Alasan Kita (1)

Violina mendesah panjang, kesabarannya tampak hampir habis. Matanya yang tajam mengarah lurus ke Mael dan Garr.

Ekspresi wajahnya dingin dan tanpa ampun. Ia melipat tangan di dada, sesaat menatap mereka berdua, sebelum akhirnya memalingkan pandangan ke Serena, yang masih berdiri dengan sikap tenang.

"Serena," suara Violina terdengar berat, hampir seperti teguran. "Apa yang kau pikirkan? Mereka ini hampir membunuh kita. Apa yang harus kita lakukan kepada mereka?" Nada bicaranya menggantung di udara, seolah menunggu Serena membuat keputusan yang lebih tegas.

Serena tetap diam, matanya terfokus pada Mael yang setengah berlutut di samping Garr, yang membungkuk tak berdaya di aspal dengan wajah babak-belur.

Cahaya lampu perbatasan jalan menerangi wajah mereka, menampilkan jelas sosok dua orang yang terpojok dan tak lagi punya harga diri.

Sekilas, Serena mengalihkan pandangan ke Violina, lalu menghela napas panjang.

"Aku sudah bilangkan. Aku tidak akan membunuh mereka, selama jawaban mereka memuaskan."

Serena kemudian melangkah mendekati Mael. Saat sampai di hadapannya, ia mengulurkan tangan kanannya, telapak tangannya terbuka.

"Peta kami. Mana?"

Tanpa banyak tingkah lagi, Mael langsung merogoh saku celananya dengan panik.

Dari dalamnya, ia mengeluarkan selembar peta kusut berwarna kuning yang tampak lusuh akibat dilipat berkali-kali. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkannya pada Serena tanpa sedikit pun mencoba melawan.

Serena mengambil peta itu dengan tenang, melipatnya kembali dengan rapi sebelum menyimpannya ke dalam saku rok gaunnya.

Di belakangnya, Violina mendengus keras, wajahnya berubah masam. Jelas sekali ia tidak puas dengan keputusan Serena yang terlalu lunak menurutnya.

“Astaga, Serena,” gerutunya dengan nada kesal. “Kau terlalu baik. Mereka hampir saja membuat kita jadi daging cincang lalu menjual tubuh kita di pasar peralatan sihir, dan kau masih bisa santai begitu?!”

Serena menghela nafas berat. Ia memahami maksud dari ucapan Violina, tapi ada hal yang perlu dipertimbangkan, jika melakukannya.

"Ingat, Violina! Tugas kita cuman menyelesaikan quest saja. Kita harus secepatnya kembali sekarang!"

Violina menggelengkan kepalanya, tidak setuju dengan jawaban itu. Ia lalu merogoh sesuatu dari dalam dadanya.

Sebuah batu kecil, berbentuk pipih berwarna putih bergambar cangkang keong, muncul di telapak tangannya. Itu adalah batu portal yang mereka beli beberapa saat lalu dari Npc pedagang. Ia memandanginya sejenak sebelum menatap Serena lagi.

Violina mendongak, ekspresinya seperti menantang keputusan Serena.

"Kalau begitu, kita bawa mereka ke Guild saja. Biar para penyelidik di sana yang mengurus sisanya. Aku tidak percaya hanya ini yang mereka sembunyikan!"

Serena menatap batu portal di tangan Violina dengan ekspresi datar. Namun, matanya sesekali melirik ke arah Mael dan Garr, yang kini hanya bisa berusaha menenangkan diri di bawah tekanan yang mengelilingi mereka.

“Sungguh! Kami sudah tidak menyembunyikan apa pun lagi. Hanya itu yang kami tahu!” seru Mael tiba-tiba.

Suaranya terdengar memohon, seperti seseorang yang tahu bahwa hidupnya tergantung pada belas kasihan di depannya. Ia menatap gadis berambut putih di hadapannya, mencoba menghilangkan prasangka yang ada.

Di sisi lain, Garr yang masih tergeletak berusaha bangkit meski tubuhnya tampak kesakitan. Ia menggertakkan gigi menahan rasa nyeri, lalu menambahkan, “Benar. Kami hanya itu yang kami dapatkan dari Serikat Guild. Tidak ada informasi lain. Tolong percaya pada kami!”

Violina, yang sedari tadi hanya mengamati mereka dengan sorot mata dingin, mendengus kesal.

Kedua alisnya bertaut, sementara bibirnya menipis seperti menahan sesuatu. Namun, tiba-tiba, senyum aneh menghiasi wajahnya. Senyum yang membuat Mael dan Garr sedikit gemetar, meskipun mereka tidak tahu pasti apa yang akan terjadi.

“Baiklah,” ujar Violina, suaranya terdengar lembut, tetapi penuh nada menggoda. “Kalian akan kami lepaskan.”

Mael dan Garr langsung menunjukkan ekspresi lega. Mata mereka berbinar seolah-olah baru saja diberi kesempatan hidup kedua.

Nafas mereka yang sebelumnya tersengal mulai teratur, dan Mael bahkan menghela nafas panjang dengan wajah penuh rasa syukur.

Namun, sebelum mereka bisa benar-benar menikmati kabar baik itu, Violina melanjutkan dengan nada yang lebih rendah dan dingin.

“Tapi,” kata itu menggantung di udara seperti pedang yang siap menebas. “Aku akan menghukum kalian dulu. Anggap saja ini sebagai pengingat agar kalian tidak lagi memburu bangsa monster. Aku punya firasat buruk kalau kalian akan kembali ke kebiasaan lama setelah sembuh.”

Serena memalingkan wajah ke arah Violina.

Wajahnya menunjukkan kebingungan, alisnya sedikit naik, dan matanya menyipit seperti sedang berusaha memahami maksud rekan seperjalanannya itu.

Mulutnya terbuka sedikit, tetapi ia ragu-ragu sebelum bertanya, “Apa yang akan kau lakukan pada mereka, Violina?”

Violina hanya tersenyum, memutar-mutar batu portal di tangannya seolah sedang menikmati ketegangan yang melingkupi situasi.

Cahaya biru keperakan dari batu itu memantul ke wajahnya, membuat ekspresi menakutkannya semakin horror. Mael dan Garr menjadi lebih pucat, merasakan suasana yang berubah mencekam.

Mereka tak bisa menyembunyikan ketakutan yang kian merayapi diri mereka.

“Aku tidak akan membunuh mereka kok,” ujar Violina akhirnya, suaranya terdengar lembut, tetapi mengandung nada yang dingin. Bibirnya membentuk senyum tipis, yang perlahan berubah menjadi seringai jahat. “Tapi aku rasa, aku ingin mereka belajar sesuatu, dengan cara yang mereka tidak akan lupa.”

Seketika, tatapannya berubah tajam, kedua matanya menyipit, sementara jemarinya perlahan mulai berubah.

Kelima kukunya memanjang menjadi tajam seperti belati. Kilauan cahaya dari batu portal kini berpindah ke kuku-kuku itu, membuatnya tampak seperti senjata yang mematikan.

“Aku akan mencacatkan tubuh mereka,” tambahnya dengan nada santai, seolah-olah yang dibicarakannya hanyalah hal sepele.

Reaksi Mael datang seketika. Wajahnya memucat, matanya membelalak panik. Ia maju sedikit, setengah merangkak, tangannya terangkat seolah memohon belas kasihan.

“Tunggu! Hei, kalian bilang akan mengampuni kami! Kami sudah menuruti semua yang kalian minta! Semua informasi sudah kami berikan!” serunya, suaranya terdengar hampir putus asa.

Namun, Violina hanya menatapnya dengan pandangan yang membuat bulu kuduk meremang.

Senyuman lebar muncul di bibirnya, memperlihatkan deretan gigi yang kini tampak lebih tajam dari sebelumnya. Matanya memancarkan cahaya haus darah.

“Itu permintaan temanku,” jawabnya dingin, menoleh sedikit ke arah Serena. “Tapi sekarang, giliran aku yang meminta sesuatu.”

Garr, yang masih babak belur dan terkapar, hanya bisa memandang Serena dengan mata penuh permohonan.

Napasnya tersengal-sengal, suaranya serak saat ia akhirnya berbicara. “Tolong! Jangan biarkan dia melakukannya! Kami sudah menyerah. Kami akan berikan apa saja asal kalian lepaskan kami.”

Serena menatap Garr dengan ekspresi yang sulit ditebak. Ia tidak langsung menjawab, melainkan mengangkat pandangannya ke atas, seolah merenung.

Satu jari telunjuknya ia tempelkan di pipi kanan, dan matanya terarah pada lampu yang menggantung di atas mereka, yang menyinari Mael dan Garr.

Kedua tawanan itu kini tampak begitu hina—rasa sombong mereka yang sempat terlihat di awal benar-benar sirna.

“Hmm,” gumam Serena sambil menghela napas. “Tapi dipikir-pikir, ada benarnya juga sih. Kalau kami lepaskan kalian begitu saja, pasti kalian akan mengulang semua ini lagi ke bangsa monster lainnya. Membuat kalian cacat, mungkin itu keputusan yang tepat.”

Violina tertawa kecil, tetapi tawa itu tidak membawa keceriaan, hanya menambah suasana mencekam.

Batu portal di tangannya kembali ia masukkan ke dalam sela dadanya dengan gerakan santai, lalu ia mendekat ke arah Garr. Wajahnya nyaris sejajar dengan pria malang itu, sorot matanya penuh rasa puas yang dingin.

“Oh, tentu saja,” katanya dengan nada sinis, menggulirkan mata. “Semua pemburu pasti punya alasan. ‘Bukan kami,’ atau ‘Itu orang lain.’ Aku sudah bosan mendengar omong kosong seperti itu.”

Sementara Garr hanya bisa menahan napas, Mael yang sebelumnya tampak takut kini mendadak mengangkat wajahnya dengan tatapan tajam.

Kekecewaan tergambar jelas di rautnya, dan sesekali matanya melirik ke arah dua belati miliknya yang tergeletak tak jauh dari tempat ia berdiri.

“Dasar kalian monster laknat!” teriak Mael tiba-tiba. Suaranya menggema di sepanjang jalanan kosong itu dengan penuh kemarahan. “Teman-teman kalian juga pernah menyerang bangsa manusia! Jangan lupa, kalian ini hanya menumpang di dunia kami!”

Serena yang tadinya berdiri tenang, sontak tersentak mendengar ucapan Mael. Matanya membelalak, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Kata-kata itu membuat pikirannya melayang, mencoba mencari makna di balik kemarahan Mael. Apakah ada kebenaran di sana, atau itu hanya bualan pemburu yang terdesak?

Violina, di sisi lain, menatap Mael tanpa ekspresi selama beberapa detik. Namun, alisnya yang berkerut menunjukkan ia juga memikirkan maksud dari kata-kata itu. Dengan nada dingin, Serena akhirnya memecah keheningan.

“Tunggu. Apa maksudmu?” tanyanya, spontan namun penuh rasa ingin tahu.

Mael tak menjawab. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Garr, merangkulnya dengan kasar. Meski terluka parah, Garr mengikutinya, memaksakan diri untuk bangun. Dalam sekejap, tubuh mereka menghilang, lenyap seperti bayangan yang tersapu angin.

Violina mendongak, matanya langsung menyapu sekeliling. Kedua matanya menyipit, waspada, namun penuh amarah yang terpendam.

Tak jauh dari sana, ia melihat sesuatu—bayangan samar yang bergerak cepat, berpindah-pindah dengan lincah.

Bayangan itu sempat berhenti sejenak, mengambil belati milik Mael, lalu melesat menuju pertigaan jalan raya. Serena juga menyaksikan bayangan itu, tetapi tubuhnya tetap terpaku di tempat, memerhatikannya saja.

Violina mendecak pelan, lalu menggumam dengan nada dingin, “Aku sudah tahu trik dari alat sihirmu itu. Jangan harap bisa kabur dariku.”

Tanpa membuang waktu, Violina melesat seperti kilat.

Angin yang tercipta dari kecepatan kakinya menghentak keras, membuat kerikil kecil di jalanan terlempar. Jarak yang tadinya begitu jauh tak menjadi masalah baginya.

Dalam sekejap, ia muncul di depan bayangan itu, memotong langkahnya sebelum bisa berbelok di pertigaan jalan raya.

Mael dan Garr, yang masih dalam wujud bayangan samar, kembali ke wujud manusia mereka, ketika Violina tiba-tiba muncul di hadapan mereka.

Gadis serigala itu berdiri dengan angkuh, matanya berkilat tajam, dan senyumnya menyeringai penuh rasa puas. Cahaya lampu jalan mempertegas bayangan tubuhnya yang ramping.

“Sialan! Kenapa kita harus bertemu petualang monster yang kuat seperti ini!” desis Mael dengan ekspresi panik, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

Dia mundur beberapa langkah, berusaha mencari celah untuk melarikan diri lagi.

Violina mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Kelima kukunya, yang sekarang memanjang menyerupai bilah pisau tajam, memantulkan cahaya suram. Dengan satu gerakan penuh tenaga, ia mengayunkan tangannya ke arah mereka.

“Mael! Awas!” teriak Garr.

Garr, yang menyadari bahaya itu, mendorong Mael sekuat tenaga.

Tubuh mereka terlempar ke arah yang berlawanan, berguling di atas aspal.

Hantaman cakaran Violina hanya mengenai tanah, menciptakan goresan panjang di jalanan yang berderak hebat. Angin dari serangan itu berhembus kencang, menerbangkan debu dan kerikil kecil.

Namun, Violina tidak tampak terkejut. Dengan nada santai tapi penuh ketegasan, ia berkata, “Aku sudah tahu trikmu, Tuan Mael. Kau hanya bisa berteleportasi ke jejak-jejak sihir yang ditinggalkan sepatu itu, bukan? Sekarang aku tidak akan membiarkanmu kabur lagi.”

Garr dan Mael saling berpandangan, napas mereka tersengal-sengal. Rasa putus asa mulai menyelimuti wajah mereka.

Di kejauhan, Serena yang sedari tadi diam di tempat, akhirnya berlari menuju pertigaan tempat Violina dan kedua pria itu berada.

Langkah kakinya cepat, bergantian seiring gemuruh dadanya yang resah. Ketika ia tiba di tengah pertigaan, lampu lalu lintas yang hanya berkedip kuning menerangi sosoknya.

“Violina, cukup,” ujar Serena sambil meraih jubah Violina, menariknya dengan lembut. Suaranya terdengar tenang namun penuh makna. “Kita sudah menghabiskan terlalu banyak waktu di sini. Sudah berapa jam kita terjebak dengan mereka? Kita harus kembali sekarang. Jangan mentang-mentang mereka petualang manusia yang lebih lemah, kau bisa seenaknya sendiri.”

Violina menunduk, memikirkan ucapan Serena yang terus terngiang di benaknya. Napasnya, yang semula berat akibat amarah, mulai melambat. Tapi matanya masih tertuju pada Garr dan Mael yang terkapar di atas aspal.

Luka-luka mereka jelas menyakitkan, tapi tekad bertahan masih tergambar di raut wajah mereka.

Dia mendesah pelan, suaranya nyaris seperti bisikan angin. “Baiklah. Aku ampuni kalian. Tapi ingat ini,” matanya menyipit, memancarkan aura dingin yang menusuk, “jika kita bertemu lagi, aku tidak akan ragu untuk melakukan apa yang harus kulakukan tadi.”

Mael menelan ludah dengan susah payah, sementara Garr hanya diam, terlalu lemah untuk berkata apa-apa. Wajah mereka memancarkan kelegaan bercampur ketakutan.

Serena mendekat ke sisi Violina, menepuk bahunya dengan lembut. “Sudah cukup, Violina. Tidak ada gunanya membuang waktu lebih lama di sini. Gunakan batu portalnya."

Violina menghela napas lagi, lalu memasukkan tangan kanannya ke dalam sela dadanya.

Dari situ, ia mengeluarkan sebuah batu portal putih, dengan ukiran keong berwarna biru yang memancarkan cahaya redup.

Tanpa berkata apa-apa, Violina meletakkan batu itu di atas aspal. Serena mendekatkan diri ke Violina, bersiap untuk berpindah dengan portal tersebut.

Namun, sebelum Violina sempat menginjak batu portal itu, suara desing kecil terdengar dari telinga serigalanya yang sensitif. Tiba-tiba, di atas langit malam, empat buah granat kecil melesat ke arah mereka. Granat itu berputar di udara, mengeluarkan sedikit asap seperti membentuk sebuah jalur lintasan.

Violina mendecak kesal. Matanya menyipit, fokus kepada benda itu. “Ada pengganggu lagi! Mereka melempar sesuatu kepada kita!”

Serena ikutan menatap ke langit. Ia melihat juga, benda berasap yang disebutkan oleh Violina itu.

"Petualang manusia lainnya datang juga deh."

Serena maju selangkah, melindungi Violina. Dengan kecepatan luar biasa, ia melompat ke atas, melakukan tendangan salto yang memutar hampir tiga ratus enam puluh derajat.

Kakinya menghantam keempat granat kecil itu satu per satu, membuatnya terpental jauh sebelum benda-benda itu meledak. Asap tebal mulai mengepul di sekitarnya, bercampur dengan bau mesiu yang menyengat.

Ketika asap mulai menyebar, sosok seorang wanita pendek muncul dari balik kepulan itu.

Wajahnya tertutup masker gas hitam, dan ia menggenggam tongkat pendek berukiran mantra sihir. Wanita itu bergerak lincah, nyaris tanpa suara, dan dengan cepat mengarahkan ujung tongkatnya ke wajah Serena.

“Kena kau,” ucap wanita itu dengan nada dingin.

Dari ujung tongkatnya, sebuah bola asap kecil keluar dan melesat ke arah Serena dengan kecepatan tinggi.

Serena mencoba menghindar, melompat mundur secara refleks. Tapi lompatan itu membuatnya menabrak Violina yang berdiri tepat di belakangnya. Violina hampir kehilangan keseimbangan, namun berhasil berdiri tegap lagi.

Bola asap itu terus meluncur ke udara seperti semburan air, meledak dengan suara lembut saat mencapai langit.

Ledakannya berubah menjadi gumpalan api terang yang bersinar di kegelapan malam, nyala api itu tidak seperti kobaran biasa—teratur, tanpa gerakan liar, seolah dikendalikan oleh sihir tertentu.

Mael berteriak lantang kepada gadis bermasker gas itu, tangannya menunjuk ke arah batu portal yang tergeletak di aspal.

"Airin! Ambil batu itu! Itu alat teleportasi mereka ke kota!"

Airin, gadis bermasker gas dengan rambut pendek sebahu yang dikuncir kecil di sisi kiri dan kanannya, segera mengalihkan pandangan ke arah batu portal yang ditunjuk Mael.

Dengan gesit, ia mengulurkan tangan kanannya, mencoba meraih batu tersebut.

Namun, Serena yang cepat menyadari niat mereka, langsung bereaksi. Tangannya terangkat, dan api mulai berkumpul di telapak tangannya, membentuk bola yang menyala terang.

"Jangan harap kalian bisa mengambilnya!" serunya.

Bola api itu melesat deras ke arah batu portal. Ledakan kecil terjadi, menghasilkan hembusan angin panas yang membuat gadis bermasker gas itu terpaksa melompat mundur dengan sigap, menghindari percikan api yang berhamburan.

Pandangannya tertuju ke depan, melihat batu portal itu hancur berantakan, tersisa abu hangusnya saja yang masih mengeluarkan asap.

“Maaf, Mael,” kata Airin sambil menatap dua temannya yang masih tergeletak dengan luka mereka. “Aku tidak bisa mengambilnya. Kalian tidak apa-apa, kan?” Pandangannya bergeser ke Garr, dan ia mengerutkan kening. “Eh, Garr, kenapa wajahmu lebih bonyok daripada Mael? Padahal badanmu besar, kok bisa kalah?”

Garr menatap tajam Airin. Ia tidak terima, dirinya diejek seperti itu. "Mereka bukan gadis monster biasa, bego! Andai saja, aku mempunyai senjata sihir rank A pasti aku bisa mengalahkannya!"

Airin kini berdiri tegap, tongkat pendek berukiran mantra di tangan kanannya, masih terangkat dengan posisi siap menyerang.

Penampilannya yang rapi, berkemeja putih dengan pita merah di kerah bajunya, tidak lupa masker gas yang digunakannya. Baju jas hitamnya di luar, merangkapi kemejanya, dengan celana panjang gelap yang selaras dengan situasi kacau di sekitarnya.

Asap granat yang tersisa mulai menghilang perlahan, dan tiba-tiba, dari balik kabut itu, muncul seorang pria berperawakan seperti seorang bapak-bapak.

Rambutnya sebagian beruban, dengan garis wajah yang tegas dan penuh pengalaman.

Dia berjalan santai, menembus sisa kepulan asap, hingga akhirnya berdiri di samping Airin.

Tatapan dingin pria itu menembus seperti pisau, langsung terarah pada Serena dan Violina.

Keheningan menyelimuti pertigaan jalan itu, hanya terdengar desiran angin malam yang menggerakkan dedaunan. Aura mendominasi dari pria itu membuat suasana semakin berat, seolah seluruh tempat kini berada dalam genggamannya.

Serena dan Violina tak bisa menyembunyikan keterkejutan mereka.

Kedua mata mereka menyipit tajam, berusaha tetap tenang, meskipun detak jantung mereka tak terelakkan semakin cepat. Wajah Serena menegang, sementara Violina hanya berdiri dengan satu alis terangkat, mencoba menyembunyikan rasa gelisah.

"Astaga," desis Violina dengan nada sinis. "Kita bertemu dia lagi."

Pria itu berdiri dengan percaya diri di depan Airin, melindungi kelompoknya.

Kemeja panjang cokelat yang ia kenakan tampak kontras dengan kaos dalam putih yang mengintip dari kerahnya. Celana panjang hitam mengkilap dan sepatu yang sama persis dengan milik Mael menyempurnakan penampilannya. Namun, bukan pakaiannya yang menonjol, melainkan karisma yang ia bawa.

Pria itu mengerutkan kening sejenak, sebelum berbicara dengan suara tenang.

"Kalian. Dua gadis monster yang membebaskan tawanan di pasar perbatasan Alantropora, bukan?" Ia menyeringai tipis, tatapannya bergulir dari Serena ke Violina. "Aku masih ingat dengan kalian. Gadis naga berambut putih dan gadis serigala berambut cokelat. Kalian benar-benar berhasil mengalahkan beberapa petualang manusia kala itu."

Violina menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.

Ekspresi paniknya perlahan memudar, digantikan dengan ketegasan di wajahnya. Mata tajamnya menyipit, sementara bibirnya sedikit menurun, menunjukkan sikap penuh kewaspadaan.

“Kami tidak punya urusan dengan kalian,” katanya dengan nada dingin. “Tapi teman kalian yang menyerang lebih dulu.”

Mael yang berdiri di samping pria itu, mulai menunjukkan kepercayaan dirinya kembali.

Potion yang diminumnya telah memulihkan sebagian besar lukanya. Dengan botol kosong di tangan, ia memandang Violina dan Serena dengan semangat yang membara.

“Pak Rencent, mereka membawa peta menuju kota monster! Jika kita berhasil merebutnya, Serikat Guild kita akan mendapat keuntungan besar. Reward yang dijanjikan pasti akan mempercepat rencana kita,” ujarnya penuh antusias.

Di belakang mereka, Airin masih sibuk merawat Garr yang terbaring lemah. Dengan cermat, ia menuangkan potion terakhirnya ke luka pria itu. Sembari bekerja, ia mengomel pada Mael.

“Mael, kalau kau mau bertarung, setidaknya jangan sampai jadi kayak Garr ini. Lihat, potion yang aku bawa sudah hampir habis! Kalau tubuhmu sampai buntung setengah, aku tidak akan mau mengurusmu!”

Mael hanya mendengus, menoleh ke belakang sambil menjawab ketus. “Iya, aku tahu! Terima kasih sarannya!”

Garr, yang masih lemah, hanya mampu mengerang pelan. Namun perlahan, rona wajahnya mulai kembali, menunjukkan bahwa potion mulai bekerja dengan baik.

Pak Rencent melangkah maju. Tatapannya berganti dari Violina ke Serena, seolah-olah mencoba menilai mereka lebih dalam. Suaranya yang berat terdengar jelas di tengah keheningan.

“Kalian dari Serikat Guild Monster mana?” tanyanya dengan nada tenang, namun penuh kewibawaan.

Violina mendengus, menatap pria itu dengan sorot penuh perlawanan. “Berisik! Kami tidak punya alasan untuk menjawab pertanyaan bodohmu!”

Serena segera mengangkat tangannya, menyentuh bahu Violina untuk menenangkannya. Ia melangkah maju sedikit, memandang langsung ke arah Pak Rencent dengan sikap yang lebih bersahabat.

“Tuan,” katanya dengan nada tegas namun sopan, “tidak ada gunanya memperpanjang pertarungan ini. Teman kalian sudah terluka, dan Anda juga tahu betapa sulitnya melawan bangsa monster. Bukankah lebih baik kita mengakhiri ini sekarang?”

Pak Rencent menatap Serena, matanya menyipit sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kau benar. Kalian memang tangguh, bahkan untuk seorang wanita.”

Namun, ia segera berbalik menatap Mael, wajahnya kembali serius. “Mael, siapa yang membawa peta itu? Apa benar peta itu menunjukkan jalur menuju kota monster?”

Mael mengangguk yakin, tangannya menunjuk ke arah Serena. “Benar, Pak. Gadis berambut putih itu yang membawanya. Kami sudah mencoba merebutnya, tapi mereka melindungi benda itu dengan sangat ketat.”

Pak Rencent memandang Serena dan Violina dengan tatapan tajam yang kini disertai senyuman tipis, sebuah ekspresi yang menunjukkan rasa percaya diri yang luar biasa.

"Baiklah, Nona," katanya dengan nada santai namun penuh tekanan. "Kali ini, kami akan bertarung dengan serius. Kami menginginkan peta itu, dan kami tidak akan mundur. Mari kita lihat, apakah kalian bisa bertahan lebih dari sepuluh menit."

Pak Rencent kemudian melirik Mael dengan anggukan kecil, seolah memberi aba-aba tanpa kata.

Dalam sekejap, Mael melesat maju. Belati hitamnya yang telah memanjang menjadi pedang besar terangkat tinggi di atas kepalanya.

Dengan lompatan penuh tenaga, ia mengarahkan kedua pedangnya ke arah Serena, serangan yang ditujukan untuk membelahnya.

“Kena kau!” teriak Mael dengan sorot mata penuh kemenangan.

Namun, sebelum pedangnya sempat menyentuh Serena, Violina sudah berdiri di depan rekannya dengan gerakan secepat kilat.

Kuku-kukunya yang panjang berkilauan dalam cahaya remang malam, menangkis tebasan maut Mael. Suara nyaring dari logam beradu menggema, diiringi percikan api kecil yang terbang di udara. Wujud Violina kini berubah, sepenuhnya menjadi monster serigalanya yang garang dan penuh kekuatan.

"Kau belum kapok, ya?" sahut Violina dengan nada mencemooh, matanya menyala seperti bara api.

Mael menyeringai lebar, tidak terintimidasi. "Kalian sudah kalah!" katanya dengan penuh keyakinan. "Temanmu itu akan segera mati!"

Perkataannya membuat Serena dan Violina tersentak.

Sebelum mereka sempat bereaksi, suara kokang senjata memecah ketegangan di belakang mereka.

Serena segera berbalik, namun belum sempat ia memutar tubuh sepenuhnya, seorang pria bertubuh ramping telah berdiri di sana.

Pria itu mengenakan jubah hitam yang menyatu dengan malam, rambutnya hitam berantakan condong ke satu sisi, dan wajahnya tertutup masker kain gelap.

Di tangannya, sebuah shotgun besar yang mengarah langsung ke punggung Serena. Jaraknya terlalu dekat, hanya beberapa langkah saja.

“Rasakan senjata pembunuh monster kami ini,” kata pria itu dengan nada rendah namun mematikan.

Terpopuler

Comments

✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌

✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌

/Scare/

2024-02-16

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!