Tanpa aba-aba, Serena dan Violina bergerak serempak, tubuh mereka melesat seperti kilat menuju musuh masing-masing.
Serena langsung menerjang Garr, mengayunkan pukulan keras ke arahnya, sementara Violina, dengan kecepatan luar biasa, melayangkan tendangan tajam ke arah Mael.
Serangan spontan itu membuat pertarungan mereka terpisah hanya beberapa meter, menjadi duel satu lawan satu.
Serena berada di halaman beton dekat ruko-ruko yang sudah lama terbengkalai, sementara Violina bertarung di tengah jalan raya yang lengang. Meski fokus pada lawannya masing-masing, kedua gadis itu masih bisa saling melirik, memastikan rekan mereka baik-baik saja.
"Teknik bela dirimu cukup mengesankan, Nona!" seru Garr sambil menghindari pukulan Serena yang hampir mengenai pelipisnya. Tatapannya penuh semangat, seperti seorang petarung yang menemukan lawan sepadan.
Serena tak menjawab, melainkan terus menyerang, melayangkan pukulan dan tendangannya ke titik vital di tubuh Garr.
Pukulan cepat diarahkan ke sisi kiri dan kanan rahang Garr, disusul tendangan melingkar dengan tumit yang mengincar dagunya. Gerakan Serena sangat lincah dan penuh tenaga, tetapi Garr, dengan pengalaman bertarungnya, berhasil menghindar semua serangan itu.
Badan Garr bergerak cepat, menunduk ke sisi kiri dan kanan, membuat setiap serangan Serena hanya menghantam angin.
Dengan posisi kedua tangan yang rapat melindungi wajah seperti seorang petinju, giliran Garr yang melayangkan pukulan beruntunnya ke wajah Serena, untuk membalas serangan sebelumnya.
Tinjunya bergerak cepat, mengincar pelipis, dagu, bahkan ulu hati gadis berambut putih tersebut dengan pukulan uppercut yang mematikan.
Tidak hanya pukulan uppercut saja, pukulan samping atau hook dan straight punch dilakukannya untuk mengalahkan gadis itu. Namun, Serena dengan refleks luar biasa berhasil menghindar, bahkan saat tinju hook Garr hampir mengenai rahangnya, Ia cepat-cepat melompat mundur untuk menjaga jarak.
"Ugh! Ini menyebalkan!" Serena berseru sambil mengusap keringat yang mulai membasahi dahinya. "Gaya bertarung Boxingmu hebat sekali. Begitu juga dengan cara menghindarmu. Aku kesulitan untuk mengenainya."
Garr tertawa kecil, menyunggingkan senyum penuh percaya diri, setelah mendengar kemampuannya dipuji.
"Aku juga penasaran," ucapnya sambil melangkah sedikit maju. Kedua tangannya masih dalam posisi siaga dalam gaya bertarung petinju, terkepal di kedua sisi wajahnya. Garr lalu bertanya, "Siapa orang yang mengajarkanmu cara bertarung seperti itu? Seranganmu tadi sangat terstruktur. Tidak mungkin, kau tidak belajar seni beladiri. Jangan-jangan, kalian mempelajari teknik beladiri di dunia kami, ya?"
Serena mendecakkan lidahnya. "hmph. Kepo banget!"
Di sisi lain, pertempuran antara Violina dan Mael berlangsung dengan intensitas yang berbeda.
Kedua petarung itu tidak hanya mengandalkan kekuatan fisik, tetapi juga mencampurkan teknik beladiri dan sihir mereka ke dalam serangan.
Violina mengangkat tangannya, dan seketika itu juga, angin tajam berhembus dari cakar-cakar kecil di ujung jari tangannya.
Angin itu tidak meraung keras, tetapi cukup kuat untuk meninggalkan goresan mendalam pada beton dan aspal di sekitarnya. Namun, Mael dengan gerakan lincahnya berhasil menghindari semua serangan tersebut.
Dia melompat ke depan, ke samping, bahkan melakukan salto ke udara, menggabungkan kelincahan tubuhnya dengan ketangkasan teknik akrobatik.
"Hampir saja," ucap Mael sambil tersenyum, belatinya berkilauan di bawah cahaya lampu pinggir jalan.
"Sini! Mana sihir dan pukulanmu?!" sentak Violina yang kesal karena musuhnya tidak berani adu serangan, pria sombong itu hanya bisa menghindar saja. "Dasar penakut. Lawan wanita saja, kau tidak berani!"
Mael tersenyum mendengar hal tersebut. Ia melirik Violina dengan tatapan sombong.
"Kau pikir aku bodoh?! Mana mungkin bangsa manusia bisa beradu kekuatan dengan bangsa monster seperti kalian secara langsung."
Giliran Mael yang membuktikan bahwa dirinya tidak hanya bisa bertahan saja. Setelah mengamati pola serangan Violina, ia menyadari sesuatu, menemukan celah kecil dalam pertahanan lawannya.
Dalam sekejap, Mael melesat ke arah Violina, kecepatannya hampir menyerupai bayangan yang berpindah tempat. Belatinya berkelebat, meluncur menuju leher dan wajah Violina dalam rangkaian sabetan bertubi-tubi.
Namun, Violina tidak kalah sigap. Dengan refleks seorang bangsa monster serigala, ia menggerakkan tubuhnya dengan gesit. Sihir angin dipasangkan tipis di sekitar tubuhnya untuk mengacaukan arah mendaratnya belati itu di kulitnya.
Semua sabetan cepat dari belati Mael hanya menggores udara, meski ujungnya berada tak lebih dari beberapa sentimeter dari kulitnya. Kedua mata Violina yang bersinar tajam menunjukkan bahwa ia tidak gentar sedikit pun.
"Sial! Gerakanmu cepat banget! Aku tidak bisa menyentuhmu sama sekali," keluh Mael dengan napas terengah-engah setelah rangkaian serangan yang gagal.
Violina berdiri tenang, kedua tangannya terulur ke depan dalam posisi bertahan, cakarnya yang tajam siap menerjang kapan saja. Namun, ia tak bisa menahan senyum tipisnya.
"Hei, aku yang harusnya bilang begitu!" balas Violina dengan nada mengejek sambil merapikan jubahnya yang sedikit berantakan akibat pergerakannya tadi.
Di tengah jeda pertarungan itu, Serena dan Garr sama-sama mengatur napas mereka.
Kedua petarung itu sempat terdiam, namun pandangan mereka tetap terkunci satu sama lain. Dari sudut mata, mereka menyaksikan sejenak pertarungan sengit antara Mael dan Violina yang berlangsung tidak jauh dari mereka.
Garr tertawa kecil, tatapannya kembali tertuju pada Serena.
"Temanmu cukup menarik," ujarnya dengan nada santai, meski ada keseriusan yang tak bisa disembunyikan. "Teknik beladirinya, aku kenal pola itu. Fokusnya pada berbagai macam tendangan. Sepertinya, ia juga mempelajari beladiri dari dunia kami."
Serena tidak langsung menjawab, hanya mengatur napasnya yang masih berat. Keringat mengalir di pelipisnya, tapi matanya tetap tajam mengawasi Garr.
Garr tiba-tiba mengubah posisinya. Kali ini, kuda-kudanya berbeda dari sebelumnya.
Kedua tangannya diangkat, membentuk huruf X di depan dada.
Gerakannya diikuti oleh perubahan pada sarung tangan besinya. Sebelumnya hanya tangan kanannya yang dilengkapi, kini tangan kirinya juga dilapisi sarung tangan besi berwarna perunggu. Lebih mengejutkan lagi, bilah pedang panjang muncul dari atas sarung tangan tersebut, memancarkan aura mengancam.
"Baiklah," kata Garr dengan nada yang kini terdengar dingin. "Aku akan serius sekarang. Sesuai janjiku, aku akan memotong tubuhmu menjadi beberapa bagian. Akan lebih mudah menjualnya sebagai bahan sihir di pasar nanti." Senyumnya kejam, matanya memancarkan tekad yang tak tergoyahkan.
Serena berdiri tegap. Ia tahu ini bukan saatnya ragu. Dalam hatinya, api semangat mulai menyala.
Dengan suara tenang namun penuh keyakinan, Serena menjawab, "Kalau begitu, aku juga akan serius." Kedua tangannya terangkat, telapaknya mulai mengeluarkan nyala api yang berkobar terang. Api itu menari-nari di sekelilingnya, membuat rambut panjangnya berkibar liar di udara. "Aku tidak akan menggunakan apa pun. Aku hanya menggunakan teknik beladiri yang diajarkan oleh guruku."
Garr tersenyum kecil, bukan karena meremehkan, tetapi karena menikmati tantangan di depan matanya.
"Tebakanku ternyata benar, jika teknik beladiri yang kalian gunakan berasal dari dunia kami," ujarnya sambil menyiapkan langkah berikutnya. "Menarik. Mari kita lihat, apakah gurumu mengajarkanmu cukup banyak teknik beladiri kepadamu!"
Di tengah ketegangan yang terus memuncak, suara lantang Violina menggema di udara.
Gadis serigala itu menatap Serena dengan tajam, sorot matanya penuh dengan keseriusan. Bahkan, alisnya mengkerut dalam hingga mencerminkan betapa seriusnya ia menghadapi situasi ini.
"Serena! Cepat habisi mereka! Gunakan wujud monster nagamu!" teriaknya tanpa ragu, suaranya menggema di medan pertarungan.
Serena menoleh dengan ekspresi kecut yang jelas mencerminkan rasa enggan. Ia tetap mempertahankan kuda-kudanya, kedua tangan yang diselimuti api bergerak perlahan menyesuaikan posisi lawannya.
"Bukannya kau sendiri yang bilang aku tidak boleh bikin keributan? Semua sihirku menghasilkan ledakan, Violina!" balas Serena dengan nada setengah jengkel namun tetap fokus.
Violina menghela napas panjang, seolah menahan rasa kesalnya.
Dia kembali mengalihkan perhatiannya kepada Mael, yang berdiri beberapa meter di depannya dengan dua belati yang tergenggam erat di kedua tangannya. Wajah Mael serius, namun ada sedikit ketegangan yang mulai terlihat dari sorot matanya.
"Kalau begitu, biar aku saja yang serius," ujar Violina sambil menyeringai. Tatapan matanya mengisyaratkan keyakinan penuh, dan senyum nakalnya justru semakin membuat Mael gugup. "Aku punya ide untuk membuat kalian menjawab semua pertanyaan kami."
Mael menelan ludah, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya. Namun, raut wajahnya yang cemas jelas tidak bisa disembunyikan.
"Hah! Jangan sombong dulu, kau! Aku juga belum serius!" serunya dengan suara yang berusaha terdengar percaya diri, meski nada gugupnya sedikit terselip di balik kata-katanya.
Violina hanya tersenyum kecil, senyum yang mencerminkan rasa percaya diri yang tak tergoyahkan.
Dia perlahan-lahan mengangkat kedua tangannya dan mulai melepaskan jubah yang selama ini membungkus tubuhnya.
Jubah itu jatuh ke tanah, menampakkan lengan Violina yang berkulit mulus namun sedikit berotot. Pakaian rangkapnya, sebuah kemeja abu-abu tanpa lengan, kini terlihat jelas. Perubahan aura di sekitarnya begitu terasa.
"Baiklah," ucap Violina sambil menatap Mael lurus. Senyum dinginnya masih terukir di wajah. "Kalau begitu, ayo kita serius."
Saat itu juga, sesuatu yang luar biasa mulai terjadi pada tubuh Violina.
Perubahan yang mendadak namun mengesankan terlihat jelas.
Kedua lengan Violina mulai diselimuti bulu cokelat tebal yang kasar, seperti pelindung baja yang muncul secara alami. Tubuhnya tampak bertambah tinggi, dan otot-ototnya semakin menonjol, menunjukkan kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Ekornya yang sebelumnya menggantung santai kini menegang kaku, bulunya berdiri seperti duri tajam.
Dari tenggorokannya, suara geraman rendah keluar, menggema di udara dan memancarkan aura ancaman yang membuat suasana semakin mencekam.
Mael, yang berdiri beberapa meter di depannya, mundur selangkah dengan mata melebar. Wajahnya yang tadi penuh percaya diri berubah menjadi tegang.
"Apa-apaan ini? Penampilannya jadi jelek sekarang," gumamnya pelan, meskipun nada suaranya tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya.
Violina tidak menanggapi ejekan itu. Dengan perlahan, ia menunduk hingga kedua telapak tangannya menyentuh aspal, tubuhnya mengambil posisi seperti serigala yang bersiap menerkam mangsanya.
Mata kuning tajamnya menatap Mael dengan intens, penuh tekad.
"Aku mulai," ucapnya lirih, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk didengar Mael.
Hanya dalam hitungan detik, Violina melesat. Tubuhnya meluncur seperti anak panah yang dilepaskan, mencakar ke arah wajah Mael dengan kecepatan yang sulit dipercaya.
Lima kuku tajamnya melesat bersama hembusan angin yang begitu kuat hingga membentuk gelombang kecil di udara.
Namun, Mael tidak kalah cepat. Mata pria itu menangkap gerakan Violina, dan dengan refleks luar biasa, ia menghilang dari tempatnya, muncul beberapa meter ke belakang. Gerakan cepatnya membuat jarak di antara mereka kembali terjaga.
"Menjengkelkan," gumam Mael, raut kesal kini tergambar jelas di wajahnya. Namun, senyuman penuh tantangan mulai terukir di bibirnya. Tatapannya menajam, memancarkan semangat bertarung yang tidak kalah mengintimidasi. "Kau mau adu kecepatan? Baiklah, aku akan meladenimu!"
Tanpa peringatan, Mael kembali menghilang, tubuhnya bergerak seolah teleportasi.
Dalam sekejap, ia muncul di sisi kanan Violina, belatinya terangkat tinggi. Dengan gerakan berputar, ia menghunuskan belati hitam itu ke arah punggung Violina, berniat memberikan serangan mematikan.
Namun, Violina bukanlah lawan yang mudah. Telinga serigalanya yang tajam langsung menangkap keberadaan Mael sebelum ia bisa melakukan serangan. Tanpa menoleh, tubuhnya bergerak refleks, berguling cepat ke samping, menghindari tusukan yang hampir mengenai dirinya.
Belati Mael hanya mengenai aspal, namun kekuatannya cukup untuk menggores keras permukaan jalan, menghasilkan suara gemeretak batu-batu kecil yang pecah.
Violina melirik goresan itu sekilas, lalu menatap Mael dengan ekspresi serius.
"Apa-apaan dia? Kenapa dia bisa bergerak secepat itu, seolah langsung berpindah tempat?" gumam Violina dalam hati, pandangannya tetap fokus pada Mael.
Mael mengangkat belatinya, menatap Violina dengan senyum licik. "Kau tidak akan bisa melawanku jika hanya mengandalkan kecepatan biasa. Ayo, tunjukkan apa lagi yang bisa kau lakukan, serigala kecil!"
Sementara itu, Serena dan Garr bergerak serentak, berlari cepat ke arah satu sama lain setelah menyaksikan pertempuran sengit antara teman mereka. Tidak ada lagi keraguan di mata mereka, hanya tekad untuk saling mengalahkan.
Garr, dengan bilah pedang panjang di atas kedua sarung tangannya, melayangkan serangan pertama.
Pedang di tangan kanannya menyabet dengan kecepatan tinggi, membelah udara di sekitarnya. Namun, Serena dengan sigap mengangkat tangan kanannya, menahan bilah itu dengan telapak tangan yang dilapisi api menyala-nyala. Suara desisan terdengar saat panas dari apinya menyentuh logam pedang.
Garr tidak menyerah. Pedang di tangan kirinya segera meluncur ke arah perut Serena, sebuah serangan yang didesain untuk mengakhiri pertarungan dengan cepat. Namun, Serena kembali membuktikan keahliannya.
Dengan tangan kirinya yang juga terbakar api berwarna merah, ia menahan bilah itu sebelum mencapai sasarannya, membuat Garr mendecak kesal.
"Aku akan mengalahkanmu dengan cepat, Nona!" ujar Garr sambil menatap dingin. "Setelah itu, aku akan membantu temanku untuk menghabisi teman serigalamu itu!"
Serena tidak tersulut emosi. Matanya menatap Garr dengan tajam, penuh percaya diri. "Kebanyakan ngomong! Seharusnya kau sadar diri," balasnya. "Tanpa peralatan sihirmu itu, kalian manusia tidak akan bisa apa-apa."
Tanpa basa-basi lagi, Serena mendorong kedua tangan Garr menjauh dengan kekuatan mendadak. Celah besar di pertahanan pria itu langsung terlihat, dan Serena tidak menyia-nyiakannya. ia melompat cepat, lutut kanannya menghantam keras dada Garr.
"Urgh!" Garr terbatuk keras, tubuhnya terhuyung ke belakang. Wajahnya meringis menahan rasa sakit yang menjalar dari dadanya. Namun, Serena tidak berhenti. ia melanjutkan dengan sebuah pukulan api yang melesat menuju wajah Garr.
Kali ini, Garr bereaksi lebih cepat. Tangan kirinya yang bersarung besi sihir segera diangkat untuk menahan serangan itu.
Pukulan Serena yang penuh tenaga api terhenti, membuat percikan api menyebar ke udara. Namun, dampak dari pukulan itu cukup untuk membuat Garr terjatuh, tubuhnya tergeletak di atas aspal yang retak.
Serena tidak memberinya waktu untuk bernapas. Dengan tendangan lurus yang penuh tenaga, ia menghantam dada Garr lagi dengan tendangannya, mengirim pria botak itu terlempar ke belakang.
Tubuh Garr menabrak pagar pembatas besi di tepi jalan, suara dentingan nyaring terdengar saat pagar itu penyok akibat benturannya.
"Urgh! Menyebalkan," keluh Garr, napasnya tersengal-sengal.
Perlahan, ia berusaha bangkit dengan kedua tangan menopang tubuhnya. Meskipun terlindungi oleh zirah perunggu sihirnya, rasa sakit tetap terasa.
Matanya menatap gadis beramput putih, yang berdiri tegap di hadapannya dengan aura api yang terus berkobar di kedua tangannya.
"Sialan! Aku terbawa suasana. Aku lupa, kalo tenaga bangsa monster itu sangat kuat," gumam Garr dengan terbata-bata, nafasnya tidak beraturan "Tenagaku tidak setara."
Serena berdiri tegak, menatap Garr yang terhuyung-huyung mencoba berdiri di tengah kepulan uap panas dari zirah sihirnya. Api di telapak tangannya meredup perlahan, menyisakan hawa panas di udara.
"Kalau kau sudah tahu kau tidak bisa menang, kenapa tidak berhenti dari tadi?!" teriak Serena dengan nada tegas, tatapannya tajam menusuk.
Garr mendongak, menyeka darah di sudut bibirnya dengan punggung tangan. Alih-alih menjawab serius, ia justru menyeringai lebar, senyuman mengejek tergambar jelas di wajahnya.
"Hahaha! Karena aku malas."
Namun, Serena tidak terpengaruh oleh ejekan itu. Amarahnya justru makin membara. Tanpa banyak bicara, ia segera melangkah maju, mendekati Garr yang sedang berusaha menopang tubuhnya dengan satu lutut.
Serena melompat dengan gesit, mendarat di atas tubuh Garr. Kedua lututnya menekan dada pria itu dengan kuat, membuatnya kembali terjatuh ke aspal yang retak.
"Kalo begitu. Akan aku buat kau malas berdiri juga!" katanya sinis.
Pukulan bertubi-tubi meluncur dari tangan Serena, menghantam helm zirah sihir Garr yang kini melindungi wajahnya. Sarung tangan sihir itu bergerak sendiri. Sekejap mata, cahaya kuning langsung menutupi wajah dan semua tubuh Garr dengan helm dari baju zirah.
Setiap tinju yang dilayangkan gadis berambut putih itu mengeluarkan suara dentingan nyaring saat bertabrakan dengan logam helm.
"Ayo! Jawab aku sekarang!" bentak Serena di sela-sela pukulannya. "Kenapa kalian menyerang bangsa kami?! Apa tujuan kalian?! Jawab!"
Namun, Garr tetap diam. ia hanya bisa pasrah, tubuh kekarnya tidak sanggup melawan tekanan dari lutut Serena yang menancap kuat di dadanya. Helm zirahnya menahan setiap pukulan, tapi tidak ada yang tahu berapa lama lagi helm itu bisa bertahan.
Mael tidak bisa lagi menahan emosinya. Melihat temannya, Garr, dipermalukan seperti itu membuat hatinya mendidih. Suaranya bergemuruh di tengah medan pertempuran.
"Garr! Apa yang kau lakukan?! Lawan balik dia! Banting tubuhnya ke aspal!" Teriaknya penuh amarah, suaranya bergetar seperti letusan yang memecah udara.
Namun, Garr tetap diam. Wajahnya tak terlihat di balik helm sihirnya, hanya desah napas beratnya yang terdengar samar. Sementara itu, kakinya masih berusaha memberikan perlawanan kecil—bergerak setiap kali Serena menghantam helmnya dengan tinjunya yang penuh kemarahan.
Violina, yang berdiri tak jauh dari Mael, mencibir dengan nada mengejek.
"Jangan harap temanmu bisa mengalahkan temanku," katanya sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Dia itu pemegang peringkat Petualang Monster, dengan tenaga terkuat nomer dua belas. Kalau aku jadi kau, aku tidak akan buang-buang tenaga memotivasi temanmu."
Mael menggertakkan giginya, ekspresinya berubah semakin gelap. Ucapan Violina seolah menambah bensin pada api amarahnya. Tanpa berpikir panjang, ia bergerak.
Dia menoleh dengan tatapan penuh amarah, matanya menyipit menatap Violina. "Diam, kau!" bentaknya, tapi kata-kata gadis serigala itu telah merasuk ke pikirannya.
Mael kembali memandang Garr yang tampak tak berdaya di bawah Serena. Dengan napas yang terengah-engah, Mael menggertakkan giginya.
Dua belati hitam di tangannya bergetar sebelum memanjang, berubah menjadi pedang hitam panjang yang tampak berbahaya. Ia melesat seperti kilat, berlari dengan kecepatan luar biasa menuju Gar.
"Lepaskan dia sekarang juga!" teriak Mael dengan nada tegas.
Serena, yang masih duduk di atas Garr, segera menyadari bahaya yang mendekat. Ia mendongak, dan matanya yang dingin memancarkan kewaspadaan.
Dalam sekejap, Serena melompat ke samping, berguling dengan lincah untuk menghindari sabetan pedang Mael yang memotong udara tepat di tempat dirinya berada.
Mael berlutut di sisi Garr yang terkapar, memegang bahunya dengan cemas. Wajahnya yang penuh amarah kini berubah menjadi kekhawatiran.
"Garr! Bangun! Kau tidak apa-apa kan?" Mael menggoyang-goyangkan tubuh temannya, mencoba membangunkannya.
Helm zirah sihir yang menutupi kepala Garr mulai retak dan perlahan memudar, memperlihatkan wajah pria botak itu. Wajahnya babak belur, dengan darah mengalir dari hidung dan sudut bibirnya. Garr membuka matanya dengan lemah, menatap Mael yang terlihat panik di hadapannya.
"Maaf, kawan," gumam Garr, suaranya serak dan melemah. ia memaksakan senyum kecil meskipun wajahnya penuh luka. "Aku lemah sekali ternyata, melawan seorang wanita saja aku tidak bisa."
Mael menggertakkan giginya keras, jemarinya mengepal begitu kuat hingga telapak tangannya memutih. Wajahnya penuh amarah dan frustrasi, matanya tak lepas memandang Serena dan Violina yang berdiri dengan percaya diri di hadapan mereka.
"Bukan salahmu, kawan," ucap Mael dengan nada dingin, mencoba menenangkan Garr. "Mereka itu bukan wanita biasa." Meski kalimatnya berniat untuk menghibur, suaranya tetap menyimpan dendam yang sulit disembunyikan.
Garr menggeram, rasa kesalnya meledak. Tangan kanannya menghantam keras ke aspal, menghasilkan suara gemeretak kecil dari pecahan batu di bawahnya.
"Andai saja, peralatan sihirku lebih kuat dari ini. Kalau saja aku punya senjata yang lebih hebat, aku pasti tidak akan kalah seperti ini!" ucapnya dengan nada penuh kekesalan dan penyesalan.
Serena dan Violina berdiri tidak jauh dari mereka. Serena menaikkan tangan kanannya, sedada. Wajahnya dingin dan tanpa ampun. Api tipis berkobar di telapak tangannya, memantulkan cahaya jingga ke wajahnya.
"Sepertinya kami yang menang," ucap Serena, nadanya tegas dan menusuk. ia menurunkan tangannya, jari-jarinya yang menyala terang, mengarah langsung kepada Mael dan Garr. "Sekarang jawab pertanyaanku!" serunya, nada suaranya mengintimidasi seperti api yang berkobar. "Kenapa kalian menyerang para pemburu monster yang sedang menjalankan quest mereka? Mereka tidak pernah mengganggu kalian."
Violina, yang berdiri sedikit di belakang Serena, ikut maju selangkah. Dengan tangan bertolak pinggang, ia menatap Mael dan Garr dengan tatapan tajam.
"Dan satu lagi," katanya, nada suaranya penuh sindiran. "Kenapa kalian tertarik dengan peta yang kami bawa?"
Violina perlahan memejamkan matanya, menarik napas panjang.
Dalam sekejap, ciri-ciri monsternya mulai menghilang. Telinga serigala di kepalanya lenyap tanpa jejak, begitu pula bulu cokelat tebal yang menyelimuti lengannya. Ekor yang menjuntai dari balik roknya juga memudar seperti debu yang tertiup angin. Tubuhnya yang tadi menjulang kini kembali ke ukuran normalnya, seperti seorang gadis biasa.
Mael, yang masih berlutut di samping Garr, menatap dua gadis di depannya dengan mata yang sulit dipercaya.
Terutama gadis serigala itu. Parasnya menjadi berbeda, meski baru saja menunjukkan sisi ganasnya, kini penampilannya terlihat begitu manusiawi bahkan cantik.
Mael menelan ludah dengan susah payah, menelan fakta, jika dirinya kalah dari gadis monster yang cantik tersebut. Wajahnya sampai basah oleh keringat.
Setelah menutup mata sejenak untuk menenangkan dirinya, ia akhirnya menghela napas panjang. Tanpa berkata apa-apa, Mael melempar kedua pedang hitam panjang yang tadi digenggamnya ke aspal, suara logamnya berdering pelan.
"Baiklah," ucap Mael dengan nada menyerah. "Aku akan menjelaskan semuanya, tapi tolong, ampuni kami. Kami menyerah. Aku bersumpah akan memberikan apa saja yang kami miliki."
Violina melirik ke arah bekas pertarungannya sebelumnya, tempat jubah panjangnya tergeletak.
Dia mengangkat tangan kanannya perlahan, dan angin berputar di sekitarnya, membawa jubah itu terbang ke arahnya. Jubah itu mendarat lembut di tangannya, seperti tunduk pada pemiliknya.
"Baiklah, kami setuju. Tapi kau harus bicara dengan jujur," ujar Violina dingin sambil mengenakan kembali jubahnya.
Di sisi lain, Serena menurunkan tangan kanannya yang masih memancarkan bara api.
Sorot matanya tetap tajam, tapi ia merasa tidak ada lagi ancaman serius dari dua pria itu. Dengan langkah perlahan, ia mendekat ke sisi Violina, memastikan posisi mereka tetap siap jika terjadi sesuatu. Tidak lupa mematikan bara api di tangannya.
"Jangan coba-coba bohong!" tambah Serena sambil melipat tangannya di dada. "Aku tidak akan segan-segan menghajar kalian, jika jawabanmu tidak memuaskan."
Mael menarik napas dalam-dalam sekali lagi, mencoba menenangkan dirinya. Wajahnya menunjukkan kelelahan, tapi juga rasa pasrah.
"Kami ditugaskan untuk mencari peta yang dibawa oleh Petualang Monster yang sedang menyelesaikan quest di kota," ucapnya, suaranya gemetar.
"Peta?" tanya Serena, nada suaranya rendah, tapi penuh kewaspadaan.
"Ya," jawab Mael, mengangguk pelan. "Serikat Guild Ksatria memberi kami perintah kepada semua Petualang Ksatria. Mereka bilang peta itu sangat penting untuk misi besar mereka. Karena itulah, kami harus melawan para Petualang Monster untuk mengambilnya, termasuk kalian."
Violina dan Serena saling bertukar pandang. Violina menyipitkan matanya, lalu kembali menatap Mael. "Apa yang akan kalian gunakan terhadap peta itu? Kenapa Serikat Guild Ksatria tiba-tiba menginginkannya?" tanyanya tajam.
Mael menggeleng pelan. "Aku tidak tahu alasannya. Kami hanya disuruh untuk mengambilnya dengan cara apapun, karena imbalan yang akan diberikan sangat banyak." ia menundukkan kepalanya, suaranya mulai memelas. "Itulah yang aku tahu. Tolong, biarkan kami pergi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments