Bahan Pangan (3)

Serena dan Violina muncul di pinggir jalan raya setelah sekelebat cahaya sihir teleportasi Kakek Grim menghilang.

Di sekitar mereka, lampu-lampu jalan yang berwarna kuning menerangi aspal hitam. Di samping jalan raya, hutan yang lebat dan pagar besi menjadi pembatas yang memisahkan mereka dari kegelapan hutan liar.

Di hadapan mereka, terbentang halaman luas yang dikelilingi tiga toko usang.

Dinding-dinding toko tersebut penuh dengan coretan graffiti, namun, yang mengherankan, tidak ada sampah atau debu sedikit pun di sana. Halaman toko tampak bersih, bahkan terasa terlalu bersih untuk tempat yang ditinggalkan.

Violina berjalan mengitari area itu dengan ekor serigalanya yang besar melambai-lambai, menyentuh permukaan beton halaman. Ajaibnya, bulu-bulu ekornya tetap bersih, tanpa ada debu yang menempel.

"Serena, ini tempatnya, kan? Tempat Quest bahan makanan itu?" tanya Violina sambil mengamati sekitar dengan seksama. "Coba cek petanya deh. Di mana letak NPC-nya?"

Serena mengeluarkan peta dari saku roknya tanpa banyak bicara.

Cahaya kuning dari lampu jalan membuat tanda-tanda di peta tampak jelas. Sambil mengamati petanya, Serena tampak fokus, tak segera menjawab.

“Aneh, ya, tempat ini. Bersih banget, tapi terasa sepi. Serasa ada yang janggal," gumam Violina, merasa tidak nyaman.

Serena akhirnya berbicara, "Dari peta ini, kita harus menuju tanda X. Itu lokasi NPC yang kita cari."

Violina segera melirik peta di tangan Serena. Tanda X itu berada di balik tiga bangunan yang terbengkalai, tepat di ujung sebuah jalan sempit yang tampaknya hampir tidak terlihat dari tempat mereka berdiri.

Mereka memandang jalan sempit itu. Jalan kecil diapit dua bangunan toko yang terbengkalai, tak jauh dari tempat mereka berdiri.

"Kamu yakin itu jalannya?" tanya Violina dengan sedikit ragu, matanya menelusuri jalan kecil yang terkesan menakutkan.

Serena mengangguk pelan, pandangannya kembali fokus ke peta. Ekor naganya dengan lembut menghentak-hentak tanah, tanda dirinya sudah mantap.

“Tidak salah lagi. Kita harus masuk ke sana.”

Violina menghela napas pendek. "Oke, kalau kamu yakin. Yuk, kita selesaikan ini."

Serena menyelipkan kembali peta ke dalam saku gaunnya. Tapi, seketika raut wajah Violina berubah.

Kedua telinga serigalanya bergerak-gerak, menandakan sesuatu yang tidak beres. Dia langsung menoleh ke ujung jalan di sebelah kiri, matanya menyipit, sementara ekspresi cemas mulai tampak jelas di wajahnya.

“Ada mobil yang datang ke sini, Serena. Mobil polisi.” Violina berbisik sambil menarik-narik gaun Serena. “Aku bisa dengar suara sirinenya dari jauh.”

Serena menatapnya sekilas, kemudian menunduk, memegang dagunya dengan ekspresi berpikir.

“Kita harus sembunyi. Polisi biasanya dilengkapi senjata rank A, senjata yang bisa melukai kita. Tapi kenapa mereka patroli di perbatasan kota? Ini aneh,” desisnya sambil berusaha menganalisa situasi.

“Kita sembunyi saja dulu! Suaranya sudah dekat.” Violina sudah tidak sabar lagi, dia meraih tangan Serena, menariknya ke belakang deretan tong sampah kotak dari besi yang berada di dekat mereka.

Ada tiga tong sampah, cukup untuk menutupi tubuh mereka berdua.

Serena memeluk ekor naganya erat-erat agar tidak terlihat, sementara Violina melakukan hal yang sama dengan ekor serigalanya, berusaha mengecilkan diri sebaik mungkin.

Dari celah kecil antara tong-tong sampah itu, mereka bisa melihat sebuah mobil polisi melaju perlahan.

Di dalamnya, ada empat orang petugas. Beberapa dari mereka bercanda dan tertawa, sementara satu terlihat tertidur di kursinya. Mereka tampak santai, tidak sadar bahwa mereka sedang diawasi.

Serena menatap mobil polisi itu menjauh, lalu teringat sesuatu.

“Aku jadi ingat kata-kata nenek Ida. Benar yang beliau katakan, banyak Hunter manusia yang beraktivitas di malam hari. Itu sebabnya kita harus ekstra hati-hati dan disuruh untuk membawa batu portal perpindahan.”

Violina mengangkat jari telunjuknya dengan percaya diri, ekor serigalanya ikut menegak, seakan-akan ingin menegaskan perkataannya.

"Tenang saja," ujar Violina, wajahnya serius tapi ada kilatan nakal di matanya. "Pasti ada NPC pedagang di sekitar sini. Meskipun kita nggak bawa portal perpindahan, kita bisa cari mereka atau, kalau perlu, langsung menuju gerbang kota Hiddenama yang ada di dunia manusia."

Serena melipat kedua tangan di pinggangnya, matanya berputar malas. Dia menghela napas panjang, jelas tidak sepenuhnya yakin dengan rencana Violina.

"Benar sih," kata Serena, suara sedikit tertekan. "Tapi semoga saja NPC pedagang yang ada di peta quest ini sudah dibayar oleh Serikat Guild Hiddenama. Soalnya, aku nggak bawa uang. Kalau kita pergi ke gerbang kota, kayaknya jauh banget. Kita aja nggak tahu di mana ini."

Violina meremas tangan Serena dengan lembut, lalu menatapnya serius.

“Jangan khawatir, Serena. Ingat di akademi, kita diajarkan untuk tidak takut pada para Hunter Manusia. Kita harus berani melawan mereka. Kalau tidak, kita nggak akan bisa bertahan hidup, apalagi mencari makan dan tenang saja. Urusan Npc pedagang, serahkan padaku.”

Serena tersenyum kecil mendengar itu. “Maaf, Violina. Aku cuma lagi khawatir saja tadi,” katanya sambil menarik napas panjang. Wajahnya yang tadi murung kini berubah cerah lagi. “Baiklah, kau benar. Ayo, kita lanjutkan!”

Begitu mobil polisi itu sudah mengecil dan menghilang dari pandangan, Serena dan Violina tidak membuang waktu.

Mereka bergegas menuju gang sempit di antara tiga toko terbengkalai yang ada di depan mereka. Suasana mulai terasa lebih mencekam ketika mereka memasuki gang tersebut.

Sampah berserakan di sisi kiri, bertumpuk di sebelah tong-tong besi yang penuh. Aroma lembap dan pengap memenuhi udara. Meski begitu, beberapa tiang lampu putih di sepanjang jalan memberikan penerangan redup, menyoroti halaman yang dipenuhi sampah.

Di sisi kanan gang, gelandangan-gelandangan tampak tertidur pulas di lantai yang kotor dan dingin.

Sebagian besar dari mereka menutupi wajah dengan koran-koran bekas, sementara lalat dan nyamuk mengerubungi tubuh mereka yang tak terawat. Tak ada yang bergerak, seolah kehadiran Serena dan Violina tidak terdeteksi oleh mereka.

"Serena, lihat ke sana," bisik Violina sambil menunjuk ke depan, ke arah seseorang yang tampak berbeda dari orang-orang lain di sekitar. “Itu mungkin NPC quest-nya.”

Pria paruh baya dengan pakaian compang-camping sedang bersandar di bawah tiang lampu, kepala menunduk dan tubuhnya diterangi sinar lampu.

Cahaya tersebut membuatnya tampak sedikit mencolok di antara orang-orang gelandangan yang tampak menghindari lampu. Wajahnya samar-samar terlihat, tapi jelas dia bukan sekadar gelandangan biasa.

"Sepertinya benar," gumam Serena, tatapannya berpindah dari pria itu ke orang-orang gelandangan lainnya. "Hanya dia yang terlihat berbeda di sini."

Ada tujuh orang gelandangan yang tertidur di pinggir jalan, tersembunyi di bawah bayang-bayang kegelapan, seolah mereka sengaja menjauh dari sinar lampu. Kesunyian di tempat itu terasa tebal, menekan, dan setiap langkah mereka menggema perlahan di telinga mereka.

Violina menoleh ke arah Serena, ekspresi wajahnya serius.

“Sebelum kita menghampirinya, lebih baik kita sembunyikan wujud monster kita. Siapa tahu ada Hunter Manusia lain yang juga sedang mencari quest ini. Kalau mereka melihat wujud kita, kita bisa dalam bahaya.”

Serena mengangguk setuju. “Iya sih. Ini untuk berjaga-jaga. Kita tidak mau mereka tahu, kita bukan manusia.”

Keduanya memejamkan mata, mengatur napas dalam-dalam, dan perlahan memfokuskan energi mereka untuk menyembunyikan wujud asli mereka.

Wujud naga Serena: ekor tebal bersisik biru, tanduk-tanduk runcing, dan telinga panjangnya berubah menjadi api kecil, berkobar sejenak sebelum lenyap. Sedangkan ekor berbulu dan telinga serigala milik Violina bertransformasi menjadi hembusan angin ringan, menyebar dan hilang begitu saja.

“Sudah siap,” ujar Serena dengan napas lega, merasakan tubuhnya sekarang sepenuhnya terlihat seperti manusia biasa.

Dia menatap bokongnya, memastikan ekor naganya benar-benar menghilang. Sementara itu, Violina sibuk merapikan rambutnya, jari-jarinya menyentuh tempat di mana dulu kedua telinga serigalanya berada, memastikan bahwa mereka benar-benar hilang.

Violina mengangguk setelah memastikan semuanya aman. “Ayo, kita cek NPC itu. Semoga dia memang orang yang kita cari untuk quest ini.”

Mereka melangkah lagi, mendekati pria yang bersandar di bawah tiang lampu.

Serena merogoh saku roknya, mengambil kertas quest, lalu memasukkan kembali bagian petanya dengan hati-hati. Di depan mereka, pria itu tampak bergerak sedikit, tapi belum sepenuhnya sadar dari posisi bersandarnya.

“Pak, Anda NPC untuk quest ini, bukan?” tanya Serena sambil menyodorkan kertas quest yang dia pegang.

Pria itu menggeliat, meregangkan badannya sambil menguap lebar.

Suara menguapnya terdengar jelas di telinga Serena dan Violina, bahkan membuat mereka sedikit tersentak. Mata pria itu terbuka perlahan, tatapannya lelah tapi langsung tertuju pada kertas yang dipegang Serena.

“Kau benar, Nona,” katanya setelah mengambil kertas itu dan melihatnya sekilas. “Ini quest milikku. Jadi, kalian mau pilih reward yang mana? Ada tiga barang yang bisa aku tawarkan. Sekotak potion, bubuk kegilaan, atau makanan ringan.”

Serena, tanpa berpikir panjang, langsung menjawab, “Kami ingin makanan ringan saja, Pak. Jadi, apa yang harus kami lakukan?”

Pria itu tertegun sejenak, lalu sudut bibirnya terangkat dalam sebuah senyuman kecil yang aneh. Matanya menyipit, seolah baru menyadari sesuatu.

"Astaga," gumamnya pelan, tatapan matanya kini berubah tajam. “Kalian bukan manusia, ya? Hanya bangsa monster yang mau memilih makanan ringan sebagai reward. Bangsa manusia tak pernah menginginkannya.”

Serena dan Violina tetap menjaga ketenangan mereka. Meskipun pria Npc itu telah mengetahui identitas mereka sebagai monster, tak ada sedikit pun ekspresi terkejut atau takut yang tampak di wajah mereka. Keduanya menatapnya dengan tajam, penuh kewaspadaan.

“Baiklah, Pak. Kalau Anda sudah tahu siapa kami, sekarang beri tahu kami apa yang harus dilakukan,” tanya Violina sambil maju, berdiri sejajar dengan Serena. Suaranya tenang, tetapi ada ketegangan tersembunyi dalam nada bicaranya.

Pria itu tersenyum tipis, matanya menyipit saat dia mengangkat kertas quest yang sebelumnya diberikan Serena.

Kertas kekuningan itu kosong, seolah-olah tak ada petunjuk atau informasi. Namun, perlahan, di atas permukaannya mulai muncul coretan, seperti tinta yang muncul dari dalam kertas itu sendiri.

Gambar sebuah lingkaran sihir mulai terbentuk, dan di dalamnya tampak tujuh sosok zombie dengan wujud menyeramkan.

"Tugas kalian sederhana," kata pria itu dengan nada dingin, tanpa emosi. "Kalahkan tujuh zombie yang ada."

Serena dan Violina mengernyit, saling bertukar pandang dengan bingung. Quest ini tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih rumit dari yang mereka kira. Serena menggigit bibirnya, mencoba mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi. Tapi sebelum mereka sempat bereaksi lebih jauh, pria itu tersenyum—senyum yang dingin dan penuh misteri.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang berat dan tergesa-gesa terdengar di belakang mereka.

Serena merasakan kehadiran seseorang yang bergerak cepat ke arahnya, disertai suara teriakan parau yang terdengar seperti lolongan kemarahan. Tanpa berpikir panjang, naluri bertarungnya langsung mengambil alih.

Dalam satu gerakan cepat, Serena berbalik dan mengangkat kakinya, menendang orang yang datang menyerangnya.

Tendangan belakangnya tepat menghantam perut orang itu, membuatnya terlempar jauh hingga menabrak tong sampah besi dengan suara keras. Orang tersebut terguling di tanah, pisaunya terlepas dan berdering saat menghantam tanah.

Serena menghela napas panjang, lalu menatap mayat hidup itu yang tergeletak di tanah. Matanya kosong, mulutnya terbuka lebar dengan suara erangan rendah keluar dari bibirnya yang kaku. Tubuhnya bergerak-gerak tak wajar, berusaha bangkit kembali.

Violina mengamati adegan itu dengan mata membelalak. “Mereka zombienya?”

Serena mengangguk pelan, ekspresinya berubah lebih serius. “Sepertinya begitu. Violina, kita harus siap-siap.”

Seketika, orang-orang gelandangan yang tadinya tampak tertidur, mulai bangun perlahan.

Tubuh mereka sebagian masih utuh, tapi ada juga yang sudah membusuk, dengan lalat beterbangan di sekitar daging yang menghitam. Aroma busuk pun langsung menyengat di udara.

Beberapa dari mereka mengambil senjata tajam yang tersembunyi di bawah tumpukan kain—pisau berkarat, katana kecil, hingga tongkat besbol besi dan batang pipa bekas. Meskipun lamban, gerakan mereka cukup terkoordinasi untuk menyerang.

"Hiraukan aku," ucap pria NPC paruh baya itu, duduk santai di atas tong sampah bekas. "Kalian punya waktu dua jam. Jika gagal, zombie-zombie ini akan mendapatkan kesadaran penuh dan mulai menginfeksi manusia lainnya."

Violina menatap NPC itu dengan tajam, tatapan sinis di matanya. “Aku tahu risikonya,” ujarnya ketus, lalu mendesah. "Padahal ini dunia milik manusia, tapi mereka, para manusia tidak mau menyelesaikan quest-quest berisiko seperti ini."

Serena menimpali sambil tersenyum tipis. "Mau gimana lagi? Reward-nya kecil soalnya."

Zombienya, yang berjumlah tujuh, mulai berkumpul di tengah. Mata mereka berkilat di bawah cahaya lampu, senjata berkarat tergenggam erat di tangan-tangan busuk mereka.

Tanpa aba-aba, mereka menyerbu dengan teriakan gemerisik yang mengerikan, berlari ke arah Serena dan Violina.

"Aku duluan!" teriak Serena.

Tanpa ragu, Serena maju ke depan. Dia melayangkan tinjunya dengan cepat, menghantam wajah salah satu zombie, membuat gigi-giginya patah dan terlempar ke udara.

Satu zombie lain mencoba menusuknya dengan pisau, tapi Serena dengan sigap menangkap pergelangan tangannya dan menendang perutnya keras-keras, membuatnya terhempas dan terguling di tanah. Namun, tiba-tiba, zombie lain dengan obeng panjang menyerang dari samping, menusuk perut Serena.

Serena meringis sejenak, tapi tanpa banyak berpikir, dia langsung memukul wajah zombie tersebut, menghantamnya cukup keras hingga kepalanya miring ke samping.

Zombie-zombie lainnya terdorong satu sama lain, formasi mereka berantakan.

Violina, tidak mau ketinggalan, langsung berlari cepat menyusul Serena.

Dia meluncur rendah, menunduk, lalu meninju dagu salah satu zombie, mengangkatnya sedikit ke udara. Dalam gerakan, Violina berputar dan melayangkan tendangan samping, menghantam zombie lain yang memegang pipa, membuatnya terhuyung ke belakang.

Serena mengikuti di belakang, melayangkan tinjunya ke zombie yang membawa besi pipa.

Sementara itu, Violina melanjutkan serangannya dengan tendangan tumit ke wajah zombie yang membawa pisau daging. Dalam hitungan detik, zombie-zombie itu kocar-kacir, tidak sanggup menjaga formasi mereka yang lemah.

Saat pertempuran mereda, Serena menyentuh perutnya, merasakan kain gaunnya yang sobek di bagian perut akibat tusukan obeng tadi.

“Zombie-zombie itu memang tidak bawa senjata rank A sih. Serangan mereka gak terlalu berefek,” katanya sambil tersenyum kecil. “Tapi lihat gaunku, jadi sobek begini.”

Violina tertawa kecil, menepuk pundaknya. “Santai aja, Serena. Nanti kita bisa cari tukang jahit yang bagus di kota, setelah quest ini selesai.”

Zombie-zombie yang sebelumnya terjatuh kini tergeletak dengan tubuh mereka tidak bergerak lagi.

Leher-leher mereka terpelintir, hasil dari perlawanan sengit Serena dan Violina. Melihat pemandangan itu, NPC pria yang duduk santai di atas tong sampah mulai bertepuk tangan, senyum puas terukir di wajahnya.

"Apa sudah selesai? Apa kami bisa meminta reward-nya sekarang?" Serena bertanya, sedikit kehabisan napas namun tetap waspada.

NPC itu masih tersenyum, tidak langsung menjawab. "Tenaga bangsa monster memang mengesankan. Lebih kuat dari manusia, tentu saja," katanya, matanya berkilat licik. "Tapi karena itu, aku rasa tingkat kesulitan quest ini harus dinaikkan sedikit."

Dengan nada dingin, pria itu bertepuk tangan tiga kali. Suara tepukannya bergema di gang yang sunyi, diikuti getaran aneh dari tubuh-tubuh zombie yang terkapar di tanah. Serena dan Violina mengerutkan kening, siaga.

Secara perlahan, tubuh-tubuh zombie itu mulai menggeliat, kemudian berkumpul di tengah.

Daging mereka melebur menjadi satu, membentuk gumpalan besar. Tulang belulang dan anggota tubuh bercampur hingga wujud baru terbentuk—sesosok zombie raksasa bertubuh kekar dengan tujuh kepala yang memandang ke segala arah.

Violina menatap tak percaya. "Monster sekarang bisa diperkuat seperti ini?"

NPC itu menatap mereka, matanya menyiratkan sesuatu yang gelap. "Permainan para Dewa sudah berubah, anak-anak. Akan ada banyak aturan baru yang menguntungkan manusia. Kalian, bangsa monster, sebaiknya berhati-hati."

Sebelum Serena dan Violina sempat bereaksi, zombie raksasa itu mengeluarkan raungan keras dari beberapa kepalanya, dan tanpa aba-aba, tinju besarnya meluncur ke arah Violina.

"Violina!" Serena berteriak.

Namun, Violina yang terkejut tidak sempat menghindar. Tinju besar itu menghantam tubuhnya dengan keras, mengirimnya terbang hingga menabrak tumpukan sampah besi di sisi kiri gang. Suara dentuman keras terdengar, dan Violina terkapar di antara tumpukan sampah.

Serena juga tidak luput dari serangan. Dengan cepat, zombie raksasa itu menendangnya dengan kekuatan luar biasa, membuat Serena terlempar jauh.

Tubuhnya menghantam dinding salah satu toko kosong, menembusnya hingga hancur. Dia jatuh terhuyung-huyung ke rak besi di dalam toko tersebut, terengah-engah.

"Aduh... tanganku," gumam Serena, merasakan nyeri di kedua tangannya. Dia melihat ke bawah, darah biru mengalir dari luka di kulitnya—hasil dari menangkis tendangan mematikan tadi.

Serena mendongak, matanya berkilat waspada saat memperhatikan zombie raksasa itu dari kejauhan.

Ada sesuatu yang berbeda pada makhluk ini. Bagian tubuhnya, terutama di sekitar lengan dan punggung, tampak mengeras seperti batu, bahkan beberapa bagian tampak tajam seperti duri.

Serena mengamati tubuh besar zombie itu dengan seksama, sorot matanya dipenuhi kewaspadaan.

“Ini tidak normal,” gumamnya, sambil mengelap darah biru yang masih mengalir dari tangannya. "Dulu, monster quest tidak pernah bisa diperkuat seperti ini."

Sambil berdesis pelan, Serena berdiri tegak, membersihkan gaunnya yang penuh debu dan kotoran.

Luka-luka di tangannya mulai menyembuh dengan cepat, menguap seiring waktu berlalu. Dia mengepalkan tinjunya, lalu dengan satu gerakan kuat, menerjang ke depan. Serena melompat ke udara, menghantam kepala zombie itu dengan pukulan keras.

Namun, serangan itu langsung diblokir oleh tangan kiri zombie yang besar. Serena tidak menyerah. Dalam sekejap, dia melompat lebih tinggi dan menghantam leher monster itu dengan lututnya.

Pertarungan antara Serena dan zombie raksasa berubah menjadi duel sengit.

Pukulan demi pukulan, tendangan demi tendangan, keduanya saling bertukar serangan dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa.

Serena berhasil menghindari sebagian besar serangan, tapi beberapa pukulan keras zombie itu mengenai tubuhnya. Meskipun begitu, setiap kali Serena menyerang, luka-luka yang dia ciptakan di tubuh zombie tersebut langsung sembuh. Gumpalan daging menyatu, menutup luka secepat terbentuknya.

“Sial! Luka-lukanya langsung sembuh!” Serena mendesis, frustrasi.

Di kejauhan, tubuh Violina masih setengah terkubur di tumpukan sampah, hanya bagian bokongnya yang terlihat. Serena, sambil terus bertarung, berteriak, “Violina! Cepat bangun!”

NPC pria itu hanya duduk santai, memperhatikan pertarungan dengan senyum nakal di wajahnya. “Semangat, Nona!” katanya, dengan nada yang terdengar meremehkan.

Serena mengatupkan giginya, mengencangkan kepalan tangannya. “Tidak ada pilihan lain,” gumamnya dengan suara rendah, penuh tekad. "Aku harus menggunakan sihir untuk mengalahkan monster zombie ini."

Tiba-tiba, terdengar teriakan keras dari arah Violina. “Sialan kau, zombie jelek!”

Serena melirik sekilas ke arah Violina, yang kini mulai bangkit. Tubuh Violina dikelilingi oleh pusaran angin yang semakin kencang. Ekor serigalanya mencuat keluar dari balik roknya, dan sampah-sampah di sekitarnya terangkat, berputar di udara.

Violina menghilang dalam sekejap, bergerak begitu cepat hingga hanya terlihat sebagai bayangan samar.

Sekejap kemudian, dia muncul tepat di atas kepala zombie raksasa dengan wujud monster serigalanya yang penuh kemegahan. Kedua telinga serigalanya tegak, dan ekor berbulu tebalnya bergerak liar. Cakar cokelat mengkilat menghiasi kedua tangannya, penuh dengan ukiran magis yang berkilauan di bawah cahaya remang-remang.

Dengan teriakan penuh amarah, Violina mengayunkan cakar kanannya, menyerang wajah zombie raksasa itu. Angin kencang menyertai gerakannya, menciptakan pusaran udara yang begitu kuat hingga tanah di sekitarnya bergetar.

Angin yang mengikuti serangan Violina memotong tubuh zombie itu menjadi empat bagian tidak rata. Tubuh raksasa itu terbelah, jatuh ke tanah dengan suara gemuruh. Bekas cakaran besar tercetak di tanah, membelah tanah dan menghancurkan apa pun yang ada di jalur serangannya.

Serena, yang masih berdiri beberapa meter jauhnya, menatap dengan takjub. "Luar biasa, Violina."

Violina, yang kini berdiri di atas sisa-sisa tubuh zombie, masih menggeram pelan. “Mereka tidak akan bangkit lagi. Tidak setelah ini.”

NPC pria itu bertepuk tangan perlahan, wajahnya masih menyiratkan kepuasan. “Bagus. Kalian berhasil.”

Bayangan hitam yang muncul dari tanah perlahan melahap tubuh zombie raksasa yang sudah terbelah menjadi empat bagian, menyedotnya ke dalam bumi tanpa meninggalkan bekas.

Serena dan Violina menghela napas panjang, merasa lega setelah pertempuran itu berakhir, meskipun mereka tetap siaga.

Mereka merapikan pakaian yang robek dan penuh debu, namun anehnya, satu kepala zombie tetap berada di sana. Dari tujuh kepala yang dimiliki zombie raksasa itu, hanya satu yang tidak ditarik oleh bayangan gelap tadi.

“Pak, bisa kami dapatkan reward-nya sekarang?” tanya Violina, dengan tatapan tajam yang menusuk.

NPC pria itu tersenyum santai, mengangkat tangannya dan menunjuk ke kepala zombie yang tersisa.

“Tentu saja. Tapi sebelum itu, bawakan dulu kepala zombie itu padaku. Setelah itu, aku akan memberikan reward kalian.”

Violina mendesah, langkah kakinya terdengar berat menuju kepala zombie. Dia menendangnya ke arah NPC itu dengan santai.

"Nih!"

Kepala zombie melesat, namun NPC itu dengan sigap menangkapnya di udara. “Gak sopan sekali, Nona serigala,” katanya, dengan sedikit senyum di sudut bibirnya.

Dia meletakkan kepala itu di atas kertas quest milik Serena yang telah diletakkan di tanah. Perlahan, kepala itu meleleh, berubah menjadi darah hitam pekat yang meresap ke dalam kertas, mengisinya dengan simbol-simbol aneh dan mantera yang bercahaya samar.

NPC itu menggulung kertas quest tersebut dan melemparkannya dengan cepat ke arah Serena. “Tugasku selesai,” katanya singkat.

Serena yang terkejut oleh lemparan tiba-tiba itu hampir tidak sempat menangkapnya. "Ehh!" Serena berseru, menangkap kertas itu dengan tangan yang agak kikuk.

Sementara itu, NPC pria itu perlahan mulai menghilang, tubuhnya ditelan oleh bayangan hitam yang sama seperti sebelumnya. Suaranya semakin memudar, tapi pesan terakhirnya cukup jelas.

"Kalian, bangsa monster, harus berhati-hati. Para manusia sekarang pasti sedang merencanakan sesuatu yang besar untuk mendapatkan reward dari quest besar yang akan datang."

Serena menyimpan kertas quest itu di saku gaunnya, ekspresinya berubah serius. "Rencana besar apa itu, Pak?" tanyanya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu dan kewaspadaan.

NPC itu hanya menggelengkan kepalanya, setengah tersenyum. “Kalian akan lihat sendiri nantinya. Lihat saja quest yang sedang manusia incar.” Dengan kalimat terakhir itu, tubuhnya benar-benar lenyap, menyatu dengan bayangan hingga tidak ada jejak yang tersisa.

Violina berjalan mendekat, berdiri di samping Serena. “Dia tidak akan mengatakan apa-apa lagi.”

Serena menutup matanya dan menghembuskan nafasnya dengan berat. "Iya. Aku tahu kok, tapi ucapannya itu membuat hatiku khawatir jadinya."

Terpopuler

Comments

Mr. Wilhelm

Mr. Wilhelm

Tidak masalah aja menurutku lebih bagus

2024-05-25

1

Mr. Wilhelm

Mr. Wilhelm

kurasa ini bisa diganti sama model rambutnya aja biar gk over deskripsi

2024-05-25

1

Mr. Wilhelm

Mr. Wilhelm

Ternyatanya satu kali aja menurutku

2024-05-25

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!