulkan cahaya remang dari lampu jalan.
"Bawa, kok," jawab Serena singkat. "Pak Snade memang menyuruh kami membawa salah satu ponsel untuk berjaga-jaga."
Hars mengangguk. "Kami juga begitu. Pak Guru Altrez bilang ponsel ini penting untuk berkomunikasi ketika saatnya tiba. Tapi tetap saja, tak ada kabar sampai sekarang."
Violina mengerutkan dahi, rasa penasaran menggelitik pikirannya. "Eh, Hars, Asra," katanya tiba-tiba. "Apa hanya kita saja yang ditugaskan oleh Serikat Guild untuk membebaskan tawanan di pasar ini?"
Asra mengangkat bahu santai. "Aku tidak tahu. Serikat Guild kadang suka merahasiakan strategi mereka."
Hars hanya menggelengkan kepala, menunjukkan bahwa ia juga tak punya jawaban.
Namun, sebelum mereka sempat melanjutkan percakapan, ponsel di tangan Serena bergetar. Bunyi dering pendek menggema di antara keramaian, cukup untuk membuat mereka semua menoleh ke arahnya.
Serena menatap layar dengan cepat, rasa gugup bercampur penasaran menguasai dirinya.
"Ada pesan dari Pak Snade," ucapnya.
Violina langsung mendekat, matanya penuh semangat. "Pesan apa itu, Serena?"
Serena membaca pesan itu dengan saksama. Ekspresinya berubah drastis, dari fokus menjadi terkejut. Matanya membelalak saat ia menyerap informasi yang baru saja diterimanya.
"Pak Guru Snade sedang bersama Pak Guru Altrez," Serena mulai menjelaskan, suaranya sedikit bergetar karena emosi. "Mereka sedang bersiap untuk melancarkan penyerangan ke pusat keramaian di sini. Itu semua dilakukan untuk mengalihkan perhatian para petualang manusia."
Violina menatap Serena dengan mata lebar, sementara Hars menyipitkan matanya, mencerna informasi itu.
"Penyerangan?" Violina mengulang kata itu dengan nada antara kagum dan cemas. Matanya melirik sekeliling, menatap kerumunan petualang manusia yang lalu lalang dengan perlengkapan mereka. "Tempat ini ramai sekali dengan petualang manusia. Ngomong-ngomong, pembicaraan kita ini aman, kan?"
Asra, yang sebelumnya diam, akhirnya membuka suara. Nadanya tenang dan meyakinkan. "Kalau Pak Snade dan Pak Altrez sudah memutuskan itu, mereka pasti sudah memikirkan semuanya dengan matang. Kita hanya perlu fokus pada tugas utama—menyelamatkan tawanan."
Belum sempat Violina menjawab, ponsel Asra tiba-tiba bergetar. Dia mengeluarkannya, membaca pesan dengan cepat, lalu menghela napas pendek.
"Maaf, Serena, Violina," ujar Asra, suaranya terdengar penuh penyesalan. "Kami harus pergi dulu. Ada tugas mendesak. Pak Altrez memerintahkan kami menyusul Pak Orong di stasiun sebelum penyerangan dimulai. Kami harus memastikan beliau bersama kita."
"Maaf, Serena, Violina," ujar Asra dengan nada menyesal, matanya menatap kedua gadis di depannya. "Kami harus pergi dulu. Ada tugas mendesak. Pak Altrez memerintahkan kami untuk menyusul Pak Orong di stasiun sebelum penyerangan dimulai. Beliau harus dipastikan bersama kita."
Serena mengernyit, rasa penasaran tergambar jelas di wajahnya. "Pak Orong? Bukankah dia guru perakitan senjata sihir? Apa dia juga punya tugas yang sama seperti kita?"
Hars menghela napas singkat sebelum menjawab. "Entahlah. Aku juga bingung kenapa Pak Altrez ingin membawa beliau. Mungkin ada sesuatu yang kita tidak tahu."
Serena dan Violina saling memandang. Meski ragu, mereka akhirnya tersenyum. Serena melambaikan tangan dengan santai. "Baiklah, hati-hati di jalan. Jangan lupa kabari kalau ada perkembangan."
Violina menambahkan dengan ceria, "Semoga sukses, ya! Kami akan lanjut ke tugas kami sendiri."
Asra tersenyum tipis, sedangkan Hars mengangguk singkat sebelum mereka berdua menyelinap di antara kerumunan, menghilang seperti bayangan.
Kini tinggal Serena dan Violina di tempat itu. Keduanya berdiri sejenak, menatap keramaian yang makin padat.
Halaman luas berbentuk lingkaran itu dipenuhi petualang manusia. Lampu-lampu kecil bergantung di sepanjang kedai, menambah suasana malam yang hangat meski penuh dengan kesibukan.
Serena merapikan tudung jubahnya yang sedikit melorot, memastikan tak ada sehelai rambut putihnya yang terlihat. Violina, dengan kebiasaannya, mengikuti langkah Serena, mengamati setiap detail kecil.
"Sekarang, apa yang harus kita lakukan di tempat seramai ini?" bisik Serena, matanya menyapu pemandangan.
Violina mengangkat bahu sebelum menjawab. "Kita lihat-lihat saja dulu. Siapa tahu kita menemukan petunjuk."
Serena mengangguk, tetapi perhatiannya segera tertuju pada seorang pelayan yang melintas dengan nampan penuh makanan. Aroma rempah yang menggoda memenuhi udara, menggelitik perutnya.
"Coba lihat itu," gumam Serena sambil menggerakkan dagunya, menunjuk pelayan tersebut. "Kalau kita bisa mencicipi masakan mereka, pasti rasanya luar biasa. Bahkan aromanya saja sudah menggoda."
Violina tertawa kecil, tetapi wajahnya berubah masam. "Serena, kau tahu makanan mereka itu tidak cocok untuk kita. Rasanya seperti pasir. Aku tidak ingin merasakan itu lagi."
Serena dan Violina melanjutkan langkah mereka dengan hati-hati.
Di balik tudung mereka, mata keduanya waspada, memperhatikan setiap detail. Kerumunan petualang manusia di halaman ini tampak sibuk, tapi Serena tahu betul—banyak di antara mereka adalah pemburu yang tak segan membunuh bangsa monster seperti dirinya.
Di tengah keramaian, tiba-tiba suara lonceng besar menggema dari arah utara halaman.
Suara itu tegas, tajam, memecah kebisingan yang ada. Serena dan Violina menghentikan langkah, mengikuti tatapan orang-orang yang serempak melihat ke arah lonceng besar yang bergantung di atas bangunan megah.
Keramaian berubah. Para petualang manusia mulai mengemasi barang-barang mereka. Kursi dan meja yang memenuhi tengah halaman dipindahkan dengan sigap, disusun rapi hingga membentuk tumpukan yang menjulang. Suasana mendadak serius.
"Serena," bisik Violina, suaranya hampir tertelan oleh kegaduhan. "Sepertinya ada sesuatu yang besar akan terjadi."
Serena mengangguk kecil. "Aku juga merasakannya. Tetap tenang dan perhatikan sekitar."
Dari arah gang di sisi kanan halaman, suara mesin mulai terdengar.
Rombongan truk besar perlahan muncul, diiringi petualang manusia bersenjata lengkap yang berjalan di sisi masing-masing kendaraan. Delapan truk berhenti di tengah halaman, setiap ban besarnya menginjak batu jalan yang berdebu.
Setelah semua truk terparkir, satu mobil klasik merah tanpa atap masuk ke halaman dengan angkuh.
Di dalamnya, duduk empat orang dengan penampilan mencolok. Pakaian mereka mewah—jas hitam rapi, dan aksesori berkilauan seperti tongkat emas, pedang katana, serta cincin-cincin besar di setiap jemari.
Ketika mobil berhenti, pria bertongkat emas turun lebih dulu.
Dengan gerakan santai namun penuh kesombongan, dia menoleh ke salah satu rekannya dan mengambil topi kulit bertepi lebar.
Dia memakainya dengan gaya sebelum menerima megafon kecil dari salah seorang petualang.
Pria itu berjalan ke depan kerumunan dengan langkah penuh percaya diri, tongkatnya mengetuk-ngetuk tanah berbatu di bawahnya. Suaranya kemudian terdengar lantang, menggelegar di seluruh halaman melalui megafon:
"Silakan mendekat, para pembeli setia!" ujarnya sambil membuka kedua tangannya seperti seorang pedagang ulung. "Kami, dari Serikat Petualang Pusat, telah membawa koleksi barang sihir terbaru untuk Anda semua! Jangan lewatkan kesempatan emas ini!"
Kerumunan manusia semakin riuh saat delapan truk besar itu mulai menurunkan kargonya.
Petualang yang menjaga truk bekerja dengan cekatan, mengeluarkan peti-peti kayu berornamen, menatanya di atas meja panjang yang dihiasi ukiran sihir yang memancarkan cahaya samar.
Di satu sisi, beberapa meja lain sudah diatur untuk barang-barang yang akan dijual secara terbuka, lengkap dengan petugas kasir. Sementara itu, barang-barang yang tampak lebih istimewa ditempatkan di meja lelang yang dikelilingi oleh beberapa petualang penjaga.
"Lihat itu," bisik Serena sambil memperhatikan salah satu barang yang dipajang—sebuah pedang panjang dengan bilah berwarna biru kehijauan, dan beberapa benda lainnya. "Barang-barang ini benar-benar luar biasa, bahkan aku bisa merasakan auranya dari sini."
Violina menelan ludah, berusaha menahan perasaan cemas yang mulai merayap. "Barang-barang itu pasti dibuat dari bangsa kita," gumamnya lirih, nada suaranya dipenuhi rasa pilu.
Serena menoleh ke arahnya, mata berkilat tajam di balik tudungnya. "Itu sebabnya kita ada di sini. Fokus, Violina."
Kerumunan tiba-tiba bergerak, membuka jalan bagi beberapa kelompok yang baru tiba.
Dari empat arah berbeda, muncul empat kelompok beranggotakan lima orang, semuanya dengan penampilan yang mencolok.
Mereka berjalan dengan percaya diri, pakaian mewah yang mereka kenakan dihiasi simbol-simbol sihir, sementara senjata yang mereka bawa tampak seperti karya seni berharga tinggi—pedang, tombak, bahkan busur yang berkilauan oleh batu permata.
Violina memperhatikan mereka dengan seksama. "Serena, mereka siapa? Kenapa semua orang memberi jalan untuk mereka?"
Serena menggelengkan kepala, mengamati dengan alis yang sedikit terangkat. "Aku tidak tahu. Tapi mereka jelas bukan orang sembarangan."
Pria bertongkat emas itu melangkah maju, wajahnya berseri-seri seperti tuan rumah yang menyambut tamu kehormatan. Dia menundukkan sedikit kepalanya dengan sopan, tetapi sikapnya tetap menunjukkan superioritas.
"Selamat datang, Tuan Altair, Nona Frinsen, Tuan Razen, dan Tuan Sirian," ucapnya, menyebut nama-nama mereka satu per satu dengan nada yang penuh penghormatan.
Keempat pemimpin kelompok itu berjalan maju, berdiri sejajar di depan meja lelang utama.
Tuan Altair, seorang pria tinggi dengan rambut pirang panjang yang diikat rapi, melirik barang-barang di meja dengan ekspresi santai namun tajam.
Nona Frinsen, seorang wanita bertubuh ramping dengan mata hitam tajam, menyisir rambut hitam panjangnya sembari tersenyum sinis.
Tuan Razen, seorang pria kekar dengan armor berlapis perak, tampak tak sabar, jarinya mengetuk gagang pedang raksasa di punggungnya.
Dan terakhir, Tuan Sirian, pria muda dengan mantel panjang berwarna kelabu. Kedua telapak tangannya memakai sarung tangan hitam tipis.
"Seperti biasa, kau tahu cara membuat kami terkesan, El," ujar Pak Altair, pemimpin kelompok pertama, dengan suara yang dalam dan dingin.
Pria bertongkat emas yang ternyata bernama El hanya tersenyum bangga.
"Tentu saja, Tuan Altair. Barang-barang terbaik selalu tersedia untuk pelanggan terbaik."
"El. Kau pasti sudah tahu, apa yang kami butuhkan." Ujar Nona Frinsen.
Kerumunan di halaman besar itu kembali sunyi, semua mata tertuju pada pria bertongkat emas bernama El dan keempat tamu istimewa yang berdiri di depan meja lelang.
El, yang tampak menikmati perhatian, melangkah maju dengan percaya diri. Tongkat emasnya mengetuk lantai batu, menghasilkan suara yang menggema, mempertegas keberadaannya.
"Tentu saja, Nona Frinsen," jawab El dengan nada licik, mengangguk sopan kepada wanita berambut biru itu. "Barang yang kalian cari sudah kami siapkan, untuk empat tamu terhormat saya ini."
Sementara itu, Tuan Altair menatap El dengan pandangan tajam. "Katakan, apa saja yang kalian bawa? Kami sudah menempuh perjalanan jauh hanya untuk ini."
El tersenyum, mengangguk paham. Dia langsung melirik ke arah tiga orang yang tadi bersamanya di mobil. Tiga orang itu mengangguk dan menelpon ke seseorang.
Pria bertongkat emas itu melangkah dengan percaya diri ke tengah perhatian, senyumnya bertambah lebar mendengar pernyataan Nona Frinsen. Tongkatnya mengetuk-ngetuk lantai batu dengan suara yang sengaja dibuat dramatis.
Kerumunan petualang manusia yang tadinya sibuk berbincang mendadak senyap, mata mereka terpaku pada barisan bangsa monster yang diseret keluar dari truk-truk besar.
Rantai dan tali berukir rune yang mengikat mereka berkilau redup, memancarkan energi sihir yang kuat, memastikan para tawanan itu tidak bisa menggunakan kekuatan mereka.
Serena mengepalkan tangannya, matanya tak bisa berpaling dari wajah-wajah lelah dan putus asa para tawanan.
Beberapa dari mereka berjalan tertatih-tatih, tubuh mereka penuh luka. Seorang anak kecil dari ras rubah menangis pelan, telinga dan ekornya lunglai, namun tak ada satu pun dari petualang yang peduli.
Violina, yang berdiri di samping Serena, tak kuasa menahan amarahnya. Ia berbisik dengan nada tajam, "Serena, mereka membutuhkan kita."
Serena menelan ludah, pikirannya berpacu. "Aku tahu, tapi kita tidak bisa gegabah. Mereka punya terlalu banyak penjaga di sini. Jika kita bertindak sekarang, kita semua akan tertangkap."
El, di sisi lain, tampak menikmati perhatian yang ia dapatkan. Ia melangkah maju, mengangkat tongkat emasnya tinggi-tinggi.
"Lihatlah, teman-teman sekalian! Tangkapan terbaik kami! Dari ras kucing yang lincah hingga bangsa rubah yang cerdas, bahkan ras elf yang terkenal dengan sihir mereka. Semua siap untuk dijual kepada penawar tertinggi!"
Para petualang manusia mulai bergerak, mengelilingi para tawanan seperti pembeli di pasar. Beberapa dari mereka tertawa melihat bangsa monster yang tampak kesakitan.
Tuan Raizen menatap El, setelah dia menatap bangsa monster yang dijualnya. Hatinya sudah memilih, apa yang akan dia beli. "Aku beli yang bangsa monster yang dewasa saja." Tuan Razen lalu menatap ke arah tiga orang lainnya yang ada di sampingnya: Nona Frinsen, Tuan Altair dan Tuan Sirian. "Saya harap kalian tidak keberatan soal itu."
Tuan Sirian memberikan senyumannya, disertai anggukan. "Terserah anda saja, tuan Razen. Saya akan membeli yang kecil saja."
Nona Frinsen ikutan menjawab. "Kalo begitu. Aku ambil bangsa monster yang memiliki kekuatan sihir paling banyak."
Tuan Altair ikutan menyela, wajah cemberutnya sekilas terlihat. "Tolong sisakan untukku. Kalo tidak, aku akan membuat acara ini menjadi acara lelang saja. Siapa yang paling kaya yang akan mendapatkannya."
El tersenyum, senang mendengar diskusi dari empat pembeli eksekutifnya. "Baiklah. Silahkan kalian pilih dulu bangsa monster mana yang akan kalian bawa. Lalu, semuanya!" Teriak El kepada semua orang. "Silahkan membeli barang yang tersedia! Akan kami kasih bonus untuk orang yang membeli banyak."
Serena dan Violina yang sedang gelisah, membayangkan hal apa saja yang akan terjadi oleh bangsa monster itu. Tiba - tiba ponselnya berdering. Saat Serena membuka pesannya yang diikuti oleh Violina yang melihatnya.
Pesan dari nomer anonim itu berbicara: persiapkan diri kalian. Jangan lupakan, apa yang sudah direncanakan sebelumnya. Bekerja samalah dengan Hars, Asra dan Pak Orong untuk keberhasilan tugas ini.
Kerumunan yang tadinya hiruk-pikuk mendadak berubah menjadi kekacauan.
Para petualang manusia yang sebelumnya sibuk memilih barang yang akan mereka beli, kini panik melihat slime raksasa biru yang muncul dari lubang selokan. Mata merah menyala pada tubuhnya.
"Slime seperti itu, tidak mungkin ada di sini!" seru salah seorang petualang sambil mundur. Namun, tak ada waktu untuk berpikir.
Slime itu mengangkat tangannya yang besar dan menghantam tanah dengan kekuatan luar biasa, menciptakan gelombang kejut yang melemparkan banyak orang ke udara.
"Serena, kau lihat itu?" bisik Violina, matanya tertuju pada slime. "Itu Pak Snade."
Serena mengangguk, wajahnya serius. "Mari lakukan tugas kita."
Sementara itu, di tengah kerumunan, Tuan Razen berdiri tegap, matanya menyipit memandang slime yang mengamuk. "Kenapa ada monster sebesar itu disini?" tanyanya dengan suara keras, pedangnya yang besar kini berada di genggamannya.
Nona Frinsen melangkah ke depan dengan santai, pedang tipisnya bersinar dengan sihir air. "Apapun itu, kita hanya perlu menghabisinya. Tak ada waktu untuk bertanya-tanya."
Dia mengayunkan pedangnya dengan anggun, menciptakan lingkaran sihir yang memanggil torpedo air berkecepatan tinggi.
Torpedo itu meluncur deras, menghantam tubuh slime hingga terpental. Namun, slime itu dengan cepat bangkit kembali, tubuhnya menyerap energi dari serangan tersebut.
"Serangan sihir biasa tidak akan berpengaruh!" seru seorang petualang dari belakang.
Sebelum orang-orang bisa merespons, sebuah geraman menggelegar dari arah lain.
Dari celah kerumunan, muncul monster berbentuk banteng besar dengan tubuh yang dilapisi pelat baja. Di tangannya, ia membawa palu raksasa. Monster itu mengaum, lalu menghantamkan palunya ke tanah, membuat banyak orang terpental.
Di tengah kekacauan, El berteriak, "Jangan biarkan monster ini mengacaukan acara kita! Para petualang, tunjukkan kemampuan kalian!"
Kekacauan di tengah lapangan semakin memuncak.
Para petualang manusia yang tadinya berusaha menjaga tawanannya kini kewalahan menghadapi serangan monster dan gangguan slime biru raksasa.
Teriakan El yang memerintahkan mereka untuk bertahan nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk.
Serena dan Violina bergerak lincah di antara kerumunan.
Mata mereka fokus pada para tawanan yang tengah digiring kembali ke truk dengan perlakuan kasar. Setiap pukulan dan tendangan yang mendarat pada tubuh bangsa monster membuat darah mereka mendidih.
"Violina," ujar Serena tegas sambil mengencangkan pegangan pada belatinya. "Aku akan bebaskan tawanannya. Sisanya, serahkan padamu."
Senyum tajam muncul di wajah Violina. "Diterima."
Salah satu penjaga tawanan yang menyadari kehadiran mereka langsung berteriak, "Hei! Siapa kalian?!" Teriakannya membuat penjaga lainnya langsung bersiaga.
Serena hanya menatap dingin, sementara Violina menutup matanya, menarik napas dalam-dalam.
Ketika dia membuka matanya kembali, wujudnya berubah. Telinga serigala muncul di atas kepalanya, ekor berbulu cokelat panjang menjuntai di belakangnya. Aura ganas memancar dari tubuhnya.
"Monster?!" teriak salah satu penjaga, tetapi kata-katanya tak sempat selesai.
Dengan kecepatan luar biasa, Violina menerjang mereka. Cakar tajam dan taringnya mencabik-cabik delapan penjaga tawanan dalam sekejap, membuat mereka tergeletak tak bernyawa di tanah berbatu, tubuh mereka berlumuran darah.
Sementara Violina menghabisi penjaga, Serena mendekati para tawanan yang kini berdiri gemetar, menatapnya penuh kebingungan. "Kalian! Cepat ikut kami kalau ingin selamat," ujar Serena, matanya serius tapi penuh keyakinan.
Salah satu bangsa monster pria, tubuhnya penuh luka dan wajahnya pucat, berbisik gemetar, "Siapa kalian? Apa tujuan kalian?"
Violina, yang kini kembali berdiri di samping Serena, menggerakkan telinga serigalanya dan melirik tajam ke arah pria itu.
"Kami teman kalian, paman. Kalau kalian ingin bebas, ikutlah dengan kami sekarang. Kami tak punya waktu."
Mereka semua saling pandang, ragu. Tapi tatapan Serena yang tegas dan Violina yang kini menjelma serigala buas membuat mereka akhirnya mengangguk. "Baiklah, kami akan ikut," jawab salah satu dari mereka. Beberapa bahkan kembali ke dalam truk untuk memanggil teman-temannya yang masih bersembunyi.
Di saat yang sama, suara teriakan nyaring memanggil nama mereka membuat Serena dan Violina mendongak. Di atas langit, Hars, dalam wujud monster harpy, meluncur turun sambil membawa Asra dan Pak Orong di kakinya.
"Serena! Violina!" teriak Asra sambil melambaikan tangannya.
Ketika mereka mendarat, Pak Orong, sosok kecil berkulit hijau dengan hidung melengkung ke bawah dan telinga sedikit runcing, langsung melirik para tawanan. Matanya menyipit tajam, memeriksa kondisi mereka.
"Violina, nak. Apa aku tidak pantas mendapatkan sapaan darimu?" tanya Pak Orong dengan nada pura-pura kesal.
Violina tersenyum canggung sambil membungkuk sedikit. "Maaf, Pak. Fokusku tadi pada tugas."
Pak Orong menatap para tawanan dengan penuh keyakinan. Sambil menggenggam tongkat sihirnya—sebuah kayu tua dengan batu sihir berbentuk lingkaran di ujungnya—dia menghentakkannya ke tanah berbatu.
Sebuah kilatan listrik berwarna biru menyambar dari batu sihir tersebut, menghancurkan rantai dan tali yang dipenuhi rune sihir yang selama ini membelenggu bangsa monster.
"Kalian bebas sekarang," ujar Pak Orong dengan suara tegas.
Asra, yang berdiri di sampingnya, maju dengan langkah mantap. Dia memejamkan mata, tangannya dirapatkan seperti orang berdoa.
Dalam sekejap, sepasang tanduk bercabang seperti rusa muncul di kepalanya. Cahaya hijau lembut memancar dari tubuhnya, menyelimuti para tawanan. Luka-luka di tubuh bangsa monster perlahan menghilang, rasa sakit yang mereka alami selama ini mulai sirna.
"Kita tidak punya waktu. Semua sudah siap," ujar Asra dengan nada mendesak sambil mengangguk kepada Serena.
Hars, yang kini terbang di udara dengan sayap harpy-nya yang lebar, memberi isyarat. "Ikuti aku! Ke arah barat!" teriaknya.
Serena dan Violina segera mengarahkan para tawanan untuk bergerak.
Asra berubah menjadi setengah rusa, tubuh bagian bawahnya berbentuk rusa, lengkap dengan kaki kuat dan ekor kecil. Dia mengangkat dua anak kecil bangsa monster ke punggungnya sebelum berlari dengan lincah.
"Ayo cepat!" seru Serena sambil membantu seorang wanita bangsa elf yang kesusahan untuk berlari.
Namun langkah mereka terhenti ketika seorang pria berambut pirang muncul dari balik kerumunan. Tuan Altair berdiri tegak, tongkat sihirnya sudah terangkat. Di belakangnya, empat pengawalnya telah bersiap, membawa senjata sihir jarak dekat dan jauh. Tatapan mereka penuh ancaman.
"Kalian pikir bisa kabur begitu saja?" ujar Tuan Altair dengan suara dingin. "Barangku tidak akan pergi ke mana pun."
Sebelum siapa pun sempat bergerak, suara gemuruh dari langit menggelegar. Monster banteng raksasa yang tadi mengacaukan lapangan kini melompat turun, menghantam tanah dengan palu besarnya. Debu beterbangan, memisahkan Tuan Altair dari pengawalnya.
"Kalian urus pelarian mereka! Aku akan menghadapi orang-orang ini!" teriak monster banteng itu, matanya berkilat penuh amarah.
Tuan Altair tersenyum sinis. "Seekor monster? Kau pikir bisa melawanku?"
Monster banteng itu tidak menjawab, hanya mengayunkan palu besarnya sekali lagi, memaksa Tuan Altair dan pengawalnya berpencar.
"Pergi! Ini kesempatan kalian!" seru monster banteng itu, menoleh sekilas kepada Serena dan yang lainnya.
Serena, Violina, dan kelompok mereka memanfaatkan kekacauan untuk melarikan diri.
"Terima kasih, Pak Altrez!" teriak Serena sambil memimpin para tawanan menuju gang barat.
Pak Orong berhenti sejenak, menoleh ke arah Altrez yang masih bertarung melawan para petualang manusia. "Hati-hati, Altrez! Baliklah dengan selamat dan pastikan Snade juga!" katanya dengan suara lantang, matanya menunjukkan kekhawatiran sekaligus rasa percaya.
Mereka menerobos pasar yang penuh sesak. Barang dagangan berhamburan, tenda-tenda roboh, dan orang-orang berteriak panik. Hars dan Violina bertindak sigap, melumpuhkan siapa saja yang mencoba menghentikan mereka.
Seorang petualang manusia menyerang dari samping, tapi Hars menukik tajam dari udara dan menendangnya hingga terlempar.
Violina, dalam wujud serigalanya, menyerang penjaga lainnya, mencabik senjatanya sebelum melumpuhkannya dengan satu pukulan.
Di tengah kekacauan, Serena merasakan ada sesuatu yang mendekat dengan kecepatan tinggi dari belakang. Kibasan angin yang ditimbulkan begitu kuat hingga menerbangkan sekitarnya.
"Violina!" serunya sambil berlari ke samping Violina. "Kalian pergi dulu ke stasiun. Aku akan menyusul nanti."
Violina menoleh dengan wajah bingung. "Ada apa, Serena?"
"Ada seseorang yang mengejar kita. Aku akan mengurusnya," jawab Serena tegas sebelum berhenti dan berbalik arah.
Serena menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, dan tubuhnya mulai berubah.
Ekor naga berwarna biru muncul dari balik roknya, diikuti oleh sepasang tanduk biru yang tumbuh dari kepalanya.
Dalam wujud setengah naga, Serena mengepalkan tangan kanannya dan bersiap menghadapi ancaman yang datang.
Dari kejauhan, seorang pria berlari ke arahnya dengan kecepatan luar biasa. Serena menghantamnya dengan tinju, tapi pria itu dengan cekatan memukul balik. Benturan mereka menciptakan gelombang angin yang memporak-porandakan barang-barang di sekitar.
"Kau monster naga?" tanya pria itu dengan nada kagum. "Siapa namamu? Dan apa yang kau cari di sini?"
Serena mengenali pria itu—Sirius, salah satu pembeli bangsa monster sebelumnya. Wajahnya masih muda, namun ada sorot mata tajam penuh pengalaman.
"Berisik!" bentak Serena. "Aku datang ke sini untuk membebaskan teman-temanku! Kalian, bangsa manusia, membunuh kami dan menjadikan kami alat!"
Sirius terdiam, matanya menatap Serena dengan penuh perhatian. Perlahan, dia tersenyum, lalu meletakkan kedua tangannya di belakang punggungnya, sikapnya terlihat santai.
"Baiklah," katanya, mengejutkan Serena. "Silakan pergi. Kalau itu tujuanmu, aku tidak akan menghentikanmu."
Mata Serena melebar, tak percaya. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak peduli dengan urusan mereka," ujar Sirius sambil tersenyum tipis. "Pergilah. Aku hanya ingin melihat apa yang akan kau lakukan."
Serena menatapnya curiga, tapi dia tidak merasakan niat jahat dari pria itu. Dia perlahan melangkah mundur, tak melepas pandangannya dari Sirius.
"Terima kasih," ucapnya pendek sebelum berbalik dan berlari menuju kelompoknya.
Sirius memandangnya pergi, senyumnya tak pudar. "Semoga kita bertemu lagi, cantik." gumamnya pelan, lalu berjalan menjauh, menghilang di tengah hiruk-pikuk pasar.
Serena dan Violina bersandar di batang pohon besar yang rindang, pohon itu menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya di sekitarnya. Dahan-dahannya yang kokoh melindungi mereka dari langit malam yang berawan.
Di salah satu cabang yang kuat, sebuah lentera tergantung, memancarkan cahaya hangat yang menyinari keduanya.
Di sekeliling mereka, rumput liar yang halus dan berwarna hijau pucat tumbuh lebat, mencapai setinggi orang dewasa.
Rumput itu begitu padat sehingga seseorang harus menerobosnya untuk masuk, namun anehnya, di sekitar pohon tempat mereka bersandar, rumput tersebut tidak tumbuh, seolah-olah memberi ruang khusus untuk mereka berdua.
Mereka duduk berdekatan, bahu mereka hampir bersentuhan saat keduanya meneliti lembaran koran yang tergeletak di tanah di depan mereka.
Mata Serena menyipit, penuh dengan kemarahan yang terpendam ketika dia membaca judul besar di halaman depan. Violina, di sisi lain, tampak terkejut, meskipun ada jejak kepasrahan dalam ekspresi wajahnya.
"Manusia semakin menggila," Violina bergumam dengan suara rendah, meski kata-katanya jelas terdengar di udara malam yang tenang. "Apa mereka benar-benar sebutuh itu dengan tubuh kita? Ini tidak seperti dulu. Sebelumnya, mereka tidak seobsesif ini."
Serena mengangguk, namun raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam.
Di bawah judul besar, sebuah gambar mengerikan memperlihatkan tumpukan tubuh bangsa monster, beberapa sudah tak berbentuk. Latar tempat dipenuhi darah, sementara para manusia dengan wajah tanpa ekspresi—berdiri di sana dengan senjata-senjata mereka.
"Dan Dewan Serikat Monster masih berdiam diri," gumam Serena, suaranya bergetar penuh amarah. "Berita seperti ini sudah menyebar ke mana-mana, tapi mereka belum mengambil tindakan apapun. Sampai kapan kita harus menunggu?"
Violina menoleh, mencoba mencari ketenangan dalam mata Serena, tetapi yang ia temukan hanyalah kobaran api amarah yang semakin menyala.
“Sabar saja, Serena. Selagi kita bisa bersama, bukankah itu sudah cukup baik?” Violina memberikan senyuman tipis.
Serena menghela napas panjang. Wajahnya yang murung semakin terlihat jelas saat otot-otot di wajahnya menegang.
“Kau tidak lelah dengan semua ini, Violina? Bahkan untuk makan dan minum saja kita harus menyelesaikan quest dari permainan dewa. Barang-barang reward itulah satu-satunya yang bisa kita makan. Dan sekarang, kita juga diburu oleh manusia.”
Ekor naga Serena tiba-tiba menegang, bergetar hebat seiring dengan kata-katanya yang penuh emosi. Kegetiran dan kelelahan tampak jelas di raut wajahnya.
Violina, dengan hati-hati, merangkul Serena dari samping, mendekatkan kepala Serena ke pipinya.
Rambut putih Serena menjuntai, menghalangi mata kiri Violina. Kedua telinga serigala Violina ikut menunduk, memahami dan merasakan kegelisahan yang meresapi Serena.
"Tidak apa, Serena. Aku yakin semua Serikat Monster yang ada di dunia manusia sekarang sedang mencari cara untuk keberlangsungan bangsa kita ke depannya. Jangan menyerah, kita harus tetap bertahan," bisik Violina dengan penuh keyakinan.
Suara gemerisik rumput yang terinjak oleh seseorang membuyarkan momen kebersamaan mereka.
Serena dan Violina segera tersadar dari lamunan mereka.
Mereka melepaskan pelukan, jantung mereka berdetak lebih cepat, menunggu dengan rasa penasaran akan kemunculan siapa dari balik rerimbunan rumput liar yang mengelilingi mereka.
Tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik rerumputan.
Dia berambut hitam yang diikat bundar di belakang kepalanya, dengan rambut panjang yang mengalir di sisi kiri dan kanan wajahnya. Dengan mengenakan kemeja putih panjang yang rapi dipadukan dengan rok hitam selutut, lengkap dengan kacamata bundar yang membuatnya terlihat tegas.
"Serena dan Violina," panggil wanita itu dengan nada terkesan mendesak. "Kalian harus segera mengambil persediaan makanan dari Serikat Guild Hiddenama. Persediaannya sudah hampir habis."
Violina segera berdiri untuk menyambut wanita itu. Ekor serigalanya berkibas pelan ke kiri dan ke kanan, menunjukkan campuran antara kegelisahan dan rasa hormat.
Kedua tangannya terangkat sedikit, menimpali perasaan heran yang ia rasakan.
"Bibi Mei? Bukannya seminggu lalu sudah kami bawakan bahan makanannya? Kenapa sudah habis saja sekarang?" tanyanya, tak menyembunyikan rasa tidak percayanya.
Bibi Mei menghela napas panjang sambil memijat pelipis kanannya, seakan mencoba meredakan pusing yang tampaknya selalu menghinggapinya. Wajah kelelahan terpancar jelas dari setiap gerak-geriknya.
"Kalian, sebagai monster pengintai, seharusnya sudah tahu. Sekarang semakin banyak bangsa monster yang diteleportasi dari dunia sihir ke dunia manusia. Banyaknya orang yang ditampung di kota Hiddenama membuat persediaan makanan harus diperbanyak juga."
Violina menurunkan rasa terkejutnya. Tingkah lakunya kembali melemas, ekor serigalanya berhenti berkibas, dan ia menundukkan kepalanya, tatapannya jatuh ke tanah di bawah kakinya.
"Oh, iya, tapi kenapa sekarang banyak orang dari dunia sihir yang diteleportasi ke dunia manusia? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?" tanya Violina, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.
Serena yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan wajah cemberutnya.
Dia memeluk kedua kakinya dan menyandarkan punggungnya di batang pohon, ekor naganya terjulur panjang, menunjukkan betapa dalam rasa kesalnya.
"Gimana enggak susah! Semua orang di kota Hiddenama hanya diam saja. Mereka tidak mau bertindak untuk mengubah kehidupan bangsa monster!"
Bibi Mei berdiri mematung setelah mendengar keluhan Serena.
Sorot mata Bibi Mei berubah, menunjukkan kegelisahan yang semakin sulit disembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah koran yang terbuka di hadapan Serena dan Violina. Meskipun berusaha tegar, jelas terlihat bahwa kata-kata Serena telah menggoyahkan ketenangan hatinya.
"Sudahlah, Serena. Bersabarlah. Biarkan para Dewan Serikat Monster yang mengurus semua ini. Itu semua bukan di bawah kendalimu," ujar Bibi Mei dengan suara lembut, berusaha menenangkan Serena meski dirinya sendiri tampak ragu.
Namun tiba-tiba, suara wanita lain terdengar dari kejauhan, memanggil nama Bibi Mei berulang kali dengan nada cemas.
"Mei! Di mana kau?!" teriaknya.
Violina, dengan gerakannya yang lincah, langsung melompat ke atas pohon, mencari sumber suara tersebut. Rerumputan tinggi yang tumbuh liar menghalangi pandangannya, memaksanya untuk naik lebih tinggi lagi ke atas ranting.
"Bibi Mei, itu ada Bibi Ella yang sedang mencarimu," ujar Violina setelah melihat sosok seorang wanita berpakaian serupa dengan Bibi Mei di sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu yang tergantung di dindingnya.
Wanita yang dipanggil Bibi Ella segera memperhatikan Violina di atas pohon, lalu berteriak sambil meletakkan kedua telapak tangannya di mulut untuk memperkuat suaranya, "Violina, kau tahu di mana Bibi Mei?"
Bibi Mei dan Serena segera memalingkan pandangannya ke arah Violina yang sedang bertengger di atas pohon.
"Oh, itu Ella. Bilang saja padanya, Violina. Aku akan segera datang," ujar Bibi Mei dengan nada sedikit terburu-buru, tampak jelas bahwa dia memiliki banyak hal yang harus diurus.
Violina mengangguk cepat dan berteriak ke arah Bibi Ella, "Bentar, Bibi! Bibi Mei akan segera pergi!"
Bibi Mei berbalik badan, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum dirinya benar-benar melangkah pergi, dia berhenti sejenak dan memalingkan wajahnya kembali ke arah Serena dan Violina.
"Serena, Violina, jangan lupa ya. Tolong ambil bahan makanannya. Kasihan anak-anak nanti tidak bisa sarapan," katanya dengan nada penuh harap.
Setelah itu, Bibi Mei pergi, menerobos ilalang tinggi dan meninggalkan Serena dan Violina di bawah pohon besar yang rindang, di tengah malam yang semakin sepi.
Violina melompat turun dari pohon dengan lincah. Dia segera menepuk-nepuk bulu ekor serigalanya yang tertempel debu, juga membersihkan rok panjangnya dari kotoran yang melekat.
"Mari kita pergi, Serena. Kita selesaikan secepatnya saja. Kasihan anak-anak di penginapan monster kalau mereka nanti tidak bisa makan," kata Violina dengan lembut sambil mengulurkan tangan kanannya.
Serena, meskipun masih menunjukkan wajah cemberut, meraih tangan Violina dan berdiri. Dia membersihkan rok serta ekor naganya sebelum mengajak Violina melanjutkan perjalanan.
"Hei, Violina," ucap Serena, suaranya sedikit lebih lembut.
"Hmm?" gumam Violina, memberikan respons tanpa menoleh.
"Sepertinya bangsa monster harus ada yang membuat perubahan. Kita tidak bisa seperti ini terus selamanya," Serena mengutarakan pikirannya, nadanya serius.
Violina mengangguk pelan, "Iya, iya, Serena. Serah kau saja deh," jawabnya setengah bercanda, sebelum mengambil koran yang tadi mereka baca.
Dengan hati-hati, dia meletakkannya kembali ke dalam lemari yang terletak di batang pohon. Lemari itu menyimpan pakaian-pakaian milik Violina, bantal, guling, selimut, dan peralatan pribadi seperti sisir.
Mereka kemudian mulai berjalan, menerobos ilalang yang tinggi menuju lorong yang sebelumnya dilewati oleh Bibi Ella.
Lorong itu membawa mereka menuju asrama, tempat yang familiar bagi mereka berdua. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah bangunan asrama yang cukup besar, penuh dengan aktivitas anak-anak monster yang berkeliaran.
Di asrama tersebut, mereka bertemu dengan wanita-wanita lain yang mengenakan pakaian yang sama seperti Bibi Mei dan Bibi Ella.
Asrama ini terbagi dalam beberapa ruangan yang fungsinya tertulis jelas di pintu masuk, meski tanpa pintu. Ada ruang makan, ruang dapur, perpustakaan, dan ruang kesehatan yang luas.
Anak-anak dari berbagai macam bangsa monster berlarian riang ke sana kemari. Sebagian menuju ruang makan, yang lain berkumpul di perpustakaan, sementara yang lain menuju ruang kesehatan.
Setelah melewati keramaian di dalam asrama, Serena dan Violina akhirnya tiba di halaman yang luas di bagian belakang.
Halaman itu terbagi menjadi tiga area besar: satu untuk bermain sepak bola, satu untuk kolam renang, dan satu lagi untuk bermain basket.
"Asrama Monster Bagian Barat" begitu tulisan besar di atas bangunan utama, menandakan tempat mereka.
Asrama ini berada di tengah-tengah, diapit oleh dua asrama lain yang terletak di kiri dan kanan.
Asrama di kanan dipenuhi oleh anak-anak monster laki-laki, sementara di kiri dihuni oleh anak-anak monster perempuan. Semuanya tampak bergerak menuju asrama pusat, mengikuti aroma makanan yang menguar dari dalam.
Serena menoleh ke arah Violina, suaranya tegas, "Violina, nanti pegang erat kakiku. Kita akan terbang."
Violina mengangguk, memahami arahan itu. Dia mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Serena. "Siap, Serena."
Serena memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
Saat itu, sayap naganya yang besar dan berwarna biru mencuat dari punggungnya, membentang lebar di udara.
Desain gaun Serena memang sengaja dibuat terbuka di bagian punggung, hanya dilapisi kain tipis untuk memastikan gaunnya tidak robek saat sayapnya keluar.
Anak-anak monster yang bermain di sekitar lapangan berhenti sejenak, mata mereka terbelalak menyaksikan keindahan sayap Serena.
Saat Serena mulai mengepakkan sayapnya, angin kencang bertiup, mengangkat debu dari tanah dan menghamburkannya ke udara. Anak-anak itu menutup mata mereka dengan tangan, melindungi diri dari debu yang beterbangan.
"Lompat, Violina!" teriak Serena dari udara, suaranya terdengar jelas meski angin berhembus kencang.
Violina tidak menunggu lama. Dengan lompatan yang cekatan, dia menggenggam erat kaki kanan Serena. Bersama-sama, mereka terbang tinggi ke angkasa, meninggalkan lapangan sepak bola yang kini kembali sunyi.
Setelah beberapa menit terbang di angkasa, Serena memperhatikan sekelilingnya.
Di langit kota, terlihat banyak monster dari berbagai bangsa, semuanya memiliki sayap yang memungkinkan mereka untuk terbang. Di kejauhan, Serena melihat tujuan mereka—Serikat Guild Hiddenama, sebuah bangunan berlantai dua yang mencolok di tengah kota.
Bangunan itu berdiri sendiri, tanpa ada bangunan lain di sekitarnya. Namun, tempat itu ramai, dikelilingi oleh para monster yang berkumpul untuk berbelanja di kios-kios kaki lima atau bersantai di meja-meja yang disediakan, menikmati makanan dan minuman mereka.
Serikat Guild Hiddenama dibangun dari kayu dengan beberapa bagian terbuat dari beton, desainnya berbeda dan menonjol dibandingkan bangunan-bangunan lainnya yang tersebar jauh di sekitarnya.
"Violina, kita hampir sampai. Sebelum aku mendarat, bisa nggak kamu langsung lompat ke bawah?" tanya Serena sambil melirik ke arah Violina yang masih menggenggam erat kakinya.
"Ya, gampang kok. Asal jangan dari ketinggian aja," jawab Violina sambil mendongakkan kepalanya, pakaian dan ekor serigalanya berkibar-kibar diterpa angin.
"Oke, aku akan turun sekarang."
Serena mulai terbang lebih rendah, menukik perlahan menuju sebuah halaman yang tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.
Halaman tersebut merupakan area pendaratan khusus bagi para monster bersayap yang terbang di kota.
Tempat ini disediakan agar debu yang terhembus oleh kepakan sayap para monster tidak mengganggu warga sekitar. Di sekeliling halaman, terdapat tiang-tiang rambu bergambar makhluk bersayap.
Beberapa monster lain juga terlihat mendarat, sebagian membawa barang bawaan, sementara yang lain datang dengan tangan kosong.
Serena dan Violina melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati jalanan yang dipadati oleh monster dari berbagai bangsa.
Setiap bangsa memiliki ciri khas yang berbeda, membuat jalanan kota penuh warna dan kehidupan.
Lampu-lampu kota berwarna kuning menerangi jalan, memberikan suasana hangat dan sekaligus memperindah Hiddenama. Di sepanjang jalan, papan penunjuk arah menunjukkan berbagai lokasi penting, termasuk Serikat Guild Hiddenama, rumah sakit kota, area pelatihan, dan lapangan pendaratan.
Dalam perjalanan menuju serikat, Serena dan Violina menyaksikan pemandangan yang mengganggu—banyak monster yang terluka, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit Hiddenama. Wajah mereka tampak lelah dan kesakitan, beberapa di antaranya terluka parah.
Serena mengernyit, suaranya penuh kekhawatiran, "Kenapa banyak sekali Hunter yang terluka? Apa yang sebenarnya terjadi?"
Violina, yang ikut melihat pemandangan itu, menjawab dengan nada penuh kebingungan, "Mereka juga Hunter Monster, kan? Mungkin mereka diserang oleh Hunter manusia?"
Serena menatap ke arah bawah, merenung dalam pikirannya. "Aku juga nggak tahu, Violina. Jarang sekali kita melihat banyak Hunter Monster terluka parah seperti ini. Luka kita biasanya sembuh cepat, jadi biasanya kita tidak perlu dirawat di rumah sakit."
Mereka melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati kerumunan pedagang kaki lima yang ramai. Aroma rempah-rempah yang kuat menyebar ke seluruh area, menggoda setiap indra penciuman yang melewatinya.
Di depan mereka, bangunan Serikat Guild Hiddenama tampak lebih tenang dan tertata.
Meja-meja bundar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya dipenuhi oleh monster dari berbagai bangsa, bercakap-cakap dengan santai sambil menikmati makanan dan minuman.
Beberapa pelayan pria dan wanita dari Serikat Guild terlihat sibuk keluar masuk, mengantarkan pesanan kepada para pelanggan.
Saat mereka melangkah masuk ke dalam Serikat Guild Hiddenama, suasananya berbeda dari luar. Meski masih ramai, ada perbedaan signifikan. Di sini, cahaya lembut dari lampu-lampu gantung memantul di atap kayu berwarna cokelat, menggantikan sinar bintang dari luar.
Monster-monster di dalam juga membawa senjata seperti pedang dan tongkat sihir, yang diletakkan rapi di samping mereka saat mereka beristirahat.
"Nea, selamat malam!" Serena menyapa salah satu resepsionis wanita yang sedang bekerja di meja depan.
Di sana, enam resepsionis wanita lainnya juga sibuk mencatat dan melayani para Hunter Monster yang datang.
Nea, yang baru saja selesai mencatat permintaan dari beberapa Hunter sebelumnya, langsung menoleh saat mendengar suara Serena.
"Serena, Violina! Apa kabar kalian? Ada yang bisa kubantu?" Nea menyambut mereka dengan senyum, meletakkan pena yang dipegangnya.
Sayap kelelawar kecil yang berada di pinggang Nea berkibar-kibar dengan semangat saat mengetahui Serena dan Violina mampir. Matanya berbinar, dan senyuman hangat merekah di bibirnya, menyambut kedatangan kedua sahabatnya.
Serena dan Violina mendekat ke meja resepsionis. Violina, tanpa ragu, berdiri tepat di hadapan Nea, matanya penuh harap.
"Nea, kami butuh persediaan bahan makanan," ujar Violina dengan nada serius. "Asrama monster akan kehabisan persediaan, dan kami tak bisa membiarkan itu terjadi."
Wajah Nea langsung berubah mendengar permintaan itu. Keceriaan yang tadi terpancar di wajahnya kini memudar, digantikan oleh raut cemas. Ia menundukkan kepalanya sedikit, dan sayap kelelawarnya yang tadi berkibar-kibar kini melemas.
"Maaf, Violina," jawab Nea pelan. "Persediaan bahan makanan di Serikat Guild juga menipis. Asrama monster bagian timur sering memintanya, jadi stok kami benar-benar kritis."
Serena, melihat situasi yang semakin sulit, maju ke depan dan menatap Nea dengan tajam. Wajahnya serius, hampir memaksa.
"Nea, jadi apa yang bisa kami lakukan sekarang? Kami tak mungkin pulang dengan tangan kosong. Anak-anak di Asrama Monster Bagian Barat tidak bisa sarapan jika kita tak membawa apapun. Menipis bukan berarti habis, kan? Pasti ada yang bisa kau berikan."
Nea menggeleng pelan, kesedihan terlukis jelas di wajahnya.
"Serena, jika aku memberikan bahan makanan yang tersisa untuk kalian, bagaimana dengan orang-orang yang sedang memesan makanan sekarang? Mereka juga bergantung pada stok ini. Jika aku berikan semuanya, mereka tak akan bisa membeli apa-apa nanti."
Tiba-tiba, tirai hijau yang menutupi pintu di belakang Nea tersibak, dan seorang wanita muncul dari baliknya.
Wanita itu mengenakan pakaian ungu dengan rambut hitam panjang yang terurai hingga ke dadanya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah cerutu, menghisapnya dengan santai. Namun, yang paling mencolok adalah bagian bawah tubuhnya bukan kaki, melainkan tubuh ular berwarna hitam yang panjang, melingkar di lantai.
"Nona Ra!" seru Nea, jelas terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.
Wanita bernama Ra itu mengarahkan tatapannya pada Serena, lalu berbicara dengan nada tegas.
"Serena, jika kamu tidak mau, silakan pergi saja. Jangan buat gaduh di Serikat Guild saat jam kerja."
Serena segera menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan emosinya yang sempat memuncak.
Violina, yang tak ingin membiarkan situasi semakin buruk, segera menyela, "Maaf, Bibi Ra. Kami hanya tidak ingin pergi ke kota manusia sekarang. Saat malam, banyak Hunter Manusia berkeliaran. Kami malas harus menghadapi mereka."
Bibi Ra menghembuskan asap cerutunya, lalu dengan tenang menggunakan ekornya untuk membuka laci meja Nea. Dari dalam laci, ia mengambil dua lembar kertas coklat usang dan menyerahkannya pada Serena.
"Pilihan kalian hanya satu. Selesaikan quest ini, dan biarkan Nea mengatur agar reward-nya berupa bahan makanan," kata Nona Ra, tegas.
Violina menyenggol pundak Serena, memberi isyarat untuk mengambil kertas quest tersebut. Serena tanpa ragu memasukkan kertas itu ke dalam saku roknya.
"Baiklah. Maaf, Bibi Ra. Kami permisi dulu," ujar Serena, lalu berjalan keluar dari Serikat Guild.
Saat mereka hendak pergi, Nea berteriak, "Kalian tidak membawa batu portal perpindahan? Buat jaga-jaga jika kalian diserang nanti!"
Violina menoleh, sambil mengibaskan tangan. "Tidak perlu, Nea. Kami bisa mengatasinya."
Serena menambahkan dengan senyum tipis, "Dadah, Nea," sambil melambaikan tangannya.
Kedua sahabat itu kemudian menghilang dari pandangan, meninggalkan Bibi Ra dan Nea di dalam Guild. Nea menggaruk kepalanya, ekspresi cemas terlihat jelas di wajahnya.
"Apa mereka akan baik-baik saja? Baru-baru ini banyak Hunter Monster terluka parah setelah melawan Hunter Manusia," gumam Nea, penuh kekhawatiran.
Bibi Ra hanya mengangkat bahu sambil memasukkan cerutu ke mulutnya lagi. "Biarkan saja. Mereka berdua juga Hunter Pengintai. Mereka pasti sudah paham risikonya. Jika mereka mati, kita bisa beli tubuh mereka di pasar ajaib Alantropora."
Nea masih menatap pintu tempat Serena dan Violina baru saja menghilang, hatinya dipenuhi kekhawatiran.
Suasana di dalam bar Serikat Guild terasa berbeda dari biasanya. Biasanya ramai dengan Hunter Monster yang sibuk mengambil quest, tapi kali ini lebih banyak yang datang hanya untuk menikmati makanan dan minuman.
"Hey, Nea. Kenapa melamun?" Suara wanita yang sedikit tinggi tiba-tiba memecah lamunannya.
Nea tersentak kaget, kedua sayap kelelawarnya bereaksi dengan cara yang sama, mengepak kecil saat dia tersentak.
"Astaga, Asra! Kenapa kau di sini? Bukannya di rumah sakit masih banyak yang terluka sekarang?" tanya Nea, nada suaranya menunjukkan kekesalan.
Asra, yang mengenakan kaos coklat dengan kalung berbulu serta rok abu-abu yang menutupi tubuh bawahnya yang seperti rusa, tersenyum tipis.
"Aku datang ke sini untuk meminta potion. Aku tahu tugasku, kok. Sebagai monster penyembuh."
Asra mengetuk-ngetuk meja resepsionis dengan jarinya, menunggu.
Nea menghela napas panjang, sebelum berteriak kepada beberapa pelayan laki-laki yang sedang mengantarkan pesanan, "Cepat bawa sekotak potion!"
Pelayan yang baru saja menyelesaikan tugasnya, segera mengangguk dan bergegas menuju ruang penyimpanan di dalam Serikat Guild. Nea kembali menatap Asra, rasa khawatir di matanya belum sepenuhnya hilang.
"Nea," Asra berbicara dengan nada yang lebih lembut kali ini, "Serena dan Violina pasti tahu apa yang mereka lakukan. Jangan terlalu khawatir."
Nea membelalakkan matanya, ekspresi bingung yang sedikit lucu tergambar jelas di wajahnya. "Bagaimana kau tahu? Jika aku mengkhawatirkan mereka?"
Asra tersenyum samar. "Aku melihat mereka tadi sedang menuju portal perpindahan," jawabnya dengan tenang.
Nea menggigit bibirnya, matanya beralih sejenak ke luar jendela. Di luar, pemandangan yang tidak biasa menghiasi jalanan. Banyak Hunter Monster yang terluka parah, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit.
"Apa mereka bakalan baik-baik saja ya? Aku tidak yakin."
Asra mendekati Nea, menepuk pundaknya dengan lembut.
"Tenang aja," kata Asra dengan suara yang meyakinkan. "Jika mereka selama sehari tidak kembali, regu pengintai pasti akan mencarinya. Apalagi Serena yang sangat dibutuhkan di regu pengintai Hunter Monster. Mereka tidak akan membiarkannya begitu saja."
Nea menatap Asra, mencoba menenangkan diri meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan. "Aku harap kau benar, Asra," gumamnya pelan.
Pelayan pria yang tadi diperintahkan Nea akhirnya tiba. Di tangannya, tiga kotak kayu ditumpuk dengan hati-hati, masing-masing berisi potion yang tertata rapi. Ia meletakkannya di lantai dengan sedikit membungkuk.
"Sudah aku ambilkan," katanya singkat.
Nea hanya mengangguk sebagai tanda terima kasih. Tanpa banyak bicara, pelayan itu segera kembali ke dapur bar.
Asra langsung bergerak mendekat. Kedua kaki depan rusa miliknya menekuk agar ia bisa meraih kotak-kotak itu dengan lebih mudah.
"Baiklah, Nea. Aku harus pergi dulu," katanya. "Masih banyak yang harus kami obati."
Nea baru saja hendak membuka mulut untuk membalas, tapi langkah cepat seseorang menghentikannya.
Seorang pria muda muncul, berjalan tergesa-gesa, tanpa mengunakan alas kaki.
Otot-otot kekarnya tampak jelas di balik kaos hitam tanpa lengannya dengan celana levis panjang. Rambut hitamnya menutupi dahinya dan hanya dipotong tipis di samping dan belakang, sedikit berantakan karena keringat.
"Hars?" Asra menoleh, sedikit terkejut. "Ada apa? Kok buru-buru?"
Tanpa menjawab langsung, Hars meletakkan selembar kertas di meja dengan sedikit kasar. Napasnya masih berat saat ia menatap Nea.
"Di mana Nona Ra? Aku harus bertemu dengan beliau sekarang!"
Nea mengangkat kedua telapak tangannya ke dada, memberi isyarat agar Hars menenangkan diri.
"Tenang dulu, Hars. Ada apa sebenarnya? Dan ini kertas apa?"
Asra, yang awalnya berniat pergi, kini memilih tetap di tempatnya. Ada sesuatu yang terasa aneh.
"Iya, duduk dulu. Tumben kau ada di kota. Bukannya petualang monster yang bertugas untuk mengintai petualang manusia jarang kembali?"
Hars mengusap keringat di keningnya, lalu menggeleng.
"Mana bisa aku santai?" katanya cepat. "Ini pengumuman penting. Harus segera dipasang di papan informasi. Ada kelompok petualang bernama Murderer Three yang sedang berkeliaran. Mereka memburu bangsa monster."
Asra dan Nea membelalakkan mata, tubuh mereka menegang seketika.
"Serena dan Violina, bagaimana?!" seru mereka serempak.
Serena dan Violina berjalan perlahan menuju Tempat Teleportasi yang terletak tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.
Jalanan kota dipenuhi kereta kayu bermuatan barang yang beroda empat, ditarik oleh para bangsa monster bertubuh besar dengan kekuatan luar biasa. Derap langkah mereka mengguncang tanah, menambah hiruk-pikuk di kota Hiddenama, di mana orang-orang sibuk menjelajahi setiap sudut toko yang ramai.
"Sudah dua belas tahun, ya," Violina tiba-tiba berbicara, memecah kebisuan yang menggantung di antara mereka. "Kita terus bersembunyi dari Hunter Manusia."
Serena menghela napas panjang, suaranya mengandung nada frustrasi yang sulit disembunyikan.
"Dua belas tahun kita hidup begini-begini saja. Terus diburu. Bahkan untuk makan pun kita harus menyelesaikan quest permainan dewa dulu. Capek rasanya."
Violina mengerutkan kening, kedua telinga serigalanya tegak, seolah menangkap setiap kata dengan penuh perhatian.
"Aku juga bingung, Serena. Apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan ini? Kita bahkan tidak bisa menikmati makanan biasa—rasanya kayak pasir. Padahal, makanan di kota Manusia kelihatannya enak banget, dari bau dan bentuknya."
Violina menelan ludah, matanya berputar ke atas, seakan-akan membayangkan semua hidangan lezat yang tak bisa ia cicipi.
Beberapa saat setelah mereka terus melangkah, Serena dan Violina tiba di sebuah tempat yang tampak berbeda dari hiruk-pikuk kota Hiddenama.
Sebuah pohon raksasa berdiri menjulang, akarnya menyebar ke segala arah, menutupi sebagian besar jalan. Namun, bagian bawah pohon itu memiliki lubang yang cukup besar, menjadi jalan masuk menuju lokasi Tempat Teleportasi yang tersembunyi di bawahnya.
Tulisan "Tempat Teleportasi Sihir" terpahat jelas berwarna coklat di batang pohon, menandakan area yang sibuk dengan aktivitas teleportasi.
Di sekitar area itu, keramaian kota mulai memudar. Tidak ada lagi deretan toko atau orang-orang yang sibuk berbelanja. Sebaliknya, hanya ada halaman luas yang dikhususkan untuk bangsa-bangsa monster yang bisa terbang, tempat mereka bisa mendarat dengan bebas.
"Eh, Violina. Ada yang aneh," kata Serena sambil mengamati sekeliling. "Kenapa cuma pedagang yang lewat sini?"
Violina mengernyit, ikut mengamati lalu-lalang di sekitar mereka. "Kau benar. Di mana semua Hunter Monster? Kenapa mereka enggak pakai Tempat Teleportasi ini untuk pergi ke kota manusia?"
Serena menggeleng pelan, bingung. "Biasanya mereka selalu ada di sini, kan?"
Di hadapan mereka, hanya terlihat para monster pengangkut barang yang sibuk dengan tugas mereka.
Orc dengan tubuh besar dan otot-otot kuat, serta Centaurus dengan tubuh setengah manusia setengah kuda, bergerak cepat membawa muatan.
Di langit, monster bangsa Harpy melayang-layang, sayap mereka mengepak lembut sementara cakar mereka mencengkeram barang-barang yang dibawa dengan keahlian luar biasa.
Violina menoleh ke Serena, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Hanya ada satu cara. Kita cek saja langsung ke Tempat Teleportasinya. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan dari penjaga portal."
Serena mengangguk, tapi kegelisahan tampak jelas di wajahnya. "Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi," gumamnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, mencoba menenangkan diri.
Mereka segera berlari kecil menuju lorong yang tersembunyi di bawah pohon raksasa itu.
Lorongnya cukup lebar, memungkinkan banyak monster berlalu-lalang sambil membawa barang-barang besar.
Dinding lorong ini terbuat dari akar-akar pohon yang menjalar kuat, seolah-olah pohon itu sendiri adalah penjaga gerbang yang mengawasi siapa pun yang masuk. Meski berada di bawah tanah, lorong itu tidak terasa suram berkat deretan lampu kecil yang dipasang di antara akar-akar, memancarkan cahaya lembut yang menerangi jalan mereka.
Setelah melewati lorong, mereka tiba di sebuah area yang berbeda lagi.
Di sini, toko-toko kecil berjejer, menjual berbagai barang kebutuhan para monster yang akan melakukan perjalanan melalui Tempat Teleportasi. Tidak ada kemewahan seperti yang terlihat di dekat Serikat Guild Hiddenama.
Toko-toko ini dibangun sederhana, hanya menggunakan kayu pohon yang tebal. Rangka-rangka kasar terlihat jelas di setiap bangunan, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih fungsional daripada dekoratif.
Peralatan seperti tas, senter, peralatan kemah, dan beberapa botol potion terpajang di etalase toko-toko tersebut. Namun, ada juga beberapa toko yang malah menjual sarapan.
Beberapa orang setengah monster duduk di depan toko-toko itu, menikmati makanan di piring mereka. Bau sangit asap tercium saat Serena dan Violina melewati depan toko itu, menambah nuansa kehidupan di sekitar mereka.
"Kita sampai," ujar Serena, matanya menyapu area sekitar. "Ternyata enggak sesepi yang dikira. Masih banyak Hunter Monster di sini, tapi anehnya, mereka cuma duduk-duduk di toko-toko, bukan pergi ke Portal Teleportasi."
Violina mengikuti pandangan Serena, memperhatikan deretan toko-toko kecil yang dipenuhi para Hunter Monster.
Asap tipis dari daging yang sedang dipanggang tercium di udara, aroma gurihnya menyebar di halaman yang cukup renggang. Namun, keanehan mulai terasa—hanya para monster pengangkut barang yang terlihat menggunakan portal teleportasi. Tidak ada kerumunan Hunter Monster yang biasanya mengantri untuk bepergian.
"Entahlah," gumam Violina, alisnya berkerut. "Kita tanya saja ke penjaga portal. Mungkin mereka bisa memberi tahu kita apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Serena mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka melanjutkan langkah, mengikuti rombongan para monster yang sedang menarik kereta barang dengan kekuatan mereka sendiri.
Di hadapan mereka, terlihat enam portal teleportasi berbentuk altar, dibangun dari batu-bata putih. Namun, hanya tiga dari enam altar itu yang sedang digunakan.
Antrian monster dengan barang-barang mereka tampak pada tiga altar, sementara tiga lainnya tampak kosong dan tidak terpakai.
Masing-masing altar dijaga oleh seorang penyihir berjubah hitam, yang berdiri tegak sambil memegang tongkat.
Begitu para monster mencapai tengah altar, penyihir itu mulai merapalkan mantra, dan dalam sekejap, cahaya biru memancar dari lantai altar. Monster yang berada di atasnya segera menghilang, seolah diserap oleh cahaya tersebut.
Serena dan Violina berhenti di salah satu altar yang sepi pengguna. Di tengah altar itu, terdapat pos kayu sederhana di mana tiga penyihir berjubah hitam duduk sambil bermain catur. Mereka mengenali ketiga penyihir itu dengan baik.
"Permisi, Kakek. Kami ingin pergi ke kota manusia. Tolong antarkan kami ke lokasi di peta ini," kata Serena sambil mengeluarkan dua gulungan kertas dari saku gaunnya. Gulungan itu masih tertutup rapat, belum dibuka.
Mendengar suara Serena, ketiga penyihir langsung menghentikan permainan mereka. Mereka menoleh bersamaan, memperhatikan dua gadis yang datang mendekat.
"Serena dan Violina, ya? Apa quest yang kalian kerjakan kali ini?" tanya salah satu penyihir dengan suara serak.
Wajahnya penuh keriput, dan kulit di bibir serta hidungnya sudah tidak ada, memperlihatkan tulang di bawahnya, membuatnya tampak seperti mayat hidup.
Serena mengangguk hormat sambil menyerahkan salah satu gulungan kertas yang berwarna kuning usang. "Ini, Kakek Grim," jawabnya singkat, namun sopan.
Violina melambaikan tangan ke dua penyihir lainnya, Kakek Grov dan Kakek Drar, yang masih duduk di tempat mereka, tak jauh dari Kakek Grim. "Apa kabar, Kakek Grov, Kakek Drar?"
Kakek Grov tampak seperti manusia pada umumnya, kecuali matanya yang hitam pekat dan selalu mengeluarkan asap samar.
Di sisi lain, Kakek Drar memiliki taring besar yang menyembul di sekitar wajahnya, mirip dengan gigi serigala. Dua penyihir itu tersenyum kecil melihat kehadiran Violina.
"Hai juga, Violina," jawab mereka hampir serempak, suaranya terdengar dalam dan tenang.
Kakek Grim yang tadinya hanya berdiri di sisi papan catur, mengamati permainan kedua temannya, akhirnya bergerak.
Dia melangkah mendekat ke arah Serena dan Violina, meninggalkan permainan catur dan dua temannya yang masih asyik di pos tersebut.
Kakek Grim dengan hati-hati mengambil kertas dari tangan Serena.
Matanya yang redup namun tajam menelusuri peta tersebut, memperhatikan detail denah yang menggambarkan tujuan Serena dan Violina.
Di sana, terlihat tiga bangunan yang berjejer di sepanjang jalan raya, dengan hutan luas yang membentang di sisi lain. Tanda "X" besar mencolok di bagian belakang halaman, tersembunyi di antara bangunan-bangunan itu.
"Tanda X ini berada di perbatasan kota Alantropora dengan kota Grassiace," kata Kakek Grim, suaranya bergetar sedikit, menggambarkan kekhawatirannya. "Kalian yakin ingin pergi ke sana hanya berdua saja?"
Tatapan Kakek Grim melekat pada Serena dan Violina, mencerminkan kecemasan yang mendalam. Meski wajahnya hampir seperti mayat hidup, otot-otot kecil di sekitar matanya yang masih tersisa cukup untuk menunjukkan kegelisahannya.
Violina yang berdiri di sebelah Serena segera menanggapi, suaranya penuh pertanyaan, "Perbatasan kota Alantropora, ya? Bukankah tempat kita menyelamatkan anak-anak monster yang baru saja diteleportasi ke dunia manusia juga ada di perbatasan kota itu, Serena?"
Kakek Grim mengangkat telunjuknya, matanya membulat seolah baru menyadari sesuatu.
"Benar sekali! Aku masih ingat sekarang," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Serikat memang menugaskan kalian untuk membebaskan orang-orang yang dijual di pasar perbatasan kota sana."
Serena terdiam sesaat, pikirannya terlempar kembali pada misi penyelamatan mereka sebelumnya.
Dia mengingat saat-saat tegang ketika dia dan Violina, dibantu gurunya dan lima monster lainnya, bertarung mati-matian untuk menyelamatkan anak-anak dari tangan para pemburu. Kejadian itu meninggalkan bekas dalam dirinya, baik secara fisik maupun emosional.
Serena menarik napas dalam, lalu menatap Kakek Grim dengan sorot mata penuh ketegangan.
"Kakek Grim," katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Pak Snade dan Pak Altrez. Bagaimana kabar mereka? Kami kehilangan jejak mereka setelah penyelamatan itu."
Kakek Grim hanya mengangkat bahunya dengan santai. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya. Bukan kepanikan, bukan kesedihan, melainkan keyakinan.
"Tenang saja," kata beliau dengan nada percaya diri. "Pak Altrez dan Pak Snade bukan orang sembarangan. Guru kalian tidak akan semudah itu dikuliti oleh para petualang manusia. Mereka pasti baik-baik saja."
Suasana berubah sedikit tegang ketika Kakek Grov, yang dari tadi fokus bermain catur dengan Kakek Drar, menyahut dengan suara datar, "Kalian harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak Hunter Monster yang terluka parah saat menyelesaikan quest baru-baru ini. Mereka masuk rumah sakit, bahkan ada yang tidak kembali."
"Benar," timpal Kakek Grim dengan anggukan pelan. "Kalian adalah bangsa monster unik, Nak. Jangan biarkan diri kalian ditangkap. Kalau tubuh kalian dijadikan bahan untuk membuat senjata sihir bagi manusia, kekuatan senjata itu pasti mengerikan."
Serena dan Violina saling berpandangan, diam sejenak, merenungkan perkataan Kakek Grim. Rasa khawatir yang melingkupi mereka mulai terasa, tapi tekad mereka tetap kokoh.
"Tidak apa, Kakek Grim. Kalau bertemu Hunter Manusia, kami pasti kabur cepat-cepat setelah menyelesaikan quest," ujar Violina, suaranya terdengar yakin meski senyuman di wajahnya menunjukkan sedikit keisengan yang biasa.
Serena mengangguk sambil menambahkan, "Iya, Kek. Ini tugas dari Bibi Mei. Dia menyuruh kami ambil bahan makanan karena stoknya habis, jadi kami harus menyelesaikan quest. Jangan khawatir."
Kakek Grim, dengan wajah yang tampak semakin tua dan rapuh, mengangguk pelan. Jari-jarinya yang kurus mengelus dagunya yang hampir tinggal tulang, seolah merenung sejenak sebelum berbicara, "Oh, bahan makanan untuk penginapan monster rupanya. Baru kemarin banyak Hunter Monster pengintai membawa bangsa monster baru yang berhasil diselamatkan dari Hunter Manusia. Mungkin itu alasan Mei menyuruh kalian."
Di sisi lain, Kakek Drar yang baru saja mengalahkan Kakek Grov dalam permainan catur menyeringai puas. Kakek Grov hanya bisa mendesah kecewa sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada Drar.
"Jangan lupa bawa batu portal injakan, kalian bisa langsung teleportasi ke Portal Timur tanpa perlu repot-repot mencari altar teleportasi di dunia manusia," tambah Kakek Drar, senyumnya lebar, menandakan kepuasan atas kemenangannya.
Namun, Serena menggeleng, menolak tawaran itu. "Enggak usah, Kek. Buang-buang waktu untuk beli. Kami lebih baik berangkat sekarang biar enggak kemalaman. Kalau terlalu malam, biasanya ada polisi patroli di jalanan."
Kakek Grim melirik jam besar yang tergantung di tiang penanda waktu. Jarum pendek sudah mendekati angka sebelas, dan jarum panjang bergerak perlahan menuju puncak.
"Baiklah," ujar Kakek Grim, menyerah pada keputusan mereka. "Kakek akan buka gerbang teleportasinya dulu."
Kakek Grim melemparkan gulungan peta kembali ke arah Serena, yang menangkapnya dengan cekatan.
Beliau tidak mengucapkan sepatah kata lagi, hanya berbalik menuju altar dengan langkah pasti. Meskipun tubuhnya terlihat tua dan rapuh, aura wibawa tetap terpancar darinya.
"Sihir teleportasi," ucap Kakek Grim dengan tenang.
Sebuah tongkat kayu dengan bentuk ular yang melilit beberapa tengkorak muncul dari kehampaan, melayang pelan hingga Kakek Grim mengulurkan tangan kanannya dan menggenggamnya erat.
Tanpa menunda, dia menghentakkan tongkat itu ke lantai altar. Seketika, lingkaran di lantai altar menyala dengan cahaya biru yang menyilaukan, sementara simbol-simbol mantra muncul, berputar dengan anggun di atas lantai.
Serena dan Violina saling bertukar pandang sebelum melangkah maju menuju lingkaran sihir di altar. Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah suara memanggil nama mereka dengan nada tegas dari belakang.
"Serena dan Violina. Kalian mau pergi ke mana menggunakan sihir perpindahan?"
Suara itu milik seorang wanita tua. Ketika mereka menoleh ke belakang, mereka melihat seorang wanita berdiri tidak jauh dari mereka, dengan tatapan yang tajam dan serius.
Seorang wanita tua berdiri di belakang mereka, tatapan matanya tajam dan serius.
Gaun panjang berwarna hitam dan abu-abu yang dikenakannya memberi kesan anggun meskipun motif-motif pada kain itu terasa dingin dan misterius. Rambutnya yang putih tergerai lembut di bahunya, sedangkan kulit wajahnya terlihat kasar, tanpa kerutan, seolah waktu tidak mampu mengukir jejak pada dirinya.
Kakek Grov, yang sedang asyik bermain poker bersama Kakek Drar, mendadak terkejut, suaranya terdengar kagum dan tak percaya. "Ida? Sejak kapan kau di sini?"
Kakek Drar menoleh dengan tatapan bingung yang serupa. "Kami bahkan tidak menyadari kau datang. Kapan kau tiba?"
Nenek Ida, wanita tua yang baru muncul itu, hanya mendengus ketus. "Kalian berdua sibuk bermain, jadi tidak sadar," jawabnya, nada suaranya seperti teguran yang halus namun penuh sindiran.
Kakek Drar dan Kakek Grov saling berpandangan, seolah merasa bersalah karena terlalu tenggelam dalam permainan mereka. Namun, Nenek Ida tak lagi memedulikan mereka, tatapannya kembali fokus pada Serena dan Violina.
Dia menunggu jawaban yang keluar dari mulut kedua gadis itu, jelas tak ingin ada rahasia yang terlewatkan.
Serena menelan ludah, berusaha tetap tenang di bawah tatapan tajam Nenek Ida, seakan setiap kata yang keluar harus dipilih dengan hati-hati.
“Kami. Kami mendapat tugas untuk mengambil bahan makanan, Nek. Itu permintaan dari Bibi Mei untuk Asrama Monster Barat,” kata Serena dengan nada ragu, suaranya hampir berbisik.
Violina, yang berdiri di sampingnya, menambahkan dengan semangat, mencoba meyakinkan Nenek Ida. “Iya, Nek. Kami akan pergi ke perbatasan kota Alantropora dan Grassiace untuk menyelesaikan quest itu.”
Nenek Ida mengerutkan kening, jelas belum puas dengan jawaban mereka. “Kenapa kalian tidak pergi ke Serikat Guild Hiddenama? Bukankah mereka menyediakan bahan makanan juga?”
“Habis, Nek. Kami disuruh Bibi Ra sendiri untuk menyelesaikan quest ini,” jawab Violina cepat, nada suaranya sedikit mendesak. Dia berharap jawaban itu cukup untuk meredakan kekhawatiran Nenek Ida.
Ekspresi Nenek Ida sedikit melunak, meski matanya masih memancarkan kewaspadaan.
“Pergi ke perbatasan kota, ya? Tempat itu penuh bahaya, terutama di jam malam begini. Banyak Hunter Manusia berkeliaran. Serena, Violina, kalian memiliki kemampuan yang diincar oleh para Hunter. Jangan ceroboh.”
Serena berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya. “Kami tahu, Nek. Kami akan hati-hati. Setelah quest ini selesai, kami langsung pergi.”
Violina mengangguk, menambahkan dengan nada riang. “Iya, Nek. Kami akan langsung kembali menggunakan peta lokasi perpindahan setelah menyelesaikan quest.”
Namun, kata-kata Violina sepertinya justru membuat Nenek Ida semakin khawatir. Ekspresi di wajahnya berubah, kedua matanya mengerut tajam.
“Kalian hanya membawa peta lokasi perpindahan saja?” Suaranya kini terdengar lebih tegas, bahkan sedikit marah. “Kalian tahu, para Hunter Monster sekarang jarang menggunakan portal perpindahan karena mereka kerap diserang oleh Hunter Manusia saat dalam perjalanan. Itu sebabnya portal sekarang sepi.”
Kakek Drar dan Kakek Grov yang tadinya asyik bermain kartu tampak terkejut mendengar hal itu. Mereka berhenti sejenak, menatap Nenek Ida dengan mulut ternganga, seolah tidak percaya.
“Jadi itu penyebab banyak Hunter Monster yang kembali dengan luka-luka?” tanya Kakek Drar, heran terlihat di wajahnya. “Karena mereka ketahuan menggunakan teleportasi?”
Kakek Grov mengangguk pelan, menambahkan, “Aku tidak tahu kalau situasinya sudah seburuk itu.”
Serena dan Violina saling menatap, kekhawatiran jelas tergambar di wajah mereka.
Perbatasan kota, tempat yang awalnya mereka pikir hanya akan menjadi tantangan sederhana, kini terasa jauh lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan. Mereka mulai menyadari risiko yang akan dihadapi.
"Serena, Violina," suara Nenek Ida kembali terdengar tegas. "Kalian beli dulu batu portal injaknya sebelum pergi. Hunter yang sudah memakai batu portal injak saja masih bisa kembali terluka parah."
Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan suasana yang semakin berat. Kakek Grim yang berdiri di atas altar sudah tampak lelah menunggu, tatapannya lesu, dan wajahnya penuh kesabaran yang mulai menipis.
“Kalian jadi pergi atau tidak? Membuka portal ini menguras energi sihirku,” ujarnya dengan nada malas, sembari mengetukkan tongkatnya sekali lagi ke lantai altar.
Serena dan Violina mengangguk cepat, lalu bergegas keluar dari ruang altar menuju sebuah toko kecil di pinggiran area teleportasi.
Toko itu terlihat sederhana, dengan barang-barang umum seperti lampu senter, elixir, dan perlengkapan dasar lainnya tertata di rak-rak kayu yang sudah usang.
Penjaga toko, seorang pria tua dengan wajah keriput dan sorot mata sayu, berdiri di belakang meja kasir.
"Kek, ada batu portal injak?" tanya Serena dengan harapan yang jelas terdengar dalam suaranya.
Pria tua itu menggelengkan kepala dengan perlahan, seolah-olah jawaban itu sudah sering ia sampaikan kepada para pelanggan lain sebelumnya. Wajahnya tampak murung, mencerminkan keterbatasan persediaan yang ada di tokonya.
"Maaf, Nak. Batu portal injak tidak tersedia di sini. Semua penjualan batu portal itu kini dipusatkan di tempat teleportasi timur, karena banyak Hunter Monster yang pergi ke dunia manusia melalui sana."
Serena dan Violina saling berpandangan, wajah mereka jelas menunjukkan kekecewaan. Dengan langkah gontai, mereka kembali menuju altar, di mana Nenek Ida masih menunggu. Tatapan nenek itu langsung tertuju pada mereka, seakan bisa membaca hasil dari usaha mereka.
“Tidak ada, Nek,” ucap Serena lesu. “Di sini tidak ada yang menjual batu portal injak. Semua dijual di tempat teleportasi timur.”
Nenek Ida mendengus pelan, tapi tidak tampak terkejut. "Beli saja di tempat teleportasi timur. Quest kalian jatuh temponya masih lama, kan? Lebih baik kalian aman daripada terburu-buru dan celaka di perjalanan.”
Kakek Grov mengamati jam dinding yang tergantung di sudut ruangan, jarumnya sudah mendekati pukul setengah dua belas malam.
Suasana di sekitar warung dan toko kecil semakin ramai. Malam yang semakin larut dengan angin dingin yang berhembus tidak membuyarkan orang - orang yang ada di warung.
“Seharusnya kalian cepat. Ini sudah malam. Lihat jamnya. Sebelum polisi mulai patroli nanti,” ujar Kakek Grov dengan nada memperingatkan.
Serena dan Violina saling berpandangan, tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu tersisa.
Kakek Drar, yang dari tadi duduk santai sambil mengamati percakapan, ikut menimpali, “Pergi saja langsung. Jangan pedulikan apa kata Ida. Kalian pasti baik-baik saja.”
Serena merasa ragu sejenak, tetapi melihat Violina yang juga menatapnya dengan ekspresi penuh semangat, akhirnya ia mengangguk.
Mereka langsung berlari menuju altar teleportasi, tangan mereka saling menggenggam erat.
"Maaf, Nenek Ida! Kami harus buru-buru!" teriak Violina di antara napas terengah-engahnya, saat Serena menariknya melewati Nenek Ida yang berdiri dengan pandangan tajam.
Mereka menghilang dalam sekejap, menghilang dalam kilauan cahaya teleportasi.
Nenek Ida hanya mendengus, sorot matanya penuh kekesalan. "Batu portal injak itu penting, tapi dasar keras kepala. Aku tahu mereka tak akan mendengarkanku," gumamnya dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.
Kakek Drar tertawa pelan sambil mengocok kartu di tangannya. "Aku tahu, Ida. Pada akhirnya, kau selalu membiarkan mereka pergi juga."
Ida melipat tangan di dada, wajahnya mengeras. "Untung saja para Hunter Pengintai sedang ditugaskan di kota manusia, jadi kalau mereka nanti hilang, masih gampang ditemukan. Kalau tidak, aku pasti sudah menghajar mereka sebelum pergi!"
Kakek Grim yang sejak tadi menunggu di altar, kini turun dari tangga dengan raut wajah kesal.
“Kalo boleh jujur, Ida, kau seharusnya membiarkan mereka pergi tanpa drama tadi. Kau tahu, sihir teleportasiku bukan cuma-cuma. Energi sihirku terbuang percuma,” keluhnya sambil menyentakkan tongkatnya ke tanah untuk menutup portal yang sudah terbuka.
Nenek Ida berpaling, matanya menyapu suasana sekitar tempat teleportasi barat yang tampak lengang. Warung-warung ramai oleh orang-orang yang sedang nongkrong, namun tak ada satu pun Hunter Monster yang terlihat.
Keheningan ini justru menambah kegelisahannya. Ia termenung sesaat, merenungi apa yang baru saja terjadi.
"Kalian bertiga," ucap Nenek Ida, suaranya dalam dan tegas saat ia menatap kakek Grim, kakek Grov, dan kakek Drar. "Jangan biarkan lagi ada Hunter Monster yang menggunakan altar perpindahan. Sebelum kita tahu penyebabnya, kenapa banyak Hunter Monster yang terluka atau bahkan diserang saat mereka melintasi dunia manusia dengan Altar Teleportasi, bukan gerbang teleportasi."
Kakek Drar, yang sedang membagikan kartu remi kepada kakek Grov, berhenti sejenak. Ia mengangkat alis, memperhatikan Nenek Ida yang tiba-tiba serius. Seperti biasanya, suasana santai tiba-tiba berganti penuh perhatian.
"Ida," kata kakek Grov, matanya yang hitam mengeluarkan asap perlahan, menatap Nenek Ida tajam. "Apa kau yakin? Penyebab, banyaknya Hunter Monster yang kembali terluka, karena menggunakan Altar Teleportasi untuk pergi ke dunia manusia?"
Nenek Ida mengangguk mantap, suaranya terdengar penuh keyakinan.
"Benar. Sudah ada datanya," jawabnya dengan mantap. "Setiap Hunter Monster yang terluka selalu tercatat di rumah sakit dan juga oleh penjaga gerbang teleportasi timur. Sepertinya ada yang salah dengan Altar Teleportasi ini. Aku perlu pergi ke Serikat Guild Hiddenama untuk merencanakan langkah berikutnya."
Seketika, tubuh Nenek Ida berubah menjadi burung elang hitam dengan mata merah menyala. Dalam sekejap, dia melesat ke langit, tubuhnya meluncur cepat menuju tujuan yang Telah ditetapkan.
Kakek Grov menatap langit yang tiba-tiba kosong, lalu mengeluh, "Padahal aku baru saja ingin mengajaknya bermain poker."
Kakek Drar tertawa pelan, matanya yang tajam melirik Kakek Grov.
"Perempuan mana yang suka bermain seperti ini?" ujarnya dengan nada menggoda, sambil memulai putaran baru permainan kartu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!