Simpe membelalak mendengar tuduhan itu.
Sorot matanya penuh tanda tanya, memandang Monte dengan harapan ada jawaban atau instruksi. Namun, Monte tetap tenang, hanya mengembuskan asap rokoknya perlahan, seolah situasi di depannya tak lebih dari permainan sederhana.
“Bau vanilla,” ujar pria kekar itu sambil menarik napas panjang, seperti seorang pemburu yang baru saja menemukan jejak mangsanya. “Khas sekali. Itu aroma bangsawan monster. Tidak mungkin aku salah.”
Kata-kata itu seperti belati yang menusuk Serena. Tubuhnya membeku, dan jemarinya mencengkeram tudungnya lebih erat, seolah berharap kain itu bisa menyembunyikannya sepenuhnya.
Violina, yang berdiri di sebelahnya, menunduk dalam diam. Bibirnya gemetar, mencoba menahan ketakutan yang perlahan berubah menjadi putus asa.
Sebelum ada yang sempat bereaksi, tiga pria dari kelompok petualang itu bergerak cepat.
Dalam sekejap, mereka telah mengitari Monte dan Simpe, senjata terhunus, dan posisi mereka mengancam Serena serta Violina dari belakang.
Kerumunan yang sebelumnya sibuk berlalu-lalang kini berhenti, memperhatikan dengan ekspresi ngeri.
Beberapa orang mundur perlahan, menciptakan jarak yang cukup jauh, takut terlibat dalam apa pun yang sedang terjadi.
Pria bertongkat sihir memutar tongkatnya dengan santai, namun pandangannya tajam, seperti elang yang mengawasi mangsa. Ujung tongkatnya kini mengarah langsung ke Monte dan Simpe.
“Tiarap, atau ini akan menjadi hari terakhir kalian,” ujarnya dengan nada dingin, penuh kepastian.
Monte dan Simpe saling bertatapan sejenak. Ada sesuatu yang samar di balik ekspresi mereka—bukan rasa takut, melainkan pemahaman diam-diam. Keduanya mengangkat tangan mereka perlahan, tanda menyerah.
“Baiklah,” kata Simpe dengan nada datar. “Kami tidak tahu apa-apa tentang mereka. Jika mereka bangsa monster, itu di luar urusan kami.”
Monte menambahkan, suaranya dingin tapi penuh penekanan, “Kami hanya bertemu mereka di jalan, Tuan. Tidak lebih.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Serena dan Violina. Serena, yang sebelumnya membeku dalam ketakutan, mendadak mendongak. Sorot matanya penuh kemarahan.
“Pengkhianat!” serunya, suaranya bergetar antara marah dan panik. “Kalian menjebak kami!”
Violina mengepalkan tangan hingga kukunya hampir menusuk telapak tangannya sendiri. “Ini mimpi buruk,” bisiknya, matanya basah. “Kenapa kita selalu terjebak dalam situasi seperti ini?”
Pria kekar itu menyeringai puas. “Bagus,” katanya, tangannya menunjuk Serena dan Violina. “Lumpuhkan mereka. Cepat.”
Ketiga pria itu bergerak serentak, senjata mereka berkilauan diterpa cahaya lampu kuning kota Grassiace.
Dua pria dengan belati di tangan masing-masing berlari cepat, bilah tajam mereka mengarah langsung ke Serena dan Violina. Sementara itu, pria di tengah mengayunkan pedang besar dengan kedua tangannya, tatapannya penuh keyakinan bahwa mereka akan menang mudah.
Serena dan Violina mundur beberapa langkah. Napas mereka tersengal, tubuh mereka tegang. Meskipun mereka berusaha mengambil posisi bertahan, hati kecil mereka tahu—situasi ini tidak memberi banyak peluang untuk melarikan diri.
Namun, serangan yang sudah mendekat tiba-tiba berhenti.
“Arrghh!” Teriakan keras memecah keheningan.
Dalam sekejap, ketiga pria yang menyerang mereka terlempar ke samping, seperti boneka yang dihantam oleh kekuatan tak kasat mata. Tubuh mereka menghantam tanah dengan keras, menimbulkan debu yang mengepul.
Serena dan Violina terperangah. Mata mereka membelalak, mencoba mencari tahu apa yang baru saja terjadi.
Salahsatu pria pembawa belati di sisi kanan bangkit dengan wajah penuh kebingungan. Dia memasang posisi waspada, belatinya terangkat tinggi, matanya mengamati sekeliling dengan teliti. “Siapa kalian?! Tunjukkan diri kalian!” bentaknya, suaranya penuh dengan ketegangan.
Tiba-tiba, dari belakangnya terdengar suara. “Kena kau!”
Pria itu berbalik cepat dan menusukkan belatinya dengan kecepatan luar biasa. Namun, bunyi dentingan logam menggema. Serangannya dihentikan oleh sesuatu atau seseorang.
Dari balik bayangan, perlahan muncul sosok berjubah compang-camping dengan topeng menakutkan yang menutupi seluruh wajahnya. Pria itu melangkah maju, belatinya menahan serangan musuh dengan santai.
“Makan ini,” gumamnya, suaranya rendah dan dingin seperti bisikan maut.
Belum sempat pria pembawa belati merespons, tendangan kuat menghantam tubuhnya dari samping. Sosok lain yang juga tak kasat mata muncul dalam sekejap, menjatuhkan musuh ke tanah dengan gerakan cepat dan mematikan.
Serena dan Violina hanya bisa terpaku. Ketakutan mereka bercampur dengan rasa bingung dan harapan samar. Siapa yang datang untuk membantu mereka?
“Kalian bertiga, bangun!” teriak pria kekar pembawa perisai dengan suara penuh otoritas, menoleh ke arah rekan-rekannya yang masih tergeletak di tanah.
Sementara itu, pria pembawa tongkat sihir maju ke depan, wajahnya dipenuhi amarah dan kewaspadaan. Dia mengarahkan tongkatnya ke arah Serena, Violina, dan pria bertopeng misterius yang baru muncul.
“Sialan! Jadi mereka punya sekutu. Ini tidak akan mudah,” gumamnya dengan nada sinis.
Seketika, sebuah sihir berbentuk jaring listrik muncul dari ujung tongkatnya, melesat ke arah mereka dengan kecepatan luar biasa.
Namun, sebelum serangan itu mengenai, pria bertopeng tengkorak melangkah maju dengan gerakan cepat, seperti angin yang berhembus. Pedang yang tergantung di pinggang kirinya kini telah terhunus.
Dalam satu tebasan tajam, jaring listrik itu terbelah menjadi dua dan lenyap dalam sekejap.
"Apa?!" pria pembawa tongkat sihir membelalak. "Seranganku dipotong begitu saja?!”
Suasana menjadi semakin mencekam. Para petualang kota Grassiace yang mendengar keributan itu mulai berdatangan, senjata mereka terhunus, membentuk formasi siap bertempur.
Mereka bergerak cepat menuju sumber kekacauan untuk membantu rekan-rekan mereka.
Namun, sebelum ada yang sempat menyerang lagi, suara melengking serak tiba-tiba menggema dari atas langit.
“Apa itu?!” seseorang berteriak, menunjuk ke kegelapan di atas mereka.
Dari balik awan malam, sesosok monster besar meluncur turun dengan kecepatan luar biasa.
Wujudnya menyerupai kelelawar raksasa, tubuhnya terdiri dari tulang putih yang kokoh, sedangkan sayap hitam berbulu gelap tampak mengerikan di bawah cahaya lampu kota. Kepalanya berbentuk tengkorak dengan taring yang mencuat tajam, memberikan aura mematikan.
Monster itu membuka mulutnya lebar-lebar, menyemburkan asap hitam pekat ke arah para petualang.
Dalam hitungan detik, kabut beracun itu memenuhi area, membuat semua orang batuk keras dan tersedak. Pandangan mereka kabur, formasi mereka berantakan, dan suasana berubah menjadi kacau balau.
Monte, yang sejak tadi diam dan mengamati, menyeringai tipis.
“Inilah saatnya. Serena, Violina, waktunya pergi,” katanya, mendekati mereka dengan langkah penuh percaya diri. “Maaf soal kebohongan tadi. Kami hanya mencoba melindungi kalian.”
Simpe muncul dari balik asap, menepuk bahu Violina sebelum menggenggam lengannya. “Yoo, Firz!” serunya sambil mengangkat tangannya untuk tos.
Pria bertopeng tengkorak itu menoleh sebentar ke arah Simpe, lalu menyambut tos itu dengan cepat. “Yoo,” balasnya singkat. “Jadi, keributan apa lagi yang kau buat kali ini, Simpe?”
Dari samping Firz, muncul sosok lain—pria dengan wajah manusia yang dihiasi tonjolan-tonjolan kecil menyerupai tanduk.
Sebuah ekor kecil tampak bergerak lincah di belakang tubuhnya, menambah aura mistis pada kehadirannya.
“Kalian!” bentak Yarza, wajahnya penuh dengan ketegangan. “Basa-basinya nanti! Kita harus pergi sekarang sebelum mereka bangkit lagi!”
Monte hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Dengan tenang, dia menjatuhkan puntung rokoknya ke tanah, menginjaknya hingga padam. Kemudian, dia menatap Serena dan Violina yang masih terlihat kebingungan.
“Ayo, kita bergerak sekarang,” katanya tegas, sebelum melirik ke arah Yarza. “Kau pimpin jalan, Yarza. Pastikan kita keluar dari sini tanpa hambatan!”
Simpe berjongkok dengan cepat, mempersembahkan punggungnya kepada Violina. “Cepat naik! Kita harus pergi sekarang!”
Tanpa banyak pertimbangan, Violina mengangguk dan memanjat ke punggung Simpe, tangannya erat melingkari leher pria itu. “Hati-hati, Simpe,” bisiknya.
Sementara itu, di atas langit malam, monster kelelawar berkepala tengkorak yang tadi menebar teror kini terlempar keras ke tanah.
Hantaman perisai di tengkoraknya menghasilkan suara retakan yang menggema, membuat beberapa petualang yang masih sadar menoleh dengan ekspresi terkejut.
“Aduh, kepalaku.” rintih monster itu, wujudnya perlahan berubah menjadi manusia. Tubuhnya kini terbaring di antara pecahan paving, napasnya terengah-engah.
“Maaf, Gael. Sudah merepotkanmu,” ujar Firz seraya bergegas menghampirinya.
Serena dan Violina segera mengikuti, membantu Firz menarik Gael berdiri.
Tanpa membuang waktu, mereka semua mulai berlari menyusuri jalanan gang yang lebar, langkah mereka bergema di antara dinding-dinding batu kota Grassiace.
Namun, dari arah berlawanan, sekelompok petualang manusia muncul, jumlah mereka bertambah dengan setiap tikungan yang dilewati. Beberapa membawa senjata, sementara yang lain mulai melantunkan mantra sihir.
Monte, yang berada di depan, tidak menunjukkan sedikit pun rasa gentar.
Dengan satu gerakan cepat, tangan kanannya berubah menjadi cakar besar menyerupai tikus tanah. Dia mencongkel batu paving dari jalanan dan melemparkannya ke arah mereka.
Batu itu tidak hanya meluncur biasa. Begitu berada di udara, pecahan paving itu berubah menjadi puluhan jarum tajam yang melesat ke berbagai arah.
Para petualang bereaksi dengan cepat. Beberapa mengangkat perisai sihir, sementara yang lain melompat menghindari serangan mematikan itu.
Namun, itu belum selesai. Serena, yang berlari di tengah kelompok mereka, melompat tinggi ke udara.
Ekor naga yang tersembunyi di balik jubahnya kini terhempas keras, menghantam enam petualang sekaligus dan menancapkan mereka ke paving jalan. Jeritan kesakitan bergema dari mereka.
“Rasakan ini!” seru Serena dengan tegas, tangannya terkepal erat.
Keributan itu menarik perhatian para petualang yang berada di bar sepanjang gang. Dengan cepat, jalanan mulai dipenuhi orang-orang bersenjata, menciptakan kerumunan besar yang terlihat seperti lautan musuh.
Serena mengangkat tangan kanannya, membuka telapak tangan yang kini memancarkan nyala api kecil.
Api itu perlahan membesar, membentuk bola bercahaya terang yang berputar di udara. Mulutnya mulai merapalkan mantra, suaranya menggema dengan nada penuh kuasa.
"Demi kuasa para dewa dunia. Aku meminjam kekuatanmu untuk kekuatanku. Api yang membara—"
Namun, sebelum mantranya selesai, Yarza melesat cepat ke samping Serena, gerakannya seperti angin. Wajahnya tegang, penuh dengan rasa cemas.
“Jangan, Nona! Mereka bukan musuh!” serunya tegas, kedua tangannya terangkat seolah ingin menghentikan Serena secara fisik jika perlu.
Serena terdiam, keningnya berkerut dalam kebingungan. Matanya menyipit, menatap Yarza dengan ekspresi tak percaya. “Apa maksudmu?” tanyanya, suaranya penuh kebimbangan.
“Percayalah padaku!” jawab Yarza cepat, nadanya meyakinkan.
Serena menarik napas panjang, lalu menghilangkan bola api yang sudah mulai terbentuk di tangannya. Kilauan api itu padam seketika, meninggalkan rasa hangat yang perlahan memudar di udara.
“Baiklah. Maaf, aku tidak tahu,” ujarnya dengan nada pelan.
Di depan mereka, barisan orang-orang hanya berdiri diam. Namun, yang mengejutkan, mereka mulai membuka jalan, membiarkan Serena, Yarza, Firz, Gael, Monte, dan Simpe melewati mereka tanpa perlawanan.
“Apa-apaan ini?” gumam Serena sambil menoleh ke Monte, namun Monte hanya mengangkat bahu.
Saat mereka melintasi kerumunan, beberapa orang dari bar memanggil Yarza dan Firz, memberi isyarat agar mereka segera masuk ke salah satu bar di ujung gang.
Serena menoleh ke belakang. Para petugas petualang yang tadi mengejar mereka kini terhalang.
Beberapa orang dari bar, yang tadinya tampak pasif, tiba-tiba membuat kekacauan dengan membentuk lingkaran dan mulai saling memukul satu sama lain. Perkelahian kecil itu terlihat seperti sandiwara, namun cukup efektif untuk menghambat gerak para petugas.
“Teman-teman kita memang penuh kejutan,” ujar Firz sambil tersenyum lebar.
Kelompok itu segera masuk ke sebuah bar kecil di ujung gang.
Bar itu sepi, hanya ada meja-meja kosong dan kursi yang tak terpakai. Rupanya, sebagian besar pengunjung bar tadi keluar untuk terlibat dalam keributan palsu.
“Akhirnya kita sampai!” Firz menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan santai. “Sialan, tadi itu seru sekali!” ucapnya sambil tertawa, sosoknya yang tadi terlihat kejam kini berubah lebih santai dan ramah.
Gael, yang masih memegang kepala botaknya, langsung duduk di kursi kosong.
Wajahnya terlihat lelah, dan kedua taringnya tampak mencuat ketika dia mengeluh, “Untung saja kepalaku cuma kena tameng biasa, bukan yang penuh sihir. Kalau tidak, aku mungkin sudah pingsan di sana.”
Simpe perlahan menurunkan Violina dari punggungnya.
Napasnya masih tersengal, tubuhnya sedikit bergoyang ke kiri dan kanan. Monte berjalan di sampingnya, wajahnya tetap tenang meskipun matanya penuh kewaspadaan.
Mereka berdua menundukkan badan sedikit kepada teman-teman mereka.
“Terima kasih, kalian. Jika tidak, entah bagaimana nasib kami,” kata Monte, suaranya penuh penghargaan.
“Ya, terima kasih juga,” tambah Simpe sambil menyeka keringat dari dahinya. “Kalau kalian tidak datang, mungkin wujud kejamku nanti sudah dilihat semua orang.”
Firz, Gael, dan Yarza hanya tertawa mendengar ucapan mereka. Wajah mereka menunjukkan rasa puas, seolah kejadian sebelumnya hanyalah bagian dari permainan seru yang baru saja mereka menangkan.
Firz, Gael, dan Yarza tertawa lepas, suara mereka memenuhi sudut bar yang lengang.
Mereka terlihat begitu santai, seolah kejadian tadi hanyalah permainan kecil yang seru.
Firz menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang sedikit berderit.
Dengan gerakan perlahan, dia melepas topeng tengkoraknya, memperlihatkan wajah seorang pria muda dengan dagu tegas dan mata tajam. Wajah yang memancarkan ketenangan seorang petarung, meskipun usianya masih muda.
“Untung kami sedang patroli tadi,” ujarnya dengan nada santai sambil mengambil gelas berisi air. Entah milik siapa. “Kalau tidak, kalian mungkin sudah dihajar habis-habisan oleh petugas manusia di sana.”
Yarza, yang masih terengah-engah, menepuk-nepuk ekor panjangnya di lantai, sebuah kebiasaan yang muncul saat dia lelah. Kaus hitamnya menempel di tubuh, basah oleh keringat.
“Dan untungnya ada Gael,” katanya sambil menunjuk temannya yang masih memegangi kepalanya. “Wujud monster Gorgone-nya cukup menakutkan untuk mengalihkan perhatian mereka.”
Gael hanya mengangkat jempolnya tanpa berkata apa-apa, senyumnya tipis namun penuh rasa puas.
Beberapa pengunjung bar yang tersisa mulai menghampiri mereka.
Mereka membawa nampan kecil dengan berbagai minuman—bir berbusa, segelas susu dingin dalam cangkir kayu besar, bahkan air berwarna keemasan yang tampak menyegarkan.
Tanpa banyak bicara, mereka menyodorkan minuman itu ke kelompok Firz, Monte, Simpe, Serena, dan Violina.
“Minumlah. Kalian pasti butuh ini,” kata seorang pria tua dengan jenggot putih panjang, suaranya serak namun ramah.
Serena dan Violina hanya saling pandang, lalu menerima minuman yang diberikan. Meskipun masih merasa canggung dengan suasana itu, mereka tak punya pilihan lain. Dinginnya minuman langsung memberikan sedikit rasa lega setelah ketegangan yang baru saja mereka alami.
Beberapa saat kemudian, pintu kayu kecil bertuliskan "pegawai bar" terbuka.
Seorang wanita dengan langkah cepat keluar dari sana. Rambutnya pendek dan berantakan, namun wajahnya cukup menarik, dengan mata tajam dan bibir tipis yang bergerak cepat saat bicara. Kaos lengan pendek yang dipakainya terlihat ketat, memperlihatkan tubuhnya yang atletis.
“Kalian!” serunya dengan nada mendesak. “Cepat masuk ke belakang sebelum para petugas itu memutuskan untuk menggeledah tempat ini sampai habis!”
Firz langsung bangkit dari tempat duduknya, diikuti oleh Gael dan Yarza.
Simpe dan Monte juga berdiri serentak, memberi isyarat pada Serena dan Violina untuk mengikuti mereka.
“Ayo, Nona. Ini bukan tempat untuk istirahat lama-lama,” ujar Firz sambil melirik Serena.
Serena hanya mendengus kecil, lalu meneguk sisa minumannya sebelum berdiri. Violina dengan ragu mengikutinya, ekspresinya penuh kewaspadaan.
Mereka semua bergerak cepat, mengikuti wanita itu menuju tangga batu marmer yang melingkar ke atas. Tangga itu memancarkan kesan mewah, tapi lantai dua yang mereka capai segera menghancurkan kesan itu.
“Ini tempat apa?” gumam Violina dengan wajah jijik.
Di lantai dua, keadaan jauh dari kata bersih. Sampah kertas, botol-botol pecah, dan serpihan kayu bertebaran di mana-mana. Debu tebal menempel di setiap sudut ruangan, sementara lantai yang basah menebarkan bau lembap yang menusuk hidung.
Monte melangkah ke depan, menahan napas sejenak sebelum menoleh ke wanita itu. “Ghirsia, apakah Pak Agran ada di sini?” tanyanya dengan nada serius.
Wanita yang dipanggil Ghirsia mengangguk sambil menunjuk ke sebuah pintu besar di ujung koridor. “Beliau ada di sana. Sedang nongkrong bersama kepala dewan lainnya.”
Monte mengangguk singkat, lalu menoleh ke Simpe yang berdiri beberapa langkah di belakangnya.
“Simpe, kau antarkan Nona Serena dan Violina ke Pak Agran. Aku perlu ke laboratorium dulu,” katanya dengan nada yang terdengar seperti perintah, namun santai.
Simpe mengangkat bahu, sedikit tersenyum. “Baiklah. Jangan lupa menyusul nanti.”
Yarza melirik Monte dengan alis terangkat, matanya penuh rasa penasaran. “Laboratorium? Apa yang mau kau lakukan di sana, Monte?”
Monte hanya tersenyum samar. "Ada deh."
Dia memejamkan mata sejenak, dan perlahan wujud manusianya kembali berubah menjadi sosok manusia tikus. Cakar besar di tangannya, mengganti jemari manusianya. Hidungnya mulai memanjang beserta kumis tikusnya yang tumbuh di kedua pipinya.
“Ada sesuatu yang harus aku urus,” katanya tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Namun, sebelum melangkah pergi, Monte menoleh ke arah Serena, wajahnya serius. “Dan kau, Nona Serena,” katanya, matanya menatap tajam. “Sembunyikan bau wangi vanillamu. Kalau tidak, kau akan selalu jadi buruan para petualang manusia.”
Serena tertegun, bingung dengan ucapan Monte.
Firz, Yarza, dan Gael yang mendengar peringatan itu langsung memalingkan pandangan mereka ke Serena. Tatapan mereka penuh tanya, seolah menuntut jawaban.
“Bau vanillanya?” Firz bertanya sambil menyipitkan mata, mengamati Serena dengan lebih teliti. “Nona. Kau monster bangsawan, ya?”
Serena menundukkan kepala, mencoba menyembunyikan ekspresi canggungnya.
Dia menggenggam erat kedua tangannya, seolah mencari kekuatan untuk menjawab. Violina, di sampingnya, hanya diam, terlihat biasa saja. Wajahnya dingin, seakan sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
“Firz, maksudmu dia seorang putri kerajaan?” Yarza menatap Serena dengan mata membesar, bahkan ekornya sampai melingkar-lingkar, menunjukkan rasa penasarannya.
Firz mengangguk mantap. “Iya. Aku yakin dia adalah bangsawan monster. Aku pernah mendengar informasi dari pedagang monster. Katanya, kalau ada monster yang memiliki bau tertentu setelah menggunakan sihir, itu pertanda mereka adalah keturunan kerajaan di dunia mereka.”
Simpe termenung sejenak, matanya tertuju pada langkah kakinya. “Pantas saja. Sebelumnya aku mencium bau wangi dari Nona Serena, tapi perlahan menghilang.”
Monte mengangguk, menambahkan. “Aku juga mendengar informasi itu dari petualang manusia saat mencari kabar di salah satu perkemahan mereka. Dengan instingku yang tajam saat menggali di tanah, aku bisa mendengar obrolan mereka.”
Firz menunjuk Monte dengan jari telunjuknya, matanya berbinar seakan mendapatkan pencerahan. “Sama seperti aku. Saat aku menyamar di bar manusia, aku juga secara tidak sengaja mendengar hal yang sama.”
Serena mengangkat bahu, tak membantah, meski wajahnya mulai memucat. Violina tersenyum simpul, seolah berkata, Sudah kuduga ini akan terjadi.
“Fix ya, Serena. Kau itu tuan putri aslinya,” bisik Violina dengan nada bercanda, namun matanya penuh arti.
Serena menghela napas panjang. “Tuan putri apaan coba? Kata orang tua angkatku, aku ini cuma anak pungut. Bau harum vanillaku mungkin cuma kebetulan.”
Percakapan mereka terhenti saat tiba di depan sebuah pintu kayu besar.
Tali rantai tebal melilit pintu itu, memberikan kesan bahwa sesuatu yang penting berada di baliknya. Lentera di dinding memberikan cahaya suram yang menambah suasana tegang.
Ghirsia berhenti di belakang mereka, melangkah mundur dengan senyum tipis. “Silakan kalian buka pintunya. Aku harus kembali ke meja kasir.”
Namun, sebelum mereka sempat bergerak, suara berisik terdengar dari lantai bawah.
Teriakan bercampur dengan langkah kaki berat yang menginjak lantai, menggema hingga ke lantai dua. Suara-suara itu terdengar riuh, seperti gerombolan orang yang masuk ke bar dengan cara kasar dan barbar.
Gael membuka matanya lebar-lebar, pupilnya mengecil menjadi merah pekat. Dengan suara rendah, dia berkata, “Para petualang itu ada di lantai satu. Dari mata inframeraku, aku bisa melihat mereka mengecek setiap ruangan satu per satu.”
Ghirsia menghela napas panjang, lalu menggaruk rambutnya hingga berantakan. Wajahnya penuh kekesalan. “Haduh, nanti harus bersih-bersih lagi. Semoga yang rusak tidak banyak. Baiklah, aku turun dulu.”
Tanpa menunggu jawaban, Ghirsia berlari kembali ke arah tangga, sosoknya mulai menghilang di lorong gelap yang kotor, hanya meninggalkan bayangan samar dari pakaiannya yang berlari cepat.
Monte melangkah maju ke depan pintu besar, semua orang di sekitarnya langsung merapat. Tangan Monte menggenggam erat rantai besi, bersiap menariknya. Dia menoleh ke Serena dan Violina.
“Nona Serena, Nona Violina, tetap berada di dalam batas cahaya lampu dinding. Jangan keluar, atau kalian tak akan bisa ikut bersama kami nanti.”
Serena dan Violina saling pandang sejenak sebelum melangkah mendekat. Mereka bergabung dengan yang lain, menyatu dalam kekompakan tim yang terjaga.
Firz, dengan senyuman ramah, menundukkan badan sebagai tanda hormat. “Perkenalkan, Nona Serena. Aku Firz, dari bangsa manusia di dunia sebelumnya. Nona Violina, senang bertemu denganmu juga.”
Yarza menaruh tangan kanannya di dada sambil tersenyum kecil. “Namaku Yarza, Nona. Aku berasal dari bangsa kadal. Salam kenal.”
Gael hanya berdiri dengan sikap santai, kedua tangannya terlipat di dada. Suaranya berat dan tegas. “Aku Gael, dari bangsa Gorgone. Salam kenal.”
Setelah semuanya siap, Monte menarik rantai dengan tarikan kuat. Suara derak rantai yang terlepas menggema, disusul dengan pintu besar yang perlahan terdorong terbuka.
Hening tiba-tiba menyelimuti, suara berisik dari lantai satu seolah lenyap begitu saja.
Saat pintu itu sepenuhnya terbuka, mereka disambut oleh pemandangan yang sama sekali berbeda dari lorong gelap sebelumnya.
Mereka kini berada di tengah hutan yang sunyi, dikelilingi oleh pepohonan tinggi dan semak-semak yang lebat.
Cahaya lembut dari bulan menembus celah dedaunan, menciptakan suasana magis di sekitar mereka. Di kejauhan, sebuah kedai kecil berdiri dengan penerangan redup.
Di depan kedai, lima pria paruh baya duduk melingkari api unggun.
Mereka tampak tenang, menatap nyala api tanpa berbicara satu sama lain. Pelayan kedai, seorang pria tua dengan kulit keriput, sibuk melayani mereka, menyajikan makanan dan minuman sederhana di atas tanah.
"Itu Pak Agran dan wakil dewan lainnya," bisik Simpe, menunjuk ke arah pria-pria tersebut.
Monte mengangguk. "Mari kita ke sana," ajaknya kepada yang lain.
Namun, Yarza tiba-tiba mengangkat kedua telapak tangannya, memberi isyarat penolakan. "Maaf, kawan. Aku dan Gael akan langsung ke kota Chirandian. Kalian silakan ke sana sendiri."
Gael dan Firz mengangguk setuju. "Aku mau segera kembali ke kota," tambah Firz.
"Aku juga," ujar Gael singkat.
Mereka bertukar tos dan jabat tangan dengan Monte dan Simpe, lalu berbalik, meninggalkan mereka menuju tujuan masing-masing. Yarza, Gael, dan Firz melangkah menjauh, menghilang di kegelapan hutan.
Monte dan Simpe mendekati lima pria paruh baya tersebut. Mereka sedikit menunduk saat tiba di dekat api unggun. Salah satu pria menoleh, matanya menyipit menatap tamu yang datang.
"Ada tamu datang," gumam pria itu, suaranya berat.
Pria lain menoleh dengan anggukan kecil. "Lihat saja, mereka mencari siapa nanti."
Simpe maju selangkah, menundukkan badannya. "Permisi, Pak Agran. Kami ingin menyampaikan sesuatu. Ada dua petualang dari kota Hiddenama yang tersesat. Kami berharap Bapak bisa membantu mereka pulang."
Ke empat pria paruh baya itu saling pandang, lalu melirik ke arah pria tua yang duduk di ujung kiri. Dia tampak tenang, duduk sendirian di batang kayu, memandang api unggun dengan mata sayu.
Salah satu dari mereka berkata, "Agran, anak buahmu mencarimu."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments
✍️⃞⃟𝑹𝑨Pemecah Regulasi୧⍤⃝🍌
maling
2024-02-16
0