Episode 7

Aroma masakan memenuhi indera penciuman Fardan. Ia berjalan ke dapur dan melihat punggung istrinya sedang menyiapkan makanan. Ia menarik lengkung bibirnya lalu menghampiri Meyta yang baru saja menyelesaikan masakannya.

"Ternyata istriku pintar memasak juga ya," puji Fardan.

Pipi Meyta memerah, ini adalah pujian pertama yang ia dapatkan untuk hasil masakannya selain ibunya.

"Belum mencicipi tetapi sudah menentukan. Sepertinya Tuan Suami tidak bisa dijadikan juri memasak jika hanya mengandalkan indera penciumannya saja," ucap Meyta, ia mulai banyak bicara.

Senyum Fardan melebar, istrinya mulai membalas percakapan yang ia mulai. Sebuah kemajuan yang membuat hatinya senang, setelah ini ia akan kembali mengajaknya berbincang berbagai hal hingga Meyta tidak lagi menutup diri dan merasa asing dengannya.

"Jika salah satu peserta memasak adalah Nyonya Istri maka aku tidak akan menjadi juri melainkan menyuap semua juri untuk memenangkan perlombaan," timpal Fardan.

Meyta tertawa renyah, wajahnya semakin cantik apalagi giginya yang kecil-kecil seperti biji mentimun memberi kesan imut padanya, jantung Fardan berdetak tak karuan.

'Mengapa jantungku berdebar-debar seperti ini? Jatuh cinta kah?'

Meyta menghentikan tawanya kemudian ia mengajak Fardan untuk sarapan bersama. Ia memiliki rencana yang ingin ia sampaikan pada Fardan, berharap suaminya akan menyetujuinya.

Di meja makan Meyta melayani Fardan dengan sangat baik, memastikan ia menikmati sarapannya. Fardan juga meminta Meyta untuk duduk makan bersamanya, ia tak ingin Meyta hanya fokus untuk memberikan pelayanan saja.

"Tuan Suami, apakah aku boleh meminta satu hal? Aku tahu ini terlalu cepat tetapi aku sudah merencanakan semuanya sebelum menikah," tanya Meyta dengan hati-hati.

Fardan mengelap mulutnya dengan napkin, ia melipat kedua tangannya di atas meja. Tatapannya yang teduh fokus pada Meyta yang terlihat gugup.

"Katakan saja, kamu berhak mengemukakan pendapat," ucap Fardan.

Meyta menghela napas, ia cukup gugup namun melihat Fardan yang bersikap santai ia pun memberanikan diri.

"Aku sebenarnya ingin mengembangkan ilmu yang aku dapatkan. Aku memiliki cita-cita untuk menjadi guru les musik anak-anak, bolehkah aku?" tanya Meyta dengan hati-hati.

Fardan terkekeh pelan. "Aku pikir kamu akan mengatakan rencana jika menikah akan memiliki banyak anak," goda Fardan, pipi Meyta kembali bersemu merah. "Tentu saja boleh. Apa gunanya ilmu yang kamu dapatkan jika tidak diimplementasikan. Jadi ... ke mana aku harus mengantar Nyonya Istri mendedikasikan ilmunya?"

Mata Meyta melebar, ia berbinar-binar sebab secepat itu Fardan mengabulkan permintaannya. Ia pikir Fardan yang kaya raya ini akan mengekang langkahnya, semua diluar dugaan. Fardan sangat pengertian.

"Terima kasih Tuan Suami. Aku memiliki beberapa tempat yang ingin aku datangi dan mengabdikan diri. Aku juga berencana untuk membangun sanggar musik milikku sendiri. Ada juga keinginanku untuk mengajak anak-anak jalanan yang bekerja sebagai pengamen untuk berlatih bermusik secara gratis agar mereka memiliki kemampuan dan bisa meraih mimpi mereka. Aku juga ingin melatih beberapa anak penyandang disabilitas agar mereka memiliki kelebihan dalam bidang seni. Aku ...."

Ada begitu banyak rencana yang diungkapkan Meyta tanpa henti. Ia tak sadar fase manik atau mania itu sedang mengendalikan dirinya. Ia terlalu senang, euforia yang ia tunjukkan membuat Fardan mengernyit. Ia berbicara terlalu cepat bahkan semua rencana itu keluar begitu saja dari mulutnya tanpa ia sadari.

"Aku juga berharap suatu saat nanti bisa membuat anak-anak didikku mengadakan konser musikal terutama penyandang disabilitas. Aku —"

Meyta berhenti sejenak, ia menatap Fardan yang tak bereaksi apapun. Ia baru sadar jika ia terlalu mendominasi dan ....

'Apa yang sudah aku lakukan?'

Meyta berlari ke kamar. Hatinya saat ini sangat sedih, Fardan pasti akan tahu tentang kekurangannya dan ini terlalu cepat. Ia bergegas mencari obat yang ia bawa dari rumah ayahnya. Ia menggeledah beberapa laci dan juga melihat ke bawah bantal bahkan ia mencari ke tempat yang tak mungkin ia jadikan tempat penyimpan obat.

"Di mana dia? Di mana obat-obat itu? Aku harus segera menemukannya."

Tubuh Meyta bergetar hebat. Ia sedang berusaha menahan fase depresi itu menguasainya. Fardan masih berada di rumah, ia tak ingin suaminya yang baik hati itu menjauh darinya, tidak untuk saat ini dan beberapa waktu ke depan.

Fardan menghela napas. Ia melirik ke arah tangga di mana Meyta tadi berlari ke arah kamar mereka. Bulan sabit di wajahnya kini berubah menjadi pola parabola terbalik. Bergegas ia berdiri dan menyusul Meyta ke kamar.

"Mey, apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Fardan sambil mengetuk pintu.

Tubuh Meyta menegang. Ia masih belum menemukan obatnya sedangkan pikirannya sudah kacau. Jika ia sampai terlihat oleh Fardan ia khawatir fase depresi tanpa tedeng aling-aling langsung menyerangnya.

Tidak ada waktu lagi, Meyta langsung masuk ke dalam kamar mandi. Ia membasuh wajahnya berulang kali bahkan menepuk-nepuk wajahnya agar tetap dalam keadaan sadar.

Fardan membuka pintu dan menemukan kamar terlihat sedikit berantakan. Hanya helaan napas yang ia berikan lalu mulai memperbaiki yang terlihat kacau.

Meyta keluar dari kamar mandi dengan wajah yang basah akan air. Ia sedang mengelapnya dengan handuk kecil. Fardan duduk di atas tempat tidur sambil menatapnya dengan lembut.

"Mengapa terburu-buru ke kamar? Ada yang salah?" tanya Fardan.

Meyta belum menjawab, ia memperhatikan kamar yang menurutnya tadi cukup berantakan namun kini semuanya tampak rapi.

"Maaf, perutku sakit dan aku tak ingin malu di depanmu," jawab Meyta. Dalam hati ia melangitkan doa agar Fardan percaya atas kebohongannya.

Fardan tersenyum, ia menepuk ruang di sampingnya agar Meyta datang mendekat. Dengan hati-hati dan ragu-ragu Meyta duduk di samping suaminya. Ia sedang mati-matian mengendalikan diri. Obatnya entah di mana, satu-satunya yang ia butuhkan adalah ketenangan dan kesendirian.

"Aku akan berangkat bekerja, aku sudah mendengar semua rencana indahmu itu dan aku berjanji akan mewujudkan semuanya. Ah ya, aku akan membelikan kamu sebuah buku catatan agar kamu bisa menuliskan semua keinginan dan rencana luar biasamu. Jika ada hal yang kamu pikirkan kamu tuliskan saja, aku akan merealisasikannya. Kita punya kemampuan finansial dan semua rencanamu tadi sangat mulia. Jadi Nyonya Istri, aku akan berangkat kerja dan kamu harus baik-baik saja di rumah. Pikirkan hal-hal yang menyenangkan," ucap Fardan seraya mengusap lembut rambut Meyta.

Jujur saja Meyta mendapatkan ketenangan dan rasa nyaman. Fardan mampu meredam rasa sedih dan depresinya itu dengan ketulusan dan perhatian kecil tetapi sangat bermakna di hati Meyta.

"Baik, terima kasih. Aku akan mengantarmu ke depan. Tuan Suami harus giat bekerja karena ada begitu banyak rencana yang ingin aku kerjakan," ucap Meyta, ia tanpa sadar menggandeng tangan Fardan hingga suaminya itu senyam-senyum tak jelas.

Lambaian tangan Meyta terhenti saat mobil Fardan tak lagi terlihat. Ia berbalik dan wajah ceria itu langsung berubah muram.

'Hai Penyemangat dan Penyelamat hidupku. Aku kini merasa nyaman dengan Tuan Suami, apakah kamu akan setuju? Tapi aku takut, takut dia tidak akan menjauh saat tahu semuanya kelak. Aku — aku takut jatuh cinta pada tatapan teduhnya.'

Terpopuler

Comments

🏠⃟⍣NUR🍒⃞⃟🦅

🏠⃟⍣NUR🍒⃞⃟🦅

yakin kamu akan sembuh dr sakitmu meyta bukan obat"an yang menyembuhkanmu ttp perhatian dan kasih tulus dr fardan

2024-02-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!