Serena dan Violina berjalan perlahan menuju Tempat Teleportasi yang terletak tidak jauh dari Serikat Guild Hiddenama.
Jalanan kota dipenuhi kereta kayu bermuatan barang yang beroda empat, ditarik oleh para bangsa monster bertubuh besar dengan kekuatan luar biasa. Derap langkah mereka mengguncang tanah, menambah hiruk-pikuk di kota Hiddenama, di mana orang-orang sibuk menjelajahi setiap sudut toko yang ramai.
"Sudah dua belas tahun, ya," Violina tiba-tiba berbicara, memecah kebisuan yang menggantung di antara mereka. "Kita terus bersembunyi dari Hunter Manusia."
Serena menghela napas panjang, suaranya mengandung nada frustrasi yang sulit disembunyikan.
"Dua belas tahun kita hidup begini-begini saja. Terus diburu. Bahkan untuk makan pun kita harus menyelesaikan quest permainan dewa dulu. Capek rasanya."
Violina mengerutkan kening, kedua telinga serigalanya tegak, seolah menangkap setiap kata dengan penuh perhatian.
"Aku juga bingung, Serena. Apa sih yang bisa kita lakukan untuk mengubah keadaan ini? Kita bahkan tidak bisa menikmati makanan biasa—rasanya kayak pasir. Padahal, makanan di kota Manusia kelihatannya enak banget, dari bau dan bentuknya."
Violina menelan ludah, matanya berputar ke atas, seakan-akan membayangkan semua hidangan lezat yang tak bisa ia cicipi.
Beberapa saat setelah mereka terus melangkah, Serena dan Violina tiba di sebuah tempat yang tampak berbeda dari hiruk-pikuk kota Hiddenama.
Sebuah pohon raksasa berdiri menjulang, akarnya menyebar ke segala arah, menutupi sebagian besar jalan. Namun, bagian bawah pohon itu memiliki lubang yang cukup besar, menjadi jalan masuk menuju lokasi Tempat Teleportasi yang tersembunyi di bawahnya.
Tulisan "Tempat Teleportasi Sihir" terpahat jelas berwarna coklat di batang pohon, menandakan area yang sibuk dengan aktivitas teleportasi.
Di sekitar area itu, keramaian kota mulai memudar. Tidak ada lagi deretan toko atau orang-orang yang sibuk berbelanja. Sebaliknya, hanya ada halaman luas yang dikhususkan untuk bangsa-bangsa monster yang bisa terbang, tempat mereka bisa mendarat dengan bebas.
"Eh, Violina. Ada yang aneh," kata Serena sambil mengamati sekeliling. "Kenapa cuma pedagang yang lewat sini?"
Violina mengernyit, ikut mengamati lalu-lalang di sekitar mereka. "Kau benar. Di mana semua Hunter Monster? Kenapa mereka enggak pakai Tempat Teleportasi ini untuk pergi ke kota manusia?"
Serena menggeleng pelan, bingung. "Biasanya mereka selalu ada di sini, kan?"
Di hadapan mereka, hanya terlihat para monster pengangkut barang yang sibuk dengan tugas mereka.
Orc dengan tubuh besar dan otot-otot kuat, serta Centaurus dengan tubuh setengah manusia setengah kuda, bergerak cepat membawa muatan.
Di langit, monster bangsa Harpy melayang-layang, sayap mereka mengepak lembut sementara cakar mereka mencengkeram barang-barang yang dibawa dengan keahlian luar biasa.
Violina menoleh ke Serena, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu. "Hanya ada satu cara. Kita cek saja langsung ke Tempat Teleportasinya. Mungkin ada informasi yang bisa kita dapatkan dari penjaga portal."
Serena mengangguk, tapi kegelisahan tampak jelas di wajahnya. "Jangan-jangan ada sesuatu yang terjadi," gumamnya sambil menyilangkan kedua tangannya di dada, mencoba menenangkan diri.
Mereka segera berlari kecil menuju lorong yang tersembunyi di bawah pohon raksasa itu.
Lorongnya cukup lebar, memungkinkan banyak monster berlalu-lalang sambil membawa barang-barang besar.
Dinding lorong ini terbuat dari akar-akar pohon yang menjalar kuat, seolah-olah pohon itu sendiri adalah penjaga gerbang yang mengawasi siapa pun yang masuk. Meski berada di bawah tanah, lorong itu tidak terasa suram berkat deretan lampu kecil yang dipasang di antara akar-akar, memancarkan cahaya lembut yang menerangi jalan mereka.
Setelah melewati lorong, mereka tiba di sebuah area yang berbeda lagi.
Di sini, toko-toko kecil berjejer, menjual berbagai barang kebutuhan para monster yang akan melakukan perjalanan melalui Tempat Teleportasi. Tidak ada kemewahan seperti yang terlihat di dekat Serikat Guild Hiddenama.
Toko-toko ini dibangun sederhana, hanya menggunakan kayu pohon yang tebal. Rangka-rangka kasar terlihat jelas di setiap bangunan, memberikan kesan bahwa tempat ini lebih fungsional daripada dekoratif.
Peralatan seperti tas, senter, peralatan kemah, dan beberapa botol potion terpajang di etalase toko-toko tersebut. Namun, ada juga beberapa toko yang malah menjual sarapan.
Beberapa orang setengah monster duduk di depan toko-toko itu, menikmati makanan di piring mereka. Bau sangit asap tercium saat Serena dan Violina melewati depan toko itu, menambah nuansa kehidupan di sekitar mereka.
"Kita sampai," ujar Serena, matanya menyapu area sekitar. "Ternyata enggak sesepi yang dikira. Masih banyak Hunter Monster di sini, tapi anehnya, mereka cuma duduk-duduk di toko-toko, bukan pergi ke Portal Teleportasi."
Violina mengikuti pandangan Serena, memperhatikan deretan toko-toko kecil yang dipenuhi para Hunter Monster.
Asap tipis dari daging yang sedang dipanggang tercium di udara, aroma gurihnya menyebar di halaman yang cukup renggang. Namun, keanehan mulai terasa—hanya para monster pengangkut barang yang terlihat menggunakan portal teleportasi. Tidak ada kerumunan Hunter Monster yang biasanya mengantri untuk bepergian.
"Entahlah," gumam Violina, alisnya berkerut. "Kita tanya saja ke penjaga portal. Mungkin mereka bisa memberi tahu kita apa yang sebenarnya terjadi di sini."
Serena mengangguk, dan tanpa banyak bicara lagi, mereka melanjutkan langkah, mengikuti rombongan para monster yang sedang menarik kereta barang dengan kekuatan mereka sendiri.
Di hadapan mereka, terlihat enam portal teleportasi berbentuk altar, dibangun dari batu-bata putih. Namun, hanya tiga dari enam altar itu yang sedang digunakan.
Antrian monster dengan barang-barang mereka tampak pada tiga altar, sementara tiga lainnya tampak kosong dan tidak terpakai.
Masing-masing altar dijaga oleh seorang penyihir berjubah hitam, yang berdiri tegak sambil memegang tongkat.
Begitu para monster mencapai tengah altar, penyihir itu mulai merapalkan mantra, dan dalam sekejap, cahaya biru memancar dari lantai altar. Monster yang berada di atasnya segera menghilang, seolah diserap oleh cahaya tersebut.
Serena dan Violina berhenti di salah satu altar yang sepi pengguna. Di tengah altar itu, terdapat pos kayu sederhana di mana tiga penyihir berjubah hitam duduk sambil bermain catur. Mereka mengenali ketiga penyihir itu dengan baik.
"Permisi, Kakek. Kami ingin pergi ke kota manusia. Tolong antarkan kami ke lokasi di peta ini," kata Serena sambil mengeluarkan dua gulungan kertas dari saku gaunnya. Gulungan itu masih tertutup rapat, belum dibuka.
Mendengar suara Serena, ketiga penyihir langsung menghentikan permainan mereka. Mereka menoleh bersamaan, memperhatikan dua gadis yang datang mendekat.
"Serena dan Violina, ya? Apa quest yang kalian kerjakan kali ini?" tanya salah satu penyihir dengan suara serak.
Wajahnya penuh keriput, dan kulit di bibir serta hidungnya sudah tidak ada, memperlihatkan tulang di bawahnya, membuatnya tampak seperti mayat hidup.
Serena mengangguk hormat sambil menyerahkan salah satu gulungan kertas yang berwarna kuning usang. "Ini, Kakek Grim," jawabnya singkat, namun sopan.
Violina melambaikan tangan ke dua penyihir lainnya, Kakek Grov dan Kakek Drar, yang masih duduk di tempat mereka, tak jauh dari Kakek Grim. "Apa kabar, Kakek Grov, Kakek Drar?"
Kakek Grov tampak seperti manusia pada umumnya, kecuali matanya yang hitam pekat dan selalu mengeluarkan asap samar.
Di sisi lain, Kakek Drar memiliki taring besar yang menyembul di sekitar wajahnya, mirip dengan gigi serigala. Dua penyihir itu tersenyum kecil melihat kehadiran Violina.
"Hai juga, Violina," jawab mereka hampir serempak, suaranya terdengar dalam dan tenang.
Kakek Grim yang tadinya hanya berdiri di sisi papan catur, mengamati permainan kedua temannya, akhirnya bergerak.
Dia melangkah mendekat ke arah Serena dan Violina, meninggalkan permainan catur dan dua temannya yang masih asyik di pos tersebut.
Kakek Grim dengan hati-hati mengambil kertas dari tangan Serena.
Matanya yang redup namun tajam menelusuri peta tersebut, memperhatikan detail denah yang menggambarkan tujuan Serena dan Violina.
Di sana, terlihat tiga bangunan yang berjejer di sepanjang jalan raya, dengan hutan luas yang membentang di sisi lain. Tanda "X" besar mencolok di bagian belakang halaman, tersembunyi di antara bangunan-bangunan itu.
"Tanda X ini berada di perbatasan kota Alantropora dengan kota Grassiace," kata Kakek Grim, suaranya bergetar sedikit, menggambarkan kekhawatirannya. "Kalian yakin ingin pergi ke sana hanya berdua saja?"
Tatapan Kakek Grim melekat pada Serena dan Violina, mencerminkan kecemasan yang mendalam. Meski wajahnya hampir seperti mayat hidup, otot-otot kecil di sekitar matanya yang masih tersisa cukup untuk menunjukkan kegelisahannya.
Violina yang berdiri di sebelah Serena segera menanggapi, suaranya penuh pertanyaan, "Perbatasan kota Alantropora, ya? Bukankah tempat kita menyelamatkan anak-anak monster yang baru saja diteleportasi ke dunia manusia juga ada di perbatasan kota itu, Serena?"
Kakek Grim mengangkat telunjuknya, matanya membulat seolah baru menyadari sesuatu.
"Benar sekali! Aku masih ingat sekarang," katanya dengan nada penuh keyakinan. "Serikat memang menugaskan kalian untuk membebaskan orang-orang yang dijual di pasar perbatasan kota sana."
Serena terdiam sesaat, pikirannya terlempar kembali pada misi penyelamatan mereka sebelumnya.
Dia mengingat saat-saat tegang ketika dia dan Violina, dibantu gurunya dan lima monster lainnya, bertarung mati-matian untuk menyelamatkan anak-anak dari tangan para pemburu. Kejadian itu meninggalkan bekas dalam dirinya, baik secara fisik maupun emosional.
Serena menarik napas dalam, lalu menatap Kakek Grim dengan sorot mata penuh ketegangan.
"Kakek Grim," katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. "Pak Snade dan Pak Altrez. Bagaimana kabar mereka? Kami kehilangan jejak mereka setelah penyelamatan itu."
Kakek Grim hanya mengangkat bahunya dengan santai. Namun, ada sesuatu dalam sorot matanya. Bukan kepanikan, bukan kesedihan, melainkan keyakinan.
"Tenang saja," kata beliau dengan nada percaya diri. "Pak Altrez dan Pak Snade bukan orang sembarangan. Guru kalian tidak akan semudah itu dikuliti oleh para petualang manusia. Mereka pasti baik-baik saja."
Suasana berubah sedikit tegang ketika Kakek Grov, yang dari tadi fokus bermain catur dengan Kakek Drar, menyahut dengan suara datar, "Kalian harus lebih berhati-hati sekarang. Banyak Hunter Monster yang terluka parah saat menyelesaikan quest baru-baru ini. Mereka masuk rumah sakit, bahkan ada yang tidak kembali."
"Benar," timpal Kakek Grim dengan anggukan pelan. "Kalian adalah bangsa monster unik, Nak. Jangan biarkan diri kalian ditangkap. Kalau tubuh kalian dijadikan bahan untuk membuat senjata sihir bagi manusia, kekuatan senjata itu pasti mengerikan."
Serena dan Violina saling berpandangan, diam sejenak, merenungkan perkataan Kakek Grim. Rasa khawatir yang melingkupi mereka mulai terasa, tapi tekad mereka tetap kokoh.
"Tidak apa, Kakek Grim. Kalau bertemu Hunter Manusia, kami pasti kabur cepat-cepat setelah menyelesaikan quest," ujar Violina, suaranya terdengar yakin meski senyuman di wajahnya menunjukkan sedikit keisengan yang biasa.
Serena mengangguk sambil menambahkan, "Iya, Kek. Ini tugas dari Bibi Mei. Dia menyuruh kami ambil bahan makanan karena stoknya habis, jadi kami harus menyelesaikan quest. Jangan khawatir."
Kakek Grim, dengan wajah yang tampak semakin tua dan rapuh, mengangguk pelan. Jari-jarinya yang kurus mengelus dagunya yang hampir tinggal tulang, seolah merenung sejenak sebelum berbicara, "Oh, bahan makanan untuk penginapan monster rupanya. Baru kemarin banyak Hunter Monster pengintai membawa bangsa monster baru yang berhasil diselamatkan dari Hunter Manusia. Mungkin itu alasan Mei menyuruh kalian."
Di sisi lain, Kakek Drar yang baru saja mengalahkan Kakek Grov dalam permainan catur menyeringai puas. Kakek Grov hanya bisa mendesah kecewa sambil menyerahkan beberapa lembar uang kertas kepada Drar.
"Jangan lupa bawa batu portal injakan, kalian bisa langsung teleportasi ke Portal Timur tanpa perlu repot-repot mencari altar teleportasi di dunia manusia," tambah Kakek Drar, senyumnya lebar, menandakan kepuasan atas kemenangannya.
Namun, Serena menggeleng, menolak tawaran itu. "Enggak usah, Kek. Buang-buang waktu untuk beli. Kami lebih baik berangkat sekarang biar enggak kemalaman. Kalau terlalu malam, biasanya ada polisi patroli di jalanan."
Kakek Grim melirik jam besar yang tergantung di tiang penanda waktu. Jarum pendek sudah mendekati angka sebelas, dan jarum panjang bergerak perlahan menuju puncak.
"Baiklah," ujar Kakek Grim, menyerah pada keputusan mereka. "Kakek akan buka gerbang teleportasinya dulu."
Kakek Grim melemparkan gulungan peta kembali ke arah Serena, yang menangkapnya dengan cekatan.
Beliau tidak mengucapkan sepatah kata lagi, hanya berbalik menuju altar dengan langkah pasti. Meskipun tubuhnya terlihat tua dan rapuh, aura wibawa tetap terpancar darinya.
"Sihir teleportasi," ucap Kakek Grim dengan tenang.
Sebuah tongkat kayu dengan bentuk ular yang melilit beberapa tengkorak muncul dari kehampaan, melayang pelan hingga Kakek Grim mengulurkan tangan kanannya dan menggenggamnya erat.
Tanpa menunda, dia menghentakkan tongkat itu ke lantai altar. Seketika, lingkaran di lantai altar menyala dengan cahaya biru yang menyilaukan, sementara simbol-simbol mantra muncul, berputar dengan anggun di atas lantai.
Serena dan Violina saling bertukar pandang sebelum melangkah maju menuju lingkaran sihir di altar. Namun, langkah mereka terhenti ketika sebuah suara memanggil nama mereka dengan nada tegas dari belakang.
"Serena dan Violina. Kalian mau pergi ke mana menggunakan sihir perpindahan?"
Suara itu milik seorang wanita tua. Ketika mereka menoleh ke belakang, mereka melihat seorang wanita berdiri tidak jauh dari mereka, dengan tatapan yang tajam dan serius.
Seorang wanita tua berdiri di belakang mereka, tatapan matanya tajam dan serius.
Gaun panjang berwarna hitam dan abu-abu yang dikenakannya memberi kesan anggun meskipun motif-motif pada kain itu terasa dingin dan misterius. Rambutnya yang putih tergerai lembut di bahunya, sedangkan kulit wajahnya terlihat kasar, tanpa kerutan, seolah waktu tidak mampu mengukir jejak pada dirinya.
Kakek Grov, yang sedang asyik bermain poker bersama Kakek Drar, mendadak terkejut, suaranya terdengar kagum dan tak percaya. "Ida? Sejak kapan kau di sini?"
Kakek Drar menoleh dengan tatapan bingung yang serupa. "Kami bahkan tidak menyadari kau datang. Kapan kau tiba?"
Nenek Ida, wanita tua yang baru muncul itu, hanya mendengus ketus. "Kalian berdua sibuk bermain, jadi tidak sadar," jawabnya, nada suaranya seperti teguran yang halus namun penuh sindiran.
Kakek Drar dan Kakek Grov saling berpandangan, seolah merasa bersalah karena terlalu tenggelam dalam permainan mereka. Namun, Nenek Ida tak lagi memedulikan mereka, tatapannya kembali fokus pada Serena dan Violina.
Dia menunggu jawaban yang keluar dari mulut kedua gadis itu, jelas tak ingin ada rahasia yang terlewatkan.
Serena menelan ludah, berusaha tetap tenang di bawah tatapan tajam Nenek Ida, seakan setiap kata yang keluar harus dipilih dengan hati-hati.
“Kami. Kami mendapat tugas untuk mengambil bahan makanan, Nek. Itu permintaan dari Bibi Mei untuk Asrama Monster Barat,” kata Serena dengan nada ragu, suaranya hampir berbisik.
Violina, yang berdiri di sampingnya, menambahkan dengan semangat, mencoba meyakinkan Nenek Ida. “Iya, Nek. Kami akan pergi ke perbatasan kota Alantropora dan Grassiace untuk menyelesaikan quest itu.”
Nenek Ida mengerutkan kening, jelas belum puas dengan jawaban mereka. “Kenapa kalian tidak pergi ke Serikat Guild Hiddenama? Bukankah mereka menyediakan bahan makanan juga?”
“Habis, Nek. Kami disuruh Bibi Ra sendiri untuk menyelesaikan quest ini,” jawab Violina cepat, nada suaranya sedikit mendesak. Dia berharap jawaban itu cukup untuk meredakan kekhawatiran Nenek Ida.
Ekspresi Nenek Ida sedikit melunak, meski matanya masih memancarkan kewaspadaan.
“Pergi ke perbatasan kota, ya? Tempat itu penuh bahaya, terutama di jam malam begini. Banyak Hunter Manusia berkeliaran. Serena, Violina, kalian memiliki kemampuan yang diincar oleh para Hunter. Jangan ceroboh.”
Serena berusaha tersenyum, berusaha menunjukkan kepercayaan dirinya meski ada sedikit ketegangan dalam suaranya. “Kami tahu, Nek. Kami akan hati-hati. Setelah quest ini selesai, kami langsung pergi.”
Violina mengangguk, menambahkan dengan nada riang. “Iya, Nek. Kami akan langsung kembali menggunakan peta lokasi perpindahan setelah menyelesaikan quest.”
Namun, kata-kata Violina sepertinya justru membuat Nenek Ida semakin khawatir. Ekspresi di wajahnya berubah, kedua matanya mengerut tajam.
“Kalian hanya membawa peta lokasi perpindahan saja?” Suaranya kini terdengar lebih tegas, bahkan sedikit marah. “Kalian tahu, para Hunter Monster sekarang jarang menggunakan portal perpindahan karena mereka kerap diserang oleh Hunter Manusia saat dalam perjalanan. Itu sebabnya portal sekarang sepi.”
Kakek Drar dan Kakek Grov yang tadinya asyik bermain kartu tampak terkejut mendengar hal itu. Mereka berhenti sejenak, menatap Nenek Ida dengan mulut ternganga, seolah tidak percaya.
“Jadi itu penyebab banyak Hunter Monster yang kembali dengan luka-luka?” tanya Kakek Drar, heran terlihat di wajahnya. “Karena mereka ketahuan menggunakan teleportasi?”
Kakek Grov mengangguk pelan, menambahkan, “Aku tidak tahu kalau situasinya sudah seburuk itu.”
Serena dan Violina saling menatap, kekhawatiran jelas tergambar di wajah mereka.
Perbatasan kota, tempat yang awalnya mereka pikir hanya akan menjadi tantangan sederhana, kini terasa jauh lebih berbahaya dari yang mereka bayangkan. Mereka mulai menyadari risiko yang akan dihadapi.
"Serena, Violina," suara Nenek Ida kembali terdengar tegas. "Kalian beli dulu batu portal injaknya sebelum pergi. Hunter yang sudah memakai batu portal injak saja masih bisa kembali terluka parah."
Kata-kata itu menggantung di udara, menciptakan suasana yang semakin berat. Kakek Grim yang berdiri di atas altar sudah tampak lelah menunggu, tatapannya lesu, dan wajahnya penuh kesabaran yang mulai menipis.
“Kalian jadi pergi atau tidak? Membuka portal ini menguras energi sihirku,” ujarnya dengan nada malas, sembari mengetukkan tongkatnya sekali lagi ke lantai altar.
Serena dan Violina mengangguk cepat, lalu bergegas keluar dari ruang altar menuju sebuah toko kecil di pinggiran area teleportasi.
Toko itu terlihat sederhana, dengan barang-barang umum seperti lampu senter, elixir, dan perlengkapan dasar lainnya tertata di rak-rak kayu yang sudah usang.
Penjaga toko, seorang pria tua dengan wajah keriput dan sorot mata sayu, berdiri di belakang meja kasir.
"Kek, ada batu portal injak?" tanya Serena dengan harapan yang jelas terdengar dalam suaranya.
Pria tua itu menggelengkan kepala dengan perlahan, seolah-olah jawaban itu sudah sering ia sampaikan kepada para pelanggan lain sebelumnya. Wajahnya tampak murung, mencerminkan keterbatasan persediaan yang ada di tokonya.
"Maaf, Nak. Batu portal injak tidak tersedia di sini. Semua penjualan batu portal itu kini dipusatkan di tempat teleportasi timur, karena banyak Hunter Monster yang pergi ke dunia manusia melalui sana."
Serena dan Violina saling berpandangan, wajah mereka jelas menunjukkan kekecewaan. Dengan langkah gontai, mereka kembali menuju altar, di mana Nenek Ida masih menunggu. Tatapan nenek itu langsung tertuju pada mereka, seakan bisa membaca hasil dari usaha mereka.
“Tidak ada, Nek,” ucap Serena lesu. “Di sini tidak ada yang menjual batu portal injak. Semua dijual di tempat teleportasi timur.”
Nenek Ida mendengus pelan, tapi tidak tampak terkejut. "Beli saja di tempat teleportasi timur. Quest kalian jatuh temponya masih lama, kan? Lebih baik kalian aman daripada terburu-buru dan celaka di perjalanan.”
Kakek Grov mengamati jam dinding yang tergantung di sudut ruangan, jarumnya sudah mendekati pukul setengah dua belas malam.
Suasana di sekitar warung dan toko kecil semakin ramai. Malam yang semakin larut dengan angin dingin yang berhembus tidak membuyarkan orang - orang yang ada di warung.
“Seharusnya kalian cepat. Ini sudah malam. Lihat jamnya. Sebelum polisi mulai patroli nanti,” ujar Kakek Grov dengan nada memperingatkan.
Serena dan Violina saling berpandangan, tahu bahwa mereka tidak punya banyak waktu tersisa.
Kakek Drar, yang dari tadi duduk santai sambil mengamati percakapan, ikut menimpali, “Pergi saja langsung. Jangan pedulikan apa kata Ida. Kalian pasti baik-baik saja.”
Serena merasa ragu sejenak, tetapi melihat Violina yang juga menatapnya dengan ekspresi penuh semangat, akhirnya ia mengangguk.
Mereka langsung berlari menuju altar teleportasi, tangan mereka saling menggenggam erat.
"Maaf, Nenek Ida! Kami harus buru-buru!" teriak Violina di antara napas terengah-engahnya, saat Serena menariknya melewati Nenek Ida yang berdiri dengan pandangan tajam.
Mereka menghilang dalam sekejap, menghilang dalam kilauan cahaya teleportasi.
Nenek Ida hanya mendengus, sorot matanya penuh kekesalan. "Batu portal injak itu penting, tapi dasar keras kepala. Aku tahu mereka tak akan mendengarkanku," gumamnya dengan suara rendah, nyaris tak terdengar.
Kakek Drar tertawa pelan sambil mengocok kartu di tangannya. "Aku tahu, Ida. Pada akhirnya, kau selalu membiarkan mereka pergi juga."
Ida melipat tangan di dada, wajahnya mengeras. "Untung saja para Hunter Pengintai sedang ditugaskan di kota manusia, jadi kalau mereka nanti hilang, masih gampang ditemukan. Kalau tidak, aku pasti sudah menghajar mereka sebelum pergi!"
Kakek Grim yang sejak tadi menunggu di altar, kini turun dari tangga dengan raut wajah kesal.
“Kalo boleh jujur, Ida, kau seharusnya membiarkan mereka pergi tanpa drama tadi. Kau tahu, sihir teleportasiku bukan cuma-cuma. Energi sihirku terbuang percuma,” keluhnya sambil menyentakkan tongkatnya ke tanah untuk menutup portal yang sudah terbuka.
Nenek Ida berpaling, matanya menyapu suasana sekitar tempat teleportasi barat yang tampak lengang. Warung-warung ramai oleh orang-orang yang sedang nongkrong, namun tak ada satu pun Hunter Monster yang terlihat.
Keheningan ini justru menambah kegelisahannya. Ia termenung sesaat, merenungi apa yang baru saja terjadi.
"Kalian bertiga," ucap Nenek Ida, suaranya dalam dan tegas saat ia menatap kakek Grim, kakek Grov, dan kakek Drar. "Jangan biarkan lagi ada Hunter Monster yang menggunakan altar perpindahan. Sebelum kita tahu penyebabnya, kenapa banyak Hunter Monster yang terluka atau bahkan diserang saat mereka melintasi dunia manusia dengan Altar Teleportasi, bukan gerbang teleportasi."
Kakek Drar, yang sedang membagikan kartu remi kepada kakek Grov, berhenti sejenak. Ia mengangkat alis, memperhatikan Nenek Ida yang tiba-tiba serius. Seperti biasanya, suasana santai tiba-tiba berganti penuh perhatian.
"Ida," kata kakek Grov, matanya yang hitam mengeluarkan asap perlahan, menatap Nenek Ida tajam. "Apa kau yakin? Penyebab, banyaknya Hunter Monster yang kembali terluka, karena menggunakan Altar Teleportasi untuk pergi ke dunia manusia?"
Nenek Ida mengangguk mantap, suaranya terdengar penuh keyakinan.
"Benar. Sudah ada datanya," jawabnya dengan mantap. "Setiap Hunter Monster yang terluka selalu tercatat di rumah sakit dan juga oleh penjaga gerbang teleportasi timur. Sepertinya ada yang salah dengan Altar Teleportasi ini. Aku perlu pergi ke Serikat Guild Hiddenama untuk merencanakan langkah berikutnya."
Seketika, tubuh Nenek Ida berubah menjadi burung elang hitam dengan mata merah menyala. Dalam sekejap, dia melesat ke langit, tubuhnya meluncur cepat menuju tujuan yang Telah ditetapkan.
Kakek Grov menatap langit yang tiba-tiba kosong, lalu mengeluh, "Padahal aku baru saja ingin mengajaknya bermain poker."
Kakek Drar tertawa pelan, matanya yang tajam melirik Kakek Grov.
"Perempuan mana yang suka bermain seperti ini?" ujarnya dengan nada menggoda, sambil memulai putaran baru permainan kartu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
Mizuki
anuu, itu setting waktunya era apa ya...
kok zombienya bawa obeng?
2024-07-24
1
Mizuki
dilematis di sini sih,
mo ditulis sebuah, seorang atau seekor zombie juga gak ada yang cocok
2024-07-24
0
Bumirang_TJ
Tetap semangat dan berkomitmen ya Thor. Aku suka gayamu.
2024-04-28
0