Rencana (2)

Mereka mengikuti Pak Malvier menuju area duduk yang terletak di pinggir laboratorium.

Lima sofa panjang berjejer melingkari sebuah meja kayu dengan ukiran detail di permukaannya. Di dinding belakang, beberapa komputer canggih tertanam dengan kabel-kabel yang menjalar ke atas, terhubung ke lampu-lampu bundar yang saat ini masih padam.

Pak Malvier duduk di sofa utama, berhadapan langsung dengan keempat sofa lainnya.

"Maaf ya," kata beliau sambil menyandarkan punggung ke sofa. "Saya tidak bisa menyiapkan makanan atau minuman di ruangan ini. Laboratorium ini harus tetap steril."

Serena, yang sudah lebih dulu duduk, mengangkat kedua tangannya di depan dada, memberi isyarat bahwa itu bukan masalah besar.

“Tidak apa-apa, Tuan Malvier. Anda sudah banyak membantu saya dan teman-teman saya,” ujarnya dengan senyum sopan.

Monte dan Simpe ikut duduk di sofa sebelah kiri, membuat Serena tampak berada di tengah, menghadap Pak Malvier secara langsung.

Monte, dengan nada hormat, sedikit mencondongkan tubuh ke depan. “Tuan Malvier, apakah kami juga boleh bertanya, atau hanya Serena saja yang diizinkan?”

Pak Malvier mengangguk pelan, ekspresinya tetap santai. “Terserah kalian. Kalau kalian punya pertanyaan, silakan saja. Tapi saya hanya membatasi dua pertanyaan agar kita tidak menghabiskan terlalu banyak waktu.”

Serena mengangguk, begitu juga Monte dan Simpe. Mereka menerima syarat itu tanpa keberatan.

Sebelum bertanya, mata Serena sempat melirik ke arah tempat pemeriksaan Violina.

Tirai hijau sudah ditutup rapat, dan beberapa peneliti dari berbagai ras telah masuk ke dalamnya. Lampu di dalam ruangan itu menyala terang, menandakan bahwa pemeriksaan telah dimulai.

Serena menarik napas panjang, lalu menyilangkan kakinya. Dia berpikir sejenak, memastikan pertanyaannya benar-benar berbobot sebelum disampaikan.

Akhirnya, Serena menatap Pak Malvier dengan serius.

“Baiklah, Tuan Malvier,” katanya, suaranya terdengar lebih mantap. “Saya ingin bertanya tentang sesuatu yang terjadi sebelumnya. Tentang bau vanilla yang keluar dari keringat saya dan artefak dewa yang Anda sebutkan. Apakah semua itu ada hubungannya?”

Ruangan itu tiba-tiba terasa lebih sunyi. Hanya suara dengungan mesin pemeriksaan dan langkah para peneliti yang terdengar samar, seolah menjadi latar bagi ketegangan yang perlahan menyelimuti mereka.

Simpe dan Monte tak berkata apa-apa. Tatapan mereka terkunci pada Pak Malvier, menunggu jawabannya.

Di sisi lain, Pak Malvier tampak sedang berpikir. Beliau menghela napas ringan, lalu menyandarkan tubuhnya ke sofa.

Jemarinya mengetuk-ngetuk lengan kursi dengan ritme teratur, seolah tengah menimbang bagaimana cara terbaik untuk menjelaskan sesuatu yang mungkin terlalu kompleks untuk diungkapkan dalam kata-kata sederhana.

Akhirnya, beliau berbicara.

“Baiklah. Akan saya jawab.” Pak Malvier menegakkan tubuhnya, lalu menambahkan, “Tapi mungkin penjelasannya agak panjang.”

Beliau lalu bangkit dari sofa dan berjalan menuju dinding samping, tempat beberapa layar komputer tertanam. Kabel-kabel menyambung dari satu perangkat ke perangkat lain, menjalar seperti akar pohon yang menembus tembok.

Di salah satu panel, terdapat alat dengan gambar telapak tangan yang terukir jelas di atasnya. Tulisan "Taruh di sini" terpampang di atas alat itu, lengkap dengan anak panah yang menunjuk ke bawah.

Tanpa ragu, Pak Malvier menempelkan telapak tangannya di sana.

Seketika, ruangan laboratorium yang semula terang langsung tenggelam dalam kegelapan.

Serena tersentak sedikit, merasa ada sesuatu yang ganjil, sementara Simpe dan Monte tetap tenang seperti sudah terbiasa.

Mereka tetap fokus menatap Pak Malvier, seakan sudah terbiasa dengan kejutan semacam ini.

Satu-satunya cahaya yang tersisa masih berasal dari ruang pemeriksaan Violina. Lampu berwarna kuning menerangi tirai hijau yang menutupi area itu, membuat bayangan para peneliti bergerak samar di baliknya.

Serena melirik ke arah Simpe, suaranya berbisik, tetapi cukup jelas di tengah keheningan ruangan.

“Tuan Malvier mau melakukan apa, sih?”

Simpe, yang sedari tadi hanya diam, akhirnya menoleh sebentar. Matanya menatap ke atas sebelum menjawab, seolah memastikan sesuatu.

"Beliau sedang menyalakan hologram. Alat seperti televisi milik bangsa manusia, tapi jauh lebih canggih."

Monte mengangguk setuju, lalu mengangkat tangan dan menunjuk ke langit-langit laboratorium.

“Perhatikan saja di atas, Nona,” katanya dengan suara lebih rendah. “Kau akan melihat sendiri seperti apa bentuknya.”

Serena mengikuti arah tunjuk Monte. Matanya menatap ke atas, ke langit-langit laboratorium yang semula gelap.

Perlahan, cahaya mulai muncul. Lampu-lampu yang sebelumnya mati kini menyala kembali, bukan dengan cahaya biasa, tetapi dengan sinar yang membentuk pola-pola di udara. Seperti serpihan-serpihan cahaya yang berkumpul dan merajut dirinya sendiri, hingga akhirnya membentuk sebuah proyeksi gambar yang melayang di tengah ruangan.

Hologram itu begitu jelas, seolah-olah apa yang ditampilkan adalah sesuatu yang nyata dan bisa disentuh.

Para peneliti yang semula sibuk dengan tugas mereka sejenak terpaku, menatap ke langit-langit laboratorium. Proyeksi hologram itu begitu memukau. Warnanya beraneka ragam, membentuk pola yang tampak hampir nyata, seakan mereka sedang melihat langsung ke dunia lain.

Serena menelan ludah. Ini pertama kalinya ia melihat teknologi seajaib ini secara langsung.

"Maaf membuat kalian menunggu," suara Pak Malvier akhirnya memecah keheningan.

Beliau berjalan kembali ke meja, tapi kali ini tidak duduk. Dengan ekspresinya serius, beliau mengangkat satu tangan, menunjuk ke hologram di atas mereka.

"Saya ingin kalian memperhatikan ini dengan baik. Mungkin ini bisa menjawab pertanyaanmu, Nak Serena."

Serena mengangguk tanpa sadar. Tatapan matanya terpaku pada cahaya yang berpendar di langit-langit. Hologram itu bergerak, mulai membentuk gambar seperti film tiga dimensi yang begitu hidup.

Di dalamnya, tampak dunia yang berbeda. Sebuah lanskap luas dengan kota-kota yang bercahaya, hutan-hutan lebat yang penuh makhluk ajaib, serta hamparan gurun yang berangin kencang. Semuanya tampak begitu nyata, seakan mereka bisa melangkah masuk ke dalamnya.

Pak Malvier mulai berbicara, suaranya terdengar lebih dalam seiring dengan perubahan adegan di hologram.

“Dahulu, dunia kita berjalan seperti biasa. Tidak ada yang benar-benar aneh atau di luar kendali. Meski peperangan kecil antara bangsa manusia dan monster masih sering terjadi, itu bukanlah sesuatu yang luar biasa. Itu sudah menjadi bagian dari keseimbangan dunia.”

Hologram menampilkan pemandangan kehidupan di dunia sihir pada masa lalu.

Bangsa monster dan manusia berbaur dalam berbagai kondisi. Ada yang hidup berdampingan dalam damai, bekerja sama di kota-kota besar, dan bahkan berkeluarga. Namun, di sisi lain, ada juga yang saling bermusuhan, bertempur di medan perang yang penuh kobaran api dan sihir berkilat.

Serena menatap layar hologram tanpa berkedip. Simpe dan Monte juga tak beranjak, kepala mereka mendongak, menatap proyeksi dengan ekspresi yang mengerut seakan tengah mencerna informasi yang ditampilkan.

Pak Malvier melanjutkan, suaranya sedikit berat.

“Tapi tidak selamanya keseimbangan itu bertahan. Suatu saat, dunia mulai kekurangan sumber daya. Bahan makanan menjadi langka. Material untuk peralatan sihir dan obat-obatan semakin sulit ditemukan.”

Gambar di hologram berganti. Kini mereka melihat gambaran kota-kota yang dulunya makmur berubah menjadi suram. Pasar yang semula tentram berubah menjadi kekacauan. Rak-rak kosong, wajah-wajah kelaparan, dan orang-orang yang mulai kehilangan kesabaran.

Di salah satu sudut hologram, seorang manusia terlihat menghajar bangsa monster, sementara monster lain berusaha membela sesamanya. Kekacauan itu menyebar ke seluruh penjuru dunia sihir.

“Bangsa manusia percaya bahwa kelangkaan ini disebabkan oleh bangsa monster yang memonopoli sumber daya. Mereka yakin bahwa bangsa monster menyimpan hasil tambang dan bahan makanan hanya untuk diri mereka sendiri.”

Hologram menampilkan pertemuan antara para petinggi manusia. Mereka mengenakan pakaian mewah, duduk di ruang rapat besar, berdebat dengan sengit.

Di sisi lain, tampak para petualang manusia yang mengeluh di bar-bar kumuh. Mereka kesulitan mendapatkan obat-obatan karena bahan-bahannya hanya tumbuh di wilayah monster.

“Namun, bangsa monster tidak tinggal diam. Mereka membalas tuduhan itu dengan kebenaran mereka sendiri.”

Gambar berganti lagi. Kali ini menampilkan pertemuan para pemimpin monster. Beberapa dari mereka berdiri dengan ekspresi marah, yang lain tampak gelisah.

“Mereka menuduh bangsa manusia lebih dulu memonopoli dungeon yang diberikan oleh Dewi Variessa. Dungeon yang seharusnya bisa diakses oleh semua ras malah dikuasai sepenuhnya oleh manusia.”

Hologram menampilkan dungeon-dungeon megah yang terletak di wilayah manusia.

Petualang manusia terlihat keluar-masuk, membawa harta berkilauan. Bukan hanya emas, tapi juga item sihir langka seperti potion penyembuh dan peralatan sihir yang luar biasa kuat.

Di sisi lain, bangsa monster hanya bisa menatap dari kejauhan.

Mereka yang mencoba masuk ke dungeon segera dihadang oleh petualang manusia.

Guild-guild besar melarang mereka masuk, menganggap keberadaan monster hanya akan mengurangi jumlah reward item yang tersedia. Beberapa petualang bahkan tidak segan melukai monster yang nekat menantang aturan itu.

Pak Malvier mengangkat tangan, menunjuk ke salah satu gambar yang muncul.

“Dungeon itu menghasilkan berbagai item langka. Salah satu artefak yang paling dicari oleh semua bangsa adalah Kertas Reward. Sebuah artefak yang memungkinkan pemiliknya meminta apapun, selama permintaan itu masih sesuai dengan batasannya.”

Serena mengerutkan dahinya. Ia memeluk dirinya sendiri, ekspresi wajahnya penuh kebingungan. Kedua alisnya bertaut erat, pikirannya berputar dengan cepat.

Monte tiba-tiba mengangkat tangannya, menghentikan penjelasan Pak Malvier.

"Maaf, Tuan Malvier. Itu kan sejarah dunia sihir pada zaman dahulu. Dimana jawaban untuk pertanyaan Nona Serena sebelumnya?"

Simpe yang semula duduk dengan serius sampai menyandarkan tubuhnya ke sofa langsung menoleh dengan wajah kesal.

"Ayolah, kawan! Itu penjelasan yang bagus! Kenapa malah kau potong begitu saja?"

Monte santai saja. Dia mengelus kumis tikusnya yang melengkung di pipi kanannya.

"Aku sudah tahu semua itu." Ia menghela napas ringan. "Sejarah kelam dunia sihir sudah menjadi dongeng pengantar tidur bagi bangsa tikus tanah sepertiku.”

Serena menatap Monte dengan ekspresi penuh tanda tanya.

"Tuan Monte, kenapa kau bisa tahu semua ini? Aku yang mengalaminya sendiri saja tidak tahu apa-apa."

Pak Malvier tersenyum tipis. Beliau mengangguk santai, seolah pengakuan Monte bukanlah hal yang mengejutkan baginya.

"Bangsa tikus tanah memang terkenal cerdik. Mereka mendengar lebih banyak dari yang orang lain kira. Saya yakin, keluargamu sering mendengarkan pembicaraan dari bangsa lain saat bersembunyi di dalam tanah, bukan begitu, Nak Monte?"

Monte tidak membantah. Ia hanya terkekeh kecil, mengangkat bahu dengan santai.

"Dan pastinya juga, bangsamu tidak terkena wabah di zaman itu. Itulah sebabnya kau bisa mendengarkan cerita ini dengan tenang."

Sementara itu, hologram di atas mereka perlahan mulai meredup. Gambar-gambar konflik dunia sihir lenyap begitu Pak Malvier menyelesaikan ceritanya.

Monte menghela napas ringan. Ia menyandarkan tubuhnya ke sofa sebelum berkata, "Benar, Tuan Malvier. Penyebab kekacauan besar kala itu adalah wabah misterius yang menyebar ke seluruh dunia sihir.

Wabah itu mengubah segalanya. Bangsa manusia yang terinfeksi bisa bermutasi menjadi monster, sementara bangsa monster yang terjangkit akan kehilangan akal sehat mereka dan menjadi liar."

Serena mengepalkan tangannya. Pikirannya langsung melayang ke masa lalu.

"Lalu, Tuan Monte, apa hubungannya dengan gejala yang aku alami?" suaranya lirih, tapi ada kegelisahan yang jelas terasa di dalamnya. "Sejak dulu, bahkan sebelum aku menyadari semua ini, aku selalu diburu. Aku dan orang tuaku harus terus berpindah-pindah sampai akhirnya aku terpisah dari mereka karena kontrak dengan dewa quest ini."

Monte menatapnya dalam, seakan mempertimbangkan bagaimana ia harus menjawab.

Setelah beberapa detik hening, ia membetulkan posisi duduknya dan berkata pelan, "Menurutku, itu karena kau adalah kandidat pemilik artefak legendaris yang diturunkan oleh dewa baru itu, Nona."

Ruangan terasa lebih dingin seketika. Semua orang terdiam, memandang Monte dengan ekspresi penuh tanya.

Namun, di antara mereka, Serena adalah yang paling terkejut. Matanya membesar, mulutnya sedikit terbuka, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Dewa baru? Pemilik artefak legendaris? Apa maksudnya?" tanyanya cepat, suaranya sedikit bergetar.

Monte tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap Pak Malvier yang sudah duduk di sofanya, lalu mengangkat satu jari, menunjuk beliau dengan ekspresi santai.

"Sebaiknya Tuan Malvier saja yang menjelaskannya," katanya sambil tersenyum tipis. "Akan nanggung kalau aku yang memberi tahu separuh cerita."

Pak Malvier tertawa kecil, tampak tidak terganggu dengan sikap Monte. Beliau kembali mengalihkan pandangannya ke Serena, wajahnya masih menyiratkan ketenangan yang khas.

"Tenang saja," ujar beliau sambil menatap Serena. "Penjelasan saya sebelumnya akan membawa kita ke bagian ini."

Di tempat duduknya, Simpe menggaruk kepalanya sendiri. Wajahnya penuh kebingungan, seakan ingin ikut berbicara tetapi tak tahu harus mengatakan apa.

"Aku ingin ikut meramaikan suasana, tapi aku gak tahu harus ngomong apa. Ya sudah, aku diam aja deh."

Monte melirik Simpe dan tertawa kecil. "Bagus, kawan. Kadang diam itu lebih baik."

Pak Malvier mengangkat tangannya ke atas, dan dalam sekejap, hologram yang sebelumnya redup kembali menyala.

Cahaya berpendar di langit-langit laboratorium, membentuk bayangan berwarna-warni yang berputar perlahan sebelum menampilkan sebuah adegan baru.

"Tolong kalian simak baik-baik. Saya akan melanjutkan ceritanya," ujar Pak Malvier.

Serena menelan ludah. Simpe dan Monte kembali fokus, memperhatikan setiap detail yang mulai tergambar di hologram.

Gambar yang muncul memperlihatkan kerusuhan di berbagai wilayah dunia sihir—orang-orang yang marah, meneriakkan kutukan ke langit. Wajah-wajah yang dulunya penuh harapan kini dipenuhi kebencian dan keputusasaan.

"Akibat keterpurukan yang melanda dunia sihir, mulai muncul pendapat bahwa semua ini adalah kesalahan Dewi Variessa. Mereka yang dulu memuja dan bersyukur atas berkah-Nya, kini berbalik menyalahkan. Mereka menganggap berkah yang diberikan tidak membawa kemakmuran, tetapi justru kesengsaraan."

Gambar berubah. Tampak orang-orang berbondong-bondong menuju kuil Dewi Variessa, wajah mereka penuh harap sekaligus amarah.

Mereka menuntut jawaban. Mereka meminta para pelayan kuil untuk berdoa, untuk memohon berkah baru dari sang Dewi agar mengakhiri penderitaan mereka.

Namun, para pelayan kuil hanya bisa menggelengkan kepala.

"Kami tidak bisa melakukan itu," kata salah satu pendeta di hologram, suaranya bergetar. "Dewi Variessa telah memberikan segalanya. Dia tidak bersalah. Kalianlah yang membawa kehancuran ini pada diri kalian sendiri."

Di dalam hologram, gambaran orang-orang yang dulu pernah berdoa dengan penuh harapan kini berubah menjadi para penyerang yang menghancurkan kuil.

Mereka melawan para pendeta, memaksa mereka memberikan jawaban yang tidak bisa mereka berikan.

Gambar berganti lagi, menampilkan pemandangan kuil yang dihancurkan oleh kemarahan rakyat.

Api membakar tempat suci itu, sementara para pendeta hanya bisa menatap dengan putus asa.

Simpe yang sedari tadi memperhatikan hanya bisa termenung. Ia menghela napas panjang, mencoba mencerna semua yang baru saja ia lihat.

"Aku baru tahu hal itu," gumamnya pelan. "Kupikir dunia sihir mulai kacau setelah munculnya Dewa Quest. Ternyata, semuanya sudah berantakan jauh sebelum itu."

Monte menggeleng pelan. Matanya menatap lurus ke hologram, lalu beralih ke Simpe dengan ekspresi serius.

"Tidak. Menurut buyutku, bencana ini bukan sekadar kebetulan. Semua ini terjadi karena keserakahan bangsa manusia dan monster. Mereka ingin memonopoli berkah Dewi Variessa hanya untuk diri mereka sendiri."

Serena menggigit bibir bawahnya. Ada sesuatu yang mengusik hatinya setelah menyaksikan semua kejadian di hologram tersebut.

"Kalau begitu," suaranya hampir berbisik. "Apa hubungan semua ini denganku?"

Pak Malvier tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat.

"Pertanyaan yang bagus, Nak Serena. Dan sekarang, kita akan sampai pada bagian yang paling penting."

Hologram kembali berubah, menampilkan sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar perang antara manusia dan monster. Kali ini, yang tergambar di atas mereka adalah awal dari sebuah era yang mengubah dunia sihir selamanya.

Pak Malvier menarik napas dalam sebelum berbicara lagi.

"Tak lama setelah kuil Dewi Variessa dihancurkan, sesuatu yang mengejutkan terjadi."

Cahaya hologram berpendar, menampilkan reruntuhan kuil yang porak-poranda. Lalu, dari puing-puing altar Dewi Variessa, segumpal asap hitam perlahan muncul, berputar seperti angin puyuh yang mengisap sisa-sisa kehancuran.

Asap itu kemudian membentuk sesosok pria bertubuh kurus, dengan tanduk panjang melengkung dan sepasang mata merah menyala. Ekor kurusnya yang panjang melayang di udara seperti cambuk.

Sosok itu melayang di atas altar, menatap para penyintas yang masih tersisa di tempat itu. Suaranya menggema, dalam dan penuh keyakinan.

"Aku datang untuk membawa perubahan," katanya. "Dunia ini telah gagal di tangan Dewi kalian. Oleh karena itu, aku akan membangun sesuatu yang lebih baik. Sebuah dunia tanpa kelaparan, tanpa perpecahan, tanpa penderitaan, dengan satu syarat."

Sosok itu melayangkan tangannya, dan di sekelilingnya, reruntuhan kuil mulai terangkat ke udara, terhisap oleh pusaran hitam, melenyapkan puing-puing altar.

"Hancurkan setiap kuil Dewi Variessa. Lenyapkan namanya dari ingatan kalian. Sembahlah aku, dan aku akan memberi kalian kemakmuran yang kalian impikan."

Monte mengerutkan dahi. "Apa?! Ada Sejarah seperti ini? Kenapa aku tidak pernah mendengarnya? Buyutku bahkan tidak pernah menceritakan hal ini kepadaku."

Pak Malvier menutup matanya sesaat. Wajahnya tampak lelah, seolah mengingat sesuatu yang sangat berat. Tapi kemudian, setelah menghela napas panjang dan mengusap wajahnya, beliau kembali menatap mereka seolah tidak terjadi apapun.

"Tidak banyak yang tahu," katanya pelan, suaranya terdengar dalam keheningan ruangan. "Dan tentu saja, karena saya adalah salah satu dari sedikit orang yang pernah menjadi pelayan kuil Dewi Variessa. Kami berusaha sekuat tenaga menolak kehadiran sosok itu. Kami tahu, dia bukanlah penyelamat, tapi ancaman yang akan menghancurkan dunia sihir. Namun, kami gagal."

Pak Malvier menundukkan kepalanya sejenak sebelum melanjutkan, "Banyak orang yang bersedia mengikutinya. Mereka melihatnya sebagai harapan, bukan sebagai kehancuran. Dan di situlah segalanya mulai berubah."

Hologram berganti lagi. Kali ini, gambar yang terpampang memperlihatkan dua kubu. Di satu sisi, para pelayan kuil Dewi Variessa berdiri teguh, menolak tunduk pada entitas baru itu.

Di sisi lain, orang-orang yang putus asa, mulai membungkukkan badan di hadapan sosok asap itu.

Mereka berlutut, menyerahkan diri pada kekuatan yang dijanjikan. Di antara mereka, ada yang berasal dari bangsa manusia, ada juga bangsa monster. Mata mereka penuh harapan akan perubahan yang dijanjikan

Monte menatap hologram itu dalam diam, lalu melirik ke arah Serena yang duduk di sampingnya.

Dengan suara pelan, ia berbisik, "Ini dia, jawaban yang kau cari, Nona."

Serena menelan ludah. Tangan gemetarannya meraih ekor naganya dan memeluknya erat, seolah itu satu-satunya yang bisa menenangkan debaran jantungnya.

Pak Malvier masih terdiam, membiarkan semua orang mencerna apa yang baru saja mereka saksikan.

Hologram tidak langsung berganti. Beliau ingin mereka siap karena bagian berikutnya bukanlah sesuatu yang mudah diterima. Dan akhirnya, gambarnya berubah lagi.

Sosok asap bertanduk itu kini melayang tinggi di udara. Kedua tangannya terangkat ke angkasa, dan tiba-tiba, dari balik tubuhnya, muncullah sebuah pusaran hitam.

Perlahan, dari dalamnya, muncul enam cahaya yang berpendar terang. Enam cahaya itu melesat ke segala penjuru dunia sihir, menyebar seperti meteor yang jatuh dari langit.

Dan di mana pun cahaya itu menyentuh tanah, keajaiban terjadi.

Hologram menampilkan tanah-tanah yang sebelumnya tandus kini berubah hijau, dipenuhi tumbuhan-tumbuhan baru yang tak pernah terlihat sebelumnya.

Sungai-sungai yang mengering kembali mengalir, membawa air sejernih kristal. Bahkan monster-monster baru bermunculan, seolah dunia sihir tengah mengalami kelahiran kembali.

Di atas sana, sosok asap itu menatap semua yang terjadi dengan senyum samar.

"Aku telah mengubah dunia ini sesuai keinginan kalian." suaranya bergema ke seluruh penjuru hologram. "Jika kalian ingin mengubahnya kembali maka selesaikanlah quest-ku. Di sana, kalian akan menemukan reward yang dapat mengabulkan semua keinginan kalian."

Lampu-lampu di laboratorium kembali menyala, menggantikan cahaya hologram yang baru saja padam. Suasana terasa hening sejenak, seolah semua orang masih mencoba mencerna cerita yang baru saja mereka dengar.

Pak Malvier menarik napas pelan, lalu berkata, "Seperti itulah kisahnya."

Simpe masih mendongak ke langit-langit laboratorium, tempat hologram itu sebelumnya berpendar. Matanya berbinar, wajahnya penuh kekaguman.

"Keren sekali. Ternyata sejarah nenek moyang kita lebih luar biasa dari yang kuduga!"

Monte, di sisi lain, memiliki ekspresi yang jauh berbeda. Dia menyipitkan matanya, menatap Pak Malvier dengan penuh selidik. Ekor tikusnya yang diam kini sedikit terangkat, menunjukkan rasa penasarannya sejak tadi.

"Dari semua yang Anda ceritakan." Monte melipat tangannya di dada. "Berarti usia Anda sekarang sudah berapa ratus tahun? Sejak kejadian itu, Anda masih hidup. Apakah itu berkat ramuan yang Anda buat? Atau ada sesuatu yang lain?"

Pak Malvier menurunkan tangannya dan mengelus dagunya, seolah sedang mencoba mengingat sesuatu.

"Sebenarnya, saya sudah lupa. Sejak saya mempelajari ilmu alkemis, penuaan bukan lagi masalah bagi saya. Tapi, meskipun saya bisa menunda penuaan, melawan lupa itu hal lain."

Monte melirik Serena sekilas. Gadis itu sejak tadi diam, tapi sorot matanya penuh ketidakpuasan. Akhirnya, Serena mengangkat tangannya dengan gerakan tegas.

"Tuan Malvier, ini sudah terlalu lama berputar-putar." Suaranya terdengar tajam, tetapi masih sopan. "Jawaban dari pertanyaan saya. Kenapa Anda masih belum menjelaskannya?"

Ruangan masih diliputi keheningan. Simpe dan Monte memilih diam, memberi kesempatan bagi Pak Malvier untuk menjawab pertanyaan Serena yang telah berulang kali tertunda.

Pak Malvier menghela napas, lalu berkata, "Bau wangimu itu karena kau adalah bangsawan monster, Nak."

Serena menegang. "Saya tahu itu! Anda juga sudah menjelaskannya sewaktu kita di hutan!" Suaranya sedikit meninggi, tubuhnya ikut sedikit terangkat dari sofa.

Namun, Pak Malvier tetap tenang. "Penjelasanku belum selesai, Nak."

Serena terdiam. Menyadari dirinya terlalu terburu-buru, dia akhirnya mengangguk kecil. "Maaf, Tuan Malvier."

Perlahan, dia kembali bersandar di sofa, mencoba meredam rasa penasarannya yang semakin menggebu.

Pak Malvier melanjutkan, "Seperti yang sudah saya katakan, pertama, kau adalah bangsawan monster. Di dunia ini, kaum bangsawan monster memiliki aroma yang berbeda dari monster biasa. Itulah sebabnya mereka sering diburu."

"Dan yang kedua," lanjut Pak Malvier, kali ini dengan nada lebih serius. "Saya punya firasat bahwa kau atau keluargamu, dulunya adalah pemilik salah satu artefak dari dewa baru itu."

Serena termenung sejenak. Tatapannya jatuh ke lantai, pikirannya berputar dengan cepat. Tanpa sadar, tangannya terangkat, menyentuh rambutnya dengan gerakan perlahan, seolah berharap menemukan sesuatu yang tak kasat mata.

"Astaga," bisiknya. Suaranya nyaris tak terdengar, namun ada ketakutan yang jelas dalam nadanya. "Jadi itu penyebabnya. Pantas saja selama ini."

Monte dan Simpe menoleh ke arah Serena. Ekspresi gadis itu bukan hanya terkejut, tetapi seakan baru menyadari sesuatu yang selama ini tersembunyi dalam dirinya.

Simpe mencondongkan tubuhnya, alisnya berkerut penuh rasa ingin tahu. "Serena, ada apa?"

Monte tak perlu bertanya. Ia sudah menduga sejak awal. Tatapan matanya tajam, penuh keyakinan.

"Sudah kuduga," katanya, suaranya rendah namun tegas. "Pasti kau memiliki salah satu dari enam artefak dewa jahat itu."

Terpopuler

Comments

Richie

Richie

lagi smgt up ya

2024-06-04

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!