NovelToon NovelToon

The Truth Untold

Episode 1

"Ibu … aku lulus Bu, aku lulus …!"

Meyta berteriak heboh sambil berlari menyusuri gang kecil menuju ke rumahnya. Hari ini adalah hari pengumuman kelulusan sekolahnya dan ia mendapatkan peringkat pertama paralel. Siapa yang tidak akan bangga.

Wajah ceria itu berubah drastis saat ia membuka pintu kamar dan mendapati kaki ibunya bergelantungan. Kepala Meyta mendongak, matanya membulat sempurna. Ia berteriak dan berlari keluar untuk memanggil warga sekitar.

Rumah kecil yang Meyta tempati bersama ibunya setelah berpisah dengan ayahnya sebab sang ayah memilih wanita simpanannya kini begitu ramai akan pelayat. Meyta duduk memeluk lututnya dengan tatapan yang hampa.

Masih jelas teringat bagaimana tadi pagi ia dibuatkan sarapan kesukaannya oleh sang ibu sebelum berangkat ke sekolah. Ibunya juga memeluknya dengan begitu erat dan berpesan jika ia harus kuat dan bersabar dengan segala cobaan.

Apakah ini adalah cobaan yang ibunya maksud?

Belum cukup ia dan ibunya menderita setelah perpisahan itu, cobaan yang mereka hadapi silih berganti, kadang bisa makan sehari dua kali kadang sehari pun hanya meminum air putih. Kini Meyta harus tinggal sendiri di rumah ini. Apa yang harus dia lakukan?

'Ibu, mengapa kamu begitu tega meninggalkanku? Siapa yang akan menemaniku? Apakah aku menyusulmu saja, aku mana mungkin bisa hidup sendiri di sini.'

Satu minggu berlalu, Meyta semakin kurus karena terus saja berdiam diri di kamar. Makan pun ia enggan jika tidak ada Wita — sahabat Meyta yang sering berkunjung ke rumahnya.

Ketika Wita datang berkunjung, Meyta tampak sangat bahagia. Ia bahkan bercerita ini dan itu hingga membuat Wita sedikit keheranan. Namun begitu Wita pergi, wajah ceria Meyta mendadak suram. Ia mengurung diri di kamar sambil menangis tersedu-sedu bahkan ia sampai depresi dan tak bisa tidur berhari-hari.

Pagi ini Meyta mendapatkan semangatnya. Ia berniat untuk mencari pekerjaan saja mengabaikan beasiswa yang ia dapatkan di perguruan tinggi. Mood Meyta sangat baik pagi ini, ia sudah berdandan cantik walau seadanya sebab wajahnya memang sangat cantik.

Meyta membuka pintu rumahnya namun ia terdiam saat melihat mobil mewah berhenti di depannya. Pintu mobil itu terbuka dan seorang pria paruh baya yang sangat Meyta kenali turun menghampirinya.

"Ayah tidak tahu jika ibumu sudah meninggal. Sekarang kamu tidak boleh tinggal sendirian, mari ikut bersama Ayah. Ibu Shinta menunggumu di rumah," ajak pria itu — ayah Meyta — Primus Wicaksana.

Tangan Meyta terkepal. Moodnya yang tadi begitu baik kini berubah drastis. Ia ingin berteriak namun ia mencoba untuk melawannya. Ia hanya tidak ingin bertemu ayahnya apalagi harus tinggal di rumah itu bersama wanita yang sudah merenggut hak ibunya.

"Aku tidak bisa. Ayah pergi saja, aku nyaman berada di sini," tolak Meyta. Tubuhnya gemetar, ia sangat ingin menangis histeris dan memukul wajah ayahnya ini.

"Kamu tidak bisa tinggal di sini lagi. Bukankah ini rumah sewa? Kamu tidak bekerja jadi sebaiknya ikut ayah dan lanjutkan sekolahmu. Pihak sekolah menghubungi Ayah dan mereka mengatakan kamu lulusan terbaik tahun ini. Ayo bersiaplah, Ayah akan membawamu ke universitas yang kamu inginkan," ajak Primus tak menyerah. Bagaimanapun Meyta adalah darah dagingnya. Ia bertanggung jawab penuh atas dirinya.

Meyta diam berpikir. Ia benci ayahnya tetapi pria ini selalu memperhatikan yang sekolahnya sedangkan ibunya selalu menolak bantuan darinya. Ah lebih tepatnya wanita bernama Shinta itu selalu saja datang untuk memaki ibunya. Jadi, sebenarnya siapa yang salah dalam hal ini? Ibunya yang menjadi janda ayahnya atau wanita simpanan yang menjadi nyonya di rumah ayahnya?

"Aku tidak—"

Ucapan Meyta terhenti saat ayahnya langsung memeluknya. Pria ini jelas sangat mencintainya meskipun ia mengasingkan mereka. Ibunya yang tak rela dimadu dan ia yang tak ingin berpisah dari ibunya.

Meyta menangis. Ia memukuli punggung ayahnya tetapi pria itu tak bergeming. Ia tahu dirinya bersalah.

...…....

Tatapan tak suka Meyta dapatkan saat ia menginjakkan kaki di rumah ini. Dua saudara tirinya hanya menunjukkan sikap peduli mereka saat Ayah berada di rumah. Begitupun ibu tiri, semua hanya palsu belaka.

Di dalam kamarnya Meyta terdiam. Ia menatap langit-langit kamar sambil rebahan dan tak tahu harus melakukan apa. Besok adalah ujian masuk perguruan tinggi, ayahnya tidak di rumah dan entah ia harus berangkat dengan mengendarai apa.

Semalaman Meyta kembali tak bisa tidur. Ia menangis depresi. Padahal sebelumnya ia sempat berbagi kabar bersama Wita, moodnya begitu baik dan ia sangat bersemangat membahas perguruan tinggi dan semua rencananya yang sudah ia susun. Namun saat panggilan berakhir, Meyta teringat akan ibunya dan ia mendadak depresi.

"Meyta, apakah kamu sudah bangun? Bukankah hari ini kamu akan berangkat untuk ujian masuk perguruan tinggi?"

Meyta mengangkat wajahnya yang sedang memeluk lutut di atas tempat tidur. Pagi sudah menyapa sedangkan semalaman ia sudah berada dalam posisi ini.

"Wanita itu berkata lembut, apakah Ayah sudah kembali?" gumam Meyta.

Ia pun bergegas masuk ke kamar mandi dan membersihkan dirinya dengan secepat kilat. Ia bersiap untuk menaklukkan semua soal tersebut.

Di meja makan sudah ada ayahnya dan kedua adik tiri serta ibu tiri yang penuh dengan kepalsuan. Mereka makan dengan tenang, ayahnya terus menanyakan dirinya hingga ia menceritakan tentang rencananya dengan begitu antusias. Meyta berbicara dengan begitu cepat hingga kedua adik tirinya langsung tertawa mengejek.

"Kamu itu manusia bukan kereta cepat, bicaranya pelan-pelan saja," ejek Misca.

Ucapan Misca tersebut membuat mood Meyta menurun. Ia melepaskan sendoknya lalu ia berjalan pergi tanpa berpamitan. Mendadak semua rencana Meyta yang begitu indah dan tersusun rapi itu menjadi berantakan. Ia enggan untuk pergi ke universitas. Tak ada satu hal pun yang ingin ia lakukan selain terus berjalan mengikuti ke mana ia melangkah.

"Harusnya kamu tidak mengatakan itu pada kakakmu," tegur Primus. Misca menundukkan kepalanya.

Primus meninggalkan meja makan, ia berniat mengejar Meyta. Sedangkan di meja makan Shinta langsung membanting alat makannya. Ia marah pada Primus dan juga pada Misca.

"Ibu sudah bilang untuk tidak mengejek atau menampakkan rasa tidak suka kalian pada Meyta di depan Ayah. Lihat sendiri akibatnya!" sungut Shinta hingga membuat Misca ketakutan.

Meyta berhenti di sebuah taman. Ia duduk sambil memikirkan mengapa dirinya bisa seperti ini. Apa yang terjadi dengannya dan apa yang salah pada dirinya.

"Apakah aku harus ke psikolog untuk memeriksakan kesehatan mentalku? Aku juga tidak suka dengan perubahan mood-ku seperti ini," gumam Meyta kemudian ia pun memutuskan untuk pergi ke praktek psikolog.

...…...

"Bipolar disorder. Ini adalah salah satu jenis gangguan jiwa yang mempengaruhi mood atau suasana hati. Penderita biasanya cepat sekali bersemangat namun sangat mudah untuk menyerah. Dari hasil pemeriksaan tadi, saya mendiagnosis jika kamu mengalami bipolar disorder. Saran saya, kamu sebaiknya pergi ke psikiater untuk mendapatkan penanganan lanjutan," ucap psikolog tersebut yang membuat dunia Meyta seakan jungkir balik.

Episode 2

"Gangguan bipolar adalah gangguan mental yang ditandai dengan perubahan drastis pada suasana hati. Penderita gangguan ini bisa merasa sangat gembira atau euforia, kemudian berubah menjadi sangat sedih. Gangguan bipolar dapat diderita seumur hidup sehingga memengaruhi aktivitas penderitanya. Namun, pemberian obat-obatan dan psikoterapi dapat membantu penderita untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari. Gejala ini biasanya karena faktor genetik atau trauma yang mendalam seperti kehilangan seseorang yang disayangi, pelecehan sejak dini dan lain sebagainya.

"Gejala ini meliputi dua fase yaitu fase mania di mana perasaan gembira, semangat yang menggebu-gebu, sulit tidur atau insomnia. Fase yang satunya adalah fase depresi di mana biasanya penderita akan mengalami penurunan mood, berkurangnya minat pada suatu kegiatan atau pekerjaan, perasaan bersalah secara berlebihan bahkan hingga timbul Keinginan untuk bunuh diri.

"Penderita bipolar ini harus rutin mengonsumsi obat sesuai resep dokter dan menjalani psikoterapi, tidak mengonsumsi minuman beralkohol atau menyalahgunakan NAPZA. Berolahraga secara rutin, mengelola stres dengan baik, beristirahat dan tidur yang cukup, serta menjalin hubungan baik dengan keluarga dan teman."

Penjelasan psikiater yang Meyta temui di rumah sakit tadi terus terngiang di telinganya. Ia menatap obat-obatan yang diberikan oleh psikiater sambil berlinang air mata. Jadi ia harus hidup dengan ditemani oleh obat-obatan ini? Rasanya Meyta ingin mati saja.

"Bagaimana aku bisa hidup dengan baik dan mengelola perasaanku jika rumah ini tidak nyaman untuk aku tinggali? Apakah aku sebaiknya pergi saja? Apakah Ayah akan mengizinkannya?" tanya Meyta pada dirinya sendiri.

Meyta lalu menyimpan obat-obatan tersebut. Ia berniat untuk menemui ayahnya setelah makan malam. Ayahnya tadi sempat menanyakan ke mana ia pergi dan Meyta pun tak memberikan jawaban. Ia hanya berdiam diri di kamar sambil memikirkan rencana demi rencana yang akan ia kerjakan.

Di meja makan kini mereka makan dengan tenang. Misca tak berani lagi menyinggung Meyta apalagi sampai saat ini ayahnya belum menegurnya. Shinta juga merasa kesal karena Primus seperti membeda-bedakan anaknya, namun ia tak berani menunjukkannya, khawatir Primus akan menceraikannya jika tahu ia sendiri tidak pernah menyukai kehadiran Meyta.

Setelah makan malam selesai Meyta meminta izin pada ayahnya untuk berbicara berdua. Primus pun mengajaknya untuk masuk ke ruang kerja. Ayah Meyta ini merupakan seorang pengusaha yang sangat sukses, jadi Meyta tidak ragu untuk meminta satu hal pada ayahnya sebab seumur hidupnya ia tidak pernah meminta lebih.

"Apa yang ingin kamu bicarakan sayang? Apakah kamu ingin mendaftar di universitas yang lain setelah tadi gagal mengikuti ujian?" tanya Primus ketika mereka sudah duduk di ruang kerjanya dengan dibatasi meja besar dan saling berhadapan.

"Ayah maafkan aku karena tadi tidak bisa memenuhi rencanamu untuk mengikuti ujian. Sebenarnya aku memiliki rencana lain, bisakah aku mendapatkan keinginanku ini? Aku ingin mengambil sekolah musik di luar negeri. Aku sangat menyukainya dan berniat ingin menjadi guru les musikal untuk anak-anak. Hanya ini saja Ayah, tidak ada yang lainnya."

Primus diam sambil menimbang-nimbang keinginan Meyta. Memang benar anaknya ini tidak pernah meminta satu hal pun padanya sejak dari kecil hingga dewasa. Ia pun tersenyum lalu mengangguk.

"Keinginanmu Ayah kabulkan, dan ingat jangan pernah sungkan untuk meminta sesuatu kepada ayah. Aku ini adalah ayahmu. Aku bekerja untuk menghidupi dan memenuhi semua kebutuhanmu. Mintalah padaku," ucap Primus kemudian ia dan Meyta berdiri lalu saling berpelukan.

'Ternyata ayahku tak sejahat itu,' gumam Meyta dalam hati.

...…....

Meita menatap gedung kampus baru yang sudah menerimanya menjadi mahasiswa di jurusan seni musik. Sudah satu minggu ia tinggal di negara ini dan hari ini adalah hari pertama pembelajaran. Meyta sangat bersemangat. Ia yang cerdas tentu bisa menguasai bahasa negara ini dengan begitu cepat.

Tak lupa ia juga selalu membawa obat-obatannya kemanapun ia pergi, sebab ia khawatir dengan gangguan mental yang ia derita akan menimbulkan masalah untuknya dan untuk orang lain.

Hari pertama kuliah dilalui Meyta dengan tidak begitu baik. Ia bahkan tak mampu mendapatkan seorang teman pun seperti Wita. Di negara ini sepertinya setiap orang saling berkompetisi, saling menunjukkan bakat dan keahlian mereka masing-masing hingga Meyta pun mengurungkan niatnya untuk mencari kawan baik.

Ia menhadi semakin introvert, ditambah lagi dengan gangguan mental yang ia derita, sepertinya menyendiri adalah pilihan yang terbaik.

Hari-hari berlalu bahkan minggu telah berganti bulan. Meyta begitu nyaman menjalani kehidupan dan sekolahnya di negara ini meskipun tak memiliki teman dan harus selalu mengonsumsi obat-obatan. Ia tak menyerah, baginya musik adalah hidupnya. Musik bisa membantunya melupakan segala gangguan yang ia derita termasuk bipolar disorder yang setiap waktu akan menghantuinya.

"Baiklah saudara-saudara sekalian, hari ini saya akan mengumumkan nilai terbaik dari ujian pertengahan semester kali ini. Meyta Pratiwi Wicaksana, kamu mendapatkan nilai terbaik bahkan dari semua angkatan dalam mata kuliah saya. Selamat untukmu."

Karena terlalu senang, mood Meyta tiba-tiba berubah drastis. Kali ini ia begitu mania, euforia yang ia tunjukkan sangat berlebihan bahkan dosen dan teman-temannya sampai mengejeknya.

Celakanya Meyta lupa minum obat.

Kini apa yang dilakukan Meyta, ia tengah bertepuk tangan dengan begitu heboh. Ia bahkan menari-nari dan memeluk serta mengguncang-guncangkan bahu teman-temannya saking senangnya. Ia juga berdiri di depan kelas, bernyanyi tanpa diperintah, mengajak dosennya untuk berdansa, lalu ia berceloteh panjang lebar dengan cepat dan tanpa nhenti.

Geram, Pak Hudson menggebrak meja.

"Apa-apaan kamu Meyta. Diam dan duduklah tenang di tempatmu. Apakah kamu sudah gila melakukan hal seperti ini?" bentak Pak Hudson yang membuat Meyta tiba-tiba merasa down.

"A-aku ...."

Meyta tergagap, ia tak mampu melanjutkan kata-katanya. Rasanya ia ingin menangis histeris, hatinya begitu terluka hingga ia berlari keluar kelas dan tujuannya saat ini adalah toilet. Ia ingin bersembunyi dan menangis di sana.

Masih sempat Meyta dengar gelak tawa dari teman-temannya.

"Mengapa aku harus mengalami ini Ibu? Mengapa harus aku Ayah? Aku tidak tahan dengan semua ini. Mengapa aku harus melupakan obat itu? Dia adalah satu-satunya teman untuk menenangkanku."

Setelah puas menangis, Meyta pun keluar. Di kelas rupanya pelajaran telah usai, ia hendak mengambil tasnya namun yang ia dapatkan adalah cemooh, ledekan, tatapan sinis sini dan bahkan teman-teman sekelasnya yang dulunya tak ingin menegurnya semakin menjauh darinya.

"Hei Lucy ...! Kamu jangan dekat-dekat dengannya. sepertinya dia adalah gadis yang tidak waras," ucap salah satu teman sekelas Meyta.

Gadis ini hanya mampu mengusap dadanya. Ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia memang mengalami gangguan mental dan ia tidak bisa menampik semua itu. Jika semua ingin menjauh maka menjauhlah, Meyta merasa semua itu tidak ada gunanya sebab hanya obat dan musik yang bisa membuatnya tenang.

Meyta berjalan gontai keluar dari gedung kampusnya. Hari sudah begitu sore saat ia hampir sampai di tempat tinggalnya, namun sayang sekali di tengah jalan beberapa pria seusianya menghalangi jalannya.

"Aku dengar dia adalah salah satu mahasiswi di universitas kita yang mengalami gangguan mental. Bagaimana jika kita mengerjainya? Mungkin dengan memberikannya sedikit permainan kecil akan membuatnya semakin gila. Bukankah dia adalah saingan Lucy? Mari kita buat dia pergi dari universitas ini agar Lucy tidak memiliki saingan lagi."

Episode 3

Meuta ketakutan. Tidak ada satu orang pun yang bisa menolongnya. Tempat ini begitu sepi dan sunyi, meskipun ia berteriak siapalah yang akan mendengar suaranya.

"Jangan mendekat! Aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun pada kalian dan juga pada Lucy!" teriak Meyta, ia memundurkan langkahnya tetapi para pria itu semakin memajukan langkah mereka.

"Kami hanya ingin mengajakmu bersenang-senang anak manis. Mari melakukannya bersama, kamu pasti akan ketagihan," ucap salah satu dari mereka.

Tubuh Meyta menggigil. Apalagi tiga pria itu langsung menariknya secara paksa, membawanya ke salah satu gang yang sempit dan sepertinya ini adalah jalan buntu. Mereka mendorong Meyta hingga jatuh tergeletak di tanah.

Salah satu dari ketiga pria itu mulai membuka gespernya. Meyta gemetar, ingin berteriak pun percuma. Sepertinya hal ini akan semakin menambah catatan trauma dalam hidup Meyta. Bipolarnya akan berubah menjadi semakin ganas dan ia tidak akan pernah sembuh lagi.

'Apakah aku harus pasrah saja?' tanya Meyta dalam hatinya.

"Menyingkirlah dari calon istriku jika kalian masih ingin hidup!" teriak seseorang dari belakang yang membuat Meyta seakan mendapatkan kembali harapan hidupnya.

Ketiga pria itu berbalik badan, melihat sosok yang berdiri tegap di hadapan mereka ketiganya pun langsung lari menjauh. Meyta terheran-heran, apa yang menyebabkan pria itu ditakuti oleh tiga anak nakal tersebut.

"Kamu tidak apa-apa nona?"

"Tidak apa-apa dan terima kasih untuk bantuannya," jawab Meyta. Ia berdiri lalu berpamitan pada pria itu.

"Aku akan mengantarmu!"

"Tidak perlu Tuan, rumah saya begitu dekat dari sini. Sekali lagi terima kasih dan permisi," ucapnya menolak halus. Ia hanya takut tidak bisa menyembunyikan rasa gembiranya, pria tampan dengan wajahnya yang masih ditutupi kacamata hitam itu tetap terlihat menawan di matanya.

Mood Meyta perubahan drastis. Kini ia merasakan fase mania. Dengan bertemunya ia dengan pria tadi semangatnya kini memuncak. Ia begitu bergairah untuk hidup bahkan semalam suntuk ia tidak bisa tidur hanya karena terus membayangkan pria penyelamat hidupnya.

"Dia sangat tampan dan baik. Apakah aku bisa bersama dengannya kembali? Mengapa aku begitu jatuh cinta padanya?"

Semenjak pertemuannya dengan pria penyelamat itu, hari-hari yang dilalui Meyta berjalan dengan baik, bahkan gangguan bipolar yang ia derita pun tak lagi datang menyerang — hanya sesekali ketika ia mengalami perundungan. Tidak seperti dulu, setiap hari ia harus ditemani obat-obatan untuk mengontrol dirinya.

Tak terasa 4 tahun berlalu, Meyta kini telah menyelesaikan studinya. Ayahnya bahkan datang untuk mendampinginya melakukan prosesi wisuda. Betapa bahagianya Meyta hari ini, ia berharap bisa bertemu kembali dengan pria penyemangat dan penyelamat hidupnya itu.

"Anak ayah sungguh membanggakan, kamu berhasil meraih predikat lulusan terbaik. Setelah ini mari kita pulang, ada hal penting juga yang harus Ayah bicarakan denganmu," ucap Primus.

"Terima kasih Ayah. Apa yang ingin Ayah bicarakan?" tanya Meyta.

Primus tak menyahut, ia hanya meminta sopir mereka untuk segera melaju menuju ke rumah tempat Meyta tinggal.

Sesampainya di rumah Primus langsung meminta Meyta untuk berganti pakaian. Ia menunggu putrinya di ruang tamu yang berukuran cukup kecil. Rumah yang ditempati Meyta hanya memiliki satu kamar dengan ruang tamu, dapur dan ruang makan yang menyatu.

Meyta keluar dari kamarnya dengan sudah menggunakan pakaian santai. Ia duduk di samping ayahnya, pria itu langsung merangkulnya mencoba memberikan kehangatan yang belasan tahun tak pernah ia berikan lagi kepada sang putri.

"Sayang, ada hal yang penting yang harus kamu ketahui ... maafkan Ayah jika harus mengatakannya di saat yang tidak tepat seperti ini, tetapi kamu harus tahu seminggu lagi kamu akan menikah. Calon suamimu telah menunggu di Indonesia untuk kepulanganmu ...."

Mata Meyta terbelalak. Menikah? Bahkan ia tak pernah berpikir untuk menikah secepat ini, apalagi mendengar kata 'calon suami'. Ia bahkan tidak pernah mengenal satu pria dan hanya menyukai satu pria di dunia ini selama hidupnya, yaitu pria penyelamat itu.

"Maafkan Ayah, sayang. Tetapi perjodohan ini tidak bisa ditunda lagi dan ini harus terlaksana," ucap Primus dengan putus asa.

"Tapi mengapa Ayah?" tanya Meyta mencoba menahan sesak di dadanya.

Primus pun menjelaskan jika dulu Ibu Meyta mengalami kerusakan ginjal dan membutuhkan pendonor. Di sisi lain ibu dari calon suami Meyta mengalami sakit yang semakin parah. Ia berniat mendonorkan ginjalnya pada ibu Meyta dengan syarat kelak ia akan menjadi ibu bagi putranya juga dengan cara menikahkan anak mereka.

"Kita berhutang budi sayang," ucap Primus kemudian ia menundukkan kepalanya.

Meyta terdiam. Jadi selama ini ia sudah memiliki calon suami bahkan sejak ia masih begitu kecil. Ia sudah dijodohkan dan ia tidak bisa menolak lagi. Semua tentang ibunya dan balas budi.

Mengapa perjodohan ini datang secara tiba-tiba di saat ia ingin mencari pria penyelamat hidupnya? Sepertinya ia hanya bisa menyimpan pria itu dalam ilusinya saja, ia harus membalas budi pria itu.

Meyta menatap ayahnya kemudian ia menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu ia hembuskan secara perlahan.

"Baiklah Ayah, jika memang seperti itu keputusannya. Bukankah kita harus membalas budi seseorang yang pernah menolong kita? Aku akan bersedia," jawab Meyta pasrah.

...…....

Tak pernah bertemu dengan calon suaminya, kini pria itu sudah bukan lagi calon melainkan suami sahnya. Baru saja pernikahan mereka diikrarkan dan pria yang duduk di sampingnya ini terlihat sangat tampan dan menawan, namun Meyta sama sekali tidak mengenalnya. Mereka baru bertemu saat akad akan dilaksanakan, sungguh sangat konyol bagi mereka.

'Mengapa aku seperti pernah melihat pria ini? Tapi di mana?'

Meyta bertanya dalam hati ketika ia baru saja mencium punggung tangan suaminya itu.

"Fardan, namaku Fardan Aditama," bisiknya di telinga Meyta.

Detik itulah Meyta baru mengetahui nama suaminya. Mereka sudah sah menjadi sepasang suami istri, namun ia baru mengenal suaminya itu. Ah tidak, lebih tepatnya ia baru mengetahui namanya saja, ia tidak tahu profil lengkap tentang sang suami. Mungkin perlahan ia akan mengetahuinya.

Setelah rangkaian acara pernikahan berakhir, keduanya pun masuk ke dalam kamar yang sudah disiapkan di dalam hotel. Meyta tentu tahu apa yang harus dilakukan suami istri di malam pengantin mereka.

Namun, pada orang asing yang tiba-tiba menjadi suaminya apakah Meyta bersedia dan suka rela memberikan kesuciannya?

"Aku tidak akan menyentuhmu sampai kamu siap. Tidurlah, kamu pasti lelah," ucapnya.

Meyta tertegun sejenak lalu ia mengangguk. Tetapi pikirannya tidak bisa diam. Ada hal yang cukup mengganggunya.

'Postur tubuhnya ... aku seperti mengenalinya. Suara itu juga seperti familiar. Dia siapa? Apakah aku pernah mengenal sebelumnya?' tanya Meyta dalam hati.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!