The Truth Untold
"Ibu … aku lulus Bu, aku lulus …!"
Meyta berteriak heboh sambil berlari menyusuri gang kecil menuju ke rumahnya. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan sekolahnya dan ia mendapatkan peringkat pertama paralel. Siapa yang tidak akan bangga.
Wajah ceria itu berubah drastis saat ia membuka pintu kamar dan mendapati kaki ibunya bergelantungan. Kepala Meyta mendongak, matanya membulat sempurna. Ia berteriak dan berlari keluar untuk memanggil warga sekitar.
Rumah kecil yang Meyta tempati bersama ibunya setelah berpisah dengan ayahnya sebab sang ayah memilih wanita simpanannya kini begitu ramai akan pelayat. Meyta duduk memeluk lututnya dengan tatapan yang hampa.
Masih jelas teringat bagaimana tadi pagi ia dibuatkan sarapan kesukaannya oleh sang ibu sebelum berangkat ke sekolah. Ibunya juga memeluknya dengan begitu erat dan berpesan jika ia harus kuat dan bersabar dengan segala cobaan.
Apakah ini adalah cobaan yang ibunya maksud?
Belum cukup ia dan ibunya menderita setelah perpisahan itu, cobaan yang mereka hadapi silih berganti, kadang bisa makan sehari dua kali kadang sehari pun hanya meminum air putih. Kini Meyta harus tinggal sendiri di rumah ini. Apa yang harus dia lakukan?
'Ibu, mengapa kamu begitu tega meninggalkanku? Siapa yang akan menemaniku? Apakah aku menyusulmu saja, aku mana mungkin bisa hidup sendiri di sini.'
Satu minggu berlalu, Meyta semakin kurus karena terus saja berdiam diri di kamar. Makan pun ia enggan jika tidak ada Wita — sahabat Meyta yang sering berkunjung ke rumahnya.
Ketika Wita datang berkunjung, Meyta tampak sangat bahagia. Ia bahkan bercerita ini dan itu hingga membuat Wita sedikit keheranan. Namun begitu Wita pergi, wajah ceria Meyta mendadak suram. Ia mengurung diri di kamar sambil menangis tersedu-sedu bahkan ia sampai depresi dan tak bisa tidur berhari-hari.
Pagi ini Meyta mendapatkan semangatnya. Ia berniat untuk mencari pekerjaan saja mengabaikan beasiswa yang ia dapatkan di perguruan tinggi. Mood Meyta sangat baik pagi ini, ia sudah berdandan cantik walau seadanya sebab wajahnya memang sangat cantik.
Meyta membuka pintu rumahnya namun ia terdiam saat melihat mobil mewah berhenti di depannya. Pintu mobil itu terbuka dan seorang pria paruh baya yang sangat Meyta kenali turun menghampirinya.
"Ayah tidak tahu jika ibumu sudah meninggal. Sekarang kamu tidak boleh tinggal sendirian, mari ikut bersama Ayah. Ibu Shinta menunggumu di rumah," ajak pria itu — ayah Meyta — Primus Wicaksana.
Tangan Meyta terkepal. Moodnya yang tadi begitu baik kini berubah drastis. Ia ingin berteriak namun ia mencoba untuk melawannya. Ia hanya tidak ingin bertemu ayahnya apalagi harus tinggal di rumah itu bersama wanita yang sudah merenggut hak ibunya.
"Aku tidak bisa. Ayah pergi saja, aku nyaman berada di sini," tolak Meyta. Tubuhnya gemetar, ia sangat ingin menangis histeris dan memukul wajah ayahnya ini.
"Kamu tidak bisa tinggal di sini lagi. Bukankah ini rumah sewa? Kamu tidak bekerja jadi sebaiknya ikut ayah dan lanjutkan sekolahmu. Pihak sekolah menghubungi Ayah dan mereka mengatakan kamu lulusan terbaik tahun ini. Ayo bersiaplah, Ayah akan membawamu ke universitas yang kamu inginkan," ajak Primus tak menyerah. Bagaimanapun Meyta adalah darah dagingnya. Ia bertanggung jawab penuh atas dirinya.
Meyta diam berpikir. Ia benci ayahnya tetapi pria ini selalu memperhatikan yang sekolahnya sedangkan ibunya selalu menolak bantuan darinya. Ah lebih tepatnya wanita bernama Shinta itu selalu saja datang untuk memaki ibunya. Jadi, sebenarnya siapa yang salah dalam hal ini? Ibunya yang menjadi janda ayahnya atau wanita simpanan yang menjadi nyonya di rumah ayahnya?
"Aku tidak—"
Ucapan Meyta terhenti saat ayahnya langsung memeluknya. Pria ini jelas sangat mencintainya meskipun ia mengasingkan mereka. Ibunya yang tak rela dimadu dan ia yang tak ingin berpisah dari ibunya.
Meyta menangis. Ia memukuli punggung ayahnya tetapi pria itu tak bergeming. Ia tahu dirinya bersalah.
...…....
Tatapan tak suka Meyta dapatkan saat ia menginjakkan kaki di rumah ini. Dua saudara tirinya hanya menunjukkan sikap peduli mereka saat Ayah berada di rumah. Begitupun ibu tiri, semua hanya palsu belaka.
Di dalam kamarnya Meyta terdiam. Ia menatap langit-langit kamar sambil rebahan dan tak tahu harus melakukan apa. Besok adalah ujian masuk perguruan tinggi, ayahnya tidak di rumah dan entah ia harus berangkat dengan mengendarai apa.
Semalaman Meyta kembali tak bisa tidur. Ia menangis depresi. Padahal sebelumnya ia sempat berbagi kabar bersama Wita, moodnya begitu baik dan ia sangat bersemangat membahas perguruan tinggi dan semua rencananya yang sudah ia susun. Namun saat panggilan berakhir, Meyta teringat akan ibunya dan ia mendadak depresi.
"Meyta, apakah kamu sudah bangun? Bukankah hari ini kamu akan berangkat untuk ujian masuk perguruan tinggi?"
Meyta mengangkat wajahnya yang sedang memeluk lutut di atas tempat tidur. Pagi sudah menyapa sedangkan semalaman ia sudah berada dalam posisi ini.
"Wanita itu berkata lembut, apakah Ayah sudah kembali?" gumam Meyta.
Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya dengan secepat kilat. Ia bersiap untuk menaklukkan semua soal tersebut.
Di meja makan sudah ada ayahnya dan kedua adik tiri serta ibu tiri yang penuh dengan kepalsuan. Mereka makan dengan tenang, ayahnya terus menanyakan dirinya hingga ia menceritakan tentang rencananya dengan begitu antusias. Meyta berbicara dengan begitu cepat hingga kedua adik tirinya langsung tertawa mengejek.
"Kamu itu manusia bukan kereta cepat, bicaranya pelan-pelan saja," ejek Misca.
Ucapan Misca tersebut membuat mood Meyta menurun. Ia melepaskan sendoknya lalu ia berjalan pergi tanpa berpamitan. Mendadak semua rencana Meyta yang begitu indah dan tersusun rapi itu menjadi berantakan. Ia enggan untuk pergi ke universitas. Tak ada satu hal pun yang ingin ia lakukan selain terus berjalan mengikuti ke mana ia melangkah.
"Harusnya kamu tidak mengatakan itu pada kakakmu," tegur Primus. Misca menundukkan kepalanya.
Primus meninggalkan meja makan, ia berniat mengejar Meyta. Sedangkan di meja makan Shinta langsung membanting alat makannya. Ia marah pada Primus dan juga pada Misca.
"Ibu sudah bilang untuk tidak mengejek atau menampakkan rasa tidak suka kalian pada Meyta di depan Ayah. Lihat sendiri akibatnya!" sungut Shinta hingga membuat Misca ketakutan.
Meyta berhenti di sebuah taman. Ia duduk sambil memikirkan mengapa dirinya bisa seperti ini. Apa yang terjadi dengannya dan apa yang salah pada dirinya.
"Apakah aku harus ke psikolog untuk memeriksakan kesehatan mentalku? Aku juga tidak suka dengan perubahan mood-ku seperti ini," gumam Meyta kemudian ia pun memutuskan untuk pergi ke praktek psikolog.
...…...
"Bipolar disorder. Ini adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang mempengaruhi mood atau suasana hati. Penderita biasanya cepat sekali bersemangat namun sangat mudah untuk menyerah. Dari hasil pemeriksaan tadi, saya mendiagnosis jika kamu mengalami bipolar disorder. Saran saya, kamu sebaiknya pergi ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lanjutan," ucap psikolog tersebut yang membuat dunia Meyta seakan jungkir balik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
🍒⃞⃟🦅🏠⃟⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Nur㊍㊍
ibu tirinya berwajah manis tapi berhati busuk, lebih baik hidup sendiri dr pd harus makan hati tiap harinya
2024-02-10
0
🍒⃞⃟🦅🏠⃟⍣⃝𝑴𝒊𝒔𝒔Nur㊍㊍
kehilangan seseorang itu sangat menyakitkan meyta apalagi kehilangan seorang yg bernama IBU...
2024-02-10
0