NovelToon NovelToon

Monsearch

Penyebab Semuanya

Pinggiran jalan raya yang sepi, hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan berwarna kuning, memberi kesan suram.

Di sisi jalan, sebuah bar tanpa nama tampak ramai, halaman parkirnya penuh dengan orang-orang yang berlalu-lalang.

Para pria bertubuh tegap dengan pakaian mencolok mirip ksatria sihir—berkerumun sambil menyarungkan berbagai macam senjata, mulai dari pedang hingga senapan api. Senjata-senjata itu tampak unik, masing-masing dengan ciri khasnya sendiri, seolah-olah menandakan identitas pemiliknya.

Di antara kerumunan, beberapa wanita dengan pakaian feminim berbaur, meskipun ada yang berbeda—berpenampilan atletis dengan senjata di tangan atau di punggung mereka.

Ada yang hanya membawa tongkat besar, berpakaian jubah panjang seperti seorang penyihir, menambah keanehan di tengah keramaian malam itu.

Sementara itu, di seberang jalan yang sunyi, hutan gelap membentang dengan kesunyian yang menakutkan.

Beberapa sosok tersembunyi di balik bayangan pepohonan, mengawasi bar tersebut dengan penuh kewaspadaan.

"Violina, apa kamu yakin ini bar tempat para monster akan ditahan?" bisik Serena dengan suara pelan namun tajam, pandangannya tak lepas dari bangunan bar.

Violina mengangguk, matanya tetap fokus ke arah yang sama. "Menurut info dari Pak Guru Snade, memang ini tempatnya. Tapi, entahlah..."

Serena menghela napas panjang, masih merasakan ketidakpastian menggelayuti pikirannya. "Di mana Pak Guru Snade? Berapa lama lagi kita harus menunggu seperti ini?"

Violina hanya bisa merenung sesaat sebelum menjawab dengan nada lelah, "Jangan tanya aku, Serena. Aku bukan Pak Guru Snade. Aku juga tidak tahu, apa yang beliau lakukan."

Di balik kegelapan hutan, kelompok mereka yang berjumlah tujuh orang, bersama Serena dan Violina, masih menunggu dengan penuh kewaspadaan. Mata mereka tak lepas dari bar di seberang jalan, menunggu momen yang tepat untuk bertindak.

Suara deru mesin kendaraan tiba-tiba memecah suasana.

Sebuah truk box melaju pelan dari arah kanan, lalu berhenti di halaman parkir bar yang ramai. Seperti diisyaratkan oleh kedatangan truk itu, orang-orang segera bergerak, berkerumun di sekitar truk dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.

Pintu belakang truk terbuka dengan suara berderit, dan dari dalamnya, tujuh anak kecil dengan ciri-ciri setengah monster diseret keluar dengan kasar.

Kaki mereka terikat rantai berat, membuat langkah mereka tersendat-sendat.

Beberapa pria bersenjata meneriaki mereka, mendorong agar anak-anak itu bergerak lebih cepat. Terlihat ketakutan di mata anak-anak itu, namun mereka tak punya pilihan selain mengikuti perintah yang diteriakkan kepada mereka.

"Itu dia, Pak Snade," gumam seorang pria di belakang Serena dan Violina, suaranya dalam dan penuh kewaspadaan. Pria itu menunjuk ke arah truk dengan jari telunjuknya. "Kita harus bersiap. Kita akan menyelamatkan anak-anak itu."

Di halaman parkir, sebuah aliran air kecil mengalir dari lubang selokan yang ada di sudut. Perlahan, air itu membentuk genangan yang tidak biasa, bergerak seperti makhluk hidup, merayap mendekati kerumunan sekitar dua puluh orang yang berkumpul di sekitar truk.

Kemudian, tanpa peringatan, dari genangan air itu muncul tentakel-tentakel licin yang bergerak cepat.

Tentakel-tentakel itu menusuk kaki beberapa pria bersenjata, mencengkeram dengan kuat, dan menarik mereka hingga tersungkur ke tanah.

Suara teriakan kesakitan dan kepanikan langsung memenuhi udara, memecah keheningan yang sebelumnya menegang.

Suara tembakan bergema di udara saat orang-orang bersenjata dengan cepat menyadari ancaman yang muncul dari genangan air yang tampak seperti slime itu.

Mereka melompat mundur dengan sigap, pedang dan senapan siap di tangan, mata mereka terpaku ke tanah, mencari tahu dari mana serangan itu berasal.

Ledakan peluru menghantam permukaan slime, menciptakan percikan air yang liar, namun tentakel-tentakel itu terus merayap, tak terhentikan.

"Ini saatnya!" teriak pria kekar tadi, suaranya penuh gairah, seolah-olah telah menunggu momen ini sepanjang malam. "Jangan biarkan mereka lolos!"

Seorang anggota kelompok lainnya menyusul, suaranya tegas, "Ingat, anak-anak itu prioritas kita. Jangan hanya fokus pada Hunter Manusia!"

Serena menatap Violina, mata mereka saling berbicara dengan pemahaman yang dalam. Tidak ada waktu untuk ragu. "Ayo," kata Serena, suaranya penuh tekad. "Kita harus bertindak sekarang sebelum mereka sempat bereaksi!"

Dengan satu gerakan cepat, Serena dan Violina melesat keluar dari persembunyian mereka di hutan. Angin malam yang dingin berdesir di sekitar mereka saat mereka melaju dengan kecepatan kilat menuju medan pertempuran yang kini berkobar dengan sengit.

Di belakang mereka, lima pria yang sebelumnya bersembunyi bersama segera mengikuti, menerjang maju dengan teriakan penuh semangat.

"Hajar mereka!" teriak salah satu dari mereka, suaranya menggema di tengah kekacauan.

"Serang!" tambah yang lain, seolah-olah kobaran api dalam dirinya telah menyala.

Saat teriakan itu terdengar, tubuh mereka yang semula tampak seperti manusia biasa tiba-tiba berubah secara drastis.

Otot-otot mereka menggembung, tubuh mereka membesar dengan cepat. Ekor dan tanduk muncul dari kepala dan bokong mereka, mengubah mereka menjadi monster yang menakutkan. Wajah sebagian dari mereka berubah menjadi bentuk hewan yang buas dan perkasa, sementara yang lain tetap mempertahankan wajah manusia dengan tubuh yang kini dipenuhi ciri-ciri monster.

"Awas, ada serangan lagi!" teriak salah satu Hunter Manusia, suaranya nyaring di tengah kepanikan yang semakin menjadi-jadi.

Formasi para Hunter Manusia yang tadinya solid kini terpecah-belah, buyar oleh serangan mendadak yang tak terduga.

Lima monster yang menerjang maju dari depan membuat kekacauan, menyabitkan senjata mereka dengan kekuatan dahsyat. Ada yang mengayunkan senjatanya dengan brutal, membabat siapa saja yang berada di jalurnya. Salah satu dari mereka melompat tinggi ke udara, lalu menghantamkan senjatanya dari langit, memecah formasi lawan dengan serangan yang mematikan.

Serena dan Violina terus bergerak dengan kecepatan tinggi, memanfaatkan kekacauan untuk mendekati anak-anak yang terperangkap.

Sementara itu, lima monster rekan mereka melancarkan serangan brutal, menimbulkan kehancuran di tengah barisan para Hunter.

Suara ledakan mantra sihir terdengar memekakkan telinga saat para Hunter Manusia yang mampu menggunakan sihir melontarkan serangan mereka. Cahaya berwarna-warni menerangi kegelapan malam, memancar dari tongkat-tongkat yang mereka acungkan.

Sementara itu, orang-orang yang tidak bersenjata mulai panik dan melarikan diri dari medan pertempuran, berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan yang semakin menggila.

Di sisi lain, adu tangkis terjadi dengan sengit di antara para Hunter Manusia yang membawa pedang atau senjata jarak dekat lainnya, seperti belati dengan lima orang monster yang datang.

Bunyi dentingan logam yang berbenturan memenuhi udara, sementara mereka yang membawa senapan api mencoba menjaga jarak, menembaki para monster yang menyerang mereka. Namun, peluru-peluru yang mereka tembakkan hanya menancap di permukaan kulit lima monster yang menyerang, tidak cukup kuat untuk melumpuhkan mereka. Monster-monster itu, dengan tubuh yang telah berubah menjadi lebih besar dan kuat, terus menerjang tanpa henti.

Di tengah kekacauan tersebut, Serena dan Violina bergerak cepat, memanfaatkan situasi untuk mendekati anak-anak yang terperangkap.

Violina segera berbicara dengan suara lembut namun tegas kepada anak-anak itu. "Mari kita pergi, anak-anak. Selamat datang di dunia manusia. Semoga kalian bisa bertahan di sini," katanya, berusaha menenangkan ketakutan di mata mereka.

Anak-anak itu terdiri dari lima anak laki-laki dan dua anak perempuan, masing-masing dengan ciri monster yang berbeda—ada yang memiliki tanduk, ada yang memiliki ekor, dan ada pula yang memiliki mata bersinar dalam gelap.

Mereka tampak bingung dan ketakutan, tidak sepenuhnya mengerti apa yang sedang terjadi.

Serena segera mendekati mereka. Dia mencengkeram erat rantai borgol yang mengikat kaki anak-anak itu, menariknya dengan sekuat tenaga. Namun, rantai itu terlalu kuat untuk dihancurkan dengan mudah. Serena mengerutkan kening, menyadari bahwa dia perlu memanfaatkan kekuatan aslinya.

"Sebentar, aku akan menghancurkan rantai ini terlebih dahulu," ujar Serena dengan suara rendah namun mantap.

Dia memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam.

Ekor dan tanduk naga berwarna biru pucat mulai muncul perlahan dari tubuhnya, seiring dengan perubahan yang membuatnya tampak semakin menakutkan. Dengan kekuatan naga yang kini mengalir di dalam dirinya, Serena menggenggam rantai itu sekali lagi dan menariknya dengan kekuatan luar biasa.

Perlahan, rantai tersebut mulai retak, suara logam yang terpecah terdengar jelas di antara gemuruh pertempuran. Akhirnya, rantai itu pecah, membebaskan anak-anak dari belenggu mereka.

"Sudah, sekarang kita harus bergerak cepat," kata Serena, suaranya kembali normal namun penuh kewaspadaan. "Kita belum aman di sini."

"Mari, anak-anak. Ikuti Kakak ke tempat yang lebih aman," bisik Serena dengan suara lembut namun tegas.

Dengan cepat, dia merangkul ketujuh anak monster itu ke dalam pelukannya, memastikan mereka tetap berkumpul erat di tengah kekacauan yang berlangsung.

Di belakang mereka, suara ledakan dan cahaya berwarna-warni terus menerangi malam yang kelam, membuat bayangan panjang di tanah saat mantra sihir meledak di udara.

Genangan air yang sebelumnya menjebak kaki para Hunter Manusia kini ikut terlibat dalam pertarungan. Air itu bergerak dengan gesit, menciptakan tentakel yang berubah menjadi tangan raksasa, siap menonjok musuh, atau berubah menjadi sabit tajam untuk menahan serangan lawan.

Tiba-tiba, suara yang dalam dan tegas terdengar dari arah genangan air itu.

"Serena, Violina! Bawa anak-anak itu pergi sekarang!" Suara itu memerintah dengan nada mendesak.

Serena dan Violina menoleh, terkejut melihat sosok wajah seorang pria paruh baya muncul dari dalam genangan air tersebut. Wajah itu terbentuk dengan jelas dari air yang bergerak, tampak tegas dan penuh kewibawaan.

"Pak Snade!" seru Violina, mengenali wajah itu.

"Jangan buang waktu lagi! Aku akan menahan mereka di sini. Bawa anak-anak itu ke tempat yang aman," perintah sosok air itu.

Serena mengangguk. Dia dan Violina bergerak dengan cepat, membawa anak-anak itu menjauh dari pertempuran yang semakin sengit.

Keduanya berlari secepat mungkin, menyeberangi jalan raya yang sepi, menuju rindangnya hutan di seberang, tempat mereka sebelumnya bersembunyi.

"Serena! Lindungi anak-anak!" teriak Violina tiba-tiba, suaranya dipenuhi oleh rasa bahaya.

Serena, terkejut oleh teriakan mendadak itu, segera menoleh ke belakang untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun, sebelum kata-kata sempat keluar dari mulutnya, dia melihat sesuatu yang mengagetkan—Violina sedang berubah.

Wujud manusia serigala muncul dari tubuh temannya. Telinga serigala berwarna coklat, sama seperti rambutnya, serta ekor berbulu lebat yang keluar dari balik rok panjangnya. Dengan kekuatan luar biasa, Violina mengeluarkan sihir angin dari telapak tangannya, menciptakan hembusan dahsyat yang menghantam Serena dan anak-anak yang ia lindungi.

Serena tidak punya waktu untuk bereaksi. Refleksnya mengambil alih, sayap naganya yang besar langsung terbentang, membungkus ketujuh anak itu dengan perlindungan yang kokoh.

Dia merangkul mereka erat-erat dengan kedua sayap, tangan, dan ekornya, memastikan tidak ada satu pun dari mereka yang terluka oleh hempasan angin yang mendadak itu.

Serena dan anak-anak berguling-guling di atas lantai hutan, daun-daun kering dan tanah basah menyelimuti mereka. Tapi, berkat perlindungan sayap naga Serena, tak satu pun dari anak-anak itu mengalami luka sedikit pun. Mereka tetap aman dalam pelukan hangatnya.

Tiba-tiba, sebuah ledakan dahsyat mengguncang tempat di mana mereka baru saja berdiri di tepi jalan raya.

Aspal berhamburan, dan tanah retak akibat ledakan itu.

Serena melihat ke arah lubang besar yang kini terbentuk di tengah jalan, napasnya tersengal saat kesadaran mulai menyelinap ke dalam pikirannya. Ledakan itu bukan sekadar kecelakaan—itu serangan yang sengaja diarahkan kepada mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi?" gumam Serena, masih kebingungan dan mencoba mencerna kejadian barusan.

Serena menggigil saat suara dingin seorang pria berbisik di telinganya, "Nona, bisa kau serahkan anak-anak tersebut? Kami membutuhkannya."

Serena segera berbalik, matanya melebar saat melihat sosok pria memakai masker hitam berdiri di belakangnya.

Tanpa peringatan, pria itu meluncurkan serangan dengan belati putih yang memiliki tiga bilah tajam, mengarah langsung ke punggung Serena. Namun, Serena berhasil menangkis serangan tersebut dengan ekor naganya. Meskipun berhasil melindungi diri, rasa sakit menusuk dari ekornya yang hampir terputus membuat Serena meringis.

Dengan cepat, Serena melompat mundur, mencari tempat yang lebih aman sambil tetap menjaga tujuh anak monster dalam dekapan eratnya.

Dia mengamati ekor naganya yang terluka parah, darah biru pucat mengalir dari luka itu. Namun, seiring berjalannya waktu, luka tersebut mulai memulihkan diri, mengeluarkan uap saat jaringan tubuhnya yang kuat memperbaiki diri.

"Aduh. Senjata sihir tingkat tinggi, rupanya," gumam Serena, matanya berkilat menahan rasa sakit.

Pria bermasker itu berdiri tegak, mengenakan pakaian serba hitam yang ketat, menampilkan otot-ototnya yang terlatih.

Sebuah lambang perisai dan pedang dengan dua sayap kecil berwarna putih terukir di pakaiannya, memberi petunjuk bahwa dia bukan sekadar prajurit biasa.

"Benar-benar merepotkan," katanya dengan nada datar, namun jelas. "Senjata sihir tingkat tinggi pun tidak cukup untuk membunuh kalian, kecuali jika mengenai titik vital."

Serena menatap pria bermasker itu dengan tajam, menahan rasa sakit yang merambat dari ekor naganya yang terluka. Dia tahu, orang ini tidak akan berhenti sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.

Dengan suara yang tegas, Serena bertanya, "Kenapa kalian memburu bangsa monster yang baru diteleportasi? Mereka tidak punya salah kepada kalian!"

Pria itu hanya tersenyum sinis di balik maskernya, memutar belati putihnya dengan jari telunjuk seperti sedang memainkan senjatanya, lalu menggenggamnya erat lagi.

"Asal kalian tahu," ucapnya dengan nada penuh tekanan, "kami tidak hanya memburu monster yang baru datang ke dunia kita."

Ucapan pria itu diiringi oleh suara ledakan yang kembali bergema di kejauhan, sama persis seperti ledakan yang menghancurkan aspal jalan raya sebelumnya.

Hembusan angin kencang yang mengikuti ledakan menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitar mereka, menambah kesan mencekam di tengah hutan yang gelap.

Tiba-tiba, salah satu anak laki-laki yang dipeluk Serena bersuara dengan nada panik, "Kakak, apa yang terjadi? Tempat apa ini?" Sementara itu, seorang anak perempuan menangis ketakutan, "Ibu, Ayah! Dimana kalian?!"

Lima anak lainnya mulai menangis keras, suara rengekan mereka menggema di hutan yang hanya diterangi oleh sinar bulan yang menembus sela-sela dedaunan.

Serena berusaha menenangkan mereka, meski hatinya juga dipenuhi kekhawatiran. "Tidak apa-apa, semua akan aman," katanya lembut, mempererat pelukannya, mencoba memberikan rasa aman di tengah situasi yang penuh bahaya.

Pria itu langsung memasang kuda-kuda, menghentakkan kaki kanannya ke tanah dengan kekuatan yang membuat debu beterbangan.

"Cukup basa-basinya. Kami memerlukan tubuh kalian untuk keberlangsungan rencana kami," ucapnya dengan nada dingin.

Dalam sekejap, dia melesat ke hadapan Serena, seperti bayangan yang menyatu dengan kegelapan malam.

Serena terkejut dengan kecepatan pria itu.

Dia melihat kilatan belati yang diarahkan tepat ke lehernya, dengan tiga bagian lancip yang berkilauan di bawah sinar bulan. Namun, sebelum pria itu bisa menyelesaikan serangannya, hembusan angin yang kuat tiba-tiba menghantamnya.

Tubuh pria itu langsung pecah menjadi bayangan gelap, menghilang seolah dia hanya ilusi, lalu muncul kembali di tempat yang sama seperti semula.

"Jangan kau sentuh dia!" Suara Violina menggema dari atas langit.

Dalam hitungan detik, beberapa cahaya kuning terang melesat ke arah Violina dari belakangnya, seperti kilatan petir yang ingin menghantamnya dari atas. Namun, Violina sudah siap. Dengan cepat, dia mengarahkan kedua telapak tangannya ke arah cahaya-cahaya itu. Angin kencang berputar di sekitar tangan Violina, membentuk perisai angin yang berputar cepat.

Cahaya-cahaya itu langsung berbelok ketika bertemu dengan perisai angin Violina, menghantam tanah dan menghancurkan beberapa bagian hutan dengan ledakan acak.

Pohon-pohon besar tumbang, dan tanah berguncang seolah hutan itu sedang diguncang oleh kekuatan dahsyat.

Violina mendarat di samping Serena, terlihat lelah namun tetap waspada. Kulit di kedua telapak tangannya memerah dan melepuh, seolah baru saja terkena bara api. Napasnya berat, tapi matanya tetap tajam.

"Awas, Serena. Mereka bukan Hunter manusia sembarangan," ujar Violina sambil berusaha mengatur pernapasannya yang terengah-engah.

Serena menoleh dengan ekspresi kebingungan. "Apa maksudnya, Violina?"

Sementara itu, cahaya bulan yang sebelumnya terhalang oleh dedaunan kini menerangi hutan, menciptakan bayangan samar di sekeliling mereka. Ranting-ranting pohon berguguran, tersapu oleh angin kuat yang dikeluarkan Violina sebelumnya.

Dari langit malam yang cemerlang, seorang wanita melayang turun dengan anggun, mendarat di samping pria bermasker. Wanita itu memegang busur berwarna ungu di tangan kanannya, pakaian putih dan mantel birunya berkibar pelan.

Violina mengeluarkan cakar di kedua tangannya, siap menghadapi ancaman yang datang. Dia memasang kuda-kuda, tangan kanannya terangkat, seolah siap menyerang kapan saja.

"Mereka bisa menggunakan sihir, Serena. Sama seperti kita," kata Violina, suaranya serius.

Serena terkejut, perasaan cemas semakin menghantuinya. "Mustahil. Bukankah bangsa manusia hanya bisa menggunakan sihir dari senjata sihir saja?"

Wanita pemanah itu menatap pria bermasker dengan wajah yang jelas menunjukkan ketidaksabaran. Matanya menyipit dan bibirnya mengerut, mencerminkan rasa kesal yang ditahannya.

"Kau terlalu lama mengambil anak-anak itu," katanya dengan nada tajam. "Kita seharusnya sudah menyelesaikan quest lain, tapi malah disuruh ke sini."

Pria bermasker itu hanya menghela napas panjang sambil meregangkan tubuhnya.

"Apa boleh buat. Anak-anak monster itu dilindungi dengan baik. Aku tidak bisa begitu saja mengambil mereka."

Wanita itu mendengus frustrasi. "Lalu, apa yang akan kita katakan pada Hunter Serikat Guild nanti? Kita tidak bisa kembali tanpa monster sebagai bahan untuk senjata sihir."

Sebelum pria bermasker itu sempat menjawab, teriakan nyaring tiba-tiba terdengar dari langit.

Serena dan Violina serempak menengadah, melihat lima sosok monster meluncur cepat dari langit. Mereka adalah rekan-rekan yang sebelumnya bertempur di depan bar melawan para Hunter Manusia.

"Maafkan kami, Nona. Kami terlambat," ujar salah satu dari mereka saat mendarat di dekat Serena dan Violina. "Kalian tidak terluka, kan?"

Serena menggeleng pelan, tetapi wajahnya masih menunjukkan ketegangan. "Kami baik-baik saja. Terima kasih."

Di dekat mereka, genangan air yang sebelumnya turut menyerang para Hunter Manusia mulai bergerak, naik dari tanah dan membentuk sosok pria paruh baya dengan jaket dan celana hitam—Pak Guru Snade. Dia berdiri dengan tenang.

"Menyerahlah," kata Pak Snade dengan nada dingin. "Kalian tidak akan bisa melawan kami."

Violina cepat menyahut, "Pak Guru, hati-hati. Mereka bisa menggunakan sihir seperti kita. Kekuatan mereka bukan hanya berasal dari senjata sihir."

Pria bermasker itu hanya tersenyum tipis, tetapi matanya mengancam. "Sungguh menyebalkan. Aku penasaran bagaimana kalian bisa mengetahui rencana kami. Tapi sudahlah, mari kita akhiri saja pertarungan sia-sia ini."

Dia menyarungkan belatinya, yang kemudian berubah menjadi partikel kecil dan tersedot ke dalam kubus kecil yang tergantung di sabuknya. Dengan satu gerakan, dia mengeluarkan sebuah batu kecil dan melemparkannya ke tanah. Batu itu mengeluarkan cahaya terang yang menyelimuti dirinya dan wanita pemanah.

"Hubungi saja resepsionis Serikat Guild. Tugas pengambilan barang ini gagal," ucapnya sebelum menghilang sepenuhnya

Wanita pembawa busur mengangguk, mengeluarkan ponsel dari sabuk kain di punggungnya, dan mengetikkan sesuatu.

"Selamat tinggal kalian. Semoga kita bertemu lagi," ucapnya sebelum ia pun menghilang.

Monster-monster yang baru saja berjuang keras melawan para Hunter manusia akhirnya bisa bernapas lega. Beberapa dari mereka duduk di tanah, mencoba memulihkan diri, sementara yang lain berteriak kegirangan meskipun tanpa alasan yang jelas.

Snade, masih dengan wujud manusianya, menatap para monster di sekitarnya. "Terima kasih atas kerja keras kalian. Kita telah berhasil menyelamatkan para monster ini. Setelah beristirahat sebentar, kita akan kembali ke kota Hiddenama."

Serena akhirnya melepaskan pelukan sayap dan tangannya dari tujuh anak monster yang masih gemetaran. Mereka tak lagi menangis, tapi ketakutan masih tampak di mata mereka.

Dengan ekspresi serius, Serena menatap Pak Snade. "Pak Snade, apakah Serikat Guild Monster memutuskan untuk melawan Hunter Manusia? Mereka tidak hanya menargetkan monster yang baru diteleportasi, tapi kita semua. Penyelamatan seperti ini sudah sering kita lakukan, tapi apa untungnya?"

Pak Snade mengangguk, memahami kekhawatiran Serena. "Serena, Serikat Guild Monster di kota ini masih mencari tahu apa sebenarnya yang mereka rencanakan. Kita akan bertindak setelah mengetahui apa tujuan mereka."

Serena mendengus, tidak puas dengan jawaban itu. Dia memalingkan wajahnya, merenung, mencoba memahami situasi yang semakin rumit.

Bahan Pangan (1)

Serena dan Violina bersandar di batang pohon besar yang rindang, pohon itu menjulang lebih tinggi dibandingkan dengan yang lainnya di sekitarnya. Dahan-dahannya yang kokoh melindungi mereka dari langit malam yang berawan.

Di salah satu cabang yang kuat, sebuah lentera tergantung, memancarkan cahaya hangat yang menyinari keduanya.

Di sekeliling mereka, rumput liar yang halus dan berwarna hijau pucat tumbuh lebat, mencapai setinggi orang dewasa.

Rumput itu begitu padat sehingga seseorang harus menerobosnya untuk masuk, namun anehnya, di sekitar pohon tempat mereka bersandar, rumput tersebut tidak tumbuh, seolah-olah memberi ruang khusus untuk merekA berdua.

Mereka duduk berdekatan, bahu mereka hampir bersentuhan saat keduanya meneliti lembaran koran yang tergeletak di tanah di depan mereka.

Mata Serena menyipit, penuh dengan kemarahan yang terpendam ketika dia membaca judul besar di halaman depan. Violina, di sisi lain, tampak terkejut, meskipun ada jejak kepasrahan dalam ekspresi wajahnya.

"Manusia semakin menggila," Violina bergumam dengan suara rendah, meski kata-katanya jelas terdengar di udara malam yang tenang. "Apa mereka benar-benar sebutuh itu dengan tubuh kita? Ini tidak seperti dulu. Sebelumnya, mereka tidak seobsesif ini."

Serena mengangguk, namun raut wajahnya menunjukkan ketidakpuasan yang mendalam.

Di bawah judul besar, sebuah gambar mengerikan memperlihatkan tumpukan tubuh bangsa monster, beberapa sudah tak berbentuk. Latar tempat dipenuhi darah, sementara para manusia dengan wajah tanpa ekspresi—berdiri di sana dengan senjata-senjata mereka.

"Dan Dewan Serikat Monster masih berdiam diri," gumam Serena, suaranya bergetar penuh amarah. "Berita seperti ini sudah menyebar ke mana-mana, tapi mereka belum mengambil tindakan apapun. Sampai kapan kita harus menunggu?"

Violina menoleh, mencoba mencari ketenangan dalam mata Serena, tetapi yang ia temukan hanyalah kobaran api amarah yang semakin menyala.

“Sabar saja, Serena. Selagi kita bisa bersama, bukankah itu sudah cukup baik?” Violina memberikan senyuman tipis, matanya tertutup dengan lembut seolah berusaha menenangkan suasana.

Serena menghela napas panjang. Wajahnya yang murung semakin terlihat jelas saat otot-otot di wajahnya menegang.

“Kau tidak lelah dengan semua ini, Violina? Bahkan untuk makan dan minum saja kita harus menyelesaikan quest dari permainan dewa. Barang-barang reward itulah satu-satunya yang bisa kita makan. Dan sekarang, kita juga diburu oleh manusia.”

Ekor naga Serena tiba-tiba menegang, bergetar hebat seiring dengan kata-katanya yang penuh emosi. Kegetiran dan kelelahan tampak jelas di raut wajahnya.

Violina, dengan hati-hati, merangkul Serena dari samping, mendekatkan kepala Serena ke pipinya. Rambut putih Serena menjuntai, menghalangi mata kiri Violina. Kedua telinga serigala Violina ikut menunduk, memahami dan merasakan kegelisahan yang meresapi Serena.

"Tidak apa, Serena. Aku yakin semua Serikat Monster yang ada di dunia manusia sekarang sedang mencari cara untuk keberlangsungan bangsa kita ke depannya. Jangan menyerah, kita harus tetap bertahan," bisik Violina, suaranya lembut namun penuh keyakinan.

Suara gemerisik rumput yang terinjak oleh seseorang membuyarkan momen kebersamaan mereka.

Serena dan Violina segera tersadar dari lamunan mereka. Mereka melepaskan pelukan, jantung mereka berdetak lebih cepat, menunggu dengan waspada akan kemunculan sosok dari balik rerimbunan rumput liar yang mengelilingi mereka.

Tak lama kemudian, seorang wanita muncul dari balik rerumputan.

Dia berambut hitam yang diikat bundar di belakang kepalanya, dengan rambut panjang yang mengalir di sisi kiri dan kanan wajahnya. Dia mengenakan kemeja putih panjang yang rapi dipadukan dengan rok hitam selutut, lengkap dengan kacamata bundar yang membuatnya terlihat tegas.

"Serena dan Violina," panggil wanita itu dengan nada datar, namun jelas terkesan mendesak. "Kalian harus segera mengambil persediaan makanan dari Serikat Guild Hiddenama. Persediaannya sudah hampir habis."

Violina segera berdiri untuk menyambut wanita itu. Ekor serigalanya berkibas pelan ke kiri dan ke kanan, menunjukkan campuran antara kegelisahan dan rasa hormat. Kedua tangannya terangkat sedikit, menimpali perasaan heran yang ia rasakan.

"Bibi Mei? Bukannya seminggu lalu sudah kami bawakan bahan makanannya? Kenapa sudah habis saja sekarang?" tanyanya, tak menyembunyikan rasa tidak percayanya.

Bibi Mei menghela napas panjang sambil memijat pelipis kanannya, seakan mencoba meredakan pusing yang tampaknya selalu menghinggapinya. Wajah kelelahan terpancar jelas dari setiap gerak-geriknya.

"Kalian, sebagai monster pengintai, seharusnya sudah tahu. Sekarang semakin banyak bangsa monster yang diteleportasi dari dunia sihir ke dunia manusia. Banyaknya orang yang ditampung di kota Hiddenama membuat persediaan makanan harus diperbanyak juga," jawabnya dengan nada yang berusaha tetap sabar meskipun rasa lelahnya nyata.

Violina menurunkan rasa terkejutnya. Tingkah lakunya kembali melemas, ekor serigalanya berhenti berkibas, dan ia menundukkan kepalanya, tatapannya jatuh ke tanah di bawah kakinya.

"Oh, iya... tapi kenapa sekarang banyak orang dari dunia sihir yang diteleportasi ke dunia manusia? Apa yang sebenarnya terjadi di sana?" tanya Violina, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran.

Serena yang sejak tadi diam, kini mengeluarkan wajah cemberutnya.

Dia memeluk kedua kakinya dan menyandarkan punggungnya di batang pohon, ekor naganya terjulur panjang, menunjukkan betapa dalam rasa frustrasinya.

"Gimana enggak susah," gumam Serena, suaranya terdengar penuh penyesalan. "Semua orang di kota Hiddenama hanya diam saja. Mereka tidak mau bertindak untuk mengubah kehidupan bangsa monster."

Bibi Mei berdiri mematung setelah mendengar keluhan Serena.

Sorot mata Bibi Mei berubah, menunjukkan kegelisahan yang semakin sulit disembunyikan, terutama saat matanya melirik ke arah koran yang terbuka di hadapan Serena dan Violina. Meskipun berusaha tegar, jelas terlihat bahwa kata-kata Serena telah menggoyahkan ketenangan hatinya.

"Sudahlah, Serena. Bersabarlah. Biarkan para Dewan Serikat Monster yang mengurus semua ini. Itu semua bukan di bawah kendalimu," ujar Bibi Mei dengan suara lembut, berusaha menenangkan Serena meski dirinya sendiri tampak ragu.

Namun tiba-tiba, suara wanita lain terdengar dari kejauhan, memanggil nama Bibi Mei berulang kali dengan nada cemas.

"Mei! Di mana kau?!" teriaknya.

Violina, dengan gerakannya yang lincah, langsung melompat ke atas pohon, mencari sumber suara tersebut. Rerumputan tinggi yang tumbuh liar menghalangi pandangannya, memaksanya untuk naik lebih tinggi lagi ke atas ranting.

"Bibi Mei, itu ada Bibi Ella yang sedang mencarimu," ujar Violina setelah melihat sosok seorang wanita berpakaian serupa dengan Bibi Mei di sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu yang tergantung di dindingnya.

Wanita yang dipanggil Bibi Ella segera memperhatikan Violina di atas pohon, lalu berteriak sambil meletakkan kedua telapak tangannya di mulut untuk memperkuat suaranya, "Violina, kau tahu di mana Bibi Mei?"

Bibi Mei dan Serena segera memalingkan pandangannya ke arah Violina yang sedang bertengger di atas pohon.

"Oh, itu Ella. Bilang saja padanya, Violina. Aku akan segera datang," ujar Bibi Mei dengan nada sedikit terburu-buru, tampak jelas bahwa dia memiliki banyak hal yang harus diurus.

Violina mengangguk cepat dan berteriak ke arah Bibi Ella, "Bentar, Bibi! Bibi Mei akan segera pergi!"

Bibi Mei berbalik badan, bersiap untuk pergi. Namun, sebelum dirinya benar-benar melangkah pergi, dia berhenti sejenak dan memalingkan wajahnya kembali ke arah Serena dan Violina.

"Serena, Violina, jangan lupa ya. Tolong ambil bahan makanannya. Kasihan anak-anak nanti tidak bisa sarapan," katanya dengan nada penuh harap, seolah beban tanggung jawab itu teramat berat baginya.

Setelah itu, Bibi Mei pergi, menerobos ilalang tinggi dan meninggalkan Serena dan Violina di bawah pohon besar yang rindang, di tengah malam yang semakin sepi.

Violina melompat turun dari pohon dengan lincah. Dia segera menepuk-nepuk bulu ekor serigalanya yang tertempel debu, juga membersihkan rok panjangnya dari kotoran yang melekat.

"Mari kita pergi, Serena. Kita selesaikan secepatnya saja. Kasihan anak-anak di penginapan monster kalau mereka nanti tidak bisa makan," kata Violina dengan lembut sambil mengulurkan tangan kanannya.

Serena, meskipun masih menunjukkan wajah cemberut, meraih tangan Violina dan berdiri. Dia membersihkan rok serta ekor naganya sebelum mengajak Violina melanjutkan perjalanan.

"Hei, Violina," ucap Serena, suaranya sedikit lebih lembut.

"Hmm?" gumam Violina, memberikan respons tanpa menoleh.

"Sepertinya bangsa monster harus ada yang membuat perubahan. Kita tidak bisa seperti ini terus selamanya," Serena mengutarakan pikirannya, nadanya serius.

Violina mengangguk pelan, "Iya, iya, Serena. Serah kau saja deh," jawabnya setengah bercanda, sebelum mengambil koran yang tadi mereka baca.

Dengan hati-hati, dia meletakkannya kembali ke dalam lemari yang terletak di batang pohon. Lemari itu menyimpan pakaian-pakaian milik Violina, bantal, guling, selimut, dan peralatan pribadi seperti sisir.

Mereka kemudian mulai berjalan, menerobos ilalang yang tinggi menuju lorong yang sebelumnya dilewati oleh Bibi Ella.

Lorong itu membawa mereka menuju asrama, tempat yang familiar bagi mereka berdua. Di ujung lorong, mereka melihat sebuah bangunan asrama yang cukup besar, penuh dengan aktivitas anak-anak monster yang berkeliaran.

Di asrama tersebut, mereka bertemu dengan wanita-wanita lain yang mengenakan pakaian yang sama seperti Bibi Mei dan Bibi Ella.

Asrama ini terbagi dalam beberapa ruangan yang fungsinya tertulis jelas di pintu masuk, meski tanpa pintu. Ada ruang makan, ruang dapur, perpustakaan, dan ruang kesehatan yang luas.

Anak-anak dari berbagai macam bangsa monster berlarian riang ke sana kemari. Sebagian menuju ruang makan, yang lain berkumpul di perpustakaan, sementara yang lain menuju ruang kesehatan.

Setelah melewati keramaian di dalam asrama, Serena dan Violina akhirnya tiba di halaman yang luas di bagian belakang.

Halaman itu terbagi menjadi tiga area besar: satu untuk bermain sepak bola, satu untuk kolam renang, dan satu lagi untuk bermain basket.

"Asrama Monster Bagian Barat," begitu tulisan besar di atas bangunan utama, menandakan tempat mereka.

Asrama ini berada di tengah-tengah, diapit oleh dua asrama lain yang terletak di kiri dan kanan.

Asrama di kanan dipenuhi oleh anak-anak monster laki-laki, sementara di kiri dihuni oleh anak-anak monster perempuan. Semuanya tampak bergerak menuju asrama pusat, mengikuti aroma makanan yang menguar dari dalam.

Serena menoleh ke arah Violina, suaranya tegas, "Violina, nanti pegang erat kakiku. Kita akan terbang."

Violina mengangguk, memahami arahan itu. Dia mundur beberapa langkah untuk memberi ruang pada Serena. "Siap, Serena."

Serena memejamkan matanya, menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.

Saat itu, sayap naganya yang besar dan berwarna biru mencuat dari punggungnya, membentang lebar di udara. Desain gaun Serena memang sengaja dibuat terbuka di bagian punggung, hanya dilapisi kain tipis untuk memastikan gaunnya tidak robek saat sayapnya keluar.

Anak-anak monster yang bermain di sekitar lapangan berhenti sejenak, mata mereka terbelalak menyaksikan keindahan sayap Serena.

Saat Serena mulai mengepakkan sayapnya, angin kencang bertiup, mengangkat debu dari tanah dan menghamburkannya ke udara. Anak-anak itu menutup mata mereka dengan tangan, melindungi diri dari debu yang beterbangan.

"Lompat, Violina!" teriak Serena dari udara, suaranya terdengar jelas meski angin berhembus kencang.

Violina tidak menunggu lama. Dengan lompatan yang cekatan, dia menggenggam erat kaki kanan Serena. Bersama-sama, mereka terbang tinggi ke angkasa, meninggalkan lapangan sepak bola yang kini kembali sunyi.

Setelah beberapa menit terbang di angkasa, Serena memperhatikan sekelilingnya.

Di langit kota, terlihat banyak monster dari berbagai bangsa, semuanya memiliki sayap yang memungkinkan mereka untuk terbang. Di kejauhan, Serena melihat tujuan mereka—Serikat Guild Hiddenama, sebuah bangunan berlantai dua yang mencolok di tengah kota.

Bangunan itu berdiri sendiri, tanpa ada bangunan lain di sekitarnya. Namun, tempat itu ramai, dikelilingi oleh para monster yang berkumpul untuk berbelanja di kios-kios kaki lima atau bersantai di meja-meja yang disediakan, menikmati makanan dan minuman mereka.

Serikat Guild Hiddenama dibangun dari kayu dengan beberapa bagian terbuat dari beton, desainnya berbeda dan menonjol dibandingkan bangunan-bangunan lainnya yang tersebar jauh di sekitarnya.

"Violina, kita hampir sampai. Sebelum aku mendarat, bisa nggak kamu langsung lompat ke bawah?" tanya Serena sambil melirik ke arah Violina yang masih menggenggam erat kakinya.

"Ya, gampang kok. Asal jangan dari ketinggian aja," jawab Violina sambil mendongakkan kepalanya, pakaian dan ekor serigalanya berkibar-kibar diterpa angin.

"Oke, aku akan turun sekarang."

Serena mulai terbang lebih rendah, menukik perlahan menuju sebuah halaman yang tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.

Halaman tersebut merupakan area pendaratan khusus bagi para monster bersayap yang terbang di kota.

Tempat ini disediakan agar debu yang terhembus oleh kepakan sayap para monster tidak mengganggu warga sekitar. Di sekeliling halaman, terdapat tiang-tiang rambu bergambar makhluk bersayap.

Beberapa monster lain juga terlihat mendarat, sebagian membawa barang bawaan, sementara yang lain datang dengan tangan kosong.

Serena dan Violina melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati jalanan yang dipadati oleh monster dari berbagai bangsa.

Setiap bangsa memiliki ciri khas yang berbeda, membuat jalanan kota penuh warna dan kehidupan.

Lampu-lampu kota berwarna kuning menerangi jalan, memberikan suasana hangat dan sekaligus memperindah Hiddenama. Di sepanjang jalan, papan penunjuk arah menunjukkan berbagai lokasi penting, termasuk Serikat Guild Hiddenama, rumah sakit kota, area pelatihan, dan lapangan pendaratan.

Dalam perjalanan menuju serikat, Serena dan Violina menyaksikan pemandangan yang mengganggu—banyak monster yang terluka, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit Hiddenama. Wajah mereka tampak lelah dan kesakitan, beberapa di antaranya terluka parah.

Serena mengernyit, suaranya penuh kekhawatiran, "Kenapa banyak sekali Hunter yang terluka? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Violina, yang ikut melihat pemandangan itu, menjawab dengan nada penuh kebingungan, "Mereka juga Hunter Monster, kan? Mungkin mereka diserang oleh Hunter manusia?"

Serena menatap ke arah bawah, merenung dalam pikirannya. "Aku juga nggak tahu, Violina. Jarang sekali kita melihat banyak Hunter Monster terluka parah seperti ini. Luka kita biasanya sembuh cepat, jadi biasanya kita tidak perlu dirawat di rumah sakit."

Mereka melanjutkan perjalanan menuju Serikat Guild Hiddenama, melewati kerumunan pedagang kaki lima yang ramai. Aroma rempah-rempah yang kuat menyebar ke seluruh area, menggoda setiap indra penciuman yang melewatinya.

Di depan mereka, bangunan Serikat Guild Hiddenama tampak lebih tenang dan tertata.

Meja-meja bundar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya dipenuhi oleh monster dari berbagai bangsa, bercakap-cakap dengan santai sambil menikmati makanan dan minuman. Beberapa pelayan pria dan wanita dari Serikat Guild terlihat sibuk keluar masuk, mengantarkan pesanan kepada para pelanggan.

Saat mereka melangkah masuk ke dalam Serikat Guild Hiddenama, suasananya berbeda dari luar. Meski masih ramai, ada perbedaan signifikan—di sini, cahaya lembut dari lampu-lampu gantung memantul di atap kayu berwarna cokelat, menggantikan sinar bintang dari luar.

Monster-monster di dalam juga membawa senjata seperti pedang dan tongkat sihir, yang diletakkan rapi di samping mereka saat mereka beristirahat.

"Nea, selamat malam!" Serena menyapa salah satu resepsionis wanita yang sedang bekerja di meja depan. Di sana, enam resepsionis wanita lainnya juga sibuk mencatat dan melayani para Hunter Monster yang datang.

Nea, yang baru saja selesai mencatat permintaan dari beberapa Hunter sebelumnya, langsung menoleh saat mendengar suara Serena.

"Serena, Violina! Apa kabar kalian? Ada yang bisa kubantu?" Nea menyambut mereka dengan senyum, meletakkan pena yang dipegangnya.

Sayap kelelawar kecil yang berada di pinggang Nea berkibar-kibar dengan semangat saat mengetahui Serena dan Violina mampir. Matanya berbinar, dan senyuman hangat merekah di bibirnya, menyambut kedatangan kedua sahabatnya.

Serena dan Violina mendekat ke meja resepsionis. Violina, tanpa ragu, berdiri tepat di hadapan Nea, matanya penuh harap.

"Nea, kami butuh persediaan bahan makanan," ujar Violina dengan nada serius. "Asrama monster akan kehabisan persediaan, dan kami tak bisa membiarkan itu terjadi."

Wajah Nea langsung berubah mendengar permintaan itu. Keceriaan yang tadi terpancar di wajahnya kini memudar, digantikan oleh raut cemas. Ia menundukkan kepalanya sedikit, dan sayap kelelawarnya yang tadi berkibar-kibar kini melemas.

"Maaf, Violina," jawab Nea pelan. "Persediaan bahan makanan di Serikat Guild juga menipis. Asrama monster bagian timur sering memintanya, jadi stok kami benar-benar kritis."

Serena, melihat situasi yang semakin sulit, maju ke depan dan menatap Nea dengan tajam. Wajahnya serius, hampir memaksa.

"Nea, jadi apa yang bisa kami lakukan sekarang? Kami tak mungkin pulang dengan tangan kosong. Anak-anak di Asrama Monster Bagian Barat tidak bisa sarapan jika kita tak membawa apapun. Menipis bukan berarti habis, kan? Pasti ada yang bisa kau berikan."

Nea menggeleng pelan, kesedihan terlukis jelas di wajahnya.

"Serena, jika aku memberikan bahan makanan yang tersisa untuk kalian, bagaimana dengan orang-orang yang sedang memesan makanan sekarang? Mereka juga bergantung pada stok ini. Jika aku berikan semuanya, mereka tak akan bisa membeli apa-apa nanti."

Tiba-tiba, tirai hijau yang menutupi pintu di belakang Nea tersibak, dan seorang wanita muncul dari baliknya.

Wanita itu mengenakan pakaian ungu dengan rambut hitam panjang yang terurai hingga ke dadanya. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah cerutu, menghisapnya dengan santai. Namun, yang paling mencolok adalah bagian bawah tubuhnya bukan kaki, melainkan tubuh ular berwarna merah muda yang panjang, melingkar di lantai.

"Nona Ra!" seru Nea, jelas terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba.

Wanita bernama Ra itu mengarahkan tatapannya pada Serena, lalu berbicara dengan nada tegas. "Serena, jika kamu tidak mau, silakan pergi saja. Jangan buat gaduh di Serikat Guild saat jam kerja."

Serena segera menundukkan kepalanya, berusaha menenangkan emosinya yang sempat memuncak.

Violina, yang tak ingin membiarkan situasi semakin buruk, segera menyela, "Maaf, Bibi Ra. Kami hanya tidak ingin pergi ke kota manusia sekarang. Saat malam, banyak Hunter Manusia berkeliaran. Kami malas harus menghadapi mereka."

Bibi Ra menghembuskan asap cerutunya, lalu dengan tenang menggunakan ekornya untuk membuka laci meja Nea. Dari dalam laci, ia mengambil dua lembar kertas coklat usang dan menyerahkannya pada Serena.

"Pilihan kalian hanya satu. Selesaikan quest ini, dan biarkan Nea mengatur agar reward-nya berupa bahan makanan," kata Ra, tegas.

Violina menyenggol pundak Serena, memberi isyarat untuk mengambil kertas quest tersebut. Serena tanpa ragu memasukkan kertas itu ke dalam saku roknya.

"Baiklah. Maaf, Bibi Ra. Kami permisi dulu," ujar Serena, lalu berjalan keluar dari Serikat Guild.

Saat mereka hendak pergi, Nea berteriak, "Kalian tidak membawa batu portal perpindahan? Buat jaga-jaga jika kalian diserang nanti!"

Violina menoleh, sambil mengibaskan tangan. "Tidak perlu, Nea. Kami bisa mengatasinya."

Serena menambahkan dengan senyum tipis, "Dadah, Nea," sambil melambaikan tangannya.

Kedua sahabat itu kemudian menghilang dari pandangan, meninggalkan Bibi Ra dan Nea di dalam Guild. Nea menggaruk kepalanya, ekspresi cemas terlihat jelas di wajahnya.

"Apa mereka akan baik-baik saja? Baru-baru ini banyak Hunter Monster terluka parah setelah melawan Hunter Manusia," gumam Nea, penuh kekhawatiran.

Bibi Ra hanya mengangkat bahu sambil memasukkan cerutu ke mulutnya lagi. "Biarkan saja. Mereka berdua juga Hunter Pengintai. Mereka pasti sudah paham risikonya. Jika mereka mati, kita bisa beli tubuh mereka di pasar ajaib Alantropora."

Nea masih menatap pintu tempat Serena dan Violina baru saja menghilang, hatinya dipenuhi kekhawatiran.

Suasana di dalam bar Serikat Guild terasa berbeda dari biasanya. Biasanya ramai dengan Hunter Monster yang sibuk mengambil quest, tapi kali ini lebih banyak yang datang hanya untuk menikmati makanan dan minuman.

"Hey, Nea. Kenapa melamun?" Suara wanita yang sedikit tinggi tiba-tiba memecah lamunannya.

Nea tersentak kaget, kedua sayap kelelawarnya bereaksi dengan cara yang sama, mengepak kecil saat dia tersentak.

"Astaga, Asra! Kenapa kau di sini? Bukannya di rumah sakit masih banyak yang terluka sekarang?" tanya Nea, nada suaranya menunjukkan kekesalan.

Asra, yang mengenakan kaos coklat dengan kalung berbulu serta rok abu-abu yang menutupi tubuh bawahnya yang seperti rusa, tersenyum tipis.

"Aku datang ke sini untuk meminta potion. Aku tahu tugasku, kok. Sebagai monster penyembuh."

Asra mengetuk-ngetuk meja resepsionis dengan jarinya, menunggu.

Nea menghela napas panjang, sebelum berteriak kepada beberapa pelayan laki-laki yang sedang mengantarkan pesanan, "Cepat bawa sekotak potion!"

Pelayan yang baru saja menyelesaikan tugasnya, segera mengangguk dan bergegas menuju ruang penyimpanan di dalam Serikat Guild. Nea kembali menatap Asra, rasa khawatir di matanya belum sepenuhnya hilang.

"Nea," Asra berbicara dengan nada yang lebih lembut kali ini, "Serena dan Violina pasti tahu apa yang mereka lakukan. Jangan terlalu khawatir."

Nea membelalakkan matanya, ekspresi bingung yang sedikit lucu tergambar jelas di wajahnya. "Bagaimana kau tahu? Jika aku mengkhawatirkan mereka?"

Asra tersenyum samar. "Aku melihat mereka tadi sedang menuju portal perpindahan," jawabnya dengan tenang.

Nea menggigit bibirnya, matanya beralih sejenak ke luar jendela. Di luar, pemandangan yang tidak biasa menghiasi jalanan. Banyak Hunter Monster yang terluka parah, dibawa dengan tandu menuju rumah sakit.

"Apa mereka bakalan baik-baik saja ya? Aku tidak yakin."

Asra mendekati Nea, menepuk pundaknya dengan lembut.

"Tenang aja," kata Asra dengan suara yang meyakinkan. "Jika mereka selama sehari tidak kembali, regu pengintai pasti akan mencarinya. Apalagi Serena yang sangat dibutuhkan di regu pengintai Hunter Monster. Mereka tidak akan membiarkannya begitu saja."

Nea menatap Asra, mencoba menenangkan diri meski pikirannya masih dipenuhi kecemasan. "Aku harap kau benar, Asra," gumamnya pelan.

Bahan Pangan (2)

Serena dan Violina berjalan perlahan menuju Tempat Teleportasi yang terletak tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.

Jalanan kota dipenuhi kereta kayu bermuatan barang yang beroda empat, ditarik oleh para bangsa monster bertubuh besar dengan kekuatan luar biasa. Derap langkah mereka mengguncang tanah, menambah hiruk-pikuk di kota Hiddenama, di mana orang-orang sibuk menjelajahi setiap sudut toko yang ramai.

"Sudah dua belas tahun, ya," Violina tiba-tiba berbicara, memecah kebisuan yang menggantung di antara mereka. "Kita terus bersembunyi dari Hunter Manusia."

Serena menghela napas panjang, suaranya mengandung nada frustrasi yang sulit disembunyikan.

"Dua belas tahun kita hidup begini-begini saja. Terus diburu. Bahkan untuk makan pun kita harus menyelesaikan quest permainan dewa dulu. Capek rasanya."

Violina mengerutkan kening, kedua telinga serigalanya tegak, seolah menangkap setiap kata dengan penuh perhatian.

"Aku juga bingung, Serena. Apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan ini? Kita bahkan tidak bisa menikmati makanan biasa—rasanya kayak pasir. Padahal, makanan di kota Manusia kelihatannya enak banget, dari bau dan bentuknya."

Violina menelan ludah, matanya berputar ke atas, seakan-akan membayangkan semua hidangan lezat yang tak bisa ia cicipi.

Beberapa saat setelah mereka terus melangkah, Serena dan Violina tiba di sebuah tempat yang tampak berbeda dari hiruk-pikuk kota Hiddenama.

Sebuah pohon raksasa berdiri menjulang, akarnya menyebar ke segala arah, menutupi sebagian besar jalan. Namun, bagian bawah pohon itu memiliki lubang yang cukup besar, menjadi jalan masuk menuju lokasi Tempat Teleportasi yang tersembunyi di bawahnya.

Tulisan "Tempat Teleportasi Sihir" terpahat jelas berwarna coklat di batang pohon, menandakan area yang sibuk dengan aktivitas teleportasi.

Di sekitar area itu, keramaian kota mulai memudar. Tidak ada lagi deretan toko atau orang-orang yang sibuk berbelanja. Sebaliknya, hanya ada halaman luas yang dikhususkan untuk bangsa-bangsa monster yang bisa terbang, tempat mereka bisa mendarat dengan bebas.

"Eh, Violina. Ada yang aneh," kata Serena sambil mengamati sekeliling. "Kenapa cuma pedagang yang lewat sini?"

Violina mengernyit, ikut mengamati lalu-lalang di sekitar mereka. "Kau benar. Di mana semua Hunter Monster? Kenapa mereka enggak pakai Tempat Teleportasi ini untuk pergi ke kota manusia?"

Serena menggeleng pelan, bingung. "Biasanya mereka selalu ada di sini, kan?"

Di hadapan mereka, hanya terlihat para monster pengangkut barang yang sibuk dengan tugas mereka.

Orc dengan tubuh besar dan otot-otot kuat, serta Centaurus dengan tubuh setengah manusia setengah kuda, bergerak cepat membawa muatan.

Di langit, monster bangsa Harpy melayang-layang, sayap mereka mengepak lembut sementara cakar mereka mencengkeram barang-barang yang dibawa dengan keahlian luar biasa.

Violina menoleh ke Serena, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Hanya ada satu cara. Kita cek saja langsung ke Tempat Teleportasinya. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan dari penjaga portal."

Serena mengangguk, tapi kegelisahan tampak jelas di wajahnya. "Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi," gumamnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, mencoba menenangkan diri.

Mereka segera berlari kecil menuju lorong yang tersembunyi di bawah pohon raksasa itu.

Lorongnya cukup lebar, memungkinkan banyak monster berlalu-lalang sambil membawa barang-barang besar. Dinding lorong ini terbuat dari akar-akar pohon yang menjalar kuat, seolah-olah pohon itu sendiri adalah penjaga gerbang yang mengawasi siapa pun yang masuk. Meski berada di bawah tanah, lorong itu tidak terasa suram berkat deretan lampu kecil yang dipasang di antara akar-akar, memancarkan cahaya lembut yang menerangi jalan mereka.

Setelah melewati lorong, mereka tiba di sebuah area yang berbeda lagi.

Di sini, toko-toko kecil berjejer, menjual berbagai barang kebutuhan para monster yang akan melakukan perjalanan melalui Tempat Teleportasi. Tidak ada kemewahan seperti yang terlihat di dekat Serikat Guild Hiddenama.

Toko-toko ini dibangun sederhana, hanya menggunakan kayu pohon yang tebal. Rangka-rangka kasar terlihat jelas di setiap bangunan, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih fungsional daripada dekoratif.

Peralatan seperti tas, senter, peralatan kemah, dan beberapa botol potion terpajang di etalase toko-toko tersebut. Namun, ada juga beberapa toko yang malah menjual sarapan.

Beberapa orang setengah monster duduk di depan toko-toko itu, menikmati makanan di piring mereka. Bau sangit asap tercium saat Serena dan Violina melewati depan toko itu, menambah nuansa kehidupan di sekitar mereka.

"Kita sampai," ujar Serena, matanya menyapu area sekitar. "Ternyata enggak sesepi yang dikira. Masih banyak Hunter Monster di sini, tapi anehnya, mereka cuma duduk-duduk di toko-toko, bukan pergi ke Portal Teleportasi."

Violina mengikuti pandangan Serena, memperhatikan deretan toko-toko kecil yang dipenuhi para Hunter Monster.

Asap tipis dari daging yang sedang dipanggang tercium di udara, aroma gurihnya menyebar di halaman yang cukup renggang. Namun, keanehan mulai terasa—hanya para monster pengangkut barang yang terlihat menggunakan portal teleportasi. Tidak ada kerumunan Hunter Monster yang biasanya mengantri untuk bepergian.

"Entahlah," gumam Violina, alisnya berkerut. "Kita tanya saja ke penjaga portal. Mungkin mereka bisa memberi tahu kita apa yang sebenarnya terjadi di sini."

Serena mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka melanjutkan langkah, mengikuti rombongan para monster yang sedang menarik kereta barang dengan kekuatan mereka sendiri.

Di hadapan mereka, terlihat enam portal teleportasi berbentuk altar, dibangun dari batu-bata putih. Namun, hanya tiga dari enam altar itu yang sedang digunakan.

Antrian monster dengan barang-barang mereka tampak pada tiga altar, sementara tiga lainnya tampak kosong dan tidak terpakai.

Masing-masing altar dijaga oleh seorang penyihir berjubah hitam, yang berdiri tegak sambil memegang tongkat.

Begitu para monster mencapai tengah altar, penyihir itu mulai merapalkan mantra, dan dalam sekejap, cahaya biru memancar dari lantai altar. Monster yang berada di atasnya segera menghilang, seolah diserap oleh cahaya tersebut.

Serena dan Violina berhenti di salah satu altar yang sepi pengguna. Di tengah altar itu, terdapat pos kayu sederhana di mana tiga penyihir berjubah hitam duduk sambil bermain catur. Mereka mengenali ketiga penyihir itu dengan baik.

"Permisi, Kakek. Kami ingin pergi ke kota manusia. Tolong antarkan kami ke lokasi di peta ini," kata Serena sambil mengeluarkan dua gulungan kertas dari saku gaunnya. Gulungan itu masih tertutup rapat, belum dibuka.

Mendengar suara Serena, ketiga penyihir langsung menghentikan permainan mereka. Mereka menoleh bersamaan, memperhatikan dua gadis yang datang mendekat.

"Serena dan Violina, ya? Apa quest yang kalian kerjakan kali ini?" tanya salah satu penyihir dengan suara serak.

Wajahnya penuh keriput, dan kulit di bibir serta hidungnya sudah tidak ada, memperlihatkan tulang di bawahnya, membuatnya tampak seperti mayat hidup. Dialah Kakek Grim.

Serena mengangguk hormat sambil menyerahkan salah satu gulungan kertas yang berwarna kuning usang. "Ini, Kakek Grim," jawabnya singkat, namun sopan.

Violina melambaikan tangan ke dua penyihir lainnya, Kakek Grov dan Kakek Drar, yang masih duduk di tempat mereka, tak jauh dari Kakek Grim. "Apa kabar, Kakek Grov, Kakek Drar?"

Kakek Grov tampak seperti manusia pada umumnya, kecuali matanya yang hitam pekat dan selalu mengeluarkan asap samar.

Di sisi lain, Kakek Drar memiliki taring besar yang menyembul di sekitar wajahnya, mirip dengan gigi serigala. Dua penyihir itu tersenyum kecil melihat kehadiran Violina.

"Hai juga, Violina," jawab mereka hampir serempak, suaranya terdengar dalam dan tenang.

Kakek Grim yang tadinya hanya berdiri di sisi papan catur, mengamati permainan kedua temannya, akhirnya bergerak.

Dia melangkah mendekat ke arah Serena dan Violina, meninggalkan permainan catur dan dua temannya yang masih asyik di pos tersebut.

Kakek Grim dengan hati-hati mengambil kertas dari tangan Serena.

Matanya yang redup namun tajam menelusuri peta tersebut, memperhatikan detail denah yang menggambarkan tujuan Serena dan Violina.

Di sana, terlihat tiga bangunan yang berjejer di sepanjang jalan raya, dengan hutan luas yang membentang di sisi lain. Tanda "X" besar mencolok di bagian belakang halaman, tersembunyi di antara bangunan-bangunan itu.

"Tanda X ini berada di perbatasan kota Alantropora dengan kota Grassiace," kata Kakek Grim, suaranya bergetar sedikit, menggambarkan kekhawatirannya. "Kalian yakin ingin pergi ke sana hanya berdua saja?"

Tatapan Kakek Grim melekat pada Serena dan Violina, mencerminkan kecemasan yang mendalam. Meski wajahnya hampir seperti mayat hidup, otot-otot kecil di sekitar matanya yang masih tersisa cukup untuk menunjukkan kegelisahannya.

Violina yang berdiri di sebelah Serena segera menanggapi, suaranya penuh pertanyaan, "Perbatasan kota Alantropora, ya? Bukankah tempat kita menyelamatkan anak-anak monster yang baru saja diteleportasi ke dunia manusia juga ada di perbatasan kota itu, Serena?"

Serena terdiam sesaat, pikirannya terlempar kembali pada misi penyelamatan mereka sebelumnya.

Dia mengingat saat-saat tegang ketika dia dan Violina, dibantu gurunya dan lima monster lainnya, bertarung mati-matian untuk menyelamatkan anak-anak dari tangan para pemburu. Kejadian itu meninggalkan bekas dalam dirinya, baik secara fisik maupun emosional.

Suasana berubah sedikit tegang ketika Kakek Grov, yang dari tadi fokus bermain catur dengan Kakek Drar, menyahut dengan suara datar, "Kalian harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak Hunter Monster yang terluka parah saat menyelesaikan quest baru-baru ini. Mereka masuk rumah sakit, bahkan ada yang tidak kembali."

"Benar," timpal Kakek Grim dengan anggukan pelan. "Kalian adalah bangsa monster unik, Nak. Jangan biarkan diri kalian ditangkap. Kalau tubuh kalian dijadikan bahan untuk membuat senjata sihir bagi manusia, kekuatan senjata itu pasti mengerikan."

Serena dan Violina saling berpandangan, diam sejenak, merenungkan perkataan Kakek Grim. Rasa khawatir yang melingkupi mereka mulai terasa, tapi tekad mereka tetap kokoh.

"Tidak apa, Kakek Grim. Kalau bertemu Hunter Manusia, kami pasti kabur cepat-cepat setelah menyelesaikan quest," ujar Violina, suaranya terdengar yakin meski senyuman di wajahnya menunjukkan sedikit keisengan yang biasa.

Serena mengangguk sambil menambahkan, "Iya, Kek. Ini tugas dari Bibi Mei. Dia menyuruh kami ambil bahan makanan karena stoknya habis, jadi kami harus menyelesaikan quest. Jangan khawatir."

Kakek Grim, dengan wajah yang tampak semakin tua dan rapuh, mengangguk pelan. Jari-jarinya yang kurus mengelus dagunya yang hampir tinggal tulang, seolah merenung sejenak sebelum berbicara, "Oh, bahan makanan untuk penginapan monster rupanya. Baru kemarin banyak Hunter Monster pengintai membawa bangsa monster baru yang berhasil diselamatkan dari Hunter Manusia. Mungkin itu alasan Mei menyuruh kalian."

Di sisi lain, Kakek Drar yang baru saja mengalahkan Kakek Grov dalam permainan catur menyeringai puas. Kakek Grov hanya bisa mendesah kecewa sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada Drar.

"Jangan lupa bawa batu portal injakan, kalian bisa langsung teleportasi ke Portal Timur tanpa perlu repot-repot mencari altar teleportasi di dunia manusia," tambah Kakek Drar, senyumnya lebar, menandakan kepuasan atas kemenangannya.

Namun, Serena menggeleng, menolak tawaran itu. "Enggak usah, Kek. Buang-buang waktu untuk beli. Kami lebih baik berangkat sekarang biar enggak kemalaman. Kalau terlalu malam, biasanya ada polisi patroli di jalanan."

Kakek Grim melirik jam besar yang tergantung di tiang penanda waktu. Jarum pendek sudah mendekati angka sebelas, dan jarum panjang bergerak perlahan menuju puncak.

"Baiklah," ujar Kakek Grim, menyerah pada keputusan mereka. "Kakek akan buka gerbang teleportasinya dulu."

Kakek Grim melemparkan gulungan peta kembali ke arah Serena, yang menangkapnya dengan cekatan.

Beliau tidak mengucapkan sepatah kata lagi, hanya berbalik menuju altar dengan langkah pasti. Meskipun tubuhnya terlihat tua dan rapuh, aura wibawa tetap terpancar darinya.

"Sihir teleportasi," ucap Kakek Grim dengan tenang.

Sebuah tongkat kayu dengan bentuk ular yang melilit beberapa tengkorak muncul dari kehampaan, melayang pelan hingga Kakek Grim mengulurkan tangan kanannya dan menggenggamnya erat.

Tanpa menunda, dia menghentakkan tongkat itu ke lantai altar. Seketika, lingkaran di lantai altar menyala dengan cahaya biru yang menyilaukan, sementara simbol-simbol mantra muncul, berputar dengan anggun di atas lantai.

Serena dan Violina saling bertukar pandang sebelum melangkah maju menuju lingkaran sihir di altar. Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah suara memanggil nama mereka dengan nada tegas dari belakang.

"Serena dan Violina. Kalian mau pergi ke mana menggunakan sihir perpindahan?"

Suara itu milik seorang wanita tua. Ketika mereka menoleh ke belakang, mereka melihat seorang wanita berdiri tidak jauh dari mereka, dengan tatapan yang tajam dan serius.

Seorang wanita tua berdiri di belakang mereka, tatapan matanya tajam dan serius.

Gaun panjang berwarna hitam dan abu-abu yang dikenakannya memberi kesan anggun meskipun motif-motif pada kain itu terasa dingin dan misterius. Rambutnya yang putih tergerai lembut di bahunya, sedangkan kulit wajahnya terlihat kasar, tanpa kerutan, seolah waktu tidak mampu mengukir jejak pada dirinya.

Kakek Grov, yang sedang asyik bermain poker bersama Kakek Drar, mendadak terkejut, suaranya terdengar kagum dan tak percaya. "Ida? Sejak kapan kau di sini?"

Kakek Drar menoleh dengan tatapan bingung yang serupa. "Kami bahkan tidak menyadari kau datang. Kapan kau tiba?"

Nenek Ida, wanita tua yang baru muncul itu, hanya mendengus ketus. "Kalian berdua sibuk bermain, jadi tidak sadar," jawabnya, nada suaranya seperti teguran yang halus namun penuh sindiran.

Kakek Drar dan Kakek Grov saling berpandangan, seolah merasa bersalah karena terlalu tenggelam dalam permainan mereka. Namun, Nenek Ida tak lagi memedulikan mereka, tatapannya kembali fokus pada Serena dan Violina.

Dia menunggu jawaban yang keluar dari mulut kedua gadis itu, jelas tak ingin ada rahasia yang terlewatkan.

Serena menelan ludah, berusaha tetap tenang di bawah tatapan tajam Nenek Ida, seakan setiap kata yang keluar harus dipilih dengan hati-hati.

“Kami… kami mendapat tugas untuk mengambil bahan makanan, Nek. Itu permintaan dari Bibi Mei untuk Asrama Monster Barat,” kata Serena dengan nada ragu, suaranya hampir berbisik.

Violina, yang berdiri di sampingnya, menambahkan dengan semangat, mencoba meyakinkan Nenek Ida. “Iya, Nek. Kami akan pergi ke perbatasan kota Alantropora dan Grassiace untuk menyelesaikan quest itu.”

Nenek Ida mengerutkan kening, jelas belum puas dengan jawaban mereka. “Kenapa kalian tidak pergi ke Serikat Guild Hiddenama? Bukankah mereka menyediakan bahan makanan juga?”

“Habis, Nek. Kami disuruh Bibi Ra sendiri untuk menyelesaikan quest ini,” jawab Violina cepat, nada suaranya sedikit mendesak. Dia berharap jawaban itu cukup untuk meredakan kekhawatiran Nenek Ida.

Ekspresi Nenek Ida sedikit melunak, meski matanya masih memancarkan kewaspadaan.

“Pergi ke perbatasan kota, ya? Tempat itu penuh bahaya, terutama di jam malam begini. Banyak Hunter Manusia berkeliaran. Serena, Violina, kalian memiliki kemampuan yang diincar oleh para Hunter. Jangan ceroboh.”

Serena berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya. “Kami tahu, Nek. Kami akan hati-hati. Setelah quest ini selesai, kami langsung pergi.”

Violina mengangguk, menambahkan dengan nada riang. “Iya, Nek. Kami akan langsung kembali menggunakan peta lokasi perpindahan setelah menyelesaikan quest.”

Namun, kata-kata Violina sepertinya justru membuat Nenek Ida semakin khawatir. Ekspresi di wajahnya berubah, kedua matanya mengerut tajam.

“Kalian hanya membawa peta lokasi perpindahan saja?” Suaranya kini terdengar lebih tegas, bahkan sedikit marah. “Kalian tahu, para Hunter Monster sekarang jarang menggunakan portal perpindahan karena mereka kerap diserang oleh Hunter Manusia saat dalam perjalanan. Itu sebabnya portal sekarang sepi.”

Kakek Drar dan Kakek Grov yang tadinya asyik bermain kartu tampak terkejut mendengar hal itu. Mereka berhenti sejenak, menatap Nenek Ida dengan mulut ternganga, seolah tidak percaya.

“Jadi itu penyebab banyak Hunter Monster yang kembali dengan luka-luka?” tanya Kakek Drar, heran terlihat di wajahnya. “Karena mereka ketahuan menggunakan teleportasi?”

Kakek Grov mengangguk pelan, menambahkan, “Aku tidak tahu kalau situasinya sudah seburuk itu…”

Serena dan Violina saling menatap, kekhawatiran jelas tergambar di wajah mereka.

Perbatasan kota, tempat yang awalnya mereka pikir hanya akan menjadi tantangan sederhana, kini terasa jauh lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan. Mereka mulai menyadari risiko yang akan dihadapi.

"Serena, Violina," suara Nenek Ida kembali terdengar tegas. "Kalian beli dulu batu portal injaknya sebelum pergi. Hunter yang sudah memakai batu portal injak saja masih bisa kembali terluka parah."

Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan suasana yang semakin berat. Kakek Grim yang berdiri di atas altar sudah tampak lelah menunggu, tatapannya lesu, dan wajahnya penuh kesabaran yang mulai menipis.

“Kalian jadi pergi atau tidak? Membuka portal ini menguras energi sihirku,” ujarnya dengan nada malas, sembari mengetukkan tongkatnya sekali lagi ke lantai altar.

Serena dan Violina mengangguk cepat, lalu bergegas keluar dari ruang altar menuju sebuah toko kecil di pinggiran area teleportasi.

Toko itu terlihat sederhana, dengan barang-barang umum seperti lampu senter, elixir, dan perlengkapan dasar lainnya tertata di rak-rak kayu yang sudah usang.

Penjaga toko, seorang pria tua dengan wajah keriput dan sorot mata sayu, berdiri di belakang meja kasir.

"Kek, ada batu portal injak?" tanya Serena dengan harapan yang jelas terdengar dalam suaranya.

Pria tua itu menggelengkan kepala dengan perlahan, seolah-olah jawaban itu sudah sering ia sampaikan kepada para pelanggan lain sebelumnya. Wajahnya tampak murung, mencerminkan keterbatasan persediaan yang ada di tokonya.

"Maaf, Nak. Batu portal injak tidak tersedia di sini. Semua penjualan batu portal itu kini dipusatkan di tempat teleportasi timur, karena banyak Hunter Monster yang pergi ke dunia manusia melalui sana."

Serena dan Violina saling berpandangan, wajah mereka jelas menunjukkan kekecewaan. Dengan langkah gontai, mereka kembali menuju altar, di mana Nenek Ida masih menunggu. Tatapan nenek itu langsung tertuju pada mereka, seakan bisa membaca hasil dari usaha mereka.

“Tidak ada, Nek,” ucap Serena lesu. “Di sini tidak ada yang menjual batu portal injak. Semua dijual di tempat teleportasi timur.”

Nenek Ida mendengus pelan, tapi tidak tampak terkejut. "Beli saja di tempat teleportasi timur. Quest kalian jatuh temponya masih lama, kan? Lebih baik kalian aman daripada terburu-buru dan celaka di perjalanan.”

Kakek Grov mengamati jam dinding yang tergantung di sudut ruangan, jarumnya sudah mendekati pukul setengah dua belas malam.

Suasana di sekitar warung dan toko kecil semakin ramai. Malam yang semakin larut dengan angin dingin yang berhembus tidak membuyarkan orang - orang yang ada di warung.

“Seharusnya kalian cepat. Ini sudah malam. Lihat jamnya. Sebelum polisi mulai patroli nanti,” ujar Kakek Grov dengan nada memperingatkan.

Serena dan Violina saling berpandangan, tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu tersisa.

Kakek Drar, yang dari tadi duduk santai sambil mengamati percakapan, ikut menimpali, “Pergi saja langsung. Jangan pedulikan apa kata Ida. Kalian pasti baik-baik saja.”

Serena merasa ragu sejenak, tetapi melihat Violina yang juga menatapnya dengan ekspresi penuh semangat, akhirnya ia mengangguk.

Mereka langsung berlari menuju altar teleportasi, tangan mereka saling menggenggam erat.

"Maaf, Nenek Ida! Kami harus buru-buru!" teriak Violina di antara napas terengah-engahnya, saat Serena menariknya melewati Nenek Ida yang berdiri dengan pandangan tajam.

Mereka menghilang dalam sekejap, menghilang dalam kilauan cahaya teleportasi.

Nenek Ida hanya mendengus, sorot matanya penuh kekesalan. "Batu portal injak itu penting, tapi dasar keras kepala. Aku tahu mereka tak akan mendengarkanku," gumamnya dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.

Kakek Drar tertawa pelan sambil mengocok kartu di tangannya. "Aku tahu, Ida. Pada akhirnya, kau selalu membiarkan mereka pergi juga."

Ida melipat tangan di dada, wajahnya mengeras. "Untung saja para Hunter Pengintai sedang ditugaskan di kota manusia, jadi kalau mereka nanti hilang, masih gampang ditemukan. Kalau tidak, aku pasti sudah menghajar mereka sebelum pergi!"

Kakek Grim yang sejak tadi menunggu di altar, kini turun dari tangga dengan raut wajah kesal.

“Kalo boleh jujur, Ida, kau seharusnya membiarkan mereka pergi tanpa drama tadi. Kau tahu, sihir teleportasiku bukan cuma-cuma. Energi sihirku terbuang percuma,” keluhnya sambil menyentakkan tongkatnya ke tanah untuk menutup portal yang sudah terbuka.

Nenek Ida berpaling, matanya menyapu suasana sekitar tempat teleportasi barat yang tampak lengang. Warung-warung ramai oleh orang-orang yang sedang nongkrong, namun tak ada satu pun Hunter Monster yang terlihat.

Keheningan ini justru menambah kegelisahannya. Ia termenung sesaat, merenungi apa yang baru saja terjadi.

"Kalian bertiga," ucap Nenek Ida, suaranya dalam dan tegas saat ia menatap kakek Grim, kakek Grov, dan kakek Drar. "Jangan biarkan lagi ada Hunter Monster yang menggunakan altar perpindahan. Sebelum kita tahu penyebabnya, kenapa banyak Hunter Monster yang terluka atau bahkan diserang saat mereka melintasi dunia manusia dengan Altar Teleportasi, bukan gerbang teleportasi."

Kakek Drar, yang sedang membagikan kartu remi kepada kakek Grov, berhenti sejenak. Ia mengangkat alis, memperhatikan Nenek Ida yang tiba-tiba serius. Seperti biasanya, suasana santai tiba-tiba berganti penuh perhatian.

"Ida," kata kakek Grov, matanya yang hitam mengeluarkan asap perlahan, menatap Nenek Ida tajam. "Apa kau yakin? Penyebab, banyaknya Hunter Monster yang kembali terluka, karena menggunakan Altar Teleportasi untuk pergi ke dunia manusia?"

Nenek Ida mengangguk mantap, suaranya terdengar penuh keyakinan.

"Benar. Sudah ada datanya," jawabnya dengan mantap. "Setiap Hunter Monster yang terluka selalu tercatat di rumah sakit dan juga oleh penjaga gerbang teleportasi timur. Sepertinya ada yang salah dengan Altar Teleportasi ini. Aku perlu pergi ke Serikat Guild Hiddenama untuk merencanakan langkah berikutnya."

Seketika, tubuh Nenek Ida berubah menjadi burung elang hitam dengan mata merah menyala. Dalam sekejap, dia melesat ke langit, tubuhnya meluncur cepat menuju tujuan yang Telah ditetapkan.

Kakek Grov menatap langit yang tiba-tiba kosong, lalu mengeluh, "Padahal aku baru saja ingin mengajaknya bermain poker."

Kakek Drar tertawa pelan, matanya yang tajam melirik Kakek Grov.

"Perempuan mana yang suka bermain seperti ini?" ujarnya dengan nada menggoda, sambil memulai putaran baru permainan kartu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!