Keinginan Terpendam (2)

Violina memandang Serena dengan raut kebingungan yang sulit disembunyikan.

"Serena. Apa kita ikut kabur, seperti kakek itu tadi? Mungkin kita bisa sembunyi dulu?"

Serena tidak segera menjawab, hanya mengangguk perlahan. Namun, sorot matanya yang tajam mengawasi sekitar, mencermati setiap suara dari balik pepohonan.

"Iya, sepertinya itu ide bagus. Mari kita menuju hutan dan cari tempat aman."

Belum sempat mereka bergerak, suara langkah berat yang mengguncang tanah tiba-tiba menggema dari dalam hutan. Violina dan Serena langsung waspada. Mereka menoleh ke arah suara itu, menunggu apa yang muncul dari balik bayangan pepohonan.

Serena menyipitkan mata, mengaktifkan indra penglihatannya. Pupilnya berubah, menyempit menjadi garis lurus seperti mata reptil.

"Violina. Itu monster mutan tikus! Mereka datang ke arah kita!"

Violina ikut menajamkan pandangannya. "Ini enggak masuk akal, Serena. Kenapa mereka bisa keluar dari zona quest mereka?"

Serena menjejakkan kakinya di tanah, merendahkan kuda-kuda tubuhnya ke posisi siaga. Ia menguatkan diri, bersiap untuk menghadapi ancaman yang mendekat.

“Kalau begini, kita tidak punya pilihan. Aku akan bakar mereka dengan sihir apiku.”

Violina segera merespons, tatapannya tegas, penuh peringatan. "Hati-hati, Serena. Kalau kau sampai bakar hutan ini, bukan hanya para hunter manusia yang akan datang ke sini. Para polisi juga akan ikutan!"

Serena tersenyum tipis, matanya tidak lepas dari arah hutan yang rimbun dan gelap.

"Tenang saja, Violina. Aku tidak akan pakai wujud nagaku. Ledakan api sihirnya pasti akan kecil nanti."

Serena mengangkat kedua tangannya, matanya menatap tajam ke arah hutan, penuh fokus. Derap langkah berirama semakin jelas terdengar, menggema dari balik pepohonan, pertanda bahwa bahaya mendekat.

Tak butuh waktu lama sebelum sosok-sosok menyeramkan itu muncul.

Sekelompok monster tikus berwujud menyerupai manusia meloncat ke hadapan mereka. Makhluk-makhluk itu berdiri layaknya anak-anak kecil, namun tubuh mereka kekar, otot-otot mencuat di bawah kulit berbulu kusam, dan sepasang gigi depan mereka panjang serta tajam, berkilat dalam cahaya remang.

Saat monster tikus terakhir keluar dari balik pepohonan, suara dengungan peluit yang tadinya mengiringi kedatangan mereka tiba-tiba menghilang, seolah mengisyaratkan pertempuran yang akan segera pecah.

Serena merentangkan kedua tangannya ke samping, dan seketika itu juga, api merah menyala muncul di sekitarnya, memancarkan cahaya terang di sekeliling tubuhnya.

Dengan gerakan cepat, ia melemparkan bola api ke arah monster-monster yang menyerbu. Api berkobar membakar tubuh mereka yang berbulu, tapi alih-alih tumbang, makhluk-makhluk itu terus bergerak, kini dengan api yang menyala di tubuh mereka, menerjang semakin buas.

"Ini monster kelas A," gumam Serena, napasnya memburu. "Sihir api biasa tidak cukup berpengaruh!" Dengan cepat, ia melompat mundur, menghindari serangan cakar yang hampir merobek kulitnya.

Di sisi lain, Violina sudah bersiaga. Ia memanjangkan cakarnya, ujung-ujung kukunya menjadi tajam dan berkilat.

Begitu gerombolan monster tikus melompat ke arahnya, Violina bergerak cepat, terlalu cepat untuk mata biasa mengikutinya.

Cakarnya menari di udara, mengoyak kulit monster-monster itu dengan sayatan bertubi-tubi. Deritan nyaring menggema saat daging mereka terkelupas, memperlihatkan jaringan otot yang berdenyut dan sesuatu yang aneh.

Di tengah dada setiap monster, tersembunyi batu berwarna ungu bercahaya yang berdenyut seperti jantung.

"Kita bisa melawan mereka," kata Violina sambil menatap Serena sekilas. "Jumlah mereka hanya tujuh ekor. Bukan apa-apa untuk kita."

Serena mengangguk, sorot matanya kini penuh tekad. "Baiklah, kalau begitu. Kita habisi mereka!"

Monster tikus itu bangkit lagi, seakan serangan yang mereka terima hanya membuat mereka semakin haus darah.

Luka-luka yang tadi terlihat di tubuh mereka perlahan menutup, bulu coklat mereka kembali utuh tanpa bekas luka bakar dan luka koyakan. Asap panas mengepul dari tubuh mereka yang baru saja dipadamkan oleh api Serena, namun tak ada jejak kerusakan yang tersisa.

Serena melompat maju, gerakannya gesit dan bertenaga. Tanpa ragu, ia menghantamkan serangkaian pukulan dan tendangan ke arah tiga monster sekaligus.

Dua monster terpental ke belakang, melayang beberapa meter sebelum jatuh tersungkur, sementara satu monster lagi, Serena mengeluarkan ekor naganya dari balik roknya. Ia menghantam keras tubuh monster tikus itu hingga menancap di permukaan aspal jalan.

Serena melanjutkan dengan injakan yang kuat, menekan dada monster itu hingga darah muncrat, membasahi sepatunya. Bekas merah kental mengotori sepatu hitam dan stoking putihnya, sementara suara gemeretak tulang dan pecahnya kaca menyusul, menambah berisiknya situasi yang terjadi.

“Violina! Hancurkan tubuh mereka! Inti mana mereka ada di dada!” seru Serena, suaranya tajam.

Violina menatap monster tikus yang tersisa dengan sorot mata penuh semangat. Ia membungkukkan badan seperti seekor serigala yang siap menerkam, dengan kedua cakar tajamnya menggaruk di permukaan aspal.

“Aku tahu kok," sahut Violina, "Bersiaplah kalian!”

Violina melesat dengan kecepatan luar biasa, hingga angin berputar di sekelilingnya.

Jubah gaunnya berkibar saat ia mencakar leher monster tikus pertama, kemudian menembus dada makhluk itu dengan cepat, mencabut inti mana berwarna ungu yang berkilauan. Satu monster tikus tumbang, tapi Violina tak berhenti di situ.

Serena menatap sisa-sisa tubuh monster tikus yang berserakan, senyum puas menghiasi wajahnya. “Bagus, Violina. Sekarang, giliranku.”

Dia mengangkat tangan kanannya, mengarahkannya pada dua monster tikus yang tersisa. Dengan napas yang dalam, Serena mulai merapal mantranya, suaranya terdengar tegas dalam kesunyian malam.

“Demi kuasa para dewa dunia. Aku meminjam kekuatanmu untuk kekuatanku. Api yang membara. panah api!”

Dari telapak tangannya, api berpendar, memunculkan cahaya merah terang yang membentuk lingkaran sihir.

Enam panah api terbentuk, melayang berputar di udara sesaat sebelum melesat cepat menuju dua monster tikus yang tersisa.

Dalam sekejap, panah-panah itu terbelah menjadi dua arah, masing-masing tiga panah yang membidik kedua monster yang kini bergetar ketakutan menyaksikan kehancuran teman-temannya.

Ledakan api menggelegar. Tubuh monster tikus mutant itu meledak menjadi serpihan, suara decitan mereka yang memilukan menggema di langit malam sebelum lenyap bersama asap yang membumbung tinggi.

“Serena!” seru Violina dengan nada kesal, menatap Serena dengan wajah yang jengkel. “Kau mau bikin keributan? Kalau polisi yang tadi datang lagi gimana?”

Serena membusungkan dada, lalu bertolak pinggang dengan senyum lebar, sama sekali tak terganggu oleh protes Violina. “Maaf deh. Aku terbawa suasana soalnya."

Violina mendesah panjang, pandangannya tertuju pada bangkai monster tikus yang tergeletak di atas aspal. Darah berbau amis menyengat mulai tercium di udara, membayangi sisa pertarungan mereka.

"Serena, lihat ini," kata Violina sambil menunduk, menatap bangkai-bangkai itu penuh perhatian. "Sepertinya ini bukan monster biasa. Mereka tidak lenyap ke dalam bayangan seperti monster zombie yang kita lawan tadi."

Serena ikut mengamati, matanya menyipit, mencoba memahami keanehan yang baru disadarinya.

"Benar juga. Biasanya, monster yang tidak lenyap setelah mati adalah monster dari sebuah quest yang belum terselesaikan. Kalau quest itu diabaikan lebih dari seminggu, monster-monster di dalamnya bisa jadi punya kehendak sendiri. Mereka tidak lagi tunduk pada aturan NPC quest-nya."

Violina menatap Serena dengan raut penasaran. "Kalau begitu, kenapa mereka malah menyerang kita? Kita tidak mengganggu mereka sama sekali padahal."

Mendadak, suara decitan kecil terdengar di sekitar mereka. Tanpa disertai suara siulan seperti sebelumnya.

Serena menatap ke sekitar. Wajahnya mulai panik, mendengar suara decitan monster tikus itu lagi.

"Aduh. Sepertinya ini ulah orang deh," gumam Serena.

Dari selokan yang ada di pinggiran trotoar. Puluhan tikus got biasa bermunculan. Mereka keluar dengan menjebol penutup selokan. Mata hewan-hewan pengerat itu menyala merah seperti monster yang kelaparan.

Tikus-tikus itu bergerak dalam gerombolan, saling berdesakan dan langsung melompat, menyerbu Serena dan Violina.

“Serena, hati-hati!” seru Violina, mengibaskan cakarnya, mencoba menyingkirkan tikus-tikus kecil yang mulai menerkam dan mencakarnya.

Serena mundur beberapa langkah, menyadari bahwa gerombolan tikus itu tampak seperti di bawah pengaruh sihir atau semacam kutukan.

“Ini bukan serangan biasa. Sepertinya, ada yang mengendalikan tikus-tikus ini!”

Violina dan Serena bertarung mati-matian, menepis tikus-tikus yang terus menyerang. Mereka melayangkan pukulan dan tendangan, mencoba menjaga makhluk-makhluk kecil itu agar tidak menggigit atau mencakar mereka.

Namun, semakin keras mereka melawan, semakin banyak tikus-tikus itu datang, menyerbu dengan suara decitan melengking yang menyakitkan telinga. Kulit mereka terasa perih akibat gigitan tikus yang merajalela.

"Dasar hewan menjijikkan! Akan kuhancurkan kalian semua!" teriak Violina dengan penuh amarah.

Dengan tatapan penuh kesal, Violina memejamkan matanya sejenak.

Tiba-tiba, dua telinga serigala muncul di atas kepalanya, sementara ekor berbulu coklat panjang menyembul dari balik rok hitamnya, bergerak mengikuti aliran energi yang menguar dari tubuhnya. Ia mengangkat kedua tangannya membentuk huruf X, lalu dengan cepat merentangkannya lebar-lebar.

Angin itu menerjang ke segala arah, menghempaskan tikus-tikus kecil di sekitar mereka.

Tikus-tikus itu beterbangan seperti daun kering, terangkat oleh angin yang membadai, lalu terhempas hingga tubuh-tubuh mereka hancur berkeping di udara, menjadi serpihan daging yang tersebar di sepanjang jalan.

Serena menutup matanya erat-erat saat angin kencang dari sihir Violina berhembus tak beraturan, membuat rambutnya berkibar.

Namun, di tengah hiruk-pikuk angin dan sisa-sisa pecahan tubuh tikus yang masih beterbangan, tiba-tiba terdengar suara pria yang dalam dan penuh keyakinan, membuat Serena tersentak dan segera membuka matanya.

“Lihat apa yang kita temukan di sini. Seorang gadis manusia dan satu gadis monster,” ucap pria itu, suaranya berat dan sarat dengan kesan penuh kuasa.

Di sampingnya, seorang pria lain dengan tubuh lebih pendek tampak serius memeriksa kertas usang di tangannya. Ekspresi serius di wajah pria pendek itu perlahan berubah menjadi senyum puas setelah membolak-balik kertas tersebut beberapa kali.

"Garr, ini peta jalan masuknya! Kita berhasil mendapatkannya," katanya dengan nada penuh kemenangan.

Pria bertubuh tinggi yang dipanggil Garr itu terdiam sejenak, kedua matanya terbuka lebar, seperti tidak percaya. Wajahnya perlahan menyiratkan kegembiraan besar.

“Mael, serius kau? Kalau kita bawa peta itu ke Guild, imbalannya pasti besar sekali!” sahut Garr dengan antusias.

Di hadapan Serena dan Violina, kedua pria itu berdiri dengan santai namun waspada, mengenakan pakaian preman yang menyiratkan bahwa mereka bukan sekadar petualang biasa.

Serena menajamkan pandangannya ke arah kertas yang dipegang oleh pria bernama Mael, dan darahnya berdesir saat mengenali apa yang sedang mereka pegang.

“Itu peta portal kita! Kok bisa ada di tangan mereka?” seru Serena dengan nada panik.

Dia segera meraba-raba saku rok gaunnya, mencari peta yang tadinya tersimpan rapi di sana. Namun, dugaannya benar-benar salah. Kertas yang seharusnya ada di sakunya itu hilang.

Violina, masih dalam wujud serigalanya, berdiri dengan siaga. Telinganya menegak, matanya menatap tajam penuh ancaman ke arah dua pria itu.

Dia sedikit menggeram, memperlihatkan deretan gigi-giginya yang tajam, tanda jelas bahwa ia siap untuk melindungi dirinya dan Serena.

“Hei, kalian!” Violina berteriak, suaranya dingin namun penuh ketegasan. “Apa yang kalian inginkan? Kami lagi dalam suasana baik sekarang. Tidak perlu ada pertumpahan darah.”

Pria yang dipanggil Mael, berambut hitam rapi dan mengenakan jaket levis sangar, melangkah maju beberapa langkah, memegang peta Serena erat-erat.

Seekor tikus yang semula berada di tangannya berlari cepat dan menghilang ke dalam semak-semak.

Dengan wajah sombong, sudut bibirnya terangkat dalam senyuman mengejek, Mael berkata, “Baiklah, kami terima ‘perdamaian’ kalian.”

Dia menatap mereka dengan pandangan meremehkan, sambil mengangkat peta sedikit ke udara. “Tapi tolong jelaskan satu hal. Apa makna dari simbol-simbol di peta ini? Dan, peta ini menuju ke kota apa sebenarnya?” tanyanya sambil menyipitkan mata.

Serena dan Violina saling berpandangan. Ada ketegangan dalam tatapan mereka, seakan mereka tengah mencoba membaca pikiran satu sama lain untuk menentukan jawaban apa yang cocok diberikan kepada mereka.

Violina berbisik, suaranya cemas. “Serena. Apa kita harus jawab saja? Mereka bisa jadi tidak akan pergi kalau kita diam saja.”

Serena menjawab tanpa berpaling. Sikapnya menjadi waspada, wajahnya menegang, merasakan kejanggalan dari permintaan dua petualang manusia itu.

"Tapi Violina. Kenapa mereka menginginkan peta kota kita? Aku curiga, ada sesuatu hal di balik tindakan mereka, padahal peta itu hanya bisa kita pakai."

Violina mengangkat kedua pundaknya, tidak tahu apa yang terjadi. "Entahlah. Aku juga bingung."

Serena menghela nafas untuk meringankan prasangkanya, meski jelas terlihat bahwa ia juga ragu. Pikirannya berkecamuk, berusaha mencari solusi terbaik dalam situasi yang semakin genting ini.

Dia sampai menelan ludah, sementara keringat dingin mengalir di dahinya, membasahi pelipis dan lehernya yang terasa dingin, akibat angin malam semakin bertiup.

Sambil mencoba menenangkan diri, ia kembali menatap Mael yang berdiri menantang di depannya, menunggu jawaban dengan senyum sinisnya yang begitu menyebalkan.

“Kami akan menjawab,” ucap Serena akhirnya, nadanya penuh perhitungan. “Tapi kami juga harus tahu, untuk apa kalian menginginkan peta itu.”

Pria di belakang Mael, yang dipanggil Garr, menyipitkan mata dengan tatapan tajam.

“Kami tak perlu menjelaskannya. Kesepakatannya cuman satu. Kalian jawab atau kita selesaikan ini dengan cara lain!”

Garr mulai merenggangkan jemari dan pergelangan tangannya, siap untuk bertarung kapan saja.

Melihat situasi yang makin rumit, Violina dengan cepat mendekat ke sisi Serena. Ia membisikkan sesuatu sambil menutupi mulutnya agar suaranya hanya terdengar oleh Serena.

“Serena, kita tidak bisa terus bicara dengan mereka. Kalau mereka tidak mau negosiasi, kita ambil saja petanya dan kabur. Batu portalnya masih aku simpan,” Violina menyentuh dadanya, memastikan tempat batu itu tersembunyi dengan aman. “Kalau begitu, apa saja yang sudah mereka ambil?”

Serena mengangguk dan menoleh sekilas, memastikan Mael dan Garr tak bisa mendengar mereka lalu berbisik, “Cuma peta itu saja sih. Kertas reward-nya masih aman di ikatan pita gaunku. Sepertinya peta kita diambil oleh tikus-tikus yang menyerang kita tadi. Aku merasa, jika tikus-tikus itu yang mencurinya dari sakuku.”

Violina mengangguk, meyakinkan Serena bahwa rencana mereka akan berjalan lancar. “Baik, kita lakukan seperti rencana.”

Serena memandangnya dengan alis terangkat, wajahnya seakan tak percaya dengan cara Violina menyembunyikan sesuatu.

“Tidak kusangka,” Serena menghela napas, “kau selalu saja menyembunyikan barang penting di tempat-tempat aneh deh.”

Violina tersenyum tipis sambil mengangkat bahu. “Ya, kalau aman, kenapa tidak?”

Sementara itu, Garr melangkah maju dengan tatapan yang semakin tajam. Rahangnya mengeras, dan senyumannya menghilang, menyisakan ekspresi dingin dan penuh ancaman.

“Garr! Jangan bertindak gegabah!” sergah Mael, mencoba menghentikan temannya. “Kita disuruh untuk tidak menimbulkan keributan!”

Garr mendengus, tak memperdulikan peringatan Mael. “Terlalu lama. Kita tak punya waktu untuk basa-basi. Persetan dengan perintah Guild, jika kita bisa menyelesaikannya lebih cepat.”

Melihat lawan mereka bersiap, Serena dan Violina memperkuat posisi mereka. Violina merogoh sakunya, mengeluarkan dua botol kecil berisi cairan merah. Ia menyerahkan satu kepada Serena dan meneguk satu lagi untuk dirinya sendiri.

“Maaf, Tuan!” ujar Violina, tatapannya berubah tajam. “Sepertinya tawaran kami berubah. Kami justru sedang tak sabar sekarang. Mari kita selesaikan ini dengan cara awal.”

Garr berhenti di depan mereka dengan sorot mata yang serius, bibirnya melengkung membentuk senyum dingin. Ia mengangkat tangan kanannya, menyentuh dada, seolah memberikan salam terakhir.

“Padahal aku sudah berencana mengampuni kalian,” katanya dengan nada mengejek. “Tidak berniat membuat kalian jadi barang dagangan di pasar sihir. Tapi sepertinya, pikiran itu harus kuubah.”

Garr mengangkat tangan kanannya, dan cahaya berwarna kuning muncul, menerangi mantra-mantra yang tertulis di lengannya. Cahaya dan mantra itu berasal dari cincin di jari manisnya, menjalar dan berkedip, menunjukkan kekuatan yang tak bisa diremehkan.

Serena dan Violina memasang kuda-kuda, siap menghadapi apa pun yang ada di depan mata. Mereka tahu, pertarungan ini sudah tak terhindarkan lagi.

Mael menghela napas berat, tampak enggan tapi tetap berhati-hati. Ia melipat peta di tangannya dan menyimpannya di dalam saku jaket levisnya, kemudian memandang Garr dengan serius.

“Garr, jangan bunuh mereka! Kita masih butuh informasi lebih banyak tentang peta ini.”

Garr hanya menyeringai, tatapannya liar. Dalam sekejap, sekujur tangan kanannya sudah memakai sarung tangan logam perunggu berukir corak kuning, setelah cahaya kuning di lengannya perlahan menghilang. Garr langsung memasang posisi bertarung layaknya seorang petinju.

“Tenang saja, Mael,” balas Garr dengan nada penuh percaya diri. “Lihat saja! Aku akan buat mereka bicara. Setelah kita selesaikan mereka dengan cepat!”

Serena dan Violina terdiam, perasaan was-was menguasai mereka saat menyaksikan peralatan sihir yang dipakai Garr. Namun, keduanya tetap berdiri teguh, mengumpulkan keberanian.

“Kami yang akan mengalahkan kalian! Kami tidak akan kalah oleh pencuri seperti kalian!” seru Violina penuh tekad, matanya membara.

Serena masih terfokus, matanya tak lepas dari tangan kanan Garr yang bersinar dengan kekuatan asing.

“Peralatan sihir ini. Sepertinya pernah kita lihat sebelumnya deh, saat kita menjalankan tugas penyelamatan,” gumamnya.

Serena melirik Violina. “Kau merasakan itu, kan? Ada mana sihir yang kuat dari tangannya.”

Mael kemudian melangkah ke samping Garr, bersiap dengan ekspresi dingin. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya. Dua belati hitam yang tampak berkilau di bawah sinar malam.

Saat ia menghentakkan kaki kanannya, sepatu hitam yang dipakainya berubah menjadi sepatu logam yang kokoh, menutupi tulang keringnya dengan sempurna dan tampak siap menghantam apa saja.

Violina menatap tajam ke depan sambil mengatur napasnya, lalu mendesis dengan penuh keyakinan. “Aku paham, Serena,” desisnya. “Mereka bisa pakai sihir karena peralatan itu, tapi kita tidak boleh kalah. Lagipula, bangsa monster punya kekuatan yang lebih unggul daripada manusia.”

Serena menarik napas dalam, sesaat merapikan rambut panjangnya. Ia menatap Mael dan Garr dengan pandangan tak gentar.

“Karena kalian wanita, silakan menyerang lebih dulu!” tantang Mael sambil menggerakkan tangannya, provokasi yang tampak dibuat-buat dengan senyuman angkuh.

“Jangan menyesal kalau aku buat kau jadi daging cincang nanti!” Violina menggeram. Dalam sekejap, ia melesat ke depan, berlari seperti serigala yang mengincar mangsanya.

Garr hanya tersenyum tipis, berdiri tegak dan menghadang Violina. Tangan kanannya ditarik ke belakang, bersiap menghantam. Dari sarung tangan besinya, muncul bilah pedang panjang yang perlahan memancar cahaya sihir.

“Tak semudah itu!” seru Garr, mengejek.

Namun, dari arah samping, Serena meluncur dengan kecepatan penuh, kedua kakinya berkilat api sebagai dorongan. Ia menargetkan Garr sebelum Violina mendekat.

Namun, Serena sudah melesat dari samping, mengejutkan Garr. Kedua kakinya diliputi api yang berderu kuat, menjadi pendorong agar ia bisa mendahului Violina.

"Memang tidak semudah itu, dong!" balas Serena sambil melayangkan tendangan berapi ke arah kepala Garr dengan kekuatan penuh.

Garr berusaha menangkis, tetapi tendangan api Serena melesat terlalu cepat.

Dengan refleks cepat, dia menahan serangan tersebut menggunakan tangan kanan yang dilindungi sarung tangan sihirnya. Meski begitu, Garr terdorong mundur beberapa meter, membuat posisi Mael di depannya kini terbuka.

“Bagus sekali, Serena!” seru Violina.

Memanfaatkan momentum, Violina mengarahkan cakarnya ke wajah Mael, siap menyerang. Namun, saat ujung kukunya hampir mengenai, Mael menghilang secepat bayangan, hanya meninggalkan bayangannya di udara.

Di sisi lain, di depan ruko-ruko yang sudah dipenuhi grafiti, Serena dan Garr saling menatap tajam, sorot mata penuh kebencian. Garr tampak mengendurkan bahu kanannya, mencoba menghilangkan rasa sakit dari benturan tadi, sembari melontarkan senyum sinis.

“Kau cukup hebat, nona,” ujarnya, suara rendah penuh ketertarikan. “Kau bisa menggabungkan tendanganmu dengan sihir api sebagai pendorong. Jarang-jarang aku melihat teknik seperti itu.”

Serena merapikan posisinya, memantapkan kuda-kuda dengan sorot mata tak kalah tajam. “Pantas saja kau tidak apa-apa setelah menerima tendangan itu, rupanya berkat peralatan sihir yang kau pakai.”

Garr hanya menyeringai, pedang di sarung tangannya perlahan menghilang, memperlihatkan sarung tangan besi yang kini tampak biasa, tapi berkilau memancarkan sihir.

“Kau benar sekali,” jawabnya dengan nada dingin. “Tendangan sekuat itu tidak pernah kurasakan sebelumnya, bahkan pada peralatan sihirku. Kau pasti bukan manusia biasa. Kau bangsa monster, kan?”

Serena menyipitkan mata, pandangan tajam penuh penasaran. “Kalian para manusia. Bagaimana bisa? Dulu, bangsa kalian tidak punya peralatan sihir yang bisa menyatu dengan penggunanya seperti ini.”

Garr menanggapi dengan tawa pendek beratnya, wajahnya tampak penuh kepuasan. “Kau, dan semua bangsa monster lainnya, akan terkejut dengan perkembangan kami. Sebentar lagi, manusia akan melampaui semua ras lain dalam penguasaan permainan dewa ini.”

Violina, yang berdiri di tempat berbeda, menyahut lantang pada Garr. “Jadi benar, kalian bisa menggunakan sihir sekarang hanya karena peralatan yang kalian pakai.”

Serena dan Garr menoleh cepat ke arahnya, namun perhatian mereka segera teralihkan ketika terdengar suara Mael yang angkuh.

“Kau benar-benar pintar, nona serigala cantik. Inilah bukti kehebatan bangsa manusia.”

Mael bersandar santai di tiang lampu pinggir trotoar. Dengan gaya sok cool, ia menyilangkan tangan di dada dan menyandarkan kaki kanannya ke belakang, memperlihatkan sikapnya yang penuh percaya diri.

Violina menyipitkan mata, menatapnya penuh curiga. “Petualang manusia yang menyerang bangsa monster yang sedang menjalankan misi mereka, itu juga pasti ulah kalian.”

Mael memutar-mutar belati hitamnya dengan gerakan terampil, sambil menyeringai sinis.

“Tepat sekali. Kalian hanya salah satu target kami.” Dia berhenti memutar belatinya, menggenggamnya erat, sementara kilatan haus darah terpancar dari matanya yang terarah tajam ke Violina.

Serena dan Violina terpaku sejenak, sebelum tatapan mereka berubah tajam.

Keduanya saling bertukar pandang, seperti tak perlu berkata apa-apa untuk memahami pikiran satu sama lain. Jari-jari mereka mengepal erat, menunjukkan emosi yang mereka coba tahan.

"Jadi, kalian pelakunya," suara Violina terdengar dingin, hampir bergetar karena amarah yang ia tahan. Ia menatap Mael tajam, pria bersenjata yang kini berdiri santai di depannya. "Kalian yang membuat para Hunter Serikat kami kembali dalam keadaan terluka parah!"

Di sisi lain, Serena menoleh ke arah Gar, pria bertubuh kekar dengan kepala plontos yang memakai sarung tangan besi. Tatapannya begitu tegas, mencerminkan emosi serupa dengan Violina.

"Kalau begitu," Serena berkata sambil menggertakkan giginya, "kami juga punya pertanyaan untuk kalian! Kenapa kalian menyerang anggota guild kami?" Tangannya terangkat perlahan, kedua kepalan bertemu dengan dentuman kecil, menggema di sekitar.

Violina melangkah ke depan, kuda-kudanya mantap, sementara tatapannya menembus Mael dengan tajam.

"Jangan khawatir," katanya dengan nada penuh sindiran, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum dingin. "Aku pastikan kalian tidak mati sebelum kami selesai bertanya."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!