Danum Mahesa [KLITIH]
...Selamat datang dan selamat membaca....
• • •
Menjalani kehidupan sebagai pemuda yang usianya hampir 19 tahun. Terkadang membuat Danum Mahesa ingin lebih mengenal banyak hal, bukan juga ingin menjadi pemuda bengal, yang suka keluyuran tanpa modal.
Tapi ada sesuatu yang mengusik hatinya, tentang hal mengenali jati diri.
Kenapa banyak dari kawula muda seperti dirinya, ingin memahami apa yang dimaksud jati diri. Sampai-sampai ada yang berbuat anarkisme, demi mendapat pengakuan tentang kehebatannya.
Seperti yang santer diberitakan, soal klitih.
(Klitih) atau yang memiliki kepanjangan Kliling Golek Getih (Keliling Cari Darah) adalah salah satu fenomena kejahatan jalanan yang terjadi di DIY sekitarnya. Bahkan semakin hari semakin meresahkan masyarakat.
Definisi Klitih berasal dari bahasa Jawa, yang berarti aktivitas berkeliling keluar rumah tanpa tujuan yang jelas untuk mengisi waktu luang. Ada juga yang menyebut klitih merupakan penyebutan terhadap Pasar Klitikan Yogyakarta di mana artinya adalah melakukan aktivitas yang tidak jelas dan bersifat santai sambil mencari barang bekas dan Klitikan.
Sementara istilah nglitih digunakan untuk menggambarkan kegiatan jalan-jalan santai.
Pada awalnya, klitih hanyalah berupa kegiatan perundungan antar geng sekolah yang terjadi di kawasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Namun, semakin lama, klitih berkembang menjadi kegiatan perampokan yang dilakukan oleh sekelompok geng (premanisme) yang targetnya berkembang dari geng musuh menjadi masyarakat awam. Yang paling umum, klitih dilakukan di tempat sepi dan terjadi pada malam hari.
Kasus klitih pada dasarnya merupakan fenomena anak muda di Yogyakarta yang ingin mencari jati diri atau pengakuan terutama dari lingkungan persahabatan mereka (geng sekolah). Untuk membuktikan itu, terkadang mereka membutuhkan barang bukti berupa barang milik geng pesaing atau setidaknya melakukan perundungan terhadap geng pesaing.
Bukankah jati diri tidak hanya tentang pertarungan atau hanya ingin sekedar di anggap jagoan?
Sebenarnya apa itu jati diri?
Danum pernah membaca mengenai filosofi Jawa yang mengatakan seperti ini.
"Urip Iku Urup."
[Urip Iku Urup “Hidup itu Nyala”. makna filosofi ini luar biasa, bahwa kita dilahirkan di dunia ini bukan untuk berdiri sendiri, berkuasa dan semua hanya untuk diri sendiri, akan tetapi kita lahir untuk saling memberi, saling menolong dan saling membantu sesama tanpa ada rasa pamrih. Semua agama banyak mengupas hal ini bahwasannya manusia sebagai makhluk sosial harus saling interaksi dan menolong kepada sesama, bahwa kita hidup di dunia ini hanyalah sebuah ujian untuk mendapatkan kehidupan yang kekal dan lebih baik di kehidupan berikutnya.]
Yah kata filosofi Jawa memang selalu bisa menjadi magnet dalam menjalani kehidupan sebagaimana manusia memanusiakan manusia.
Jikalau soal asmara, Danum sendiri enggan untuk berkomentar, tak ambil pusing. Ia lebih sibuk mengerjakan hal-hal yang bermanfaat untuk masa depannya, pengalaman hidup dan asmara sang Kakak (Damar) sebelum bertemu dengan istrinya yang bernama Wulan sudah cukup menjadi landasannya, agar tidak gegabah soal percintaan.
Biarlah waktu yang akan menjawab siapa jodohnya..
Menjadi anak yatim sejak usia delapan tahun, membuat Danum menjadikan sang Kakak adalah pahlawan dalam hidupnya. Dimana ketika di sekolah sewaktu SD, dia di ejek karena pakai sepatu yang sobek, maka sang Kakak akan menjadi garda terdepan untuk menjadi sang pembela baginya.
Sepeninggal sang Ayah, Danum sangat dekat dengan Ibu dan juga Kakak laki-laki satu-satunya.
Membuat Danum terkadang ingin kembali menjalani masa kanak-kanak meski susah ada rasa rindu dimana sebelum mengenal begitu kejamnya dunia. Disaat Mas Damar belum sesukses menjalankan bisnis sebagai Presdir Cilok dan menikahi seorang wanita bernama Nawang Wulan. Serta ketika belum mengetahui keluarga mendiang sang Ayah yang kemudian Danum sebut Kakek dan Nenek.
Dimana pada saat itu, Mas Damar. Begitu Danum memanggil Kakaknya selalu merengek saat minta mainan mobil-mobilan seperti teman-teman sebayanya yang selalu pamer punya mainan mobil baru, saat itu Mas Damar hanya menjawabnya seperti ini.
"Jika Mas sudah dapat uang, nanti Mas belikan. Tapi kamu jangan minta sama Ibu, kasihan Ibu. Kalau kita merengek minta mainan sama Ibu, terus Ibu beli mainan buat kita, nanti Ibu ndak bisa buat beli beras sama bayar listrik, kamu mau kita beli mainan tapi kita ndak bisa makan sama tidur gelap gulita?"
Danum kecil menggeleng, dia berpikir dengan otaknya yang kadang berfungsi dengan baik dan kadang tidak berfungsi.
Alhasil karena tidak punya uang dan juga tidak bisa mainan. Mas Damar membuatkan mainan dari sandal bekas yang dibuat bulat-bulat sebagai roda, lalu botol plastik sebagai body mobil. Lalu jadilah mobil manual yang bisa buat menampung kerikil dan di tarik pakai tali rapiah.
Saat itu, Danum kecil tidak tahu kenapa Mas Damar memutuskan untuk berhenti sekolah. Alasan Mas Damar selalu saja klasik.
"Mas ndak pa-pa, ndak sekolah. Asalkan kamu sekolah sampai sarjana dan mendapatkan pekerjaan yang layak."
Sampai suatu saat Danum tahu jawabannya. Dia mengerti, bahwa perekonomian keluarganya sangat pas-pasan sepeninggal almarhum Bapak Gusli.
Ibu bekerja sebagai tukang cuci gosok, dan Mas Damar bekerja serabutan. Bukan hanya itu, Mas Damar harus rela melepaskan sekolahnya demi untuk membantu perekonomian keluarga yang karut marut.
Danum masih ingat dengan sangat jelas. Jikalau Mas Damar ingin ia menjadi seseorang yang bermanfaat bagi sesama manusia, terutama bagi Agama, Nusa dan Bangsa.
Entah terwujud atau tidak, yang pasti ia akan berusaha semaksimal mungkin..
Ketika memikirkan semua persoalan yang memutari isi kepalanya laksana bumi yang memutari matahari suara sang Kakak membuyarkan segala persoalan di kepalanya. Danum menoleh melihat Mas Damar yang berdiri di teras rumah.
"Aku lihat sejak kamu memarkirkan motor, kamu melamun saja, apa ada masalah?" Damar berjalan menuju teras rumah, dilihatnya adiknya itu menggendikkan pundak.
"Mana ada aku melamun, Mas Damar tuh kalau lihat jangan sebelah mata," sanggah Danum memasang mimik wajah datar.
"Sebelah mata?" Damar mengangkat satu alisnya, masih memperhatikan setiap gerakan adiknya yang mulai berjalan menjauh dari motor bergerobak dagangan kue leker. "kenapa kamu ndak sekalian aja bilang kalau aku melihat mu pakai sebelah lubang hidung?!"
Danum menghentikan langkahnya, kemudian ia mencuci tangan di kran samping tanaman hias. Ia membalas perkataan Damar asal-asalan. "Kalau lubang hidung bisa buat ngeliat, nanti upil-upilnya ikutan ngintip dong, Mas?"
"Lha ni bocah, malah di terusin!" sahut Damar ogah, sepintas atensinya melihat gerobak kue leker dan kembali melihat Danum. "Gimana dagangan kue leker mu hari ini, Num?"
"Kenapa tanya toh Mas?" Danum menjawabnya malas, langkah kakinya kembali berjalan menuju teras, sejak tadi atensinya sudah tercuri oleh bayi gemoy yang di gendong Damar.
"Memang ndak boleh aku tanya?" tanya Damar.
"Mas kan lebih tau," sahut Danum.
"Terus?" tukas Damar tidak mengerti.
"Embul...." seru Danum sumringah memanggil keponakannya dengan sebutan Embul bisa jadi Gembul dikarenakan bentuk tubuh keponakan itu memang gemoy. Lantas segera bergegas menghampiri bayi yang bernama Adam Mangkulangit. Danum selalu tak sabaran dan ingin segera menggendong gembul yang sejak tadi sudah tersenyum padanya. Tapi sebelum tangannya mendarat di tubuh gembul keponakannya, ia menghentikan aksinya saat Damar kembali bersuara.
"Apa kamu udah nyerah dagangan? Lalu udah seberapa tipis kesabaran mu saat ini, apa sudah setipis tisu?" Damar melihat Danum yang sudah mendekat dengan sedikit membungkukkan badannya ke arah Adam.
"Bukan lagi setipis tisu, tapi sekecil daun kelor!" cetus Danum asal, netranya melirik Damar sepintas, lantas mengambil alih Adam.
"Embul bul bul bul bul!" begitulah bunyinya acap kali Danum menimang nimang Adam.
Bayi ini pun merespon dengan tersenyum di sambung dengan tawa kecil.
"Keponakan Ahjusi seng paling guanteng, koyo Ahjusi Danum," kelakar Danum selalu saja seperti ini ketika sudah menggendong keponakannya.
Damar tak jadi duduk di kursi kayu, netranya menatap Danum dan Adam bergantian, dahinya mengerut mendengar panggilan yang kerap kali Danum ucapkan. *"Opo kui Ahjusi?"
*[Apa itu Ahjusi]
"Yo Paman toh Mas," sahut Danum enteng.
*"Bahasa seko ngendi kuwi?!" tanya Damar masih tidak mengerti sembari duduk di kursi kayu.
*[Bahasa darimana itu]
"Dari Korea," celetuk Danum menyusul duduk di kursi kayu memanjang depan Damar.
"Lhe kamu itu bagaimana sih Num, bahasa kita sendiri itu lebih baik. Paman, Bibi. Kenapa koh kamu malah senang pakai bahasanya orang lain?"
"Memang kenapa toh Mas, itu kan hanya sekedar panggilan?" enteng Danum bertanya, karena biasanya Damar tak pernah mempermasalahkan panggilan tersebut.
"Ahjusi, iku kurang macem. Seolah-olah kita mengikuti budaya mereka dan mulai melupakan budaya kita. Kita itu harusnya nguri-uri budoyo kita dan melestarikannya. Ingat NKRI," jelas Damar bersemangat.
"Yo jelas toh Mas, NKRI harga mati!" sahut Danum mantap.
"Lancar toh sekolahmu, ndak terhalang meskipun kamu jualan, Num?" tanya Damar lagi.
"Alhamdulillah lancar, Mas," Danum diam sejenak. Ia mengelus dadanya, entah mengapa ia merasa ada sesuatu yang kurang baik dalam dirinya bukan karena sakit, tapi ada yang mengusik ketenangan hatinya akhir-akhir ini.
Melihat adiknya hanya diam, Damar menepuk pundak Danum. "Kamu kenapa sih, Num? Ndak biasanya kamu diam kayak gini pas lagi ngobrol?"
Danum terhenyak, ia menoleh mendapati bahwa pandangan matanya nampak lain menatap Mas Damar. "Nganu Mas?"
"Anu apa Num?" Damar bertanya menyelidik, ia tahu persis jikalau sang adik sedang ada masalah pasti tiba-tiba jadi pendiam.
Danum masih meraba dadanya, kembali terhenyak saat Adam yang masih dalam pangkuannya bergerak-gerak.
"Bicara saja sama Mas mu ini, sebenarnya ada apa. Biasanya kan kamu pasti cerita," Damar mendesak agar adiknya ini mau berbagi cerita.
"Mas, kenapa perasaanku ndak enak," ungkap Danum, ia menatap wajah Damar yang nampak ngeblur.
"Nggak enak kenapa?" Damar semakin penasaran.
"Aku mimpi aneh dan perasaan ku seperti diintai oleh seseorang, tapi dia seperti ndak berwujud. Dia seperti memakai pakaian adat Jawa Surjan," ujar Danum mengenai hal kejadian mistik beberapa hari belakangan ini.
"Hah.. yang benar kamu, Num?" Damar merinding mendengar pengakuan adiknya. Guna-guna ilmu hitam yang pernah datang padanya membuat Damar waspada. "sejak kapan hal ini kamu rasakan, dan kamu ingat-ingat apa penyebabnya?" sambungnya mengkhawatirkan adiknya. Jangan sampai adik satu-satunya juga terkena mantra sihir. Nauzubillah!
"Nggak ingat Mas," Danum menggelengkan kepalanya, lantas menerawangkan pandangannya menatap keseluruhan halaman rumah. Samar dari kejauhan ia melihat seorang pria yang memakai pakaian adat Jawa dari kejauhan, tak berselang lama sesosok itu menghilang.
"Danum kamu baik-baik aja kan, kamu nggak lagi kesambet kan? Ayo sekarang Mas antar kamu ke rumah Ustadz Umar, jangan sampai apa yang terjadi sama Mas beberapa bulan lalu juga terjadi padamu," tukas Damar, ia mengambil alih baby Adam, lantas menarik tangan sang adik.
Danum melihat Mas Damar nampak sangat mengkhawatirkannya, ia tak ingin menambah kekhawatiran sang Kakak yang beberapa bulan lalu terlepas dari mantra pelet yang dikirim oleh seseorang. Danum lebih memilih menyanggah apa yang baru saja dilihatnya.
"Aku baik-baik saja Mas," kilah Danum. Dilihatnya dahi Kakaknya ini masih mengerut.
Damar mengamati wajah Danum, yang tersenyum tapi seperti dipaksakan.
"Tapi aku melihatmu ndak nampak baik-baik saja, kamu terlihat pucat. Kamu sakit, atau kamu sedang demam?" racau Damar khawatir, telapak tangannya memeriksa kening adiknya.
Danum tersenyum serta menggelengkan kepalanya. "Tenanglah Mas Damar, apa yang ku bilang tadi cuma halusinasi ku aja, ndak beneran. Sumpah!"
Dari dalam datang seorang wanita yang memakai daster, siapa lagi jika bukan istri Damar. Nawang Wulan, selentingan ia mendengar apa yang sedang dibahas suami dan adiknya.
"Lagi bahas apaan sih, kenapa pakai acara sumpah segala?" Wulan berjalan mendekati Damar, netranya melihat suami serta adik iparnya secara bergantian.
Damar dan Danum langsung menatap Wulan yang berjalan mendekati mereka. Menaruh piring berisikan kue nagasari.
"Bukan apa-apa Mbak," balas Danum melihat Kakak iparnya telah duduk di sebelah Damar.
...•••...
Bersambung...
•
Notes author:
Diupayakan update setiap hari.
Terimakasih atas segala bentuk dukungan mu, kawan.
...••••••••••...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments
[AIANA]
wow, aku mampir juga kesini. makasih dah menyapa .
eh aku orang Jogja. hihihi
2024-01-29
0
Rhiedha Nasrowi
semangat ya up nya Thor👍👍
2024-01-07
4