Pak Malvier dengan tangan kanannya, mengarahkan telapak tangannya ke dinding air yang berkilauan. Dinding air itu langsung membelah, dan cahaya hangat menyelinap masuk, menyapu wajah mereka dengan lembut.
Di luar, pemandangan yang tak terduga menyambut.
Jalan berbatu kasar berubah menjadi lantai marmer yang dingin dan berkilau dari pantulan cahaya.
Serena, Violina, Simpe, dan Monte kembali melangkah, membuntuti Pak Malvier keluar dari gua yang lembab, meninggalkan bau basah yang kini tergantikan oleh aroma batu hangat.
Di depan mereka, berdiri megah sebuah bangunan yang luas, seperti aula raksasa.
Dindingnya kokoh, terbuat dari batu kasar berwarna cokelat dengan ukiran ornamen indah di beberapa sudut.
Lampu-lampu kristal besar menggantung dari langit-langit yang melengkung tinggi, memancarkan cahaya lembut. Rantai-rantai penahan lampu itu berkilau seperti benang perak, menambah kesan megah ruangan tersebut.
Serena berhenti, matanya membesar. "Tempat apa ini?" gumamnya dengan nada terpesona.
Simpe mengangkat dagunya, senyum bangga terpampang di wajahnya. "Tempat ini adalah Portal Teleportasi Kota Chirandian," katanya lalu mengangkat jari telunjuknya. "Bayangkan saja seperti terminal bus mewah di dunia manusia."
Violina memutar bola matanya, meskipun mulutnya setengah terbuka karena takjub. "Gila, sih. Tempat teleportasi Hiddenama aja kalah jauh. Ini terlalu keren."
Pak Malvier tertawa kecil, suaranya terdengar dalam. "Tentu saja, Nak Violina. Tempat ini adalah tempat teleportasi VIP. Tidak semua orang bisa datang ke sini. Hanya mereka yang memiliki akses khusus."
Serena mengedarkan pandangannya, memperhatikan aula yang tidak terlalu ramai.
Hanya beberapa orang yang duduk di kursi panjang yang tertata rapi, menghadap ke loket-loket kecil di ujung ruangan.
Sebagian besar dari mereka adalah manusia, dengan pakaian yang tampak seperti berasal dari berbagai tempat. Namun, Serena juga melihat beberapa ras monster—mereka mencolok di antara manusia biasa, dengan tanduk, kulit bersisik, atau ekor yang mencuat dari balik jubah mereka.
"Kenapa sepi banget, ya? Bukannya tempat VIP itu biasanya penuh dengan orang?" tanya Serena, matanya masih sibuk mengamati sekitar. Alisnya yang mengerut memperlihatkan kebingungannya.
Simpe membuka mulut, siap menjawab, tetapi Monte lebih cepat menyelat.
"Justru karena ini VIP, jadi hanya sedikit orang yang mampu menggunakannya," katanya sambil melirik loket yang mereka lewati. "Portal VIP itu mahal. Kalau ingin jalan keluar yang bisa dipilih sendiri menuju dunia manusia, orang tersebut harus bayar lebih. Kalau pakai portal biasa, ya lebih murah, tapi jalan keluarnya sudah ditentukan dan kadang jauh dari tujuan."
Serena terdiam, mencoba mencerna penjelasan Monte. Di sebelahnya, Violina hanya mengangguk-angguk, setuju tanpa komentar.
Ketika mereka melangkah keluar dari loket portal VIP yang megah, tulisan "Teleportasi Eksekutif" terpampang jelas di atas pintunya.
Begitu sampai di luar, di sebelah kiri mereka tampak loket portal ekonomi. Berbanding terbalik dengan yang baru saja mereka tinggalkan.
Loket ekonomi penuh sesak, orang-orang berdesakan, kebanyakan dari bangsa manusia. Bangsa monster hanya segelintir, tapi kehadiran mereka tetap terasa mencolok.
Serena mengangkat kepalanya, pandangannya tertuju ke langit-langit kubah kota. Apa yang dilihatnya membuat matanya terbuka lebar.
Sebuah kubah besar menjulang di atas mereka, terbentuk dari tanah dan batu yang kokoh. Air terjun kecil mengalir dari beberapa celah di kubah itu, menciptakan kilauan, ketika cahaya matahari masuk dari lubang-lubang besar di atasnya.
"Kota Chirandian ternyata ada di bawah tanah," gumam Serena kagum, matanya tak lepas dari pemandangan tersebut.
Violina menoleh ke sahabatnya, tersenyum. "Ingat enggak waktu pertama kali kita masuk ke kota Hiddenama? Reaksi kita kayak gini juga. Reaksi kagum dengan tempat baru."
Di luar, suasana jalanan semakin hidup. Petugas keamanan dari bangsa manusia maupun bangsa monster berpatroli di pos-pos kecil yang tersebar di sepanjang jalan.
Masing-masing memakai seragam berbeda, tapi semuanya mengenakan celana hitam yang menjadi ciri khas mereka.
Setelah melangkah beberapa menit, Pak Malvier berhenti di depan gedung teleportasi kota Chirandian.
Udara di luar gedung terasa hangat dengan aroma yang bercampur antara masakan rempah khas dan bau manis dari pedagang kaki lima yang memenuhi area parkir.
Suara keramaian menggema di udara, menciptakan suasana hidup yang penuh warna.
Pak Malvier melirik Serena dan Violina yang tampak sibuk mengamati sekeliling.
"Kita naik kendaraan tikus balap saja. Rasanya tidak seru kalau terus memakai portal teleportasi. Saya yakin kalian pasti ingin melihat suasana kota Chirandian juga."
Serena dan Violina saling berpandangan, alis mereka terangkat bersamaan.
"Kendaraan tikus balap?" tanya Serena, ekspresi wajahnya penuh kebingungan sekaligus penasaran.
Monte menjawab dengan nada santai, seolah hal itu adalah hal yang biasa.
"Itu alat transportasi khas kota Chirandian. Tikus-tikus ini dulunya penghuni asli dungeon ini sebelum diubah menjadi kota seperti sekarang. Mereka sangat cepat dan bisa diandalkan untuk menjelajahi kota."
Pak Malvier memimpin mereka ke pangkalan transportasi yang disebut ojek portal.
Pemandangan di sana cukup unik. Ada beberapa tikus raksasa berlalu-lalang sambil membawa penumpang di punggung mereka.
Tikus itu memiliki kotak besar di punggung, lengkap dengan jendela dan kursi di dalamnya untuk penumpang yang ingin bepergian dengan nyaman.
Pak Malvier mendekati seorang supir, pria paruh baya dengan wajah ramah yang tampak akrab dengan pekerjaan ini.
Mereka berbicara sebentar, sebelum supir itu mengangguk dan mulai menyiapkan kendaraannya.
"Ayo naik," kata Pak Malvier sambil melambaikan tangan ke arah mereka.
Monte dan Simpe langsung melangkah dengan sigap menaiki tangga kecil yang terpasang di samping.
Serena dan Violina, meski sedikit ragu, akhirnya mengikuti, memperhatikan dengan cermat setiap detail kendaraan aneh tersebut.
Tikus itu memiliki tubuh gemuk dengan bulu lebat berwarna coklat tua. Ukurannya setinggi kuda dewasa, tetapi dengan tubuh yang jauh lebih lebar dan berat.
"Wow besarnya," gumam Violina, matanya membulat takjub.
Pak Malvier duduk di dalam kotak bersama mereka, sedangkan supir itu mengambil tempat di bagian depan, tepat di atas kepala tikus, memegang tali pengendali yang terlihat seperti rem kuda.
"Pegang erat, perjalanan akan segera dimulai," kata supir itu sambil menoleh sebentar ke arah mereka.
Saat tikus itu mulai bergerak, Serena merasakan sedikit getaran di lantai kotak penumpang. Namun, alih-alih terasa tidak nyaman, gerakan tikus itu justru lembut dan stabil.
Kendaraan mulai melaju perlahan di jalanan luas kota Chirandian, yang terbuat dari bata tanah liat berwarna cokelat.
Jalan itu begitu lebar hingga setiap kendaraan memiliki cukup ruang untuk bergerak tanpa harus saling berdesakan.
Serena menatap keluar jendela kaca, matanya terpaku pada pemandangan kota Chirandian yang unik.
Bangunan-bangunan berbentuk kotak dengan ukuran bervariasi menghiasi sepanjang jalan.
Materialnya sederhana, terbuat dari batu dan tanah, tetapi di setiap sudutnya terdapat sentuhan alam seperti pohon kelapa yang menjulang dan semak-semak hijau segar menambah kesan asri di tengah suasana bawah tanah yang tertutup.
Cahaya matahari masuk melalui celah-celah kubah besar di atas mereka, menciptakan permainan bayangan yang indah.
"Kota ini luar biasa," bisik Serena, suaranya penuh kekaguman. "Ternyata, setiap kota monster di dungeon itu memiliki keunikannya sendiri."
Violina, yang duduk di sebelahnya, mengangguk pelan sambil menopang dagunya dengan tangan. Namun, ekspresinya tidak sepenuhnya kagum seperti Serena.
"Menarik sih, tapi aku rasa masih bagusan kota Hiddenama deh."
Pak Malvier yang duduk di ujung bangku hanya tersenyum mendengarnya.
"Memang. Kota Chirandian dulunya sebuah dungeon bawah tanah. Semua yang ada di kota Chirandian itu terbuat dari tanah dungeon ini. Berbeda dengan kota Hiddenama yang punya langit malam abadi dan pemandangan alamnya sendiri."
Violina menoleh cepat ke arah Pak Malvier, matanya menyipit penasaran. "Pak Malvier kok bisa tahu keadaan kota kami?" tanyanya sambil memiringkan kepalanya sedikit.
Pak Malvier mengangguk dengan tenang, menjawab pertanyaan Violina yang masih menatapnya penuh rasa ingin tahu.
"Tahu, Nak. Bahkan, saya kenal salah satu pengurus Serikat Guild kotamu."
Serena, yang tadinya sibuk mengamati jalanan dari jendela, langsung menoleh dengan tatapan penuh minat.
Monte dan Simpe ikut menatap tajam, penasaran dengan ucapan Pak Malvier.
"Bibi Ra?!" tanya Serena, memiringkan tubuhnya sedikit ke arah lelaki tua itu. "Bagaimana Bapak bisa kenal beliau?"
Pak Malvier menghela napas panjang, seolah sedang mengumpulkan kenangan yang telah lama berlalu.
"Dulu," katanya pelan, suaranya sedikit berat. "Saya adalah salah satu orang dari dunia sihir yang pertama kali dipindahkan ke dunia manusia ini, akibat saya gagal menyelesaikan quest dewa. Pasti kalian juga mengalaminya bukan? Kalo tidak, pasti kalian tidak akan dipindahkan disini."
Mata beliau menatap ke kejauhan, menembus kaca jendela seakan melihat masa lalunya sendiri.
Serena menahan napas, sementara Violina bersandar lebih dekat untuk mendengar kelanjutan cerita.
Monte bahkan berhenti mengetuk-ngetukkan jarinya ke lutut, tanda ia juga tertarik.
"Saat itu," lanjut Pak Malvier, "tidak ada kota seperti Hiddenama atau Chirandian, bahkan semua kota monster. Tidak ada tempat bagi bangsa kita untuk berlindung. Dunia manusia ini terasa asing, penuh ancaman, dan tanpa arah tujuan. Maka, saya memutuskan untuk berkelana, mencari tahu, dunia apa ini. Apakah ada jalan pulang?"
Beliau memejamkan mata, menarik napas panjang sebelum melanjutkan.
"Dalam perjalanan itu, saya bertemu banyak sekali orang dari dunia sihir yang dipindahkan ke dunia ini. Bangsa manusia, hingga bangsa monster. Salah satunya adalah Ra. Seorang wanita cantik meskipun, setengah tubuhnya ular. Ia adalah monster basilik, penuh wibawa dengan kecantikan yang luar biasa."
Mendengar nama dan deskripsi itu, Serena dan Violina saling bertukar pandang. Kekaguman mereka pada Bibi Ra kini terasa semakin besar.
"Jadi, Bibi Ra juga salah satu orang pertama di dunia ini?" tanya Serena pelan.
Pak Malvier mengangguk. "Betul. Dia adalah salah satu orang yang ingin membangun tempat berlindung bagi bangsa dari dunia sihir, jika berada di dunia manusia ini. Saya juga belajar banyak darinya. Tanpa orang sepertinya, kota-kota seperti Chirandian dan Hiddenama, mungkin tidak akan pernah ada."
Sejenak suasana menjadi hening. Pak Malvier memejamkan matanya, tenggelam dalam kenangan.
Di dalam kereta tikus itu, hanya suara langkah berat kaki sang monster yang terdengar, berpadu dengan riuh rendah aktivitas penduduk Chirandian di luar.
Serena kembali mengalihkan pandangan ke luar jendela.
Jalanan kota semakin ramai. Penduduk dari berbagai ras berlalu-lalang, beberapa berbelanja di kios pinggir jalan, sementara yang lain sibuk mendorong gerobak atau mengayuh sepeda.
Kendaraan lain, seperti gerobak kecil yang ditarik oleh kuda kecil berwarna abu-abu, ikut memadati jalan.
Cahaya dari lubang-lubang di atas kubah raksasa semakin terang, menandakan matahari sudah semakin naik.
Serena membuka mulutnya, ingin bertanya lebih banyak, tapi suaranya tertahan ketika kereta tikus itu tiba-tiba berhenti dengan lembut di pinggir jalan.
"Tuan, kita telah sampai," ujar pengemudi kereta, menoleh ke belakang.
Pak Malvier membuka matanya, tersadar dari lamunannya. Ia mengusap wajahnya, lalu berdiri.
"Ayo turun. Kita lanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Rumah sakit tempat saya bekerja tidak jauh dari sini," katanya sambil melangkah keluar.
Pak Malvier melangkah lebih dulu di depan, diikuti Serena, Violina, Simpe, dan Monte.
Jalanan kota Chirandian semakin ramai, trotoarnya dipenuhi pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai barang unik seperti kristal bercahaya, peralatan sihir, dan makanan khas yang aromanya menggelitik hidung.
Serena dan Violina menoleh ke segala arah, mencoba menyerap setiap detail yang ada.
Bangunan-bangunan kota itu lebih sederhana dibandingkan dengan Hiddenama, namun memiliki karakter tersendiri. Dinding batu yang kokoh dihiasi dengan ukiran sederhana, atap-atapnya dilapisi genting tanah liat berwarna cokelat tua.
Orang-orang berlalu-lalang, mayoritas dari mereka bangsa manusia, hanya sedikit monster yang terlihat.
"Pak Malvier, kenapa di kota ini lebih banyak manusia dibandingkan bangsa monsternya?" tanya Serena, alisnya mengernyit. "Bukannya di kota-kota lain, bangsa monster juga banyak?"
Pak Malvier menoleh sekilas, senyumnya tipis. Sebelum ia sempat menjawab, Simpe mengambil alih.
"Itu karena fokus utama Serikat Guild Chirandian adalah menyelamatkan bangsa manusia."
Violina yang berjalan di samping Serena langsung menatap Simpe, mukanya penuh rasa penasaran.
"Tapi kalian berdua kan monster. Kalau mereka cuma fokus sama bangsa manusia, kenapa kalian ada di sini? Bukannya seharusnya kalian enggak jadi prioritas mereka?"
Monte, yang sedari tadi diam, langsung menyela.
"Itu bukan berarti mereka anti monster, Nona. Kebetulan saja aku dan Simpe dulu dipindahkan ke wilayah dekat kota Grassiace.
Serikat Guild Chirandian lebih fokus untuk menyelamatkan orang yang dipindahkan di sekitar kota Grassiace, yang kebetulan kebanyakan bangsa manusia. Kalau bangsa dunia sihir yang dipindahkan jauh dari kota Grassiace. Bisa dibilang, nasib mereka tergantung guild lain."
Violina mengerutkan keningnya. "Berarti mereka lebih memikirkan jarak daripada nasib bangsa dunia sihir lain?"
Monte mengangguk ringan. "Sepertinya begitu. Melihat apa yang sudah terjadi. Kota ini memang didirikan dengan tujuan utama untuk menjadi tempat aman bagi manusia kayaknya. Bangsa monster yang ada di sini biasanya, mereka yang dipindahkan dekat kota Grassiace."
Percakapan itu berhenti sejenak ketika sekelompok anak kecil tiba-tiba mendekati mereka.
Anak-anak itu, dengan wajah penuh rasa ingin tahu, mulai mengulurkan tangan mereka ke arah ekor naga Serena dan ekor berbulu milik Violina.
"Ekor kalian lembut sekali!" seru salah satu anak dengan gembira sambil mencoba menyentuh bulu ekor Violina.
"Hey! Jangan sembarangan megang!" kata Violina, wajahnya memerah karena risih. Ia segera meraih ekornya sendiri dan memeluknya erat.
Serena pun melakukan hal yang sama. "Iya, enggak sopan, tahu!" katanya, meskipun nada bicaranya tidak terlalu galak.
Anak-anak itu tertawa kecil sebelum akhirnya berlari pergi, meninggalkan mereka. Serena mendesah kesal, sementara Violina masih memeluk ekornya erat-erat, wajahnya sedikit cemberut.
Pak Malvier hanya tersenyum kecil melihat kejadian yang baru saja terjadi.
"Di sini, tidak banyak yang melihat bangsa monster dengan ciri-ciri unik seperti kalian. Itu sebabnya mereka penasaran. Harap maklum, ya."
Simpe tertawa pelan, menanggapi kejadian itu dengan nada santai.
"Anak-anak itu pasti penasaran karena hanya kalian berdua yang merupakan ras monster yang berbeda di kota ini. Kota Chirandian ini tidak punya bangsa monster Serigala dan Naga, jadi tak heran kalau mereka tertarik."
Serena yang masih merasa agak risih, buru-buru membelitkan ekor naganya di bawah rok gaunnya, menyembunyikannya dari pandangan.
"Tidak akan ada yang memegangnya lagi, kan?" gumamnya, menatap ke sekeliling.
Violina, yang juga merasa sedikit terganggu, segera merapikan bulu ekornya yang kusut akibat tangan nakal anak-anak tersebut.
"Iya, semoga saja. Aku tidak suka ekorku dimainkan seenaknya."
Dengan gerakan hati-hati, Serena memperbaiki gaunnya dan bertanya, "Lalu, di kota Chirandian ini ada bangsa monster apa saja, ya?"
Simpe memutar matanya ke atas sejenak, merenung. "Hmm, mayoritas sih monster hewan. Bangsa monster mitologi, hanya ada dua di sini."
Serena dan Violina saling melirik dengan kebingungan, tidak sepenuhnya memahami apa yang dimaksud Simpe.
Sebelum mereka bisa bertanya lebih lanjut, Pak Malvier, yang berjalan di depan, menjelaskan dengan sabar.
"Yang dimaksud nak Simpe adalah, di kota ini lebih banyak monster hewan, seperti Simpe yang berasal dari monster kera dan Monte yang berasal dari monster tikus. Sedangkan kalian berdua adalah bangsa monster mitologi, seperti Naga dan Serigala Fenrir."
Serena mengangguk pelan, mulai paham dengan penjelasan tersebut.
Violina yang masih terlihat sedikit bingung, bergumam pelan, "Ah, jadi ada perbedaan juga ya. Aku baru tahu."
"Sudahlah, tak usah dipikirkan terlalu dalam." Pak Malvier tersenyum, "Sebentar lagi kita akan sampai."
Mereka melanjutkan perjalanan, melangkah dengan tenang di jalan yang semakin lengang.
Suasana kota Chirandian mulai terasa lebih tenang, meski masih tampak keramaian di sekitar toko-toko kecil yang berjajar di sepanjang trotoar.
Gedung besar yang menjulang di kejauhan semakin jelas terlihat, berdiri tegak di ujung jalan, menarik perhatian mereka dengan arsitekturnya yang kokoh.
"Itukah tempatnya?" tanya Violina, matanya penuh rasa ingin tahu, memandangi gedung yang semakin dekat.
Pak Malvier mengangguk, menyunggingkan sedikit senyum.
"Iya. Ini tempatnya." Namun, tatapannya berubah lebih serius, seolah ada sesuatu yang membuatnya penasaran. "Saya jadi penasaran. Katanya, Nak Violina baru saja terkena peluru Manaterium, tapi keadaanmu terlihat baik-baik saja."
Violina hanya tersenyum tipis, sedikit canggung. Dia tidak tahu harus menjawab apa, jadi memilih untuk diam, membiarkan senyum itu menggantung di wajahnya.
Serena menatap Pak Malvier, ekspresinya serius. Dia merasa ada yang masih mengganjal di pikirannya, dan sekarang saat yang tepat untuk bertanya.
"Maaf, Pak Malvier," katanya dengan suara lembut namun tegas. "Tentang bahan manaterium. Itu bahan apa, sih? Tuan Simpe dan Tuan Monte sudah menjelaskan, tapi kami masih belum paham sepenuhnya."
Pak Malvier berhenti tiba-tiba di tengah jalan, menarik perhatian beberapa pejalan kaki yang melintas.
Dengan sigap, beliau menyamping ke pinggir trotoar agar mereka tidak mengganggu lalu lalang pejalan kaki. Hanya suara riuh kendaraan kuda dan tikus yang melintas di jalan, mengiringi mereka.
Pak Malvier menatap Serena dengan mata yang dalam, memusatkan perhatian pada pertanyaan itu.
"Bahan manaterium adalah bahan yang sangat berbahaya, Nak," ujar beliau, suaranya berat dan penuh kewaspadaan. "Bahan itu bisa menghentikan kemampuan penyembuhan makhluk dari dunia sihir. Artinya, jika kalian terkena serangan itu, tubuh kalian akan mati secara perlahan. Racunnya sangat kuat, dan bisa mencegah luka untuk sembuh."
Serena terdiam sesaat, menyerap penjelasan itu. Kedua matanya sampai terbuka lebar.
Monte, yang mendengar percakapan tersebut, menyambung dengan nada serius. Jari telunjuknya terangkat, mengarah ke Serena, sedangkan ekor tikusnya langsung melipat, menunjukkan rasa khawatir yang tidak dijelaskan di wajahnya.
"Paling menakutkan dari bahan manaterium adalah bahan itu bisa digabungkan dengan senjata lainnya. Sebelumnya, Nona Violina terluka karena peluru yang terbuat dari bahan manaterium. Tapi, di kota manusia lain, petualang manusia menggabungkan bahan ini dengan senjata lainnya seperti pedang, cairan beracun, dan banyak hal lainnya. Itu hasil investigasi Serikat Chirandian selama setahun ini," katanya.
Simpe mengangguk, menambahkan dengan santai, "Makanya, disebut bahan, bukan senjata sihir karena dapat membuat senjata biasa untuk melukai bangsa sihir."
Violina yang sejak tadi terdiam mendengarkan, akhirnya mengangkat tangan kanannya dengan ekspresi panik yang terlihat jelas di wajahnya.
Matanya membesar seperti orang yang baru saja menyadari sesuatu yang sangat mengerikan, mulutnya sedikit terbuka, dan ia tampak ingin segera melontarkan pertanyaan besar yang menggantung di benaknya.
"Jadi. Sebenarnya. Saya sudah dipastikan mati setelah terkena serangan senjata berbahan manaterium itu?" Violina bertanya dengan suara tercekat, seolah kalimat itu hampir tidak bisa diterimanya.
Pertanyaan itu menggantung di udara, membekukan sejenak suasana di sekitar mereka.
Suara langkah kaki di trotoar yang semula terdengar ramai, kini terasa begitu jelas—begitu dekat, seolah dunia di sekitar mereka menunggu jawaban dari Pak Malvier.
Pak Malvier memandanginya dengan ekspresi yang sulit dipahami.
Tidak ada kecemasan di wajahnya, hanya tatapan penuh penilaian.
Setelah beberapa detik hening, beliau akhirnya menggelengkan kepala pelan, seolah membantah kebenaran yang sedang dipikirkan Violina.
"Tidak juga, Nak," jawabnya dengan suara yang rendah namun tegas. "Racun dari bahan manaterium masih bisa disembuhkan, jika penanganannya cepat. Namun, jika kalian terlambat sehari saja, maka dipastikan kalian akan mati. Tubuh kalian akan membusuk, seperti makanan manusia yaitu bubur ayam yang sudah ditinggal terlalu lama."
Serena dan Violina terdiam, mulut dan mata mereka terbuka lebar mendengar penjelasan itu.
Ada perasaan ngeri yang merayap perlahan ke tubuh mereka, seolah kengerian itu bisa terasa di setiap hembusan napas yang mereka ambil.
"Ini gawat, Violina!" Serena akhirnya berkata dengan nada panik yang tidak bisa disembunyikannya. "Kita harus memberitahukan hal ini ke Serikat Guild secepatnya."
Violina mengangguk dengan cepat, wajahnya masih tampak bingung dan khawatir.
"Kau benar, Serena. Apalagi penawar racun bahan itu cuma satu dan sudah habis juga." Suaranya perlahan memudar, mengingatkan mereka pada betapa rapuhnya keadaan mereka saat ini.
Pak Malvier mengangkat tangan, menghentikan kekhawatiran mereka sejenak.
"Oleh karena itu," ujarnya dengan serius, "saya ingin mengecek keadaanmu, Nak Violina. Untuk memastikan, apakah benar potion yang kalian gunakan dapat menghilangkan racunnya, dan untuk melacak dari bahan apa potion itu dibuat. Mungkin saja ada hubungan dengan reward quest tertentu."
Violina menatap Pak Malvier dengan mata yang penuh harapan.
Suasana yang semula tegang kini terasa sedikit lebih ringan, meski kecemasan masih menggelayuti setiap kata yang keluar.
"Kalo bapak tahu penawarnya, jangan lupa kasih ke Serikat Kota Hiddenama, ya, Pak?" Violina berkata dengan nada yang penuh keyakinan, meski rasa takut masih membayang di matanya.
Pak Malvier mengangguk pelan, dan senyum tipis muncul di bibirnya. "Akan saya lakukan. Tapi kita harus segera mencari tahu sebelum terlambat. Kalian berdua mau membantu saya?"
Serena dan Violina saling melirik sejenak, lalu mengangguk bersamaan. Tak ada rasa bimbang di hati mereka, hanya tekad yang kuat. Mereka tak bisa membiarkan waktu terbuang begitu saja.
"Siap, Pak Malvier! Akan saya lakukan!" Serena menjawab dengan semangat, suaranya penuh dengan kepercayaan diri.
Violina pun tak kalah bersemangat. "Saya juga, Pak. Akan saya bantu sebisa mungkin."
Saat keduanya berbicara, ekor naga Serena berkibar-kibar penuh semangat, begitu juga ekor serigala Violina yang melambai-lambai dengan cepat.
Emosi mereka yang penuh semangat seolah menular hingga ke ekor mereka yang bergerak dengan sendirinya, seakan mencerminkan kekuatan tekad yang ada dalam diri masing-masing.
Simpe dan Monte yang berdiri di belakang mereka terpaksa melangkah mundur.
Ekor-ekor itu cukup panjang dan kuat untuk menyentuh wajah mereka, jika mereka tidak cepat-cepat menyingkir.
Mereka saling menatap sejenak, tapi tak berkata apapun, hanya memastikan mereka tidak terkena kibasan ekor yang sangat energik itu.
“Baiklah, mari kita berangkat ke gedung itu. Di sana, saya akan memeriksa Nak Violina. Setelah itu, saya akan mengantarkan kalian ke Pak Agran. Soal pertanyaan sebelumnya, saya akan jawab sesederhana mungkin agar tidak terlalu lama,” kata Pak Malvier dengan tegas, namun nada suaranya tetap tenang.
Serena dan Violina mengangguk hampir bersamaan, menguatkan tekad mereka untuk terus maju.
"Iya, Pak," jawab Serena.
"Baik, Pak," sahut Violina dengan suara yang lebih rendah, namun tetap penuh keyakinan.
Namun, sebelum mereka melangkah lebih jauh, Monte tiba-tiba berbicara, suaranya mengalir dengan nada yang agak cemas, seolah ingin menunda perjalanan mereka untuk sejenak.
"Tuan Malvier, sebaiknya tuan Malvier fokus di tugas, tuan saja. Biarkan saya dan Simpe yang mengantarkan nona Serena dan Violina ke tempat Pak Agran."
Pak Malvier menoleh ke arah Monte dengan ekspresi datar, seolah pertanyaan itu sudah diprediksi sebelumnya. "Serah kalian," jawabnya singkat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments