Dalam sekejap mata, pria berjubah itu menarik pelatuk. Namun, sebelum suara tembakan bergema, Violina sudah bertindak.
Dengan kekuatan penuh, ia menabrak Serena menggunakan bahu kirinya, mendorong temannya itu terpental keras ke aspal.
Suara ledakan mengguncang udara malam, percikan api menyembur dari moncong senapan.
Peluru meluncur dengan kecepatan mematikan, mengarah tepat ke tubuh Violina. Tanpa pikir panjang, ia mengerahkan sihir anginnya untuk membentuk perisai. Pusaran kecil terlihat di depannya, berusaha mati-matian menghentikan peluru yang melaju.
Namun, semuanya terjadi terlalu cepat. Angin yang terbentuk tak cukup kuat untuk menahan kekuatan peluru itu. Perisai sihirnya hancur seketika, dan peluru menembus tubuhnya dengan brutal.
“Agh!” Jeritan kesakitan keluar dari mulut Violina saat tubuhnya jatuh menghantam aspal. Darah segar memercik, melukis jalanan dengan warna merah pekat.
"Violina!" Serena berteriak, suaranya gemetar penuh keterkejutan. Ia segera merangkak, menghampiri temannya yang terkapar tak berdaya.
Ketika Serena mencapai sisi Violina, ia langsung menopang kepala temannya dengan kedua tangannya. Mata Serena melebar saat melihat darah yang merembes dari luka di perut Violina, membasahi kemeja kelabunya hingga berubah merah gelap.
“Violina, bicara denganku! Kumohon, bertahanlah!” Serena berkata dengan suara yang nyaris pecah. Ia menggenggam tangan Violina erat, seolah bisa meringankan rasa sakit itu.
Violina menggigil, bibirnya bergetar, dan matanya setengah terbuka. Dari luka di tubuhnya, asap hitam mulai mengepul, membuat Serena semakin panik.
“Sakit Serena. Sakit sekali.” Violina berbisik dengan suara yang hampir tak terdengar, setiap kata terdengar seperti perjuangan besar. “Penyembuhanku. Tidak bekerja.”
Mendengar itu, Serena membeku. Tubuhnya gemetar sementara matanya berkaca-kaca, penuh ketakutan dan kebingungan. Ia menatap luka Violina, asap hitam yang keluar dari tubuh temannya.
“Apa yang terjadi? Kenapa tubuhmu seperti ini?” Serena bertanya dengan suara yang nyaris pecah. Tangannya, yang berlumuran darah, terus berusaha menekan luka Violina, meski ia tahu itu sia-sia.
Dari kejauhan, suara langkah berat mendekat, disusul oleh suara pria berjubah hitam yang kini berdiri dengan senapan terkokang di tangan.
"Tembakan yang bagus, Asdean!" seru Mael dengan nada puas, melirik pria berjubah hitam di sebelahnya.
Asdean, dengan ekspresi dingin, kembali mengarahkan moncong senapannya ke arah Serena. Suara kokangan senjata itu terdengar jelas, mengirim gelombang ancaman yang menyesakkan dada.
“Kau kalah, Nona,” suara Pak Rencent, terdengar santai, namun penuh ancaman. Ia berjalan maju dengan tatapan meremehkan. “Sekarang, serahkan peta itu. Kau tahu tidak ada gunanya melawan kami.”
Serena menatap Pak Rencent dengan pandangan penuh kebencian. Ia mengenali pria itu sebagai salah satu petualang manusia yang bertugas menghentikannya setelah ia membawa kabur para monster yang selama ini diperdagangkan di pasar perbatasan Alantropora.
“Yang benar saja, kau!” Serena berteriak dengan marah.
Dalam sekejap, tubuhnya berubah drastis. Tanduk naga melengkung keluar dari kepalanya, dan ekor biru bersisik tajam menjulur keluar dari balik roknya.
Dengan kecepatan luar biasa, Serena melompat dan menyabet Asdean menggunakan ekornya. Pria itu terlempar seperti boneka kain, menghantam pagar besi pembatas hutan hingga roboh.
Pak Rencent bahkan belum sempat bereaksi ketika Serena sudah melangkah ke arahnya dengan kekuatan mengerikan. Ia melayangkan tinju tangan kiri ke wajah pria itu, tapi serangan pertamanya tertahan oleh Mael, yang melompat masuk ke tengah pertempuran.
“Hah, Nona ini cepat juga rupanya,” Mael menyeringai, menyilangkan kedua belati di depannya untuk menahan pukulan Serena. Meskipun begitu, dampak pukulan itu cukup kuat untuk mendorong Mael mundur beberapa meter.
“Baiklah, kalau begitu!” Pak Rencent tersenyum tipis sambil mengangkat tangannya. Dalam sekejap, sarung tangan sihir di tangannya menyala dengan kilatan cahaya berwarna ungu. Angin berhembus kencang, menyebarkan energi magis yang terasa menggetarkan kulit. “Ayo kita adu kekuatan, Nona!”
Serena tidak menjawab. Ia hanya melangkah maju, matanya menyala dengan kemarahan yang tidak bisa disembunyikan.
Hempasan pertama mengguncang udara ketika tinju kanan Serena bertemu dengan sarung tangan magis Pak Rencent.
Gelombang kejutnya merontokkan dedaunan dari pepohonan di sekitar, sementara debu dan kerikil di jalan berterbangan, menyelimuti pertarungan dalam kabut tipis.
“Asdean! Kau tidak apa-apa?!” teriak Airin, suaranya bercampur cemas dan waspada.
Airin berdiri beberapa meter di belakang, memandangi Asdean yang terseungkur menabrak pagar besi pembatas jalan dengan hutan.
Asdean merintih, tapi dengan cepat bangkit, meskipun tubuhnya sedikit limbung.
Dengan ekspresi geram, dia mengangkat senapannya dan membidik Serena sekali lagi. “Aku tidak apa-apa!” balasnya dengan nada keras, mencoba menghapus keraguan.
Pak Rencent, yang masih terkunci dalam duel jarak dekat dengan Serena, memanfaatkan celah.
Dengan gerakan yang cepat dan terlatih, Pak Rencent menggenggam kepalan tangan Serena. Dalam satu tarikan kuat, dia memutar tubuh Serena, membuat gadis naga itu kehilangan keseimbangan dan terjatuh bertumpu pada lututnya.
Sebelum Serena bisa bangkit, Pak Rencent langsung mengunci leher Serena dengan tangan kirinya, menegakkan tubuhnya sehingga bagian dada Serena tidak terlindungi sambil menginjak kuat pergelangan kaki kanannya.
“Sekarang, tembak dia, Asdean!” teriak Pak Rencent dengan nada penuh kepastian.
Namun Serena hanya mendengus, meskipun napasnya terengah-engah.
“Percuma saja,” ucapnya dingin, dengan nada penuh keyakinan. Ia menatap Asdean dengan tajam, tatapan matanya seperti bara api yang membakar.
Sekeliling tubuh Serena mulai berpendar. Bola-bola api kecil muncul dari udara tipis, melayang di sekitarnya.
Dalam sekejap, beberapa bola api melesat ke arah Asdean, sementara sisanya menghantam Pak Rencent. Ledakan kecil memenuhi udara, memekakkan telinga, dan menyebarkan percikan api yang membakar dedaunan di sekitar.
Pak Rencent terlempar beberapa langkah ke belakang. Armornya yang dilapisi sihir langsung merambat dari sarung tangan sihirnya, menutupi seluruh tubuhnya dari serangan tersebut.
Sementara itu, Asdean melompat mundur, tubuhnya terselubung dalam jubah hitam yang membentuk pelindung seperti kepompong. Meski begitu, dampak ledakan masih membuatnya terpental dan jatuh tersungkur ke tanah.
Suasana hening sejenak. Asap tipis mengepul di udara, sementara para petualang menjaga jarak, mata mereka penuh kehati-hatian.
Serena berdiri kembali, darah naga di dalam tubuhnya memancar lewat tatapannya yang menyala. Dia tak terlihat lelah—justru semakin berbahaya.
Airin, yang sejak tadi berdiri di belakang, mengamati dengan mata yang penuh kewaspadaan. “Gadis naga itu bukan hanya petarung. Dia juga penyihir,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri, tapi cukup keras untuk didengar Garr.
Garr, yang mulai sadar setelah dipapah oleh Airin dan diobati dengan potion, bangkit perlahan. Wajahnya yang sebelumnya lebam kini sudah pulih, tapi nada bicaranya tetap penuh kehati-hatian.
“Hati-hati, Pak. Dia bukan wanita sembarangan,” katanya memperingatkan. “Dalam wujud manusianya saja, kekuatannya sudah luar biasa.”
Serena tetap waspada, matanya menyapu mereka satu per satu. Namun, suara rintihan pelan di belakangnya membuat fokusnya terganggu. Ia menoleh, dan pandangannya bertemu dengan tubuh Violina yang masih terbaring, darahnya membasahi aspal.
“Violina.” bisiknya, penuh rasa khawatir.
Sesaat, Serena teralihkan. Tapi lawan-lawannya memperhatikan itu dengan tajam, menyadari kesempatan kecil yang muncul di tengah pertarungan.
Pak Rencent melangkah perlahan mendekati Serena, setiap langkahnya terdengar jelas di tengah keheningan yang mencekam. Mata tajamnya memandang langsung ke arah gadis naga itu, penuh percaya diri.
Para anggotanya yang lain terlihat tegang. Mereka tahu kekuatan gadis naga itu bukan hal yang bisa diremehkan, namun isyarat tangan kanan Pak Rencent yang terangkat memaksa mereka untuk tetap tenang.
“Nona,” suara Pak Rencent terdengar tenang namun tegas. “Temanmu sudah terkena peluru anti-magic. Senjata itu dirancang khusus untuk melawan bangsa monster seperti kalian. Jika kau ingin dia selamat, menyerah adalah satu-satunya pilihan yang masuk akal.”
Serena membalas dengan senyum sinis. “Menyerah?” tanyanya, nada suaranya penuh kebencian. “Dan membiarkan kalian menguliti kami nanti? Tidak, terima kasih.”
Tangan kanannya mengepal erat, hingga terlihat jelas otot-ototnya menegang. Napasnya mulai berat, dipenuhi kemarahan yang berusaha ia kendalikan.
Sementara itu, Asdean, yang berdiri di dekat Violina, mengarahkan moncong senapannya ke tubuh gadis itu. Kakinya dengan kasar menginjak dada Violina, membuatnya meringis kesakitan.
“Ahh.” rintih Violina lirih, suaranya hampir tidak terdengar, namun cukup untuk membuat Serena mendidih.
“Asdean!” bentak Pak Rencent tajam, menghentikan pria berjubah itu. “Jangan bertindak di luar perintah!”
Serena, yang hampir meledak dalam kemarahan, memaksa dirinya untuk menahan serangan. Ia berdiri dalam posisi siaga, kedua tangannya mulai dikelilingi api membara.
Partikel kecil-kecil seperti bintang api melayang di udara, membuat hawa panas yang menyengat.
Asdean mendengus kesal. “Pak, kita bisa menyelesaikan ini sekarang. Jumlah kita lebih banyak, dan mereka adalah monster tingkat tinggi. Bagian tubuh mereka pasti sangat berguna—”
“Diam!” suara Pak Rencent membelah udara, menghentikan ucapan Asdean.
Asdean melirik ke arah pemimpinnya, raut wajahnya menunjukkan kekecewaan, meskipun ia mencoba menyembunyikannya.
Perlahan, ia menurunkan senapannya dan mundur beberapa langkah, meski pandangannya tetap penuh kebencian terhadap gadis naga tersebut.
Pak Rencent menghela napas panjang, lalu menatap Serena dengan ekspresi datar yang penuh perhitungan. Ia menendang sebuah kaleng bom asap yang sudah tidak aktif, membuatnya berguling perlahan ke arah Violina.
“Jika kau menyerah, kami akan memberitahumu cara menyembuhkan temanmu itu,” katanya dengan nada tenang tapi tegas. “Dan jangan lupa, serahkan juga peta yang kau sembunyikan.”
Serena menggertakkan giginya. Pandangannya turun ke Violina yang terbaring tak berdaya, napasnya terdengar lemah. Detak jantung Serena terasa bergetar hebat, seolah-olah ia bisa mendengar suaranya di telinga.
Hatinya berkecamuk. Pilihan ini begitu sulit: menyerah dan mempertaruhkan segalanya, atau bertarung dan mempertaruhkan nyawa Violina. Tetapi dia tahu, jika peta itu jatuh ke tangan mereka, malapetaka bisa terjadi.
Serena menarik napas dalam-dalam, berusaha mengusir kebimbangan dari pikirannya. Dengan berat hati, ia membulatkan tekad.
“Baiklah. Aku menyerah,” katanya, suaranya dingin namun bergetar tipis.
Tangannya bergerak perlahan ke pinggangnya, mengambil gulungan kertas peta yang ia sembunyikan di balik pita gaunnya. Ia memegang peta itu erat, seolah-olah masih ada sedikit keraguan yang menghantuinya.
Dia mengangkat gulungan itu tinggi, menunjukkan bahwa dia bersedia menyerahkannya. “Tapi aku ingin jaminan dulu. Beritahu aku cara menyembuhkan Temanku, lalu aku akan memberikan ini padamu,” lanjutnya dengan nada penuh ketegasan.
Pak Rencent menyeringai tipis. “Letakkan di aspal, dan aku akan memberitahumu,” balasnya, nada suaranya seolah-olah dia tahu dia sedang memenangkan permainan ini.
Mata Serena menyala dengan api amarah yang tak dapat dipadamkan. Taringnya tampak menyembul di antara bibirnya yang terkatup rapat, sementara tangannya bergetar bukan karena takut, melainkan kemarahan yang mendidih.
“Kau pikir aku ini bodoh?” tukasnya tajam, suaranya menggelegar di tengah ketegangan. “Sembuhkan temanku dulu, baru aku akan mempertimbangkan tawaranmu.”
Tatapannya yang penuh ancaman beralih ke Asdean, yang masih berdiri di dekat tubuh Violina. Senapan di tangan pria berjubah hitam itu tetap diarahkan ke gadis yang terkapar tak berdaya.
“Dan kau,” ucap Serena, suaranya rendah tapi sarat ancaman, “jauhkan kakimu dari tubuhnya, atau aku akan membuatmu jadi bara api malam ini.”
Asdean tertegun, dan sejenak raut wajahnya berubah. Namun, ia berusaha mempertahankan ketenangan.
Dengan gerakan perlahan, ia menarik kakinya dari dada Violina, lalu berjalan mundur beberapa langkah sebelum akhirnya bergabung dengan Pak Rencent dan rekan-rekannya.
Pak Rencent tersenyum tipis, senyuman yang membuat siapa pun sulit menebak isi pikirannya. “Senjata yang kami gunakan,” ucapnya tenang, “adalah peluru Manaterium. Itu dibuat khusus untuk menghentikan penyembuhan alami makhluk sepertimu.”
Serena menyipitkan matanya, keningnya berkerut mendengar penjelasan itu. “Bagaimana cara menyembuhkannya? Kalian sudah janji, kan?”
Pak Rencent mengangguk, lalu merogoh tas kecil berbahan kulit yang tersembunyi di balik kemeja coklatnya. Dari dalam tas itu, ia mengeluarkan botol kecil berisi cairan hijau muda yang bercahaya redup.
“Ini dia,” katanya sambil mengangkat potion itu.
“Baiklah.” Serena menarik napas panjang, lalu meletakkan gulungan peta di aspal dengan hati-hati. “Aku sudah menepati bagianku. Sekarang giliranmu.”
Pak Rencent menatap peta itu sebentar, lalu tersenyum puas. Ia melemparkan potion tersebut ke arah Serena dengan gerakan santai.
Serena menangkapnya dengan mudah, tatapannya tidak pernah lepas dari pria itu. Ia segera membuka tutup botolnya dan meminumkan isi potion tersebut ke Violina. Beberapa tetes terakhir ia tuangkan langsung ke luka di tubuh temannya.
Efeknya terasa hampir seketika. Asap hitam yang keluar dari luka Violina berhenti, dan warna kulitnya mulai kembali. Meski luka itu tidak sepenuhnya menutup, kondisinya jauh lebih baik.
Violina membuka matanya perlahan, wajahnya pucat tapi penuh kesadaran. “Serena. Apa yang terjadi?” tanyanya lirih.
Serena tersenyum lega, tangannya mengusap lembut kepala Violina. “Tidak apa - apa kok,” jawabnya. “Kita harus pergi dari sini.”
Sementara itu, Pak Rencent membuka peta dengan hati-hati, sementara Airin, Garr, dan Mael berkerumun di sekitarnya.
Di atas lembaran peta, tampak denah sebuah kota dengan beberapa simbol mencolok. Beberapa area memiliki gambar keranjang penjualan bersinar hijau, sementara gambar gerbang besar di peta bercahaya biru terang.
"Ini dia," ujar Mael, senyumnya mengembang. "Peta yang kita cari!"
Airin menatap simbol-simbol itu dengan serius, matanya menyipit. “Pak Rencent, kita harus segera memberitahu Serikat Guild sebelum guild lain menemukannya.”
Pak Rencent mengangguk setuju. Ia melipat peta itu kembali menjadi gulungan, menyimpannya ke dalam tas kulit kecil yang terselip di pinggangnya. Namun, saat ia menarik tangannya, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya.
Sebuah aroma harum, seperti vanilla, samar-samar tercium di udara. Ia mengerutkan dahi, mengangkat pergelangan tangannya ke hidung dan mencium bau itu lagi.
“Bau vanilla ini. Dari mana asalnya?” gumamnya, setengah bertanya pada dirinya sendiri.
Airin yang berdiri di sebelahnya langsung menoleh. “Bapak pakai parfum?” tanyanya, heran.
Pak Rencent menggeleng. “Tidak. Aku tidak memakai parfum.”
Mael menambahkan dengan nada curiga. “Aku juga mencium baunya. Kupikir tadi bapak yang memakainya.”
Pak Rencent memandang sekeliling dengan cepat. Matanya tertuju pada Serena, yang tampak sibuk merawat Violina. Gadis naga itu sedang membantu temannya berdiri, bersiap menggendongnya. Aroma itu semakin kuat mengarah ke sana.
Matanya menyipit tajam. Ia menyadari sesuatu. “Asdean, Mael, Airin!” serunya dengan suara tegas. “Hentikan dia sekarang! Jangan biarkan dia pergi! Gunakan teleportasi dan kepung dia!”
Mael dan Asdean langsung bertindak. Mereka mengaktifkan sihir teleportasi melalui sepatu sihir yang mereka kenakan.
Dalam sekejap, keduanya menghilang dari posisi awal, hanya untuk muncul kembali di sekeliling Serena. Mael berdiri tepat di depannya, wajahnya penuh kesombongan, sementara Asdean muncul di belakang, senapan shotgun-nya diarahkan langsung ke punggung Serena.
Airin tetap berada di tempat, tongkat sihirnya diacungkan, mengumpulkan asap putih yang bergetar seiring energinya terkumpul. Aura ancaman terasa memenuhi udara.
Serena menarik napas dalam, mencoba mempertahankan ketenangannya meskipun hatinya berkecamuk. Ia melirik Violina yang masih lemah di pelukannya, telinga serigalanya terkulai, matanya setengah tertutup. Rasa khawatir menguasai hatinya.
"Tunggu!" Serena akhirnya bersuara, nada tegas bercampur kepanikan. "Bukankah kalian sudah berjanji untuk melepaskan kami? Apa lagi yang kalian inginkan?"
Pak Rencent melangkah maju, senyumnya tipis namun berbahaya. "Kami ingin dirimu, Nona Serena," katanya, suaranya tenang namun penuh ancaman. Ia mengangkat lengan bajunya sedikit dan mencium pergelangan tangannya. "Bau harum vanilla yang berasal darimu masih melekat di pakaianku. Itu aroma bangsawan monster."
Serena terdiam. Kata-kata itu menusuknya seperti pisau. Tubuhnya menegang, kedua kakinya gemetar. Ia menelan ludah, mencoba menenangkan dirinya meskipun pikirannya berputar mencari jalan keluar.
"Keringatmu, kulitmu, tubuhmu," lanjut Pak Rencent. "Semua akan menjadi bahan sempurna untuk membuat senjata sihir yang luar biasa."
Serena menggigit bibirnya, menahan kemarahan sekaligus ketakutan. Ia melirik Violina lagi, yang tubuhnya masih lemas. Temannya itu belum mampu membuka mata sepenuhnya, padahal sudah diberikan potion penawarnya.
"Kalau begitu," kata Serena dengan suara bergetar, "aku akan memberikan ekorku sebagai gantinya. Lepaskan kami, dan aku bersumpah tidak akan melawan."
Pak Rencent tersenyum, tapi senyum itu bukanlah senyum yang ramah. Itu adalah senyum seorang pemburu yang baru saja menyudutkan mangsanya.
"Tidak, Nona Serena. Ekormu saja tidak cukup. Itu hanya cukup untuk membuat satu senjata. Kami butuh lebih dari itu."
Suara Mael tiba-tiba memecah ketegangan. Ia tertawa kecil, lalu membisikkan sesuatu dengan nada dingin. "Bagaimana rasanya, Nona? Dihadapkan pada pilihan sulit seperti ini? Sama seperti aku tadi. Kau pikir aku akan memaafkanmu?"
Di tengah suasana malam yang mencekam, Serena menggertakkan giginya, tangan kanannya terkepal erat, menunjukkan betapa tegangnya.
Jantungnya berdegup begitu cepat hingga terasa oleh Violina, yang kini berada di pelukannya. Situasi ini benar-benar melampaui semua kekhawatirannya. Setiap detik terasa seperti bom waktu, dan Serena tahu, jika ia tidak segera bertindak, semuanya akan berakhir tragis.
Sementara itu, suara Violina yang lemah menggema di telinganya, membuatnya terhenyak. "Serena. Tinggalkan saja aku. Pergilah. Kau masih bisa selamat."
Mata Serena membelalak, hatinya terasa mencelos mendengar kata-kata itu. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkanmu!" suaranya bergetar penuh emosi. "Aku sudah berjanji pada diriku sendiri. Aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu lagi!"
Di seberang mereka, Mael tertawa kecil, tatapan matanya penuh kebencian. "Lama sekali. Apa kau menunggu kami menyerang lebih dulu, Nona?" ia mengacungkan belatinya ke arah Serena.
Asdean, yang berdiri di sisi lain, mengarahkan senapannya dengan senyum miring. "Akhirnya aku bisa membalas dendam. Kau tahu? Sabetan ekormu itu menyakitkan loh."
Serena tak menunggu lebih lama. Meski pikirannya masih berantakan, tubuhnya bergerak mengikuti insting. Dengan gesit, ia menggendong Violina ke dalam dekapannya dan melompat tinggi ke arah hutan yang gelap.
Suara langkah kaki Serena terdengar menghentak di atas tanah, beriringan dengan degup jantungnya yang kian cepat. Nafasnya terengah-engah, sementara Violina terkulai lemah dalam pelukannya.
"Jangan biarkan dia lolos!" teriak Pak Rencent dari kejauhan.
Peluru bola asap melesat, meledak di sekitar Serena, menyelimuti hutan dengan kabut tebal yang menyeramkan. Udara menjadi berat, langkah Serena melambat, seolah asap itu menekan tubuhnya. Tenggorokannya terasa sesak, namun ia memaksakan diri untuk terus berlari.
"Aku akan mengakhirimu sekarang, Nona!" teriak Mael, muncul dari sisi kiri dengan senyuman buas.
Serena melompat ke kanan, tapi serangan Mael lebih cepat.
Belatinya melesat tajam melalui kabut, berubah memanjang menjadi pedang saat mendekati Serena.
Serena menangkis pedang itu dengan ekornya. Terdengar suara tajam saat pedang itu memotong ujung ekornya, darah biru memercik ke udara. Serena mengerang kesakitan, tubuhnya berguling di atas tanah bersama Violina yang ikut terlempar.
"Aduh Serena." rintih Violina lemah.
"Maaf, Violina," ucap Serena, suaranya bergetar antara menahan rasa sakit dan kesedihan.
Mereka akhirnya berhasil keluar dari hutan, terkapar di sebuah halaman luas yang berada di tengah hutan.
Serena mengerang pelan, merasakan napasnya semakin berat. Cahaya bulan yang menembus celah dedaunan menyinari tubuhnya yang penuh luka. Tanah lembap di bawahnya mengeluarkan aroma humus yang tajam, bercampur dengan bau darah yang samar dari tubuhnya sendiri.
Dia berusaha berdiri, mendekap Violina yang masih lemah. Namun, suara berat menggema di belakangnya, membuatnya terhenti.
"Sudah berakhir!" seru Asdean.
Serena menoleh, matanya melebar saat melihat pria berjubah itu berdiri di belakangnya, shotgun terarah lurus ke punggungnya.
"Bagaimana bisa? Gerakan mereka cepat sekali?" gumam Serena, napasnya terputus-putus.
"Tentu saja. Kami bukan orang biasa," jawab Mael dari depan, suaranya penuh ejekan.
Serena terkejut lagi. Mael kini berdiri di hadapannya, pedang panjangnya teracung, siap menebas kapan saja.
Violina, yang masih terkulai di pelukan Serena, berusaha berbicara dengan suara lirih. "Serena. Sepatu mereka itu alat sihir. Mereka bisa berpindah ke tempat yang sudah mereka tandai dengan jejak kaki."
Mata Serena menatap tajam ke bawah, ke arah kaki Mael. Ia melihat sesuatu—peluru kecil berwarna perak tergeletak di tanah, masih mengeluarkan asap putih tipis. Matanya menyipit, menyadari bahwa itulah titik penanda mereka.
"Kerja bagus, kalian berdua," suara Pak Rencent terdengar dingin dan tenang. Dalam sekejap, ia muncul di sisi Mael, seolah-olah teleportasi adalah hal yang mudah baginya.
Dari atas, Garr dan Airin melayang dengan awan asap berwarna kelabu, melingkari Serena dan Violina seperti pemangsa yang siap menerkam.
Tali rune sihir membelit tubuh Serena dengan kuat, membuatnya tak bisa bergerak.
Cahaya biru dari rune-rune itu berdenyut seperti nadi, mengirimkan rasa perih ke kulit Serena setiap kali ia mencoba melawan. Namun, Serena tidak menyerah begitu saja. Matanya tajam menatap Pak Rencent, meskipun napasnya berat.
"Tunggu!" serunya tegas, suaranya memecah kesunyian malam. Kedua tangannya mencoba menahan tali yang mengarah ke Violina, mencegahnya mengikat sahabatnya lebih jauh. "Bawa aku saja! Kau mengincarku, bukan? Aku yang kau inginkan. Tubuhku, kekuatanku. Lepaskan dia! Aku mohon."
Pak Rencent mengangkat alis, sedikit terkejut oleh permintaan itu. Tapi, senyuman tipis segera muncul di wajahnya. Ia menghela napas panjang, pura-pura berpikir sejenak sebelum akhirnya berbicara.
"Baiklah," ujarnya pelan, suaranya terdengar seperti vonis hukuman.
Dengan isyarat tangan, tali rune yang tadinya mengikat Violina mulai melonggar.
Violina jatuh tersungkur ke tanah, masih lemas dan kesakitan. Namun, tali yang membelit Serena semakin erat. Rune-rune itu bersinar lebih terang, menekan tubuhnya hingga Serena merasa sulit bernapas. Ikatan itu begitu kuat hingga rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya.
"Serena, jangan!" teriak Violina, tangannya terulur ke arah sahabatnya, tapi tubuhnya terlalu lemah untuk bergerak lebih jauh. "Kau tidak boleh melakukan ini!"
Serena menoleh ke Violina dengan senyum kecil yang penuh kepedihan. "Sampai jumpa, Violina," ucapnya lirih. "Jaga dirimu. Aku akan baik-baik saja."
Pak Rencent menoleh ke Airin. "Keluarkan kendaraan pengangkutnya," perintahnya dengan nada penuh wibawa.
Airin mengangguk, mengeluarkan sebuah kubus hitam dari kantongnya. Ia memejamkan mata, membiarkan sihir mengalir dari tangannya ke kubus itu.
Dalam sekejap, kubus tersebut berubah menjadi kendaraan kecil beroda empat, menyerupai truk yang terbuat dari logam gelap dengan cahaya magis yang mengelilinginya.
Truk itu melaju pelan mendekati Serena. Dengan gerakan otomatis, tali rune yang mengikat tubuhnya mulai mengangkat Serena ke udara dan menaikkannya ke atas truk.
"Serena!" Violina memekik, mencoba berdiri. Namun, tubuhnya ambruk kembali ke tanah. Ia mencoba mengumpulkan mana untuk menggunakan sihir angin, tapi tidak ada yang terjadi. "Tidak. Manaku. Aku tidak bisa menggunakan sihir!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌
Hmm 🤔, apakah nantinya kekasih Serena/Violina dari ras manusia? atau dapet relasi dari ras manusia?... menarik 😁
2024-02-16
1